Nikah Beda Agama Putri Rasulullah; Zainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’

Ada fakta menarik bahwa di masa lampau nikah beda agama pernah dilakukan oleh anak Rasulullah. Berikut penjelasan tentang nikah beda agama Putri Rasulullah; Zainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’

Di sosial media, sempat viral berita tentang pernikahan beda agama, pernikahan yang dilarang Islam dan negara. Dalam hukum Islam, menurut golongan jumhur,  perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.

Sedangkan laki-laki yang muslim dan ingin menikahi perempuan non muslim masih ada celah dilegalkan jika perempuannya ahlul kitab.

Di Indonesia, fenomena nikah beda agama atau lintas agama bukan persoalan baru, karena tidak sedikit publik figur melakukan pernikahan tersebut. Namun, menjadi perbincangan hangat karena tersebar foto pernikahan perempuan berjilbab di Gereja, tepatnya di Semarang Jawa tengah. 

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi di tengah masyarakat, kami hanya ingin memaparkan kisah cinta sepasang pasutri yang beda agama di masa Nabi Muhammad saw. Peristiwa itupun terjadi pada putri sulungnya Rasulullah, yaitu Zainab anak yang dilahirkan dari rahim Khadijah.

Jalinan cinta (dalam nikah) antara Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash bin ar-Rabi’ bukan tanpa alasan. Ibnu Hisyam menuturkan, disamping Abul Ash bin ar-Rabi’ seorang yang kaya dan tajir, ia juga merupakan pemuda yang memiliki talenta dalam bisnis, dan yang tidak kalah penting ia orangnya dikenal jujur. 

Maka tidak mengherankan, jika Khadijah membujuk sang suami untuk menikahkan putri sulungnya dengan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Abul Ash bin ar-Rabi’ juga keponakan dari Khadijah karena anak lelaki Halah binti Khuwailit (saudari kandung Khadijah), berarti Zainab adalah sepupu Abul Ash bin ar-Rabi’.

Sayang, cinta keduanya harus mengalami cobaan sebab berbeda keyakinan. Bermula ketika Nabi mendapat wahyu dan mendakwahkannya Zainab ikut serta memeluk islam sedangkan kekasihnya tetap dalam kekufurannya. Dalam Kondisi ini, musuh Nabi banyak yang memutus hubungan pernikahan putri-putri Nabi. 

Diantaranya, putrinya Ruqayyah yang diceraikan oleh suami Utbah bin Abu Jahal. Namun, hal itu tidak berlaku kepada Abul Ash yang mencintai Zainab. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, sebagaimana diabadikan Ibnu Hisyam.

 وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِامْرَأَتِي امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ

“Aku tidak bisa mencintai wanita Quraisy manapun karena sudah ada istriku (Zainab)”

Keduanya merajut mahligai rumah tangga sekitar dua belas tahun dengan kondisi agama yang berbeda, namun kekuatan cintanya tetap mengikat kuat i’tikad bersama.

Bahkan Zainab tetap memilih tinggal di Mekah dan rela berpisah dengan keluarga terkhusus ayah tercinta, Nabi Muhammad yang berhijrah ke Madinah. Karena ia terikat dengan suaminya yang masih kufur namun jujur. 

Tidak berhenti di situ, menurut laporan Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh [27/2], pada tahun kedua Hijriyah ketika perang Badar meledak antara kaum Quraisy Mekah dan kelompok Rasulullah di Madinah, menantu Nabi, Abul Ash ikut serta berperang hingga terciduk menjadi tawanan saat peperangan selesai.

Pasca perang Badar kaum Quraisy menebus para tawanan di Madinah. Zainab dengan besarnya cinta juga ikut menebus sang suami yang ikut ditawan. Tidak tanggung-tanggung, harta yang dijadikan tebusan sang suami merupakan harta peninggalan mendiang ibundanya Khadijah, yang berupa kalung. Hal ini membuktikan cinta yang diperjuangkan.

