Ratu Elizabeth Keturunan Nabi?

Jika tetap dipaksakan bahwa Ratu Elizabeth memiliki hubungan darah atau ada keturunan Nabi Muhammad, maka hubungan itu pada dasarnya tidak memiliki makna

PADA hari Kamis 8 September 2022, Ratu Elizabeth II meninggal dunia (“Queen Elizabeth,” 2022). Kematian ratu yang bertahta selama 70 tahun ini rupanya membuat isu tentang silsilah nasabnya yang dikatakan bersambung kepada Nabi Muhammad kembali viral (“Ini garis silsilah,” 2022).

Isu yang juga pernah viral di tahun 2018 itu pertama kali dikemukakan pada tahun 1980-an oleh Harold Brooks-Baker yang menerbitkan panduan silsilah kerajaan. Brooks-Baker, bagaimanapun, merupakan “figur kontroversial yang dikenal suka membuat pernyataan-pernyataan meragukan yang sering dibantah oleh kerajaan Inggris” (Maza, 2018).

Tulisan ringkas kali ini hendak membincangkan klaim tersebut, apakah ia dapat dibenarkan atau tidak.

Secara ringkas silsilah itu memperlihatkan garis keturunan Elizabeth II yang bersambung dengan keluarga kerajaan Castile di Spanyol. Salah satu Raja Castile menikah dengan – atau menjadikan sebagai selir – Zaida yang diklaim sebagai puteri al-Mu’tamid ibn Abbad, Raja Seville di Andalusia pada penghujung abad ke-11.

Nasab al-Mu’tamid disebutkan bersambung kepada Naim al-Lakhmi yang beribukan Zahra binti Husain bin Hasan; yang terakhir ini merupakan putera dari Ali dan Fatimah binti Rasulillah saw.

Ibn Khallikan (1868, III/183) tidak menyinggung nama ibu Naim al-Lakhmi. Namun dari jalur ayah, ia merupakan keturunan al-Nu’man ibn al-Mundzir, raja terakhir al-Hirah.

Klaim bahwa Ratu Elizabeth adalah keturunan Nabi Muhammad memiliki beberapa masalah mendasar jika dilihat dari sudut pandang Islam dan sejarah.

Pertama, jalur keturunan Elizabeth dikatakan bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ  melalui sejumlah lelaki dan juga perempuan. Jalur yang menyebut nama-nama Muslim disambungkan lewat perempuan setidaknya dua kali. Yang pertama dari Zahra binti Husain dan yang kedua dari Zaida.

Keturunan Nabi Muhammad ﷺmemang bersambung melalui puterinya Fatimah radhiallahu anha. Namun selepas Fatimah, seluruh keturunan beliau dicatat melalui jalur anak lelaki, sebagaimana nasab di dalam Islam memang diambil melalui jalur lelaki dan bukan perempuan.

Penisbatan melalui Fatimah merupakan kekhususan karena Rasulullah ﷺtidak memiliki anak lelaki yang hidup hingga dewasa dan memiliki keturunan. Karena itu, keturunan beliau bersambung melalui al-Hasan dan al-Husain yang merupakan putera-putera Fatimah.

Hal ini disebutkan di dalam sebuah hadith riwayat Abu Dawud dengan isnad hasan. Di dalam hadits itu Rasulullah bersabda, “Al-Mahdi adalah dari keturunanku (min ‘itratī) dari putera Fatimah” (Abu Dawud, 2008, IV/508; hadits no. 4284).

Singkatnya, penisbatan nasab Elizabeth kepada Nabi mengambil sistem yang sepenuhnya berbeda dengan pencatatan nasab di dalam agama Islam. Jalur keturunan itu tidak hanya terhubung melalui laki-laki saja, tetapi juga melalui sejumlah perempuan.

Kedua, status Zaida sebagai anak al-Mu’tamid diperselisihkan dan diragukan oleh sejarawan modern. Klaim ini berasal dari sumber Kristen dan tidak ada sama sekali di dalam catatan sejarawan Muslim.

