Para Ulama Sepakat Menolak Pemahaman Syiah Imamiyyah

Syiah Imamiyyah adalah Syiah 12 Imam, disebut juga Syiah Rofidhoh. Inilah paham syiah yang menjadi dasar Negara Iran sekarang ini. Dan paham tersebut merupakan paham syiah paling radikal dan ekstrim dibandingkan dengan paham syiah lainnya.

Sungguh di samping paham mereka berpengaruh buruk pada kerukunan umat Islam, dia juga mengancam kesatuan sebuah Negara, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah kelam mereka, semoga Allah menjaga NKRI dari makar mereka, amin.

Oleh karenanya, para ulama Ahlussunnah 4 madzhab menolak keras paham ini, sebagaimana dijelaskan dalam nukilan-nukilan berikut ini:

Pendapat imam pertama, Abu Hanifah (wafat 150 H):

“Madzhab Imam Abu Hanifah: bahwa orang yang mengingkari kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq –rodhiallohu anhu-; maka dia kafir. Begitu pula orang yang mengingkari kekhilafahan Umar bin Khottob –rodhiallohu anhu-…

Masalah ini telah disebutkan dalam kitab-kitabnya (madzhab hanafi), seperti dalam kitab Al-Ghoyah karya Assaruji, kitab Fatawa Zhohiriyyah dan Badi’iyyah, dan kitab Al-Ashl karya Muhammad bin Hasan.

Dan yangg jelas, mereka mengambil keterangan ini dari imam mereka Abu Hanifah –rodhiallohu anhu-, dan beliau adalah orang yang PALING TAHU tentang kelompok syiah, karena beliau adalah penduduk Kufah yang merupakan tempat munculnya paham Rofidhoh” (Oleh: Imam Taqiyyuddin Assubki, dalam kitabnya: Fatawa Subki, 2/587).

Pendapat imam kedua, Malik bin Anas (wafat 179 H):

Imam Malik –rohimahulloh– mengatakan: “Orang yang mencela para sahabat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak memiliki bagian dalam Islam” (Assunnah, karya Abu Bakar bin Khollal, 3/493).

Pendapat imam ketiga, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 204 H) :

Imam Asy Syafi’i –rohimahulloh– mengatakan: “Siapapun yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan seorang imam (kholifah), maka dia adalah seorang yang berpaham Rofidhoh” (Siyaru A’lamin Nubala’, karya: Adz-Dzahabi, 10/31).

Beliau juga mengatakan: “Aku tidak melihat seorang pun dari pengikut paham sesat; lebih pendusta dalam pengakuannya dan lebih pembohong dalam persaksiannya, melebihi kelompok Rofidhoh” (Al Intiqo, karya Ibnu Abdil Bar, hal: 79).

Pendapat imam keempat, Ahmad bin Hambal (wafat 241 H):

Abdulloh putra Imam Ahmad mengatakan: aku pernah bertanya kepada ayahku, siapakah kelompok Rofidhoh itu?, beliau menjawab: “Orang yg mencela dan mengecam Abu Bakar dan Umar”. (Assunnah, karya: Abu Bakar bin Khollal, 3/492).

Abu Bakar al-Marrudzi mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar, dan Aisyah? Maka beliau menjawab: “Aku menganggapnya tidak berada di atas Islam”. (Assunnah, karya: Abu Bakar bin Khollal, 3/493).

Bahkan Imam As Sam’aani –rohimahulloh– (wafat: 562 H) mengatakan: “Umat Islam telah ber-ijma’ SEPAKAT tentang kafirnya Syiah Imamiyyah, karena mereka meyakini sesatnya para sahabat Nabi, mengingkari ijma’nya mereka, dan menyandarkan kepada mereka hal-hal yg tidak pantas bagi mereka” (Al-Ansab, karya: Assam’aani, 6/365).

Semoga bermanfaat, dan menjadi masukan bagi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak lain, agar KESATUAN Indonesia tetap utuh, dan kaum muslimin terjaga akidahnya dengan baik.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/25405-para-ulama-sepakat-menolak-pemahaman-syiah-imamiyyah.html

Mengenal Syiah: Antara Syiah Dan Rafidhah

Seorang muslim selain dituntut untuk mempelajari kebenaran, juga harus mengetahui kebatilan. Di dalam Al Qur’an pun Allah ta’ala selain menjelaskan jalan kebenaran (sabilul mu’minin)1 juga menjelaskan jalan kebatilan (sabilul mujrimin)2. Hal ini menunjukan bahwa seorang muslim harus memahamai kedua hal tersebut. Sebagaimana yang dipahami oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata “dahulu orang orang bertanya kepada Rosulullah Shallalllahu ‘Alaihi Wasallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada nya tentang keburukan, karena takut terjerumus kepadanya”.3

Dan betul apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

عرفت الشرّ لا للشرّ……………. ولكن لتوقّيه

ومن لا يعرف الشرّ……………. من الناس يقع فيه

aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat keburukan, akan tetapi untuk menghindarinya.