Melihat kalung itu, Rasulullah langsung “tersedu-sedu” dalam keharuan mengenang kenangan dalam memori ingatan. Ia pun langsung membebaskan para tawanan. Akan tetapi, khusus menantunya, Abul Ash, Nabi memintanya untuk mendatangkan Zainab ke Mekah.

Permintaan itu pun sulit ditolak oleh Abul Ash dengan kondisi yang sedang meliputi, maka dengan rasa terpaksa Abul Ash merelakan kepergian istri kinasihnya untuk berkumpul kembali dengan Rasulullah di Madinah. Raga keduanya pun dibatasi ruang dan waktu namun tidak dengan cintanya yang tetap bersemi dalam qalbu, konon istilah milenialnya adalah LDR.

Bukti dari cinta yang masih bersemi, tepat sebelum Fathu Mekah sekitar tahun delapan Hijriah Abul Ash menjalani profesi dagangnya namun di tengah perjalanan pulang ia kena patroli tentara Madinah.

Maka malamnya, Abul Ash menyusup ke Madinah dan mencari pujaan hati Zainab yang pernah meninggalkan dirinya selama kurang lebih enam tahun, untuk meminta perlindungan sekaligus mengobati rindunya. Usahanya pun berhasil dan Abul Ash membawa harta dagangannya untuk dibagikan kepada para pemiliknya di Mekah.

Namun apa yang terjadi setelah itu membuat tercengan seantero Mekah. Sebab secara terang-terangan Abul Ash mendeklarasikan untuk masuk islam. Ternyata, pertemuan singkat dengan sang pujaan hati Zainab di malam, itu telah mengundang taufik dan hidayah untuk masuk islam secara suka rela. 

Akhirnya, Abul Ash pergi ke Madinah menemui Nabi sekaligus istri yang dulu sempat terpisah. Nabi pun akhirnya mengembalikan Zainab dalam pelukan kekasihnya tersebut. merekapun hidup bahagia secara lahir dan batin dan memiliki putri Umamah yang juga disayang Rasulullah.

Yang menjadi problem apakah nikah beda agama boleh atau tidak diantaranya adalah riwayat tentang kisah cinta Zainab dan Abul Ash tersebut. Sebab, menurut satu riwayat yang dijadikan pedoman ulama jumhur, ketika Nabi mengembalikan Zainab dalam pangkuan Abul Ash disertai dengan akad dan mahar baru. 

Ini artinya, pernikahan saat beda agama batal atau tidak dianggap lantaran ada larangan quran yang turun di tahun ke-6 yaitu surah Al-Mumtahanah. Sedangkan menurut pendapat lainnya, Nabi tidak mengadakan akad baru. 

Dengan demikian, nikah beda agama sebelumnya diakui dan sah. Kedua pendapat inilah yang kemudian menjadi ajar perbedaan terkait boleh atau tidaknya nikah beda agama. Kedua riwayat tersebut dicatat oleh Ibnu Atsir dalam kitab Kamil fi Al-Tarikh. Wallahu A’lam.

Demikian penjelasan terkait nikah beda agama putri Rasulullah, yakniZainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’. Semoga artikel nikah beda agama putri Rasulullah ini bermanfaat, bukan menciptakan polemik baru.

BINCANG SYARIAH

Nikah Beda Agama, Upaya Pelegalan Perzinahan?

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”,  mengabaikan urusan halal-haram

Oleh: Een Stiawati

BULAN PEBRUARI 2020 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan uji materi alias judicial review yang dilayangkan seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Gugatan tersebut, dilayangkan Ramos lantaran dirinya yang merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam. Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Kasus ini mengingatkan kita tahun 2014, ketika mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anbar Jayadi bersama 4 orang temannya  yakni  Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Saputra menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan pernikahan beda agama di Indonesia (Kompas.com, 4/9).

“Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas,” kata Anbar di Gedung MK, Kamis (4/9/2014),  dia berpendapat biarkan masyarakat  yang memutuskan berdasarkan  hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti  ajaran agama dan  kepercayaan yang dianutnya, menurutnya pula karena setiap agama memiliki hokum yang berbeda  maka ia menilai ada ketidakpastian hukum bagi  mereka yang ingin  melangsungkan pernikahan beda agama.