Bernhard dan Ellen M. Wishaw yang menerbitkan karya sejarahnya tentang Spanyol pertama kali pada tahun 1912 menguatkan pandangan bahwa Zaida adalah puteri al-Mu‘tamid. Kedua penulis ini merujuk dan mendiskusikan secara kritis Cronica General yang merupakan salah satu sumber awal dalam kaitan sejarah ini.

Menurut kedua penulis ini, Zaida diambil oleh Alfonso VI sebagai istri dan bukan sebagai selir. Ia memiliki satu anak lelaki bernama Sancho dari pernikahan ini – satu-satunya anak lelaki Alfonso VI – yang gugur di Pertempuran Ucles pada tahun 1108 (Bernhard & Wishaw, 2022, 255-257).  

Namun, sebagaimana ditulis di awal penjelasannya, “kisah-kisah yang diberikan dalam Cronica general sangat membingungkan dalam kronologinya dan sulit untuk didamaikan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan Motamid [al-Mu‘tamid] seperti yang diceritakan oleh para sejarawan Arab” (Bernhard & Wishaw, 2022, 253).

Pernikahan Alfonso VI dengan Zaida sebagai puteri al-Mu‘tamid “tidak disebutkan oleh penulis Arab manapun”. Pernikahan itu diperkirakan terjadi pada tahun 1097, jauh selepas jatuhnya al-Mu‘tamid dari kekuasaannya pada tahun 1091.

Zaida dikatakan masuk Kristen pada waktu pernikahannya dan berganti nama menjadi Isabel, sementara Alfonso memiliki istri lain yang juga bernama Isabel, sehingga menambah kebingungan bagi mereka yang mengikuti narasi ini (Bernhard & Wishaw, 2022, 254-255). Pada akhirnya, yang dilakukan oleh kedua penulis ini adalah membuat terkaan (conjecture) yang paling masuk akal terhadap sejumlah kontradiksi yang ada.

Beberapa sejarawan Barat lainnya menolak anggapan yang menyatakan bahwa Zaida adalah puteri al-Mu‘tamid.  Bernard Reilly (1993, 98) menyebut Zaida sebagai (mantan) menantu al-Mu‘tamid.

Simon Barton (2015, 127) juga berpandangan bahwa Zaida adalah menantu al-Mu‘tamid, istri dari al-Fath al-Ma’mūn. Ia diungsikan ke daerah lain saat suaminya menghadapi kepungan pasukan Almoravid (al-Murābiṭūn) pada tahun 1091. Zaida menjadi istri Alfonso VI beberapa waktu setelah kematian suaminya.

Pada tahun 1091 (484H) itu, al-Fatḥ al-Ma’mūn memimpin kota Cordova yang dikepung oleh pasukan Yusuf ibn Tashfin, sementara saudaranya Yazīd al-Rāḍī menghadapi kepungan Almoravid di kota Rhonda (al-Marrākushī, 1983, IV/144).

Keduanya kalah dan kemudian dieksekusi. Selain mereka berdua, al-Mu‘tamid memiliki dua putera lainnya, yaitu Ubayd Allah al-Rashīd dan al-Mu’tamin.

Ibn Khallikan (1868, III/188-195) tidak menyebutkan ada berapa jumlah puteri al-Mu‘tamid dan siapa nama-nama mereka. Namun, sama sekali tidak ada indikasi bahwa ada puteri raja terakhir Bani Abbad ini yang menjadi istri Alfonso.

Al-Mu‘tamid dipenjara seumur hidup di Aghamat, Maroko. Puteri-puterinya digambarkan hidup susah sebagai pemintal.

Pada satu kesempatan di hari raya mereka menjenguk sang ayah di penjara. Al-Mu‘tamid yang terkenal pandai bersyair menatap puteri-puterinya itu dan bersenandung sedih:

Di masa lalu perayaan membuatmu bersukacita; tapi sekarang, seorang tahanan di Aghamat, sebuah perayaan menimpamu.