Dan barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dari manusia, dia akan terjatuh kedalamnya

Diantara bentuk kebatilan yang sekarang sedang menjadi isu sentral di masyarakat dunia secara umum dan di masayarakat indonesia seara khusus adalah isu syiah. Di indonesia sendiri, mereka sudah membuat keresahan dimana mana. Mereka begitu aktif menyebarkan dan mendakwahkan ajarannya. Baik dengan tulisan, ceramah, gerakan sosial, politik, hingga aksi kekerasan pun mereka lakukan demi melancarkan tujuannya. Berbagai macam teror, intimidasi, keonaran, ancaman dan lainnya sudah mereka lakukan. Kita pun menyaksikan, banyak kaum muslimin yang dangkal akidahnya, sudah terpengaruh oleh ajaran mereka.

Maka menjadi penting bagi umat islam indonesia untuk sedikit banyak mengetahui ajaran ini. Dan di makalah ini –serta makalah makalah selanjutnya insya Allah– akan dibahas secara ringkas tentang syiah, definisi, akidah, sejarah dan hal yang lainnya. Dengan harapan Allah ta’ala menyelamatkan diri kita dari syubhat-syubhat mereka. Dan tetap menjaga diri kita dalam kebenaran ajaran islam yang murni sebagaimana yang dipahami oleh para pendahulu kita.

Siapakah yang dimaksud dengan syiah

Secara bahasa syiah bermakna kelompok, penolong, dan pengikut4. Adapun secara istilah para ulama berbeda beda5 dalam mendefinisikannya.6 Namun bila dicermati kembali, perbedaan tersebut tidak terlepas dari keberadaan ajaran syiah yang terus mengalami perkembangan. Syiah di awal kemunculannya berbeda dengan syiah di jaman jaman setelahnya. Dahulu tidak lah dinamakan syiah kecuali mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib diatas Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, 7dengan tetap mengutamakan Abu Bakar dan Umar bin khatab Radhiyallahu ‘Anhu.8

Namun pada masa perkembangannya syiah mengalami banyak sekali perubahan. Berbagai penyimpangan akidah disusupkan dalam ajaran syiah. Orang orang yang memiliki kebencian dan dendam kesumat kepada umat islam bersembunyi dibalik topeng syiah. Sehingga akhirnya para ulama pun enggan menyebut mereka dengan syiah dan lebih suka menyebut mereka dengan nama Rafidhah.

Definisi Rafidhah dan sebab penamaannya9

Adapun rafidhah secara bahasa bermakna meninggalkan. Adapun secara istilah rafidhah adalah suatu aliran yang menisbatkan dirinya kepada syiah (pengikut) ahlul bait, namun mereka berlepas diri (baro’) dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab, serta seluruh sahabat yang lain kecuali beberapa dari mereka, juga mengkafirkan dan mencela mereka.

Sebagian ulama menyatakan bahwa sebab penamaan Rafidhah adalah karena mereka meninggalkan dan menolak (rofadho) kepemimpinan (imaamah) Abu Bakar dan Umar. Dengan meyakini bahwa kepemimpinan yang seharusnya sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah ditangan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum.

Namun mayoritas ulama menyatakan bahwa penamaan rafidhah bermula pada masa Zaid bin Ali Rahimahullah. Yang mana ketika itu beliau meyakini bahwa Ali lebih utama dibandingkan Utsman. Beliaupun masih memberikan loyalitasnya kepada Abu Bakar dan Umar dan menganggap mereka sebagai manusia terbaik sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun ternyata diantara pengikutnya yang telah berbaiat kepadanya ada sebagian orang yang justru mencela Abu bakar dan Umar. Maka zaid pun langsung menegur dan mengingkari mereka, hingga akhirnya mereka berpecah belah dan meninggalkan Zaid bin Ali. Maka Zaid pun berkata kepada mereka, “kalian telah meninggalkanku” (rofadhtumuunii), maka sejak saat itulah mereka dikenal dengan nama Rafidhah.

Syiah atau Rafidhah?

Berdasarkan penjelasan diatas, bisa kita lihat bahwasanya kata syiah memiliki makna yang positif dan baik, apalagi jika dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, yang bermakna pengikut atau penolong Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Adapun kata Rafidhah berkonotasi negatif. Karena bermakna penolakan terhadap Abu Bakar dan Umar Rodhiyallahu Anhu atau kepada Zaid bin Ali menurut pendapat jumhur. Hal ini lah yang menyebabkan orang orang syiah tidak suka disebut sebagai Rafidhah.10 Mereka menganggap bahwa penamaan ini berasal dari orang orang yang benci dengan ajaran syiah. Meskipun jika melihat keadaan mereka yang sebenarnya penamaan Rafidhah lebih tepat disematkan kepada mereka.

Selain itu juga penamaan syiah kepada mereka akan menimbulkan kerancuan. Sebab syiah sendiri terpecah menjadi berkelompok kelompok, yang diantaranya syiah zaidiyah, yang masih dekat dengan Ahlu Sunnah. Sehingga jika dimutlakan istilah syiah, maka akan mencakup seluruh aliran syiah, termasuk zaidiyah. Belum lagi jika kita melihat syiah diawal kemunculannya. Yang hanya mengedepankan Ali bin Abi Thalib dihadapan Utsman. Penamaan syiah secara mutlak kepada orang orang Rafidhah akan menjadikan munculnya kesalahpahaman sebagian orang. Dengan menganggap orang orang syiah diawal kemunculannya sama dengan orang orang Rafidhah saat ini.