Atas pengajuan uji materi ini terjadi pro dan kontra,  banyak pihak yang tidak setuju, tetapi masih saja ada yang mendukung mereka walaupun jumlahnya sedikit. Pakar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah menyayangkan sikap kelima mahasiswanya yang menjadi penggugat Pasal 2 ayat 1, UU No 1 1974 tentang perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia mengaku tidak habis pikir, bagaimana bisa murid-muridnya mempermasalahkan Undang-Undang yang selama ini terbukti mengatur harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.“Dari materi Hukum Perdata Islam yang pernah kami sampaikan, kami tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Di dalam konstitusi kita-pun, tidak boleh. Mereka berpendapat, bebas menjalankan agama dan bebas tidak menjalankan agama. Tapi tidak seperti itu,”   dengan nada prihatin (hidayatullah.com ).

Demikian halnya dengan Imam Besar  Masjid Istiqlal kala itu, dimana beliau berharap agar Mahkamah Konstitusi  menolak atas gugatan tersebut, begitu juga  Menteri Agama  Lukman Hakim Saifudin berpendapat bahwa pernikahan beda agama sangat sulit direalisasikan, ketika nikah beda agama dilegalkan maka masalah lain akan muncul yang lebih sulit, misalnya agama apa yang akan dia pakai ketika menikah? Dan banyak lagi kecaman yang datang dari berbagai kalangan.

Di tengah banyaknya pihak yang kontra  justru peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, yang juga politisi PDI-P, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM kala itu, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama (Kompas.com, 5/9).

Komisioner  Komnas HAM  Siti Noor Laila saat dihubungi Kompas.com (4/9/2014) menilai setiap warga Negara  Indonesia berhak  untuk menikah baik dengan sesama maupun beda agama.

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya.

Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan. Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali.  Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta?

Mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang.  Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.

Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim yang seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar. Gugatan  legalisasi perkawinan beda agama bukanlah  hal baru karena kelompok  sekular dan  liberal  termasuk KOMNAS HAM  terus berupaya menyuarakan kebebasan, ini menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang liberal terus menyasar Islam dan syariahnya.

Nikah Beda Agama Pintu Pemurtadan?

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan. Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya dua hal:

Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya.

Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara.

Jika kita mau mencermati, sesungguhnya  upaya gugat menggugat aturan agama bahkan yang sudah jelas dalilnya  akan terus berlangsung  selama sistem demokrasi  diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi memberi peluang untuk seseorang  berpendapat sekehendak hatinya karena demokrasi menganut prinsip kebebasan  beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan perpendapat dan kebebasan bertingkah laku.

Maka wajar seseorang mengeluarkan pendapatnya walaupun bertentangan dengan Islam. Sistem Islam sangatlah berbeda dengan demokrasi, dimana perkataan dan perbuatan seorang muslim  wajib terikat dengan hukum syara’, dia tidak bebas  melakukan semaunya begitu juga terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum muslim maupun muslimah  haram menikah dengan kaum musyrik, Allah SWT berfirman:

﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾

“Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS: al-Baqarah [2]: 221).

Dengan demikian, perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram.

Adapun perkawinan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanita ahlul kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”. Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita mukmin.”

Demikian jelaslah sudah bahwa upaya pelegalan nikah beda agama merupakan pelegalan perzinahan karena sesungguhnya pernikahan beda agama adalah haram hukumnya dan ini adalah buah demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai pijakannya. Oleh karena itu kinilah saatnya untuk kita berupaya berpijak kepada Hukum Allah SWT, sebagai pengganti sistem demokrasi yang rusak.*

Penulis peminat masalah agama.  Een_stiawati@yahoo.com

HIDAYATULLAH

Muslim Menikahi Nasrani dan Yahudi Kenapa tidak?