Engkau melihat putri-putrimu lapar dan compang-camping, memintal demi upah dan tanpa uang sepeser pun.

Mereka pergi untuk memberi hormat kepadamu, dengan mata tertunduk dan patah hati; mereka berjalan tanpa alas kaki di lumpur, seolah-olah mereka tidak pernah menginjak (lantai yang dipenuhi) wewangian dan kapur barus.

Bukan pipi (milik mereka) tetapi permukaannya mengeluh kekeringan (kesengsaraan), dan tidak pernah disiram melainkan dengan isak tangis (dan air mata).

Keberuntungan pernah patuh pada perintahmu; sekarang telah mengurangimu hingga tunduk pada perintah orang lain.

Dia yang, setelah engkau, hidup bersukacita dalam pameran kekuasaan, hidup dalam khayalan mimpi belaka.

Nama dan karakteristik Zaida sepenuhnya absen dari narasi dan puisi tersebut.

Ketiga, kalaupun tetap hendak dipaksakan bahwa Ratu Elizabeth memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad, maka hubungan itu pada dasarnya tidak memiliki makna. Lebih dari separuh nama-nama di dalam jalur keturunan itu bukan Muslim dan bukan merupakan pengikut Nabi Muhammad ﷺ, sehingga kalau memang ada hubungan darah pun maka tetap tidak memberi manfaat dan tidak dapat dianggap sebagai bagian dari keluarga beliau, Nabi ﷺ.

Ini seperti keadaan putera Nabi Nuh alaihis salam yang menolak ikut naik ke bahtera ayahnya, sehingga Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (QS 11: 46).

Imam al-Qurthubi (2006, tt., IX/107) menyebutkan di dalam tafsirnya tentang ayat ini bahwa menurut jumhur ulama anak itu “bukan termasuk golongan agamamu.” Sementara al-Thabari (2007, XVI/68-69), walaupun mengutip juga pendapat yang menyatakan anak itu bukan anak Nabi Nuh secara nasab, tetapi ia cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa ia benar-benar putera Nabi Nuh tetapi tidak masuk golongan yang selamat disebabkan pelanggaran agama dan kekafirannya.

Di dalam satu hadits Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menganggap seseorang keluar dari golongannya jika orang itu menjadi penyebab terjadinya fitnah, walaupun nasabnya bersambung kepada beliau.

Di dalam hadits itu Nabi menyebut tentang fitnah al-sarrā’ yang muncul “dari bawah kedua kaki seorang lelaki dari ahli bait-ku (min taḥti qadamay rajulin min ahli baytī), ia mengaku sebagai bagian dariku, padahal ia bukan bagian dariku (yaz‘umu annahu minni, wa laysa minni) …. (Ibn Ḥanbal, X/309; hadis no. 6168).

Di bawah ini kutipan lengkap hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya;

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ، فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ ، فَقَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ ؟ قَالَ : ” هِيَ هَرَبٌ وَحَرْبٌ ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ ، دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي ، وَلَيْسَ مِنِّي ، وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ ، لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً ، فَإِذَا قِيلَ : انْقَضَتْ ، تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ ، فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ ، وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ ، فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ ، مِنْ يَوْمِهِ ، أَوْ مِنْ غَدِهِ ”

Dari ‘Umair ibn Hani Al ‘Ansiy. Ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ. Beliau memberikan peringatan tentang fitnah-fitnah (ujian besar di akhir zaman) yang banyak bermunculan, sampai beliau menyebutkan Fitnah Ahlas. Seseorang bertanya : “Wahai Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah Ahlas? Beliau menjawab :  “Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian Fitnah Sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam prilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kaki seseorang dari Ahli Bait-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa. Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari men­jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.”

Sebuah artikel mengutip pendapat Syaikh Ali bin Muhammad al-Qari yang menerangkan tentang hadits di atas bahwa orang itu dari sisi nasab bersambung kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya ia bukan bagian dari keluarga Nabi disebabkan peranannya di dalam fitnah.