Meskipun memang tidak bisa kita pungkiri, jika melihat realitasnya saat ini, tidaklah disebutkan nama syiah secara mutlak kecuali maknanya akan kembali kepada syiah Rafidhah. Hal tersebut selain karena syiah Rafidhah ajarannya mereprentasikan akidah kelompok syiah yang lainnya secara umum, juga jika melihat sumber ajaran mereka yang disebutkan dalam hadis dan riwayat yang tercantum dalam kitab kitab mereka, telah mencakup ajaran berbagai macam kelompok syiah dalam berbagai kurun waktu dimasa perkembangannya.11

Maka jikapun hendak menggunakan kata syiah, sebaiknya disertai dengan kata yang khusus menunjukan kepada mereka orang orang Rafidhah. Baik menyebutnya dengan syiah Rafidhah, atau syiah imamiyah, atau syiah itsna asyariyah, ataupun syiah ja’fariyah. Yang merupakan nama lain dari syiah Rafidhah.12

Wallahu ‘Alam bis Showab

Bersambung insya Allah….

***

Catatan kaki

1 Lihat An Nisa ayat 115

2 Lihat Al An’am : 55

3 HR. Bukhori : 3606

4 Ushul madzhabis Syiah, Dr. Nashir Al Qifari (Dar Khulafaur Rosyidin, Cet 1; 1433 H) hal. 27

5 Lihat perbedaan para ulama dan krittikannya dalam ushul madhabis Syiah, hal. 35-45

6 Diantara definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi As Syahrstani, beliau berkata, “syiah adalah mereka yang mengikuti Ali Radhiyallahu ‘Anhu secara khusus. Meyakini kepemimpinan dan kekhalifahannya secara nash dan wasiat, baik secara terang terangan maupun sembunyi sembunyi. Dan meyakini bahwa kepemimpinan tidak lepas dari keturunannya. Jika kemudian keluar dari keturunannya, maka itu terjadi karena kedholiman dari orang lain atau taqiyah darinya. Mereka mengatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah kemaslahatan yang dilakukan berdasarkan pemilihan umum dan diberlakukan oleh umum. Namun imamah merupakan masalah pokok dan rukun agama yang tidak boleh bagi para rosul menyepelekan dan melalaikannya, juga tidak boleh menyerahkannya kepada masyarakat umum. (Lihat : Al Milal Wan Nihal 6/146)

7 Dan memang salaf dahulu berbeda pendapat mana yang lebih mulia antara Utsman dan Ali. Namun perbedaan ini termasuk dalam ranah ijtihad. Bukan merupakan masalah pokok dalam ajaran islam. sehingga karenanya kesalahan dalam masalah ini tidak menjadikan seseorang sesat. Para sahabatpun ketika itu tidak saling menyesatkan. (lihat penjelasan hal ini dalam Aqidah Wasathiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

8 Yang karenanya meskipun mereka dinamakan syiah, pada hakekatnya mereka adalah ahlu sunnah wal jama’ah. (Ushul Madzhabis Syiah, hal. 56)

9 Lihat Aqidatur Rafidhah Wa Mauqifuhum Min Ahlis Sunnah, Dr Ibrohim Ar Ruhaili, (Darun Nasihah, Cet 1; 1432 H) Hal. 15-17

10 Fikrul Khowarij Was Syiah Fie Miizani Ahlus Sunnah, Dr Ali As Shalabi (Darul Andalus, Cet 1; 1429 H0 Hal. 100

11 Lihat Ushul Madzhabils Syiah hal 88

12 Fikrul Khowarij Was Syiah, hal. 101

Penulis: Muhammad Singgih Pamungkas

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/25664-mengenal-syiah-antara-syiah-dan-rafidhah.html

Ali bin Abi Thalib Melawan Syiah Ekstrem

Tidak mencintai Abu Bakar ra. dan Umnar r.a. kecuali seorang mukmin utama. Membenci keduanya termasuk keluar dari agama (mariq), demikian pesan Ali Bin Abi Thalib kepada Syiah ekstrem

SALAH satu golongan ekstrem Syiah (Rafidhah) beragama dengan membenci Abu Bakar al-Shiddiq (yang teguh berislam kala kebanyakan manusia mendustakannya).

“Umar bin al-Khaththab al-Faruq (Penegak kebenaran dan Pembasmi kebatilan), Utsmân bin Affân, sang pemilik dua cahaya, dan istri-istri Nabi ﷺ yang adalah ibu-ibu kaum mukmin. Mereka mengklaim kebencian itu sebagai rasa cinta kepada ahli bait Nabi ﷺ.

Pada suatu hari, Suwaid bin Ghaflah menemui Ali bin Abi Thalib k.w. dan berkata:

“Wahai Amirul Mu’minin, aku melewati sekelompok orang yang menyebut-nyebut Abu Bakar dan Umar dengan hal-hal yang sama sekali tidak layak bagi keduanya.”

