Akidah, Syariah dan Akhlak, Sebagai Cara Pandang Kehidupan

Kesepaduan akidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid)

PANDANGAN kehidupan adalah hal yang sangat penting untuk menentukan jalan kehidupan. Tidak hanya menentukan, namun pandangan kehidupan akan memberi kesadaran yang menjalaninya dengan penuh hikmah.

Bagaimanakah yang sekiranya patut dan layak untuk dijadikan penuntun kehidupan? Mari sejenak kita menelaah uraian ini.

Dalam Islam, kita mengenal konsep akidah, syariat dan akhlaq ketiga elemen ini adalah sebuah kesepaduan tak terpisahkan, semuanya saling tertaut dan menautkan. Jika menginsyafi tiga dasar ini, sesungguhnya Islam sedang menawarkan sebuah konsepsi kehidupan holistik kepada seluruh manusia.

Dalam sisi akidah, aqidah mempunyai makna “ikatan”, ikatan yang sangat kuat, ikatan yang secara fitrah mengikat setiap manusia. Ikatan apa?

Yaitu ikatan manusia dengan Tuhannya. Karena setiap manusia secara absolut pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb. Menelaah lebih dalam mengenai aqidah, hal ini menyasar bagian sangat mendalam yaitu hati (qalb) dan perasaan jiwa (nafs) yang sangat kuat yaitu keyakinan (yaqin).

Untuk menegakkan akidah dalam hati (qalb) dan menguatkan keyakinan dalam jiwa (nafs) cukup sederhana, yaitu mengakui secara jujur dalam hati yang tulus bahwa kita manusia terlahir secara fitrah (suci/bersih).

Fitrah yang seperti apa? Yaitu kebersihan ruh dan jasad karena kita pernah mengakui pengakuan agung bahwa Allah sebagai Rabb (Q.S. al-‘Araf: 172) kejadian ini disebut dengan mitsaq.

Setelah bersaksi Allah sebagai Rabb, maka ketika manusia terlahir di dunia kemudian beranjak ‘aqil baligh persaksian selanjutnya adalah bersaksi bahwa Allah sebagai ilah (sesembahan) dan tiada yang patut disembah kecuali Dia (Allah) serta mendeklarasikan diri bahwa Nabi Muhammad utusan Allah dengan bersyahadat dan ini sekaligus sebagai identitas diri pembeda antara Muslim dengan manusia umum lainnya.

Syahadat diartikan sebagai persaksian, persaksian yang bagaimana?, apakah bersaksi dengan mata (‘ayn) secara lahir?, tentunya bukan, melainkan mata batin (‘aynul yaqin). Mata batin inilah yang menjadi pandangan utama dalam kehidupan seorang muslim untuk menempuh jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Dengan memenuhi syahadat yang diuraikan di atas, maka idealnya dalam Islam, para ulama bahkan mengartikan syahadat sebagai suatu amalan hati dan tubuh, jiwa dan raga, yang tanpa keduanya maka syahadatnya tidak sah.

Maka mengucapkan syahadat tidak bisa main main harus dengan penuh kesadaran, ketulusan, keikhlasan, dan dengan pemahaman serta pengetahuan yang benar. Sebab, sekali mengatakan Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah maka ia terikat dengan rukun rukun setelahnya, yaitu shalat, puasa, zakat, haji dan ini semuanya adalah syariat yang paling utama bagi seorang muslim.

Dalam sisi syariat, jika menelaah arti dari syariat dapat diterjemahkan bebas dengan kata “jalan”. Jalan sini adalah setelah kita dihidangkan oleh Islam dengan konsep aqidah, maka selanjutnya Islam menawarkan sebuah jalan tuntunan yang adil (‘adl), seimbang serta proporsional dalam menjalani kehidupan yaitu dengan syariat.

Mengapa penulis mengatakan adil dan proporsional? Karena memang pada kenyataannya syariat yang ditawarkan Islam kepada manusia selalu seimbang dalam masalah urusan dunia (muamalah duniawiyah) dan urusan akhirat (ukhrowiyyah) terjalin menjadi dua hubungan erat hubungan dengan manusia (hablum minannas) dan Allah (hablum minallah) kedua hubungan ini pun saling terikat dan mengikat.