Demikian pula dikutip pendapat Ibn Athaillah al-Sakandari yang menerangkan bahwa Salman al-Farisi disebut oleh Nabi sebagai bagian dari Ahlul Bait, walaupun ia seorang Persia, disebabkan ia mengikuti jejak Nabi. Begitu pula sebaliknya, “walaupun keluarga Rasul, jika tidak patuh ajaran Nabi, ia bisa terputus mata rantai kekeluargaan dengan Rasulullah ﷺ. (Ahmad Mundzir, 2018).

Ini bagi mereka yang nasabnya jelas bersambung dengan Nabi Muhammad ﷺ. Bagaimana lagi dengan orang yang silsilahnya dipertanyakan?*/Kuala Lumpur, 13 Safar 1444/10 September 2022

Penulis adalah staf pengajar di Departemen Sejarah dan Peradaban, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Daftar Pustaka

Oleh: Dr: Alwi Alatas

HIDAYATULLAH

Benarkah Ratu Elizabeth II Keturunan dari Nabi?

LAMAN berita Observer pada Bulan Maret 2017 merilis sebuah artikel dari Persatuan Pers Internasional yang dikeluarkan pada tahun 1986. Isinya menerangkan bahwa Ratu Elizabeth II, merupakan keturunan ke-43 dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Berita ini pun kemudian diterjemahkan dan dipublikasikan juga di laman nasional republika.co.id pada tanggal 5 Desember 2017.

Rilis ini didasarkan pada catatan silsilah keluarga kerajaan yang diterbitkan oleh Burke Peerage (BP). BP sendiri telah menerbitkan catatan geneologi silsilah keluarga kerajaan yang otoritatif selama lebih dari 190 tahun. Keterangan tersebut bermula saat Harold Brooks-Baker, Direktur Penerbit Burke saat itu, menulis untuk Perdana Menteri Margaret Thatcher agar memberikan keamanan yang lebih baik untuk keluarga kerajaan. Ia mengatakan bahwa keturunan keluarga kerajaan yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassallam tidak dapat diandalkan untuk selamanya melindungi keluarga kerajaan dari “teroris Islam”.

Brooks-Baker mengatakan bahwa Keluarga Kerajaan Inggris merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad melalui Raja-Raja Arab yang pernah menguasai Sevilla. Melalui pernikahan, darah mereka mengalir ke Raja-Raja Eropa seperti Portugal dan Castilla sampai ke Raja Edward IV pada abad 15.

Kemudian disebutkan bahwa “Kekhalifahan Bani Umayyah, Khalifah Arab yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad, memerintah lebih dari 15 Juta km persegi dari Kaukakus (Eurasia) sampai ke Semenanjung Iberia. Khilafah Bani Umayyah kemudian jatuh setelah Revolusi Abbasiyah (661-750 M). Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh Abu al-Qasim Muhammad Ibn Abbad yang diklaim oleh sejarawan sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam melalui Fatimah.

Dari al-Qasim inilah, para sejarawan Barat mempercayai Ratu Elizabeth memiliki darah dari Nabi. Al-Qasim menguasai Sevilla hingga wafat pada tahun 1042. Cucunya, al-Mu’tamid menguasai Cordoba pada 1071 sekaligus menjadi pemimpin terakhir Abbasiyah. Tahun 1091, Abbasiyah jatuh ke tangan Dinasti Murabithun dan putri al-Qasim yang bernama Zaida melarikan diri ke Istana Raja Alfonso VI, Raja Leon, Castilla dan Garcia. Ia kemudian masuk Agama Katolik, berganti nama menjadi Isabella, dan menikah dengan Alfonso. Dari Zaida ini lah kemudian lahir keturunan yang menikah dengan putra Raja Edward III dari Inggris dan dari keturunannya lah lahir Ratu Elizabeth.”

Empat Kekeliruan Fatal

Banyak kekeliruan dalam penjelasan di atas. Kesalahan pertama, setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasydin, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan terakhir Hasan bin Ali. Kemudian Muawiyyah membentuk Khilafah Umayyah. Baru pada tahun 750 M, Khilafah Umayyah jatuh dan digantikan oleh Khilafah Abbasiyyah.