Maka, ‘Ali segera bangkit menuju Mimbar dan berkata:

“Demi Allah yang membelah biji (menjadi dan tumbuh) dan menciptakan jiwa. Tidak mencintai Abu Bakar ra. dan Umnar r.a. kecuali seorang mukmin utama. Dan tidak membenci keduanya kecuali si malang yang keluar dari agama (mâriq). Mencintai mereka itu adalah kedekatan kepada Allah (qurbah). Dan membenci mereka itu adalah keluar dari agama.

Bagaimana bisa satu kaum menyebut-nyebut dua saudara Rasulullah ﷺ, dua wakil beliau, dua sahabat karib beliau, dan dua pemimpin Quraisy, dan dua Bapak kaum Muslim (dengan hal-hal tak pantas)? Aku berlepas diri dari orang yang menjelek-jelekkan keduanya. Dan buat dia sendiri akibat dosanya.” (Khalid Muhammad Tsabit, dari buku Qisasul Auliya’)

HIDAYATULLAH

Syiah: Melukai Diri di Hari Asyura Termasuk Ibadah

Syiah menganggap bahwa melukai diri, melakukan niyahah, berpakaian hitam, adalah suatu ibadah mulia. Itulah yang didapati pada mereka di hari Asyura (10 Muharram).

Syiah Menganggap itu Sebagai Ibadah

Dalam kitab Syiah sendiri disebutkan,

إن اللطم والتطبير ولبس السواد في عاشوراء والنياحة من أعظم القربات للحسين بل هذه الأفعال من الأعمال الممدوحة

“Sesungguhnya menampar, memainkan pisau ke badan, dan mengenakan pakaian hitam di hari Asyura, juga bentuk niyahah bersedih hati saat itu merupakan di antara bentuk ibadah –pendekatan diri- dalam rangka mengenang Husain. Bahkan amalan seperti ini termasuk amalan terpuji.” (Lihat: Fatawa Muhammad Kasyif Al Ghitho war Ruhaani wat Tibriziy wa Ghoirihim min Maroji’il Imamiyah)

Syiah Kecewa atas Pembunuhan di Hari Asyura

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.

Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin Abi Tholib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada hari tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam (hari duka). Begitu pula ‘Umar bin Al Khottob, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang shalat Shubuh di mihrab ketika sedang membaca Al Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan ma’tam (hari duka). Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan ma’tam (hari duka).

Lebih daripada itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah telah mencabut nyawa beliau sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagai ma’tam (hari kesedihan). Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematin Husain seperti yang dilakukan oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) yang jahil. Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini adalah sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

ما من مسلم يصاب بمصيبة فيتذكرها وإن تقادم عهدها فيحدث لها استرجاعا إلا أعطاه الله من الأجر مثل يوم أصيب بها

“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, lalu ia mengenangnya dan mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un) melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa musibah” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, 8: 221.

Hadits berikut pun menjelaskan bahwa yang dilakukan orang Syiah di hari Asyura termasuk kesesatan. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).

Niyahah yang Dilakukan Syiah

Niyahah adalah jika seseorang bersedih dan menangisi mayit serta menghitung-hitung berbagai kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277.

Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).

Ulama besar Syafi’i, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat tersebut dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)

Silakan ditimbang-timbang dari penjelasan di atas, apakah kelakukan Syiah di hari Asyura dengan menampar pipi, melukai diri, teriak-teriak sedih suatu kebaikan?

Hanya Allah yang menganugerahkan hidayah.

Disusun di pagi hari penuh berkah di Darush Sholihin, dua hari menjelang Asyura, 8 Muharram 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23321-syiah-melukai-diri-hari-asyura-ibadah.html

‘Asyura Membuka Kedok Syi’ah

Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad , keluarganya yang suci dan para sahabat beliau yang terbaik. Waba’du:

Kita Ahlussunnah mengenal Asyura adalah hari puasa pada tanggal 10 Muharram yang keutamaannya bisa menghapus dosa setahun yang lalu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dua bid’ah di hari Asyura

Namun qaddarallahu, Asyura’ juga bertepatan dengan mati syahidnya Husain radhiallahu’anhu. Ini tentu musibah besar, meski kalah besar dengan terbunuhnya Ali, Utsman, Umar radhiyallahu’anhum. Maka dalam hal ini, ada dua kelompok dari umat Islam yang menyimpang dari sunnah:

  1. Kelompok pertama menjadikan Asyura’ sebagai hari meratap dan menyiksa diri, dengan cara memukul-mukul kepala dan dada dengan tangan sambil menyanyi dengan nyanyian ratapan. Atau dengan memukul punggung dengan rantai dan pedang, dan melukai kepala dengan pisau atau pedang sampai berdarah lalu dipukul-pukul biar darah banyak mengalir dan biar pahala pun mengalir. Kelompok ini adalah kelompok Syiah yang di Indonesia menamakan diri sebagai Syiah Ahlul Bait lalu disingkat Ahlul Bait atau Jamaah Ahlul Bait. Tentu penamaan ini salah dan melecehkan istilah Ahlul Bait yang sangat dicintai oleh Ahlussunnah.
  2. Kedua adalah kelompok Nawashib yaitu musuh-musuh keluarga Nabi yang senang dengan wafatnya Husain sehingga mereka menjadikannya sebagai hari pesta dan kenduri.

Artikel ini khusus mengupas tentang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, namun ternyata mereka justru merusak nama Ahlul Bait. Mengapa demikian? Sebab mereka menjadikan nama Ahlul Bait sebagai topeng untuk menjajakan kebid’ahan dan kesesatan mereka. Mereka sejatinya tidak mengikuti Ahlul Bait tapi mengikuti imam-imam yang sesat, yang kebanyakan berasal dari Persia. Setelah sebelumnya mengikuti ajaran al-wala’ wal bara’ buatan Abdullah bin Saba’ al-Yahudi.

Para imam Ahlul Bait Menegaskan soal Asyura

Berikut adalah Kalimat-kalimat dari para Imam Ahlul Bait yang sesungguhnya tentang masalah ‘Asyura’. Ucapan-ucapan tersebut bersesuaian satu sama lain, dan bersesuaian dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan perbuatan para Sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Nukilan-nukilan tersebut sangat banyak. Anda bisa melihatnya pada kitab Man Qatala al-Husain (Siapakah Yang Membunuh al-Husain?)

Secara ringkas bisa saya sebutkan sebagai berikut:

  1. Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain yang diberi gelar dengan as-Shaduq (Ibnu Babawaih al-Qummiy, Syaikhul Muhadditsin (306-381), penulis Kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, dan kitab ‘Ilalus Syarayi’, ia berkata, “Diantara lafazh-lafazh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak mungkin diterjang adalah:« النِّيَاحَةُ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ »“Niyahah (meratapi mayit) adalah termasuk perbuatan jahiliyah.” (Ibnu Babawaih al-Qummii, Man La Yahdhuruhul Faqih (4/271-272)).
  2. Ja’far as-Shadiq (Abu Abdillah, imam mereka yang ke-6, 83-148 H) dari bapak-bapaknya berkata,« نَهَىٰ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الرَّنَّةِ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ، وَنَهَىٰ عَنِ النِّيَاحَةِ وَاْلاِسْتِمَاعِ إِلَيْهَا »“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tangisan pada saat musibah dan melarang niyahah serta mendengarnya.” (Al-Huri al-‘Amili, Wasailus Syi’ah (2/915)).
  3. Ali bin Abu Thalib (imam pertama, abul Hasan al-Murtadha, 23 SH-40 H) radhiallahu’anhu, berkata:« ثَلاَثٌ مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَزَالُ فِيْهَا النَّاسُ حَتىَّ تَقُوْمَ السَّاعَةُ: الاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالطَّعْنُ فِيْ الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلىَ الْمَوْتىَ »“Ada tiga perkara termasuk perbuatan jahiliyah, tidak henti-hentinya manusia berada di dalamnya hingga terjadinya hari kiamat; meminta hujan dengan bintang, mencela nasab, dan niyahah atas mayit.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar, (82/101))
  4. Ali ibn Abi Thalib berkata: “Siapa yang memukulkan tangannya pada pahanya ketika musibah maka amal shalihnya menjadi lebur.” (Nahjul Balaghah)].
    Ali Ibn Abi Thalib telah berwasiat kepada istrinya Fatimah binti Rasulillah : “Jika aku mati maka kamu jangan mencakar wajah, jangan meneriakkan kata-kata celaka, dan jangan menunggui orang yang meretap.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 51).
  5. Imam Husain bin Ali sendiri telah berwasiat kepada Zainab saudari perempuannya: “Hai saudariku, aku bersumpah demi Allah, wajib atas kamu memelihara sumpah ini, jika aku terbunuh maka janganlah kamu merobek bajumu dan jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan meneriakkan kata celaka dan binasa atas kesyahidanku.” (Abbas al-Qummi, Muntaha al-Amal, 1/248)]
  6. Ja’far as-Shadiq rahimahullah berkata,« لاَ يَصْلُحُ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ يَنْبَغِيْ، وَلَكِنَّ النَّاسُ لاَ يَعْرِفُوْنَ »“Tidak benar berteriak atas mayit, dan tidak layak, akan tetapi manusia tidak mengetahui.” (al-Kulaini, al-Kafi (2/226)
    Dia juga berkata,« لاَ يَنْبَغِيْ الصِّيَاحُ عَلىَ الْمَيِّتِ وَلاَ بِشَقِّ الثِّيَابِ »“Tidak layak berteriak (histeris) atas mayit, dan tidak layak pula merobek-robek baju.” (al-Kafi, 3/225)
  7. Dari Fadhl bin Muyassir, dia berkata, ‘Dulu kami berada di sisi Abu ‘Abdillah (Ja’far as-Shadiq), kemudian datang seorang laki-laki yang mengeluhkan musibah yang menimpanya, maka Abu ‘Abdillah berkata kepadanya:« أَمَّا إِنَّكَ إِنْ تَصْبِرْ تُؤْجَرْ، وَإِلاَّ تَصْبِرْ يُمْضِى عَلَيْكَ قَدَرُ اللهِ الَّذِيْ قُدِّرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ مَأْزُوْرٌ »“Adapun kamu, jika kamu bersabar, kamu akan diberi pahala, dan jika tidak bersabar maka taqdir Allah yang telah ditaqdirkan atasmu tetap berlaku atasmu sedang kamu diberi dosa.” (al-Kafi, (3225))