Maqasid Syariah

Lebih dalam mengenai syariat, untuk menegaskan ini para ulama merumus kan lima rumusan, tujuan dari syariat Islam (maqasid syariah);

Pertama, syariat untuk menjaga agama (Islam) dalam bahasa arab dapat disebut hifdzud diin, menjaga agama dengan menanamkan rasa iman dan ihsan dalam diri, ini disyariatkan dengan kewajiban bersyahadat dan mendirikan shalat, karena sholat adalah tiang utama agama.

Kedua, syariat mempunyai fungsi untuk jiwa manusia, tuntunan yang ditetapkan dalam syariat yaitu untuk menjaga diri setiap manusia agar tetap istiqomah (konsisten) dalam kebaikan di ranah lahir maupun batin. Salah satu contoh dalam dimensi lahir adalah memakan makanan yang halal dan baik (thoyyib) serta merawat diri dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, dalam dimensi batin syariat melarang untuk menggunjing, memfitnah, berbohong-membohongi, menebar aib dan lain sebagainya, disebutkan dalam bahasa lain hifdzun nafs.

Ketiga, syariat pun mempunyai andil dalam menjaga akal manusia, agar akal manusia itu sehat serta jernih pikirannya. Sebagai contoh, yaitu mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menuntut Ilmu agar menjaga akalnya dari kebodohan (al-jahl) dan menuntut dirinya menjadi seorang yang adil dan baik. Ini disebut dengan hifzul ‘aql.

Keempat, syariat bertujuan untuk menjaga keturunan agar eksistensi manusia teratur dan terarah serta tidak menimbulkan kekacauan maka syariat mengambil andil di dalamnya salah satunya dengan menentukan hukum pernikahan (an-nikah), ini diungkapkan dengan hifdzun nasl.

Dan kelima, syariat ditetapkan bertujuan untuk menjaga harta agar terjaga dan terbagi rata sesuai haknya, maka syariat menerapkan hukum zakat, infaq dan shodaqoh, Ini diungkapkan dengan hifdzul maal.

Uraian lima ini jika diresapi dengan jernih, akan mengungkapkan kesepaduan Islam dalam sisi agama dan kemanusiaan, yang mana fungsi Islam bukan sekadar amalan privat namun menyentuh ranah keberlangsungan hidup manusia yang baik secara kolektif. Dalam ungkapan lain, kebaikan seorang muslim bukan untuk sendiri melainkan diaplikasikan kepada sesama manusia dengan perilaku atau akhlak.

Elemen yang ketiga adalah akhlaq. Secara etimologis (lughatan) akhlaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

Berakar dari istilah khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan istilah khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar istilah di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak mencakup pengertian keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dan perilaku makhluk (manusia).

Boleh dikatakan, tata perilaku seorang terhadap orang lain dan lingkungannya, namun ukuran dikatakan mengandung nilai akhlaq yang hakiki, yaitu apabila tindakan, perilaku yang dilakukan didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan) atau sesuai tuntunan aqidah dan syariah.

Dalam hal akhlak, kita sebagai muslim tidak perlu risau dan bingung bagaimana berakhlak, mengapa demikian? Karena Allah telah memberikan contoh manusia terbaik dengan akhlak dan adabnya yang terbaik yaitu Nabi Muhammad ﷺ, bagaimana akhlak kepada Allah, kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup.

Al-Qur’an dan sunnah sebagai standar penilaian akhlak. Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia.

Perbedaannya terletak pada standar masing masing. Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan moral standarnya adat kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat.

Namun jika mencerna keluasan dari konsep akhlak menurut Islam, sesungguhnya ia telah mencakup keseluruhannya dari sisi wahyu (al-Qur’an & as-Sunnah), akal (‘aql) pikiran (fikr) dan semua konsep akhlak yang diejawantahkan Islam pasti bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat secara universal (rahmatan lil ‘alamin).