PARA fuqaha dari berbagai mazhabdi antaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmadtelah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani, sesuai firman Allah SWT:

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5). (Al Mausuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 7/143; Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, 4/73;Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).

Hanya saja, meskipun Imam Syafiirahimahullahtermasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nasrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. (Imam Al Baihaqi,Ahkamul Qur`an, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah).

Pendapat Imam Syafii tersebut dalam nash (teks) yang asli dari Imam Syafii, sebagaimana dikutip oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (7/173) adalah sebagai berikut:

“Dan Ahli Kitab yang halal menikahi wanita-wanita merdekanya, adalah Ahli [Pemilik] Dua Kitab yang masyhur, yaitu Taurat dan Injil. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil, bukan orang Majusi.” (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an Lil Imam Al Syafii, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1975).

Imam Syafii menjelaskan dalil pendapatnya tersebut dalam kitabnya Al Umm (3/7) dengan bersandar pada beberapa khabar (hadis) yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir (w. 310 H), di antaranya khabar dari Atha` yang berkata:

“Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahli Kitab. [Karena] Ahli Kitab itu hanyalah orang-orang Bani Israil yang datang kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Adapun siapa saja yang masuk ke dalam mereka [menjadi penganut Yahudi dan Nasrani] dari kalangan manusia [bukan Bani Israil], maka mereka itu tidaklah termasuk golongan mereka [Ahli Kitab].” (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 79; Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, 2007).

Berdasarkan riwayat seperti itulah, Imam Syafii berpendapat bahwa siapa saja orang non Bani Israil yang beragama dengan agama Ahli Kitab yang kepada mereka diturunkan Taurat dan Injil, maka mereka itu Ahli Kitab sekadar nama, bukanlah Ahli Kitab yang hakiki. (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an, 2/57)

Pendapat Imam Syafii tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama mazhab Syafii seperti Imam Al Khathib Al Syarbaini pengarang kitab Mughni Al Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi pengarang kitab Al Majmu (2/44). Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).

Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nasrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nasrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka. (Lihat Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil.

Adapun yang merajihkan pendapat jumhur, adalah 3 (tiga) dalil sebagai berikut:

Pertama, karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah SWT:

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).

Ayat di atas mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi Al Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil. Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:

“Al muthlaqu yajriy alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ala at taqyiid.” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).

Kemutlakan dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafii. Syaikh Wahbah Zuhaili berkata:

“Pendapat yang rajih bagi saya adalah pendapat jumhur, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu (syarat).” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).

Dengan ini jelaslah bahwa Ahli Kitab itu tidak hanya dari keturunan Bani Israil saja, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi dan Nashrani baik dia keturunan Bani Israil maupun bukan keturunan Bani Israil.

Kedua, karena tindakan Rasulullah SAW (afaal rasulullah) dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/Nashrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah telah menjelaskan hal itu dalam kitabnya Zadul Maad (3/158) dengan perkataannya :

“Orang Arab adalah suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-umat yang berdekatan dengan mereka Maka Rasulullah SAW memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan beliau tidak mempertimbangkan nenek moyang mereka juga tidak [mempertimbangkan] orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahli Kitab : apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya penghapusan (nasakh) [dengan turunnya Alquran] dan penggantian (tabdiil) [tahrif terhadap Taurat dan Injil] ataukah sesudahnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Zadul Maad, 3/158; Lihat Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).

Atas dasar itu, orang yang tergolong Ahli Kitab itu tidak dilihat lagi nenek moyangnya, apakah ketika mereka masuk Yahudi atau Nashrani kitab mereka masih asli, ataukah sudah mengalami perubahan, ataukah ketika sudah diturunkan Alquran. Maka, orang masa sekarang, yaitu setelah diturunkannya Alquran, jika menganut Yahudi atau Nashrani, juga digolongkan Ahli Kitab.

Ketiga, ayat-ayat Alquran yang turun untuk pertama kalinya dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka. Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang murni/asli. Misalnya firman Allah SWT :

“Katakanlah [Muhammad],Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al Maa`idah [5] : 68).