Perhatikanlah wahai para pembaca bahwa kewajiban yang dilakukan saat tertimpa musibah adalah bersabar dan berharap pahala, tidak dengan berkeluh kesah dan berkeberatan. Karena tidak mungkin merubah musibah sedikitpun, karena telah terjadi, selesai dan telah berlalu padanya putusan Allah Ta’ala. Sabar atau tidak sabar, orang yang diuji tersebut tidak akan bisa merubah sesuatu. Akan tetapi jika dia bersabar dia akan diberi pahala dan berhasil meraih pahala, namun jika dia tidak bersabar dan marah, maka dia berdosa dan kehilangan pahala serta tidak bisa merubah sesuatu.

Selama 14 abad, manfaat apa yang kita peroleh dari tangisan, memukul-mukul kepala dan dada, dan menyakiti diri sendiri, dan bahkan kadang membunuhnya?! Yang kemudian musibah tersebut berubah menjadi dua musibah; terbunuhnya al-Husain radhiallahu’anhu, menyakiti diri sendiri, dan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah dan juga dilarang oleh para Imam.

Jadi, larangan tersebut telah valid dari para imam Syi’ah, juga telah shahih dari para Imam Ahlussunnah. Di antara ulama Ahlussunnah yang menyatakan masalah ini adalah:

Hari Asyura Menurut Syaikhul Islam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ‘Asyura'(10 Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah? Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan, kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di hadapan umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu semua memiliki asal?!

Maka beliau rahimahullah menjawab, “Alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari semua itu yang diriwayatkan dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau, dan tidak ada satupun di antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya baik, tidak imam empat tidak juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan hal tersebut, tidak dari Nabi , tidak dari para sahabat, tidak juga dari para tabi’in, tidak yang shahih, maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih, tidak pada kitab-kitab sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits tersebut tidak ada satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.” (al-Fatawa al-Kubra (1/194)).

Karena inilah maka kita ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk perayaan atau pesta apapun pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada hari kesepuluh (hari Asyura`), karena hal itu bukanlah hari raya, tidak dirayakan, dan bahkan kami berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi sunnah Nabi dan sunnah Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.

Berkaitan dengan terbunuhnya Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan bahwa al-Husain radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid, dan tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun orang yang telah membunuh al-Husain radhiallahu’anhu atau yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu Taimiyah, Majum’ al-Fatawa (4/487))

Inilah sikap beliau terhadap al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap orang-orang yang membunuhnya.

Puasa Asyura dan Keutamaannya

Mengenai puasa Asyura` ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah shahih dari Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para Imam.

Telah shahih bahwa Nabi mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura sebagai hari puasa dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan memakaikan perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10, dan ditambah dengan hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981; Muslim: 2613, 2614, 2619, 2620).

Nabi mengabarkan bahwa puasa hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu. (HR. Muslim: 2700)]

5 hal yang menyedihkan

Pertama; bahwa riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama syiah.

Kedua: mereka juga tidak pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah dilakukan oleh para Imam tersebut.

Ketiga: saat mereka menyebut tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan ahlul Bait yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!

Sebenarnya pembunuh al-Husain radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah sendiri –semoga Allah memperlakukan merek dengan keadilan-Nya – bukan selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai mereka selain mereka sendiri. Merekalah yang berdusta terhadap al-Husain radhiallahu’anhu, menipunya, mengkhianatinya, membiarkannya sendirian, sebagaimana mereka membiarkan bapaknya (Ali radhiallahu’anhu), dan saudaranya sebelumnya.

Keempat: mereka tidak pernah menyebut saudara-saudara al-Husain radhiallahu’anhu yang mati syahid bersamanya di padang Karbala`. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, putra-putra ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, [juga Abu Bakar putranya sendiri dan Abu Bakar putra Hasan bin Ali ra] Mengapa…? Bahkan tidak pernah ditemui untuk mereka sekedar penyebutan atau belas kasihan,

Mengapa mereka bersikap demikian?

Jawabnya adalah, bahwa tidak disebutnya nama mereka hanyalah kekhawatiran terhadap pertanyaan orang-orang awam syi’ah, “Mengapa Imam ‘Ali menamai putra-putranya dengan nama-nama tersebut (Abu Bakar, Umar dan Usman)? Mengapa Imam Husain dan Imam Hasan menamai putranya dengan Abu Bakar? Bukankah penamaan menunjukkan akan kecintaan dan keridhaan?”

Kelima: bahwa umat di zaman sekarang hidup dalam ujian, musibah, perpecahan, dan kelemahan. Bersamaan dengan itu Anda akan mendapati bahwa para khatib di mimbar al-Husaini tidak memiliki apapun untuk disampaikan kecuali mengoyak sejarah, menghidupkan fitnah, dan membuat-buatnya, serta mengobarkannya, padahal tidak memiliki landasan yang shahih.

Kita Menolak Acara Asyura ala Syiah

Sikap kita, Ahlussunnah terhadap acara ratapan tersebut adalah sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata tentang orang-orang yang menjadikan ‘Asyura` sebagai acara ratapan nestapa dan nista, “Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya terhadap musibah –jika musibah itu baru terjadi- adalah hanya bersabar, ihtisab (berharap pahala) dan istirjâ’ (mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn)… maka, jika Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar dan ihtisab saat musibah baru terjadi, maka bagaimana pula jika musibah itu telah berlalu sekian lama. Maka menjadikan hari ‘Asyura` sebagai acara kesedihan termasuk perkara yang dihias-hiasi syetan untuk orang-orang sesat lagi membangkang. Demikian pula nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan, dalam bentuk ratapan), dan pelantunan sya’ir-sya’ir sedih. Kedua kelompok tersebut telah melakukan kesalahan, keluar dari sunnah. Rasulullah , dan Khulafaur Rasyidin tidak pernah menyunnahkan satu perbuatan dari perbuatan tersebut pada hari ‘Asyura`, tidak syi’ar-syi’ar kesedihan, tidak juga syi’ar-syi’ar kegembiraan.” (Majmû’ul Fatawa (25/308-309))

Setelah ini kita katakan, “Telah banyak para Nabi yang terbunuh, tetapi Rasulullah tidak pernah melakukan yang seperti itu sama sekali. Demikian pula terbunuh sejumlah keluarga Nabi , seperti Hamzah, dan Ja’far di zaman Nabi , dan beliau tidak pernah melakukan sesuatupun untuk keduanya. Beliau juga tidak membangun kuburan untuk keduanya, tidak juga membuat musim-musim untuk menziarahinya, tidak juga yang lainnya, padahal keduanya adalah orang yang sangat utama, dan beliau al-Mushtafa sangat mencintai keduanya, demikian pula keadaannya terhadap Khadijah radhiallahu’anha.”

Demikian pula waktu terbunuhnya ‘Ali radhiallahu’anhu, putra-putranya tidak pernah melakukan sesuatupun, termasuk yang paling utama di antara mereka adalah al-Hasan dan al-Husain radhiallahu’anhuma. Maka apakah Rasulullah dan putra-putra ‘Ali radhiallahu’anhu berada di atas kesalahan..?!

Maka lihatlah wahai para pembaca yang budiman, dengan pandangan tafakkur (perenungan), i’tibar (pengambilan pelajaran), tidak dengan pandangan kesombongan dan penentangan!! Ketahuilah bahwa tidak ada bagi anda di akhirat kecuali apa yang telah anda perbuat di dunia yang berupa amal shalih setelah rahmat Allah Ta’ala.

Aku memohon kepada Allah agar dengan kalimat-kalimatku ini, Allah Ta’ala membuka hati-hati yang lalai, serta mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli. Allâhumma âmîn.

Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kami termasuk orang-orang yang sesat mengikuti perbuatan mereka di kehidupan dunia, sementara mereka menganggap bahwa mereka telah berbuat bagus dalam perbuatan mereka.*

Penulis: Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. (Anggota Dewan Syura ANNAS, Aliansi Nasional Anti Syiah, Penulis buku-buku Islam)

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23260-asyura-membuka-kedok-syiah.html

Syiah: HomoSeks dan Sodomi itu Ibadah

Ajaran Syiah: HomoSeks dan Sodomi itu Ibadah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada satu risalah yang ditulis salah satu tokoh syiah, dia bergelar al-Mufassir (ahli tafsir), al-Muhaddits (ahli hadis), dan al-Muarrikh (ahli sejarah) versi syiah. Dia bernama Samahah Sayid Mulah Zadah Ridha.

Dia menyatakan,

كان قد سألني بعض الأصحاب أن أكتب له رسالة مختصرة في وصف وفضائل وطء الأدبار ، تكون جامعة وكافية وشافية… ولما كثر الإلحاح والطلب صرفت بعض الوقت قبيل وطء صبياني الحسان في كتابة هذه الرسالة النفسية وسميتها ” الإخبار بما صح في ضرب الحلق من فضائل مروية عن سادة آل البيت وآثار معتبرة وأخبار”.

Ada sebagian kawan yang memintaku untuk menulis risalah ringkas tentang cara dan keutamaan menyetubuhi dubur, yang lengkap dan komprehensif… ketika permintaan semakin banyak, aku sediakan waktu khusus, sebelum aku menyetubuhi anak-anakku yang cakep, untuk menulis risalah yang mulia ini. Yang aku beri nama: “al-Ikhbar bima shahha fi dharbil halqi min fadhail, marwiyah ‘an sadati alil bait, wa atsaar mu’tabarah wa akhbar.” Artinya, “Informasi terkait riwayat yang shahih tentang keutamaan menyetubuhi dubur. Berdasarkan riwayat dari pemuka ahlil bait dan riwayat-riwayat yang diterima.”

