Kapan Menyebut “Kafir” dan Kapan Menyebut “Non-Muslim”

Terkait dengan istilah dan penggunaan kata “non-muslim” dan “kafir”, ada dua kelompok yang berlebihan atau ekstrim.

Kelompok pertama, mereka mengatakan bahwa tidak boleh sama sekali menggunakan kata “non-muslim”, harus menggunakan kata “kafir”. Asumsi mereka, apabila menggunakan kata “non-muslim”, maka ini bertentangan total dengan Al-Qur’an yang menggunakan kata-kata “kafir.”

Kelompok kedua, mereka mengatakan tidak boleh menggunakan “kafir” sama sekali karena ini terkesan kasar, keras, atau bahkan radikal.

Pendapat yang pertengahan dan tepat adalah boleh menggunakan kata “kafir” pada kondisi yang sesuai dan menggunakan kata “non-muslim” pada kondisi yang sesuai pula.

Inilah yang dimaksud dengan ungkapan,

لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ

“Setiap ucapan itu ada tempatnya.”

Misalnya, ketika dalam pengajian. Kita membahas tentang kafir memakai kata-kata “kafir” serta menyebut mereka dengan “kafir”, ini tidak masalah. Namun, apabila sedang berbicara dengan orang lain kita gunakan “non-muslim”, apabila kondisinya sesuai. Misalnya berkata, “Dia tetangga saya, dia non-muslim.”

Tentunya kita perlu bijak menggunakan sesuai dengan tempatnya. Perhatikan fatwa berikut ini,

هل يجوز الإشارة إلى الكافر باليد والقول له أنت كافر علما بأنه كافر فهل يجوز ذلك

“Apakah boleh menunjuk orang kafir dengan tangan dan mengatakan, ‘Hai kamu kafir?’ Perlu diketahui bahwa dia memang kafir (bukan Islam). Apakah boleh seperti ini?

Jawab:

فلا شك أن من لم يكفر الكافر أو يشك في كفره أنه كافر، وهذا أصل أصيل في الإسلام، إلا أن هذا لا يعني ما ذكره السائل من إسماع الكافر كونه كافراً، بل الغالب أن ذلك يتنافى مع الحكمة،

“Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu terhadap kekafiran mereka, maka dia juga kafir. Ini adalah pelajaran sangat mendasar dalam Islam. Akan tetapi, hal ini tidaklah berarti bahwa apa yang disebutkan oleh penanya, yaitu menunjuk dan menyebut ‘kafir’ di depan orang kafir, itu boleh. Bahkan umumnya hal ini bertentangan dengan hikmah (dalam berdakwah).” (Fatwa Islamweb no. 39380, asuhan Syaikh Abdullah Al-Faqih)

Mengenai panggilan “kafir” secara langsung kepada orang kafir pada kondisi yang tidak tepat, tentu ini tidak hikmah dalam dakwah. Bisa jadi mereka merasa terganggu dan semakin membuat mereka jauh dari Islam dan bahkan membenci Islam. Perhatikanlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻻَ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ، ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻻَ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/58955-kapan-menyebut-kafir-dan-kapan-menyebut-non-muslim.html

Allah tak Melarang Berbuat Baik Pada Non Muslim

LIHATLAH kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab sahihnya dari Mushab bin Saad dari ayahnya (yaitu Saad) bahwa beberapa ayat Alquran turun padanya. Dia berkata,

Ummu Saad (Ibunya Saad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen). Saad mengatakan, “Lalu Ummu Saad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Saad. Lalu Allah menurunkan ayat,

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al Ankabut: 8). Dan juga ayat, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah, “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman: 15) (HR. Muslim no. 1748).

Hal di atas tidaklah menafikan bahwa kita tetap berbuat baik pada non muslim yang penting tidak berkaitan dengan ritual ibadah dan perayaan mereka. Allah Taala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 7: 247). Mengenai surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhuma-, di mana ibundanya Qotilah binti Abdil Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. (Lihat Zaadul Masiir, 8: 236-237).

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma mengatakan, “Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)” (HR. Bukhari no. 5978). Semoga Allah memberi kita petunjuk pada akidah yang lurus. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK