Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 4)

Tiga tujuan penciptaan menjadi satu

Jika Anda pikirkan lagi lebih dalam, ternyata tiga tujuan penciptaan ini pada dasarnya adalah satu paket atau satu kesatuan. Bagaimana mungkin? Iya, tentunya karena ia berasal dari sumber yang sama, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.

Seperti yang sudah Anda baca sebelumnya, bahwa pengetahuan hamba terhadap Rabb-Nya berbanding lurus dengan mahabbah, raja’, khauf, tawakal, dan berbagai amalan hati seorang hamba. Semakin buta seorang hamba kepada Penciptanya, maka semakin lalai dan durhaka ia kepada-Nya. Sebaliknya, semakin besar pengetahuan seorang hamba kepada Rabb-Nya, maka semakin ia taat dan tunduk kepada-Nya. Pengetahuan dan ilmu tentang Rabb-Nya ini pun akan membuahkan amal, yakni ia akan beribadah kepada Rabb-Nya dengan sebaik-baiknya ibadah, melalui amalan lisan, dan anggota badan. Dan jika ia mencapai tingkatan ilmu dan amal tertinggi, maka ia akan beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya. [1]

Maka, perhatikanlah hubungan keduanya, makrifatullah dan ibadah, dengan ujian! Bahwasanya ujian itu turun dari atas langit, dari Allah ‘Azza wa Jalla, kepada hamba yang ada di bawah, untuk membedakan dan memisahkan antara hamba yang beriman dan hamba yang kufur. Ujian yang empat macam tersebut kemudian menghampiri hamba. Barangsiapa yang menyambut ujian tersebut dan menegakkannya, atas dasar ilmu dan imannya kepada Rabb-nya, maka ia menjadi ibadah di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, ibadah ini berasal dari hamba Allah yang ada di bawah dan ditujukan kepada Rabb-Nya semata yang ada di atas. Adapun mereka yang mengabaikan keempat ujian tersebut, maka baginya dosa dan penderitaan. Karena ia sejatinya ia telah lalai memelihara benih kehidupannya, yang mana buahnya adalah kebahagiaan sejati.

Buah menunaikan tujuan hidup

Setelah Anda memahami tujuan penciptaan, kehidupan, dan kematian, tiba saatnya Anda mengenal buah yang Anda akan petik tatkala Anda mewujudkan tujuan hidup yang Allah tetapkan bagi seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami limpahkan kepadanya kehidupan yang baik.” [2]

Demikianlah, imbalan dan buah yang hanya bisa dinikmati oleh manusia-manusia pilihan, yaitu  manusia yang menegakkan amal saleh yang dilandasi keimanan kepada Allah Ta’ala. Adalah Allah yang akan memberikan jaminan kepada mereka berupa kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan, sebaliknya kebahagiaan hakiki ini tidak mungkin diberikan kepada mereka yang kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Alangkah indahnya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menerangkan keadaan orang-orang mukmin yang menjadikan setiap ujian baik perintah dan larangan, maupun nikmat dan musibah sebagai ladang amal saleh, di mana buahnya adalah kebaikan dan kebahagiaan hidup baginya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu mengandung kebaikan. Dan hal ini tidaklah ditemukan, kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Sehingga hal itu baik baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan keburukan, maka ia bersabar. Dan hal itu pun baik baginya.” [3]

Demikianlah, kesudahan bagi mereka yang menegakkan tujuan penciptaan mereka. Namun, yang menjadi masalah, seringkali kita salah memahami makna kebahagiaan hidup itu sendiri. Sebagian manusia memahami bahwa kebahagiaan hidup di dunia itu haruslah berupa kehidupan yang terus-menerus tenang, lancar, tanpa hambatan, dan tanpa bala musibah yang menghimpit dada dan mendatangkan kesedihan. Maka, mari kita renungkan lagi hal ini pada bab penutup berikut.

Tegar di atas jalan kebahagiaan

Sebelumnya, telah sampai kepada kita janji Allah bahwa buah amal saleh bagi seorang hamba adalah kebahagiaan hidup. Namun, perlu Anda pahami bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki adalah ketika seseorang telah mencapai tempat yang penuh dengan kenikmatan abadi, yang tidak diselingi kesedihan sama sekali, yakni surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selama Anda hidup di dunia, selama Anda masih bernyawa, maka Anda dan seluruh manusia pasti akan menemui ujian-ujian dalam setiap etape kehidupan Anda. Bahkan, di alam kubur dan padang masyhar sekali pun manusia itu masih akan merasakan penat dan kelelahan-kelelahan.

Akan tetapi, yang membedakan orang orang mukmin dan orang kafir adalah, ketika menghadapi ujian-ujian tersebut, Allah akan membersamai orang-orang mukmin, sehingga ujian itu menjadi ringan baginya. Zat Yang Mahabesar dan Mahakuasa atas segala sesuatu berada di sisinya, sehingga ujian sebesar apapun akan terasa kecil bagi seorang mukmin. Sebaliknya, Allah akan membiarkan dan meninggalkan orang-orang kafir bersendirian ketika mereka menghadapi ujian-ujian yang ada. Sehingga ujian kecil pun akan menjadi besar dan berat bagi mereka.

Tentu Anda sudah mendengar bahwa di surga, selain kenikmatan-kenikmatan yang ada, juga ada tambahan padanya [4], yakni para penduduk surga akan melihat wajah Allah Ta’ala di hari kiamat kelak [5]. Dan ini adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan bagi seorang hamba, yang tidak ada taranya dan tidak ada bandingannya. Maka, seorang hamba yang beriman akan menjadikan pertemuan dengan Rabbnya sebagai momen yang paling ia nantikan. Sebagaimana seorang pencinta merindukan pertemuan dengan orang yang ia kasihi. Maka, seorang hamba yang beriman memiliki kesadaran penuh akan nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan padanya. Dia adalah Zat yang paling menginginkan kebaikan dan kebahagiaan baginya. Zat yang berlari padanya, ketika ia datang dengan ketaatan, tobat, dan tangis penyesalan atas dosa-dosa yang telah menghitamkan hati. Zat yang telah menunjukinya jalan kebenaran serta memberinya taufik dan hidayah agar bisa tegar di atas jalan itu hingga datangnya haqqul yaqin. Demikianlah, dua buah kenikmatan yang tidak pernah terbetik di hati, tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak mampu diimajinasikan oleh akal manusia, yakni surga dan wajah Allah ‘Azza wa Jalla.

Maka, mari kita sederhanakan kisah ini. Bermula dengan pengenalan seorang hamba terhadap Allah. Disusul dengan sambutan sang hamba terhadap ujian-ujian kehidupan sembari merealisasikannya menjadi ibadah. Dan kisahnya berujung bahagia dengan perjumpaan sang hamba dengan Rabb-Nya. Lillahi – billahi – ilallahi. Karena Allah (ikhlas) – bersama Allah (ittiba’), dan menuju (bertemu) Allah. Maka, benarlah kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Semakin Anda mengenal Allah, maka semakin Anda ingin dekat dengan-Nya, dan semakin Anda ingin bertemu dengan-Nya. Demikianlah permisalannya. Hanya hamba yang benar-benar mengenal Rabbnyalah yang kemudian bisa mengenali-Nya. Dan hanya hamba yang benar-benar mengenali Rabbnyalah yang dapat menemui-Nya, tanpa hijab dan tanpa perantara, di surga yang penuh dengan kenikmatan nan abadi.

Maka, jika surga dan wajah Allah adalah ganjarannya, maka tentu ujiannya tidak semudah yang dibayangkan. Dalam hukum kebiasaan manusia berbunyi, ‘Semakin besar keuntungan yang akan diraih, maka semakin besar usaha yang harus dikeluarkan.’ Oleh karena itu, ketika Allah Ta’ala menciptakan surga, Dia liputi surga itu dengan hal-hal yang dibenci oleh jiwa manusia. Sebaliknya, ketika Allah Ta’ala menciptakan neraka, Dia liputi neraka itu dengan hal-hal yang disenangi oleh jiwa manusia [6]. Maka, bersama dengan ujian yang Allah turunkan kepada hamba tersebut, Allah bekali manusia dengan hati yang di dalamnya terjadi pertempuran antara keimanan dan hawa nafsu, antara bisikan malaikat dan rayuan setan, serta antara ajakan kepada kebaikan dan keburukan.

Demikianlah, ujian dan kesulitan yang harus saya dan Anda hadapi untuk meraih surga Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, ingatlah selalu dalam setiap titik perjalanan hidup Anda, bahwa di balik beratnya ketaatan dan ibadah yang Anda lakukan, ada surga Allah yang sedang menunggu. Sebaliknya, di balik kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu, ada neraka Allah yang sedang menanti, waliyyadzu billah. Maka, nasihat untuk saya dan Anda, “Tegarlah di atas jalan kebahagiaan dan hadapilah segala ujian dengan hati yang lapang, hingga datangnya hari yang ditentukan.”

***

Disarikan pada malam 20 Ramadan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya,

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84468-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-4.html

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 3)

Beribadah kepada Allah semata

Ibadah adalah kata yang sakral dan diagungkan manusia. Sejatinya, ibadah ini merupakan konsekuensi dari tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Para ulama menyebutnya dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah. Oleh karena itu, seseorang yang mengenal Allah, melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tidaklah cukup baginya sampai ia kemudian menegakkan tauhid uluhiyah, dengan beribadah hanya kepada-Nya. Karena jika ia benar-benar mengenal Rabb-Nya, maka ia akan menaati-Nya. Sementara Dialah yang telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya yang mulia,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku semata”. [1]

Dan ketahuilah, tidaklah ibadah itu sampai kepada-Nya, kecuali Anda penuhi dua syarat, seperti yang disimpulkan oleh para ulama:

Pertama: Ikhlas karena Allah Ta’ala. [2]

Kedua: Ittiba’ dengan mengikuti syariat yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [3]

Dan inilah konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang Anda ucapkan. Bahwasanya Anda bersaksi hanya Allah sajalah sesembahan yang berhak untuk Anda sembah, dan Muhammad adalah utusan-Nya yang harus Anda ikuti, taati, dan tetapi petunjuk dan sunah-sunah yang dibawanya.

Maka, seorang hamba yang sekadar beribadah, namun di saat bersamaan ia beribadah kepada sesembahan lain selain Allah, seperti berdoa kepada wali, Nabi, atau malaikat, atau ia beribadah karena ingin mendapatkan pujian manusia, maka ia telah merusak syarat yang pertama. Begitu juga, jika ia sekadar beribadah, namun menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan perkara-perkara baru dalam agama yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena mengedepankan hawa nafsu serta perkataan ulama atau guru yang ia muliakan, maka ibadahnya tertolak dengan rusaknya syarat yang kedua. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (seperti) debu yang berterbangan.” [4]

Maka, perhatikanlah dua hal ini. Jika ia cacat, maka sia-sialah ibadah Anda. Sia-sialah tujuan penciptaan Anda. Namun, seperti apa realisasi ibadah ini? Apakah ia melulu tentang salat, zakat, puasa, zikir, dan melakukan wirid lainnya? Ternyata tidak! Maka, untuk memahaminya, simaklah tujuan ketiga dari penciptaan Anda, yakni untuk diuji oleh Allah Ta’ala.

Diuji oleh Allah Ta’ala

Sebuah ujian di sekolah atau di universitas diadakan, di antaranya untuk mengukur kemampuan pelajar atau mengevaluasi hasil belajar mereka selama menuntut ilmu. Bahkan, ada di antara ujian itu yang bertujuan untuk menyeleksi siswa, apakah patut untuk diberikan tanda kelulusan ataukah tidak. Bagaimana dengan ujian Allah terhadap manusia? Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“(Dialah Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya.” [5]

Di dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala menegaskan bahwa di antara tujuan penciptaan manusia, yang Dia hidupkan kemudian matikan, adalah untuk menguji mereka, siapakah di antara anak Adam tersebut yang mewujudkan amalan terbaiknya kepada Allah Ta’ala. Maka, pertanyaan berikutnya adalah seperti apakah bentuk ujian yang Allah berikan kepada umat manusia. Apakah ia seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, bahwa ujian itu semata-mata tentang kesempitan hidup, musibah, dan penderitaan yang menyapa mereka. Jika kita menghimpun seluruh dalil-dalil dan perkataan ulama, maka dapat disimpulkan bahwa ujian itu ada dua pasang atau empat macam: yaitu perintah dan larangan [6], lalu nikmat dan musibah [7].

Ketahuilah, bahwa ketika keempat ujian tersebut Anda penuhi sesuai dengan yang Allah kehendaki, maka ia akan bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala, dan dijanjikan dengan ganjaran pahala serta kebahagiaan hidup. Sebaliknya, jika Anda menyia-nyiakan apa yang dikehendaki dari ujian tersebut, maka Anda akan mendapatkan dosa dan terancam dengan siksa dan penderitaan.

Perintah

Allah telah memerintahkan berbagai perkara, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi yang jika dilaksanakan bisa bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Menegakkan salat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa, berhaji bagi yang mampu, berzikir, berbakti kepada orang tua, menafkahi keluarga, menjenguk tetangga yang sakit, mengurus jenazah kaum muslimin. Semua ini adalah amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala yang jika dilaksanakan akan bernilai ibadah di sisinya, dan bisa bernilai dosa ketika ditinggalkan, tentunya jika ia hukum asalnya wajib untuk dikerjakan.

Larangan

Saat manusia diuji dengan memerintahkan mereka melakukan amalan tertentu, mereka juga di saat bersamaan dilarang dari perkara-perkara tertentu, yang pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik diketahui secara jelas keburukan dan bahayanya atau tidak. Maka, di antaranya Allah melarang mengkonsumsi minuman yang memabukkan serta makanan tertentu seperti bangkai, daging babi dan darah, melarang transaksi ribawi, melarang mendengarkan alat musik, dan melarang mendekati zina. Kerusakan yang diakibatkan perkara-perkara ini tentu bisa diketahui dan diakui oleh orang-orang yang memiliki akal yang jernih. Seseorang yang meninggalkan seluruh larangan ini karena Allah akan terhitung melakukan ibadah di sisi-Nya dan patut mendapat ganjaran berupa pahala dan janji berupa surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Nikmat

Setiap detik nikmat datang dari Allah kepada setiap hamba, tanpa terkecuali kepada Anda. Bahkan, nikmat ini mengalir terus menerus dari seseorang lahir hingga ia mati. Nikmat mata yang bisa melihat benda dekat dan jauh. Nikmat telinga yang bisa mendengar bisikan maupun teriakan. Nikmat jantung yang berdegup normal nan stabil demi memompa darah ke seluruh tubuh. Nikmat paru yang kembang kempis menarik dan membuang udara. Nikmat ginjal yang bekerja keras menyaring darah dan menghasilkan urin. Nikmat hati yang memproduksi cairan empedu sekaligus menawarkan racun. Nikmat 206 tulang dan 360 persendian yang memungkinkan Anda bisa bergerak dan berakitivas tanpa hambatan. Bahkan, nikmat trilyunan sel normal yang sampai saat ini jumlah pastinya masih jadi perdebatan ilmiah.

Semuanya patut Anda syukuri setiap bagiannya. Dan nikmat ini adalah salah salah satu bentuk ujian Allah yang paling halus bagi seorang hamba. Anda hanya akan dianggap lulus dari ujian ini ketika anda mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Dan jika anda melakukannya, ia akan terhitung sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, sekaligus Allah akan tambahkan nikmat yang lain. Namun ketahuilah, sampai kapanpun, Anda tidak akan sanggup melakukannya. Karena saking banyaknya nikmat yang ada pada Anda, sementara Anda masih butuh nikmat yang satu untuk mensyukuri nikmat yang lainnya. Maka, tidak ada habisnya perputaran nikmat tersebut. Sedangkan manusia lebih banyak lalai dan kufur terhadap nikmat yang Allah berikan pada mereka. Padahal syukur nikmat itu wajib. Sehingga yang lupa bersyukur, akan berdosa atas kelengahannya.