Selanjutnnya Zadah Ridha memberikan mukadimah,

وأقول بداية أن الله خلق الأدبار لتكون موضعاً شريفاً للأزْبَـار ، وحكمتها تضاهي حكمه خلق الليل والنهار ، والوطء مرغوبٌ فيه وقت الإقامة والأسفار ، فالإسْتُ الحصن الحصين وهي العلاج إذا فقد الطب عمل يسير يعود بالنفع على فاعليه بالأجر الكثير رؤية الإست عبادة ، ولمسها عبادة وتقبيلها عبادة ، ووطئها عبادة ، والنظر إلي الدبر، والبحث عنه عباده ومجرد التفكير في الإست أو الدبر هو عبادة محضة

Saya awali dengan pernyataan, bahwa Allah menciptakan dubur untuk menjadi tempat mulia bagi azbar (penis). Hikmahnya seperti hikmah penciptaan siang dan malam. Senggama sangat diinginkan ketika itu, baik ketika di rumah maupun ketika safar. Pantat adalah pelindung, yang menjadi obat ketika tidak ada dokter. Amal yang mudah tapi memberikan manfaat dan pahala besar bagi pelakunya. Melihat pantat itu ibadah, mengelus pantat ibadah, menciumnya ibadah, menyetubuhinya ibadah, melihat dubur ibadah, mengarah ke dubur ibadah, membayangkan pantat dan dubur juga ibadah.

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah…

Lalu dia mulai membawakan riwayat dusta dari imam mereka – ahlul bait –,

عن جدنا الإمام موسى الكاظم عليه السلام قال: لا يبلغ عبد درجة الإيمان حتى يُضرَب أو يَضرب الحلَق “

Dari kakek kami, Imam Musa al-Kadzim – ‘alaihis salam – bahwa seorang hamba tidak akan sampai pada derajat iman, sampai dia disetubuhi atau menyetubuhi di lingkar dubur.

ورويت بإسناد موثق عن الإمام جعفر الصادق عليه السلام قال: من سعادة المؤمن أن يكون مكثاراً لوطء الأدبار متقرباً بذلك إلى العزيز الغفار”

Dan diriwayatkan dengan sanad yang dipercaya, dari Imam Ja’far as-Shadiq – ‘alaihis salam –, “Bagian dari kebahagiaan seorang mukmin, dia banyak melakukan homo di dubur, dalam rangka beribadah kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

وعنه عليه السلام قال: وطء الفرج بثواب عمرة، ووطء الدبر بثواب حجة تامة

Dan juga dari Ja’far – ‘alaihis salam –, “Bersenggama di farji, pahalanya seperti umrah. Dan bersenggama di dubur, pahalanya seperti haji, sempurna.”

Tafsir firman Allah,

فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Datangilah sawah kalian, dengan cara apa saja yang kalian inginkan.” (QS. al-Baqarah: 223)

Menurut syiah, ayat ini adalah dalil bolehnya mensodomi.

Kata Zadah Ridha,

وحدثني آية الله العظمى ميرزا جعفر بن السيد رضا القمي قدس سره في تفسير هذه الآية قال: الآية تفيد أن وطء الدبر حلال, ويلحق

بذلك دبر الرجل لأن الأحاديث عن آل البيت صحت بذلك عبر طرق صحيحة, ولا تعارض بين القرآن وأقوال المعصومين سلام الله عليهم

Saya mendengar dari Mirza Ja’far bin Sayid Ridha al-Qumi, tentang tafsir ayat di atas,

Ayat ini menunjukkan bahwa bersetubuh di dubur halal. Termasuk dubur lelaki. Karena hadis-hadis dari Ahlul Bait statusnya shahih dari jalur yang shahih. Dan tidak ada pertentangan antara al-Quran dengan perkataan para imam yang maksum.

Di bagian akhir risalah, Zadah Ridha menyatakan dengan tegas,

لما كانت عبادة وطء الأدبار من الأعمال المباركة, وكان ثوابها مضاعفا, وعدت من علامات الإيمان, سيّما وقد صح عن الرسول الأكرم أنه قال” رحم الله من عمل عمَل قوم لوط ,وكررها ثلاثا”وقد حرّف أهل السنة الملاعين قوله”رحم الله” إلى “لعن الله” وتلك جرأة ما بعدها جرأة وكفر وزندقة

Karena ibadah dengan menyetubuhi dubur diberkahi, pahalanya berlipat, dan bagian dari tanda iman, terlebih terdapat riwayat yang shahih dari Rasul yang mulia, beliau bersabda,

رحم الله من عمل عمَل قوم لوط

“Semoga Allah merahmati orang yang melakukan perbuatan seperti kaumnya Luth.”

Beliau ulangi 3 kali.

Namun hadis ini telah diselewengkan oleh ahlus sunah – yang terlaknat –. Sabda beliau, “Semoga Allah merahmati” diganti dengan “Semoga Allah melaknat.” Dan itu tindakan lancang dan kekufuran.

Dan masih banyak pernyataan Zadah Ridha yang lebih ngeres dibandingkan ini…

Sumber: http://www.forsanhaq.com/showthread.php?t=111060

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/26479-syiah-homoseks-dan-sodomi-itu-ibadah.html