Kesalahan kedua,  Observer menyamakan Dinasti Abbasiyyah dengan Dinasti Bani Abbad. Padahal  Abbasiyah dan Bani Abbad adalah dua dinasti yang berbeda.

Pendiri Khilafah Abbasiyyah adalah Abdullah as-Saffah bin Muhammad, keturunan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sementara Abu al-Qasim Muhammad bin Abbad adalah penguasa Sevilla dari Bani Abbad pada masa Thawaif, yaitu masa setelah Bani Umayyah tidak lagi berkuasa di Andalus.

Bani Abbad sendiri tidak pernah menjadi kerajaan besar seperti halnya Khilafah Umayyah atau Khilafah Abbasiyyah.

Kesalahan ketiga,  berkaitan dengan Zaida yang disebut sebagai putri dari al-Qasim. Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam  Qishotul Andalusi: min al-Fath ila as-Suquth, justru menyebutkan bahwa Zaida adalah seorang budak yang dinikahi oleh al-Ma’mun, anak al-Mu’tamid. Ia membelot dan menikahi Alfonso VI setelah Sevilla dikuasai Murabhitun. Ini berarti Zaida bukan keturunan asli Bani Abbad, apalagi keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tidak mungkin ada yang berani memperbudak keluarga Rasulullah sementara masih banyak ulama dan ahli nasab di zaman tersebut.

Dalam rilis tersebut juga disebutkan silsilah lengkap Ratu Elizabeth hingga ke Hasan bin Ali karena Zaida memiliki nasab yang tersambung hingga ke Zahra binti Husain bin Hasan bin Ali. Klaim ini juga bermasalah.

Selain status Zaida yang sudah dijelaskan sebelumnya, Prof. Dr. Raghib as-Sirjani juga menuliskan bahwa Bani Abbad berasal dari keturunan Suku Lakhm (yaitu Athaf bin Nu’aim yang disebut kakek dari seluruh Bani Abbad). Tidak diceritakan adanya hubungan pernikahan antara suku Lakhm dengan anak keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang disebutkan dalam artikel bernama Zahra binti Husain.

Seandainya memang ada hubungan ini, pastilah akan dituliskan karena ini merupakan peristiwa penting dalam hubungan nasab. Asep Sobari, Peneliti Insists dan pendiri Sirah Community Indonesia (SCI), menyebutkan bahwa berdasarkan pendapat terkuat ahli nasab, dari 19 anak Hasan bin Ali, hanya 3 yang memiliki keturunan yaitu al-Hasan (al-Mutsanna) bin al-Hasan, Zayd bin al-Hasan, dan Umm Abdillah binti al-Hasan.

Sebagian ahli nasab lain yang meyakini al-Husain bin al-Hasan memiliki keturunan sekalipun tidak menyebut nama az-Zahra sebagai anak perempuannya.

Terakhir, Burke Peerage sebagai penerbit ternyata memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Independent dari Inggris mengutip pernyataan Antony Camp, Direktur Komunitas Geneologis, yang mengkritisi terbitan Burke Peerage.

Ia mengatakan “The World Book of Surname” hanyalah daftar alamat yang diambil dari daftar pemilihan umum, biasanya sudah kadaluarsa. Harold Brooks-Baker juga memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Berita Telegraph dari Inggris, menulis tentangnya sebagai seorang jurnalis yang sering salah. The Guardian pun menyebutnya sebagai seorang yang sok tahu.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim tersebut masih simpang-siur alias kurang dapat dipercaya. Selain banyaknya kesalahan pada data yang disajikan, Burke Peerage dan direkturnya saat itu, Harold Brooks-Baker sendiri memiliki reputasi yang kurang baik. Wallahu ‘alam.* 

 

Oleh: Adi Zulfikar, Penulis Pegiat Sirah Community Indonesia

HIDAYATULLAH

 

Benarkah Ratu Elizabeth II Keturunan Nabi Muhammad SAW?

