Optimisme pada 2021

Semangat optimisme tinggi inilah yang semestinya saat ini ada dalam setiap sanubari umat Islam.

Tahun 2020 telah berlalu dari kita semua. Saat ini, kita memasuki 2021. Banyak hal bisa kita rasakan, alami, dan lakukan di 2020. Virus korona yang mulai masuk di akhir Januari 2020 dan merebak di pertengahan Maret memberikan banyak hikmah dan pelajaran berharga.

Bahwa, ketika manusia bersalah, abai, bahkan teledor akan kebersihan dan kesehatan, maka ia akan dihajar oleh alam. Kita bisa baca substansi hal itu dalam Firman-Nya. (QS ar-Rum: 41)

Selain itu, pandemi yang telah mengubah dunia yang fana ini juga memberikan pesan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semuanya serba mungkin atas izin Allah.

Orang yang sebelumnya kaya raya, tiba-tiba jatuh miskin. Pekerja yang selama ini menikmati gaji setiap bulan, tiba-tiba berhenti. Perusahaan besar ternama yang biasanga diagung-agungkan, tiba-tiba mengumumkan kebangkrutannya.

Sebagai Muslim, apakah kita tetap pesimistis pada 2021 ataukah ada optimisme baru memasuki 2021? Inilah yang membedakan kita umat Islam.

Sejak lahir kita diajarkan bahwa “Al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih: Islam itu senantiasa unggul, dan ia tidak akan ada yang mengunggulinya”. Semangat optimisme tinggi inilah yang semestinya saat ini ada dalam setiap sanubari umat Islam. Sehingga, perubahan lebih baik di 2021 tetap bisa diharapkan terwujud.

Optimisme atau sikap optimistis merupakan keyakinan dalam diri dan salah satu sikap unggul yang dianjurkan dalam Islam. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali-Imran: 139).

Dari sinilah, sikap optimistis harus dimiliki oleh setiap manusia dalam memasuki 2021, khususnya seorang Muslimah. Karena dengan optimistis, seorang Muslimah akan selalu senantiasa berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita dan harapan dengan penuh keikhlasan karena Allah.

Sekali lagi atas izin Allah. Karena tanpa izin-Nya mustahil harapan dan optimisme itu bisa mewujud menjadi kenyataan. Rencana demi rencana bisa kita tulis di 2021. Namun, keputusan dan hasilnya mutlak milik-Nya. Tugas kita hanya meluruskan niat, memaksimalkan ikhtiar dan tetap optimistis di jalan-Nya.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Pada diri masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah.

Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan: ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah: ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘lau’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan’.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Karena itu, kita harus menyakini, ketika yang kita perjuangkan dalam hidup itu baik dan benar, maka kita tidak boleh surut mundur ke belakang. Optimisme adalah nyawa. Jika itu tiada, harapan di 2021 pun akan sirna (QS al-Baqarah: 147). Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL MUID BADRUN

KHAZANAH REPUBLIKA

Membangun Optimisme

Rasulullah mengajarkan optimisme dalam berbagai situasi.

Kekhawatiran menerpa Abu Bakar. Di dalam Gua Tsur, ia bersama junjungannya, Muhammad SAW, bersembunyi dari kejaran orang-orang Quraiys. Dari dalam gua, ia melihat beberapa pengejar dengan pedang terhunus. Seandainya mereka melihat ke dalam lubang gua, tentu Abu Bakar dan Muhammad terlihat dan ditangkap.

Abu Bakar tak bisa menahan kerisauan dan mengungkapkannya kepada sahabatnya, Muhammad. Namun, bukan perasaan gentar yang dilontarkan utusan Allah SWT atas perasaan Abu Bakar. Sebaliknya, ia menegaskan, “Abu Bakar, jangan takut dan khawatir sesungguhnya Allah bersama kita,” ujarnya mantap.

Menurut Sopian Muhammad, melalui bukunya Manajemen Cinta Sang Nabi, dalam peristiwa Gua Tsur, Rasulullah mengajarkan optimisme dalam berbagai situasi. Sesulit apa pun kondisi yang dihadapi, seorang Muslim seharusnya optimistis. Tanpa sikap ini, cobaan kehidupan akan mengempaskan Muslim ke dalam keputusasaan.

Dalam Islam, optimisme menyertai kebenaran sebab merupakan bagian dari perilaku orang beriman. Allah mengingatkan Muslim agar tak bersikap lemah dan bersedih hati karena Muslim merupakan orang-orang yang paling tinggi derajatnya, tentu jika mereka memang benar-benar orang beriman.

Bagi orang beriman, bersikap optimistis merupakan wujud keyakinan kepada Tuhannya. Apalagi, Allah mengatakan Dia adalah sebaik penolong dan pelindung. Lebih jauh, Amr Khaled, mubalig dan motivator ternama asal Mesir mengatakan, Allah mengingatkan umat-Nya tak ada yang berputus asa dari rahmat-Nya, kecuali orang kafir.

Optimisme mestinya tertanam dalam lubuk hati paling dalam setiap Muslim. Jangan sampai terhapus meski kiamat datang pada saat itu juga. “Bila hari kiamat tiba dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat tunas pohon kurma, tanamlah,” kata Rasulullah yang terangkum dalam hadis riwayat Ahmad.

Amr Khaled menjelaskan menge nai pernyataan Rasul dalam hadis itu pada bukunya, Buku Pintar Akhlak. Ia mengatakan, tanamkanlah tunas-tunas kebaikan walaupun harapan adanya buah tidak akan terlihat. Yang diminta Allah adalah usaha se orang Muslim, sisanya serahkan kepada-Nya.

Dengan demikian, sikap putus asa yang membuat seseorang akhir nya tak memperhatikan persoalan Islam dan kehidupannya sangat berbahaya. Mestinya, urai Khaled, tak sampai terucap, “Aku sudah lelah dan tak peduli lagi.” Yang diharap dari Muslim adalah pernyataan sebaliknya.

“Aku lelah namun akan tetap berusaha. Aku sedih tetapi harus tetap bekerja. Aku menangis namun harus tetap berbuat.” Khaled mengisahkan bagaimana Rasul terus memompakan semangat dan optimisme pada para sahabatnya, contohnya menjelang terjadinya Perang Khandaq.

Tatkala menggali parit dan Muslim sudah kelelahan, terlihat batu yang keras. Di tengah keletihan dan didera kekhawatiran atas kepungan pasukan musuh, mereka melaporkan hal itu kepada Rasul. Setelah mendengar laporan, pemimpin umat itu menuju lokasi dan memukul batu tersebut hingga terlihat percikan api.

Dalam kondisi kritis semacam itu, Muhammad berseru, “Allahu Akbar, Romawi pasti dikuasai …’’ Para sahabat memandang satu sama lain. “Romawi pasti dikuasai?” Muhammad kembali memukul batu keras itu dan berkata, “Allahu Akbar, Persia pasti dikuasai.” Pada pukulan ketiga, batu itu pecah. Nabi menyalakan optimisme umat.

Menurut Khaled, optimisme berarti berpikir positif, yaitu percaya kepada Allah dan diri sendiri. Jika sikap ini berkembang dalam setiap diri, Muslim akan selalu berbaik sangka kepada Tuhannya, lalu bergerak berusaha mencapai apa yang dicita-citakan hingga akhirnya terwujud.