Apabila diklasifikasi, paling tidak dimensi akhlak menurut Islam dapat diuraikan sebagai berikut;

Pertama, akhlak terhadap Allah SWT yaitu dengan taqwa, cinta-ridho, ikhlas, khauf-raja’, tawakal, syukur, muraqabah dan taubat.

Kedua, akhlak terhadap Rasulullah ﷺ, beberapa contoh amalannya adalah mencintai dan memuliakan Rasul, mengikuti dan menaati Rasul, mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul.

Ketiga, akhlak kepada diri sendiri pribadi dengan menanamkan dalam diri sifat shidiq, amanah, istiqamah, menjaga kesucian diri (iffah), berusaha melawan hawa nafsu (mujahadah),berani (syaja’ah), rendah hati (tawadhu)’, malu (haya’), sabar (shabr), dan pemaaf (‘afwu).

Keempat, akhlak dalam keluarga beberapa nilai utama di dalamnya adalah berbakti kepada orang tua birr al-Walidain, hak kewajiban dan kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, silaturrahim dengan karib kerabat.

Kelima, akhlak bermasyarakat ini dilaksanakan dengan cara, akhlak bertamu dan menerima tamu, hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat, pergaulan muda-mudi, dan ukhuwah Islamiyah.

Keeman, akhlak bernegara yaitu menyelaraskan hubungan antara rakyat dan pemimpin dengan musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, dan menjaga komunikasi hubungan pemimpin yang dipimpin.

Hubungan aqidah dan akhlaq

Aqidah adalah dasar pondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh pondasi yang dibuat.

Kalau pondasinya lemah, maka bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi. Ajaran Islam paling tidak terklasifikasi di dalamnya menjadi aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat, atau aqidah, syari’ah dan akhlak, atau iman, islam dan ihsan, maka aspek ini semua tidak dapat dipisahkan semuanya saling mengikat dan terikat satu sama lain.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak mulia dan bermuamalah dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak dilandasi dengan aqidah.

Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.

Itulah sebabnya kenapa Rasulullah ﷺ selama 13 tahun periode Makkah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah bisa berdiri di periode Madinah dan bangunan itu akan bertahan terus sampai akhir kiamat.

Kesepaduan aqidah, syariah, dan akhlaq jika diakumulasi dan ditanamkan dalam diri, maka akan membentuk  bangunan kokoh dengan pondasi awalnya kesaksiandiri syahadah akan keesaan Tuhan (Tauhid) kemudian membentuk gugusan keyakinan asasi di dalam hati, pikiran dan perasaan seorang Muslim.

Selanjutnya, keyakinan asasi tersebut bersifat sangat operasional untuk kehidupan, karena ditopang oleh akal secara kreatif menempel sifat arsitektonik. Lebih dalam lagi, keyakinan asasi yang rasional tersebut menjadi cara pandang (worldview) untuk memproyeksikan realitas wujud di alam ini (syahadah dan ghoibah).

Dalam tahapan puncak, pada gilirannya berubah menjadi perilaku personal bersifat sosial- ilmiyah-teknologis dan puncaknya menjelma menjadi sistem kehidupan (minhajul hayah) Dan inilah boleh dikatakan sebagai pandangan hidup Islam the worldview of Islam yang patut dan layak dijadikan pandangan hidup.*/ Alvin Qodri Lazuardy

Sumber bacaan:

  • Al-Attas, S. M. N. (2019) Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur, Malaysia: Ta’dib International.
  • Ilyas, Y. (2012) Kuliah Akhlaq. LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
  • Zarkasyi, H. F. (2020) Minhaj Berislam Dari Ritual Hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS-UNIDA.
  • Anton Ismunanto. (2019) Worldview Islam, Ponorogo, Universitas Darussalam Gontor
  • 5 الأنوار, ش. (2020) أصول الفقه دراسة نقدية في آليات اكتشف الأحكام الشرعية. مدرسة المعلمين المحمدية

HIDAYATULLAH