Sebuah studi pada 1986 dari Burke Peerage, salah satu penerbit silsilah terbaik di dunia, menunjukkan bahwa pemimpin Kerajaan Inggris Ratu Elizabeth II merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Ratu Elizabeth merupakan keturunan ke-43 dari Nabi Muhammad SAW.

Burke Peerage telah menerbitkan catatan silsilah kerajaan keluarga secara historis selama lebih dari 190 tahun. Ratu Elizabeth diklaim oleh beberapa sejarawan sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Meskipun sulit dicerna, namun dari sisi genealogis hal ini masuk dalam akal sehat.

Berikut merupakan rilis pers oleh Persatuan Pers Internasional seperti dilansir dalam laman Observer.

“Persatuan Pers Internasional
10 Oktober 1986
Muslim di Istana Buckingham

Selain campuran darah biru yang dimiliki oleh Ratu Elizabeth, terdapat darah Islam dari Nabi Muhammad SAW, seperti dalam Burke’s Peerage, panduan geneologis untuk keturunan kerajaan. Hubungan darah tersebut muncul saat Harold B Brooks-Baker, direktur penerbit Burke, menulis untuk Perdana Menteri Margaret Thatcher agar memberikan keamanan yang lebih baik untuk keluarga kerajaan.

“Keturunan langsung keluarga kerajaan dari Nabi Muhammad tidak dapat diandalkan untuk selamanya melindungi keluarga kerajaan dari teroris Islam,” katanya. Menyadari hubungan yang akan mengejutkan banyak orang, dia menambahkan, “Tidak banyak orang Inggris yang tahu darah Muhammad mengalir di tubuh Ratu. Namun, semua pemimpin agama Islam bangga dengan fakta ini.”

Brooks-Baker mengatakan, bahwa darah Nabi Muhammad SAW mengalir ke keluarga kerajaan Inggris melalui raja-raja Arab di Seville yang pernah memerintah Spanyol. Dengan menikah, darah mereka mengalir ke raja-raja Eropa seperti Postugal dan Castille dan melalui merekalah darah tersebut sampai ke Raja Edward IV pada abad ke 15.”

Latar Belakang Hubungan Darah

Kekhalifahan Umayyah merupakan khalifah Arab yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Khalifah tersebut memiliki kekuatan yang sangat besar dimana puncaknya mereka memerintah di lebih dari 15 juta kilometer persegi dari Kaukasus (Eurasia) ke Semenanjung Iberia (Muslim Spanyol, Portugal, Andorra dan Gibraltar). Saat itu merupakan kerajaan terbesar kelima dalam sejarah, dimana mereka mengatur sekitar 62 juta orang atau 29 persen populasi dunia.

Ibukota Iberia Muslim atau Andalusia yang berjaya pada tahun 756 hingga 929 saat ini adalah Cordoba di Spanyol. Cordoba menjadi pusat budaya dan intelektual bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dimana kemajuan dalam bidang sains, sejarah, geografi, astronomi dan matematika terjadi di sana. Bukanlah hal biasa terjadi dalam periode ini untuk perkawinan antaragama antara Muslim, Kristen, dan Yahudi.

Jatuhnya kekhalifahan Umayyah terjadi setelah Revolusi Abbasiyah antara tahun 661 hingga 750. Abbasiyah adalah sebuah dinasti yang dibentuk oleh Abu al-Qasim Muhammad ibn Abbad, yang diklaim sejarawan sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW melalui anak perempuan nabi, Fatimah.

Melalui garis keturunan Al-Qasim inilah sejarawan percaya bahwa Ratu Elizabeth memiliki darah nabi sebagai latar belakangnya. Al-Qasim menjadi penguasa Sevilla, sebuah wilayah muslim Spanyol dan memerintah hingga wafat pada tahun 1042. Setelah itu, cucunya Muhammad Al-Mu’tamid menguasai Cordoba pada 1071. Dia menjadi pemimpin terakhir Abbasiyah.

Pada tahun 1091, kerajaan Abbasiyah jatuh ke tangan dinasti Almoravid, sebuah dinasti kekaisaran Berber dari Morrocco. Berber adalah kelompok etnis yang berasal dari Afrika Utara.

Al-Qasim memiliki seorang putri bernama Zaida. Dia menjadi pengungsi Muslim yang melarikan diri ke istana Raja Alfonso VI, Raja Spanyol Leon, Castille dan Galicia, selama serangan yang terjadi oleh Almoravid pada kerajaan Abbasiyah.

Kemudian Zaida masuk agama Katolik Roma dan menikah dengan Raja Alfonso VI. Dia berganti nama menjadi Isabella setelah dia dibaptis. Dari pernikahannya, mereka memiliki tiga anak yang akhirnya memiliki lebih banyak keturunan.

Dua abad kemudian, pada 1352, keturunan Raja Alfonso dan Zaida, Maria de Padilla memiliki anak dengan Raja Peter dari Castille. Keduanya memiliki empat anak, dua diantaranya menikah dengan putra Raja Edward III dari Inggris.

Generasi setelahnya, Ratu Elizabeth lahir dan memiliki royalti penuh atas pencampuran keturunan dari peradaban Barat dan Timur.

Berikut merupakan silsilah lengkap dari Nabi Muhammad SAW hingga Ratu Elizabeth II:

Elizabeth II, Queen of the UK anak perempuan dari
George VI, King of the UK anak laki-laki dari
George V, King of the UK anak laki-laki dari
Edward VII, King of the UK anak laki-laki dari
Victoria, Queen of the UK anak perempuan dari
Edward, Duke of Kent and Strathearn anak laki-laki dari
George III, King of Great Britain anak laki-laki dari
Frederick, Prince of Wales anak laki-laki dari
George II, King of Great Britain anak laki-laki dari
George I, King of Great Britain anak laki-laki dari
Sophia, Electress of Hanover anak perempuan dari
Elizabeth of Bohemia anak perempuan dari
James I/VI, King of England, Ireland & Scotland anak laki-laki dari
Mary, Queen of Scots anak perempuan dari
James V, King of Scots anak laki-laki dari
Margaret Tudor anak perempuan dari
Elizabeth of York anak perempuan dari
Edward IV, King of England anak laki-laki dari
Richard Plantagenet, Duke of York anak laki-laki dari
Richard of Conisburgh, Earl of Cambridge anak laki-laki dari
Isabella Perez of Castille anak perempuan dari
Maria Juana de Padilla anak perempuan dari
Maria Fernandez de Henestrosa anak perempuan dari
Aldonza Ramirez de Cifontes anak perempuan dari
Aldonza Gonsalez Giron anak perempuan dari
Sancha Rodriguez de Lara anak perempuan dari
Rodrigo Rodriguez de Lara anak laki-laki dari
Sancha Alfonsez, Infanta of Castile anak perempuan dari
Zaida (aka Isabella) anak perempuan dari
Al-Mutamid ibn Abbad, King of Seville anak laki-laki dari
Abbad II al-Mutadid, King of Seville anak laki-laki dari
Abu al-Qasim Muhammad ibn Abbad, King of Seville anak laki-laki dari
Ismail ibn Qarais anak laki-laki dari
Qarais ibn Abbad anak laki-laki dari
Abbad ibn Amr anak laki-laki dari
Amr ibn Aslan anak laki-laki dari
Aslan ibn Amr anak laki-laki dari
Amr ibn Itlaf anak laki-laki dari
Itlaf ibn Naim anak laki-laki dari
Naim II al-Lakhmi anak laki-laki dari
Naim al-Lakhmi anak laki-laki dari
Zahra bint Husayn anak perempuan dari
Husayn ibn Hasan anak laki-laki dari
Hasan ibn Ali anak laki-laki dari
Fatimah bint Muhammad anak perempuan dari
Nabi Muhammad SAW