Musibah

Jika nikmat bernilai ibadah ketika disyukuri, bagaimana dengan musibah yang menimpa Anda? Maka, tentunya ia akan bernilai ibadah tatkala Anda sabar menghadapi musibah yang datang. Namun, patut Anda renungkan, sebanyak apapun bala yang menimpa Anda, seberat apapun musibah yang melanda diri Anda, tidaklah ia sebanding dengan nikmat yang mengalir dalam hidup Anda. Karena musibah itu datangnya hanya sekali-kali. Sementara nikmat datangnya setiap saat. Jika musibah yang datang membuat badan atau hati menjadi sakit, maka tidak lama berselang, Allah akan hilangkan sakit yang ada di tubuh atau di hati Anda, sampai-sampai Anda mungkin lupa pernah mendapat cobaan tersebut. Maka lupa ini, menjadi nikmat tersendiri bagi Anda.

Oleh karena itu, atas ujian berupa musibah, wajib bagi seorang hamba untuk bersabar dengannya. Bagi mereka yang bersabar, Allah akan ganjar pahala, kelapangan, kenyamanan, kelegaan, kesejukan, ketenteraman, ketenangan, serta kebahagiaan setelahnya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak bisa bersabar, maka ia akan bernilai dosa dan Allah akan tambahkan musibah itu dengan semakin sempitnya hati, sehingga ia akan semakin merana, semakin menderita, semakin sengsara, dan semakin sedih karena musibah tersebut sekaligus akibat dosa atas kelalaiannya dari bersabar.

Meskipun demikian, bersamaan dengan sifat hamba yang lemah dan seringkali lengah, Rabb mereka adalah Zat yang penuh dengan ampunan, bahkan Dia ‘Azza Wa Jalla menanti tobat hamba-hamba-Nya. Sehingga seorang  hamba yang melanggar sebagian dari ujian tersebut dan terjatuh kepada dosa, kemudian dia segera bertobat, maka Allah akan ampuni dosa hamba tersebut dan menggantinya jadi kebaikan, bahkan meskipun dosanya sepenuh bumi. [8] Dialah Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Maka, inilah makna ibadah yang sesungguhnya. Seperti yang diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ :مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah sebutan yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang tampak.” [9]

Oleh karena itu, seseorang yang memiliki ilmu akan perkara ini, bisa menjadikan setiap hal dalam kesehariannya sebagai ibadah. Dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dari makan, bekerja, hingga buang air, semuanya  akan bernilai ibadah. Dari mendapat nikmat hingga tertimpa sakit semuanya bisa ia transformasi menjadi pahala akhirat. Demikianlah kehidupan seorang hamba yang alim dan diberi taufik oleh Allah Ta’ala. Ia menjadikan setiap waktu, tempat, aktivitas, dan kondisi sebagai bentuk ibadah dan penghambaan diri kepada Rabb-nya.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2 Bagian 4 Bersambung, Insyaallah

***

Disarikan pada malam 20 Ramadan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

Catatan Kaki:

Untuk terjemahan Al-Qur’an dan hadis, sebagiannya berdasarkan referensi dan artikel yang ada di website Muslim.or.id, Muslimah.or.id, Rumaysho.com, dan Almanhaj.or.id

[1] QS. Az-Zariyat ayat 56.

[2] QS. Al-Kahfi ayat 110. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti engkau, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya sesembahan engkau hanyalah satu saja.” Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.“

[3] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

[4] QS. Al-Furqan ayat 23.

[5] QS. Al-Mulk ayat 2.

[6] QS. Al-Insan ayat 2-3. “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”

Ketika menafsirkan ayat ini, sebagian ulama menjelaskan bahwa ujian yang ada di ayat ini berupa perintah dan larangan, serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh hamba.

[7] QS. Al-Anbiya ayat 35. Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Dalam ayat ini, sebagian ulama, di antaranya Ibnu Katsir, menafsirkan keburukan dan kebaikan berupa musibah dan nikmat yang didatangkan kepada hamba.

[8] HR. At-Tirmidzi nomor 3540. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi itu pula.”

[9] Majmu’ah Al-Fatawa, 10: 149.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84465-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-3.html

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 2)

Mengenal Allah Ta’ala

Tentang kewajiban hamba untuk mengenal Rabbnya, renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allahlah yang telah menciptakan tujuh langit dan demikian pula dengan bumi. Perintah Allah berlaku di antara keduanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” [1]

Maka, pada ayat ini, Allah Ta’ala menyampaikan kepada segenap hamba bahwa tujuan penciptaan langit dan bumi beserta segala ketetapan yang belaku di antara keduanya adalah agar hamba tersebut mengenal Allah. Rabb yang telah menciptakan dirinya beserta seluruh makhluk selainnya. Maka, sudah sepatutnya seorang hamba mencari tahu siapakah Allah dan seperti apa Dia Subhanahu Wa Ta’ala?

Pengetahuan umum tentang Allah, bisa diperoleh seorang hamba melalui tafakkur terhadap ayat-ayat kauniyah atau melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Bahwasanya segala kerumitan, kompleksitas, dan keragaman yang ada pada makhluk, dari tingkatan atom, molekul, sel, organisme hidup, bumi, langit, dan seluruh alam semesta, menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Mereka tidak mungkin muncul secara tiba-tiba dan tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri. Pasti ada Intelligent Design (perancangan cerdas) di balik segala hal yang mengada. Ada Zat Yang Mahasempurna ilmu dan kuasanya yang telah menciptakan mereka. Dan bahwasanya Zat itu pasti tunggal dan Maha Esa (Al-Ahad). Karena jika ia berbilang, tentu para pencipta itu akan saling tanding menghasilkan ciptaan terbaik versi mereka masing-masing, dan terjadilah kehancuran dunia akibat peperangan mereka [2]. Namun, Mahasuci Allah dari yang demikian. Buktinya, dunia ini masih tegak tanpa cacat sedikit pun. Dia, Allah Ta’ala, sangat jauh dari apa yang disangkakan oleh manusia yang lemah dan terbatas daya nalarnya.

Adapun pengetahuan rinci tentang Allah, dan ini hanya didapatkan sebagian kecil saja, tentu harus diambil dari ayat-ayat qauliyah. Melalui apa yang Dia sampaikan sendiri kepada hamba-Nya melalui kitab-Nya. Yakni, melalui Al-Qur’an yang Mulia. Karena tidak ada yang lebih mengenal diri-Nya, kecuali Dia sendiri ‘Azza wa Jalla. Begitu juga, kabar tentang-Nya dapat diperoleh melalui sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni melalui hadis-hadis yang sahih. Karena dialah hamba yang paling dekat dengan-Nya dan beliau mendapatkan pengetahuan langsung tentang Rabb-Nya dari-Nya sendiri ‘Azza wa Jalla. Selain itu, makrifat tentang Allah ini harus diambil sesuai dengan  pemahaman para salaf, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Karena kepada merekalah Al-Qur’an turun dan kepada mereka jugalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara secara langsung.

Di antara pengetahuan yang disarikan dari kedua sumber tersebut adalah bahwa Allah Ta’ala adalah Zat yang azali yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir [3]. Di suatu masa, setelah menciptakan ‘Arsy sebagai makhluk pertama [4], kemudian Allah menciptakan sang pena dan memerintahkannya untuk menuliskan seluruh kejadian pada makhluk dari awal hingga akhir, di dalam sebuah kitab yang terjaga, lauhul mahfudz [5]. Lima puluh ribu tahun setelah itu, Allah kemudian menciptakan tujuh lapis langit beserta bumi dalam enam masa [6]. Begitu juga Allah ciptakan kursi, surga, neraka, malaikat, jin, manusia, hewan, dan seluruh yang ada. Dialah Allah, Rabb semesta alam. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dan segala sesuatu selain dia adalah fana.

Dialah Zat yang memiliki nama-nama yang terindah (asma’ul husna) [7] dan sifat-sifat yang Mahasempurna dan Mahatinggi (sifatul ‘ulya) [8]. Dan inilah poros, sumber, serta sebab asal muasal segala sesuatu. Seluruh ciptaan dan kejadian yang menimpa makhluk adalah pengejawantahan dari seluruh sifat-sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala miliki [9].

Dialah Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq), maka seluruh makhluk menjadi ada. Dialah yang Maha Menguasai (Al-Qadir) dan Maha Mengatur lagi Maha Memelihara (Al-Muhaimin), sampai-sampai matahari, bumi, bulan, dan planet-planet yang beredar di orbitnya serta berputar pada porosnya, tidak bergeser sedikitpun darinya. Semuanya atas pengaturan dan kuasa Yang Maha Merajai (Al-Malik). Dialah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) yang kebaikan-kebaikan-Nya dinantikan seluruh makhluk, baik ikan-ikan di kedalaman lautan, burung-burung di awang-awang, hingga semut-semut yang berbiak di bawah permukaan tanah.

Dialah Al-Bashir (Yang Maha Melihat), As-Sami’ (Yang Maha Mendengar), dan Al-Mujib (Yang Maha Mengabulkan) yang mengijabah doa hamba-Nya yang berada di tiga lapis kegelapan [10]. Dialah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan At-Tawwab (Maha Menerima tobat) yang kepada-Nya manusia yang lengah dan lemah bermaksiat. Bahkan, kegembiraan Allah terhadap tobat hambanya melebihi kegembiraan seorang pengelana yang kehilangan tunggangannya, kemudian tiba-tiba tunggangan itu muncul di hadapannya setelah ia kehilangan harapan dan berputus asa [11]. Seorang hamba yang datang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan menghampiri dan menyambut hamba-Nya dalam keadaan berlari [12].

Sungguh Dialah Rabb Yang Mahabaik (Al-Barr) yang kebaikannya tidak bisa Anda hitung dan tidak bisa pula Anda rinci. Dialah Yang Mahakaya (Al-Ghani) yang tidak membutuhkan rezeki, ibadah, pujian, dan ketaatan hamba-Nya. Bahkan, merekalah yang butuh kepada rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan, jika seluruh makhluk berkumpul untuk menghitung nikmat yang diberikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mampu menghitungnya [13].

Begitu pula pengetahuan dan ilmu Allah, sempurna dari segala sisinya. Dialah Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui hingga yang rinci) yang ilmunya mencakup yang nampak maupun yang tersembunyi, serta yang global maupun yang detail. Mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Bahkan ia mengetahui segala yang tidak terjadi jika ia terjadi. Pengetahuannya meliputi segala hal dan tidak berbatas [14].

Sungguh, Dialah Al-Kabir (Yang Mahabesar). Ia ciptakan manusia dari tanah dan mani yang hina [15], kemudian ia tempatkan mereka sebagai khalifah di atas permukaan bumi [16], di langit lapis pertama. Kemudian, langit pertama ini diliputi oleh langit kedua, yang jarak antara keduanya sejauh 500 tahun perjalanan. Begitu juga langit ketiga, langit keempat, hingga langit ketujuh, saling melingkupi satu sama lain, yang jaraknya masing-masing juga 500 tahun perjalanan. Kemudian tujuh langit ini diliputi oleh kursi Allah [17]. Yang perbandingannya seperti cincin dilemparkan di atas padang pasir.

Begitu juga kursi Allah diliputi oleh ‘Arsy-Nya, yang perbandingannya juga seperti cincin yang dilemparkan di atas padang pasir [18]. ‘Arsy inilah makhluk-Nya yang paling besar, yang dipikul oleh delapan malaikat [19]. Dan salah satu malaikat pemikul ‘Arsy, jarak antara daging telinga dengan pundaknya sejauh tujuh ratus tahun perjalanan [20]. Dan Allah tentu jauh lebih besar dibandingkan semua ini. Dan ia ber-istiwa di atas ‘Arsy [21], di atas semua makhluk-Nya. Dialah  Allah, Rabb Yang Mahaagung lagi Mahabesar. Sementara Anda hanyalah debu dan atom di antara makhluk-makhluk-Nya yang ada.

Maka, apa yang baru Anda baca, berkisar pada dua dari tiga jenis tauhid yang biasa dibicarakan oleh para ulama, yakni tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Pengenalan seorang hamba pada dua jenis tauhid ini berbanding lurus dengan kecintaan dan ketundukannya kepada Rabb-Nya. Semakin ia mengenal Rabb-Nya, maka ia akan semakin taat, semakin khusyuk, semakin berharap, dan semakin cinta kepada-Nya, sekaligus semakin takut akan murka dan siksa-Nya. Sikap ini kemudian akan melahirkan penghambaan diri yang sejati berupa ibadah kepada Allah saja, yang merupakan tujuan kedua penciptaan seorang hamba.

Disarikan pada Malam 20 Ramadhan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan Rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84463-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-2.html