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi SAW tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, mereka tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Alquran. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Alquran banyak. (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Alquran Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).

Dengan demikian, istilah “Ahli Kitab” sejak awal memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang sudah menyimpang dan tidak lagi menjalankan ajaran Taurat dan Injil. Istilah “Ahli Kitab” bukan ditujukan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya atau masih lurus menjalankan agamanya. Jadi tidak benar anggapan bahwa saat ini sudah tak lagi Ahli Kitab dengan alasan istilah “Ahli Kitab” ditujukan untuk orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya. Pendapat ini tidak benar.

Berdasarkan tiga dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil. Baik nenek moyang mereka masuk agama Yahudi dan Nasrani ketika kitabnya masih asli maupun ketika kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrif). Baik sebelum diturunkannya Alquran maupun sesudah diturunkannya Alquran.

Namun yang perlu kami tegaskan, sesuatu yang mubah itu jelas bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan perkara yang hukumnya mubah, pada kasus-kasus tertentu dapat diharamkan secara syari jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Hal ini sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An Nabhanirahimahullahsebagai berikut:

“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/456).

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, pada kasus tertentu, haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, jika terbukti berbahaya atau dapat membawa kepada bahaya bagi laki-laki itu secara khusus. Misalnya, laki-laki muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan Ahli Kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain. Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki muslim tersebut menikahi perempuan Ahli Kitab ini, karena diduga kuat laki-laki muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nashrani. Nauzhu billahi min dzalik.

Namun pada saat yang sama, hukum bolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab tetaplah ada, dan tidak lenyap. Hukum ini dapat diberlakukan misalnya untuk laki-laki muslim yang sangat kuat beragama, misalnya ulama atau mujtahid atau mujahid, yang menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan rakyat negara Khilafah.

Seperti halnya dahulu, ketika sebagian sahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Ahludz Dzimmah. Misalnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menikahi seorang perempuan Nashrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan Utsman. Hudzaifah bin Al Yaman RA pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al Mada`in. Jabir bin Abdillah RA pernah ditanya mengenai laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani. Maka Jabir menjawab,”Dahulu kami dan Saad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).

Kesimpulannya, seorang laki-laki muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan Ahli Kitab. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah. Wallahu alam.[]

 

INILAH MOZAIK

Ulama Eropa Bolehkan Nikah Beda Agama, MUI Tidak!

FATWA yang dikeluarkan di suatu tempat oleh para ulama biasanya memang disesuaikan dengan kondisi real di lapangan. Sifatnya tidak selalu harus bersifat universal dan baku. Namun sangat mungkin untuk disesuaikan dengan keadaan lokal serta bersifat situasional. Terutama untuk masalah yang juga masih ada perselisihan di antara para ulama dalam hukumnya.

Misalnya fatwa boikot pruduk tertentu yang dikeluarkan oleh banyak ulama di Timur Tengah, sebelumnya pasti sudah dibahas tentang efektifitas dan dampaknya oleh para ulama. Sehingga begitu fatwa itu dikeluarkan, efeknya memang terasa. Namun belum tentu bila MUI di Indonesia mengeluarkan fatwa yang sama, akan menghasilkan hal yang sedahsyat di negeri sana.

Adapun masalah larangan nikah beda agama yang dikeluarkan MUI, tentu saja tidak sekedar dikeluarkan begitu saja. Pastilah sebelumnya sudah dibahas latar belakang, antisipasi dan dampak-dampak yang akan terjadi. Sehingga meski tidak terlalu mirip dengan apa yang dipegang oleh jumhur ulama, namun fatwa itu bisa agak sedikit lebih tetap untuk kondisi sosial agama di negeri kita. Jumhur ulama memang menghalalkan pernikahan beda agama, asalkan yang laki-laki muslim dan yang perempuan wanita ahli kitab (baca: Nasrani atau Yahudi). Adapun bila yang laki-laki bukan muslim dan yang wanita muslimah, hukumnya haram.

Di luar jumhur ulama, ada juga pendapat lain yang berbeda, tentu saja setelah dilihat manfaat dan mudaratnya. Salah satunya ketika Khalifah Umar melihat ada semacam kecenderungan para sahabat untuk ‘berlomba’ menikahi wanita ahli kitab, sehingga muncul dampak fitnah di tengah wanita muslimah. Sehingga beliau pernah berkirim surat kepada salah satu bawahannya yang isinya perintah untuk menceraikan istrinya yang wanita ahli kitab.

Tentu saja khalifah bukan mau melawan ayat Alquran yang secara tegas membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Namun saat itu beliau melihat gelagat yang kurang baik di dalam tubuh umat Islam dengan adanya pernikahan yang hukum asalnya halal itu. Kira-kira hal itulah yang bisa kita rasakan dari fatwa MUI yang mengharamkan nikah beda agama. Meski dengan latar belakang yang sedikit berbeda.

Mengapa Diharamkan?

Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia menjadi sasaran kristenisasi sejak masa penjajahan Belanda. Angka grafik pertumbuhan penduduk yang beragama Kristen terus naik. Salah satu metode pemurtadan yang paling efektif ternyata lewat pernikahan beda agama. Di mana banyak pemuda dan pemudi muslim yang menikah dengan pasangan beda agama, tapi akhirnya anak-anak mereka menjadi non muslim.

Di sisi lain banyak sekali orang yang sekarang beragama Kristen, namun ketika diurutkan ke silsilah orang tua dan kakek neneknya, ternyata beragama Islam. Ini suatu bukti bahwa nikah beda agama di Indonesia justru kontra produktif. Bukannya berhasil meng-Islamkan orang kafir, justru orang-orang yang sudah muslim malah jadi murtad.

Maka wajar bila MUI merasa bertanggung-jawab untuk menahan laju grafik kemurtadan ini dengan melarang pernikahan beda agama secara keseluruhannya. Sebab meski laki-laki muslim menikahi wanita Kristen, kenyataannya yang kalah justru yang laki-laki, sehingga dengan mudah dia menjual iman dan agamanya, sekedar untuk bisa tetap mempertahankan istrinya yang kafir itu.

Fatwa Itu Tidak Berlaku di Eropa

Kenyataan yang sebaliknya justru terjadi di Eropa. Grafik laju pertumbuhan penduduk muslimin di sana mengalami laju yang tak terbendung. Bahkan boleh dibilang menjadi semacam ledakan jumlah penduduk yang muslim. Sampai-sampai para penguasa barat cemas melihat kenyataan ini.

Salah satu faktornya sudah bisa anda duga,yaitu karena adanya pernikahan campur antar agama. Data kependudukan membuktikan bahwa banyak sekali wanita Eropa yang menikah dengan pria muslim. Lalu anak-anak mereka memenuhi Islamic Center yang juga tumbuh menjamur di sana. Bahkan para wanita Perancis, Jerman, Inggris telah masuk ke pola trend kehidupan untuk menikah dengan pria muslim asal Timur Tengah, tidak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam, memakai jilbab dan membangun rumah tangga Islami.

Trend yang terjadi di Eropa ini juga mulai menular ke benua lain seperti Amerika dan Australia. Di kedua peradaban barat itu kini sudah tidak asing lagi kita temukan wanita bule yang memakai jilbab dan bersuamikan laki-laki muslim yang sukses dalam kehidupannya. Maka alangkah tidak bijaksana bila para ulama di Eropa mengeluarkan fatwa model MUI di negeri kita. Sebab nikah beda agama di Eropa identik dengan proses Islamisasi yang luar biasa dahsyat. Sebaliknya, nikah beda agama di Indonesia identik dengan pemurtadan.

Di sini kita harus sedikit cerdas dalam menilai dan menganalisa situasi sosial masyarakat. Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum, warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341567/ulama-eropa-bolehkan-nikah-beda-agama-mui-tidak#sthash.lMa8Ddvf.dpuf