Kenangan di Thaif

Kota yang terletak di dataran tinggi ini menjadi primadona masyarakat Arab. Konglomerat dan keluarga kerajaan memiliki tempat khusus di sana, berupa villa dan istana. Pendiri Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz as-Saud (1876-1953) semasa hidupnya sering menempati istana Shubra. Bahkan, dia wafat di sana.

Anak-anaknya tumbuh dewasa di sana. Salah satunya adalah Sultana bin Abdul Aziz (1928-2008). Jean Sasson dalam Princess More Tears to Cry (2014), menulis masa kecil Sultana yang bahagia tumbuh dan bermain bersama dua anak kembar: Afaf dan Abir.

Biasanya sang putri hanya bermain bersama keluarga bangsawan, tapi ketika itu dia memiliki dua teman yang biasa diajaknya berlari dan bersenang- senang mengelilingi istana megah tersebut.

Raja Faisal bin Abdul Aziz (1906-1975) memanfaatkan istana Shubra untuk dewan pertahanan dan penerbangan. Di sana Raja Faishal merencanakan dan mem-perkuat militer kerajaan bersama para pembantunya.

Di sana pula terdapat taman Raja Faishal yang hijau. Berbagai tumbuhan ada di sana memperindah suasana. Berjalan-jalan di sekitar taman terbatas itu membuat siapa pun tak menyangka bahwa sedang berada di tanah Arab yang selama ini dikenal panas dan gersang.

Saat Tha’if Dikepung 40 Hari

PERANG ini pada hakekatnya merupakan perpanjangan dan kelanjutan dari perang Hunain. Sebab mayoritas pelarian Hawazin dan Tsaqif masuk ke Tha’if bersama komandan tertinggi mereka, Malik bin Auf An-Nashri. Mereka bertahan di sana. Karena itu Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam beranjak ke Tha’if seusai dari Hunain dan setelah rampung mengumpulkan harta rampasan di Ji’ranah.

Khalid bin Walid berangkat lebih dahulu ke sana bersama 1.000 prajurit, kemudian Rasulullah menyusul dengan melewati Nakhlah Al-Yamaniyah, Qarnul Manazil, hingga tiba di Liyyah. Di sana ada benteng milik Malik bin Auf. Beliau memerintahkan untuk menghancurkan benteng tersebut.

Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tha’if. Beliau berhenti tak jauh dari benteng mereka dan berkubu di sana. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengepung benteng tersebut.

Pengepungan ini berjalan cukup lama. Dalam riwayat Muslim dari Anas, tempo pengepungan ini selama 40 hari. Tetapi menurut para penulis sejarah, tidak selama itu. Pada awal pengepungan, orang-orang Muslim mendapatkan serangan anak panah secara gencar.

Cukup banyak orang Muslim yang cedera. Ada 12 orang meninggal dunia, hal ini memaksa mereka mengalihkan kubu ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya di tempat yang didirikannya masjid Tha’if saat ini. Mereka pun bermarkas di sana.

Nabi memasang Manjaniq ke arah penduduk Tha’if di dalam benteng dan melontarkan peluru-peluru batu, hingga dapat merontokkan sebagian dinding benteng dan beberapa prajurit Muslim masuk ke dalam benteng lewat dinding yang sudah terlubangi itu.

Mereka masuk ke arah pagar benteng untuk membakarnya. Tetapi musuh melontarkan besi yang sudah dibakar panas dan juga serangan anak panah ke arah orang-orang Muslim yang masuk ke dalam benteng hingga dapat membunuh sebagian di antara mereka.

Sebagai bagian dari siasat perang, Rasulullah memerintahkan untuk menebangi pohon anggur dan membakarnya. Karena cukup banyak pohon anggur ditebangi, pihak musuh dari Tha’if memohon atas nama Allah dan hubungan kerabatan, agar penebangan itu dihentikan. Beliau mengabulkan permohonan mereka. Lalu beliau berseru, ”Siapa pun yang mau turun dari benteng dan datang ke sini, maka dia bebas.”

Ada 20 orang turun dari benteng dan mendatangi pasukan Muslim. Di antara mereka ada yang dijuluki Abu Bakhra. Pekerjaannya memanjat dinding benteng Tha’if, lalu menjulurkan kerekan bundar untuk mengambil air minum. Maka ia dijuluki Abu Bakrah (tukang kerek).

Beliau membebaskannya dan setiap orang di antara mereka diserahkan kepada seorang Muslim untuk diberi makan.

Setelah pengepungan berjalan sekian lama dan benteng tidak mudah ditaklukkan begitu saja, sementara musuh bisa bertahan di dalam benteng selama setahun, maka Rasulullah meminta pendapat Naufal bin Mu’awiyyah Ad-Dili. Dia berkata, ”Mereka adalah rubah di dalam lubang. Jika engkau tetap mengepung mereka, maka mereka pun tidak akan berbahaya.”

Beliau pun bermaksud hendak meninggalkan benteng dan pergi. Beliau memerintahkan Umar bin Al-Khattab mengumumkan kepada orang-orang, ”Insya Allah besok kita akan pergi.”

Tetapi ada di antara mereka yang keberatan dengan rencana ini. Mereka berkata, ”Maka kita pergi begitu saja dan tidak menaklukkannya?”

“Kalau begitu serbulah mereka!” sabda beliau.

Tetapi justru serbuan yang mereka lakukan mengakibatkan banyak orang terluka, karena benteng musuh memang cukup kuat. Maka beliau bersabda, “Insya Allah besok kita akan pergi.”

Perintah ini justru membuat mereka merasa senang. Karena itu mereka pergi. Melihat hal ini beliau hanya bisa tersenyum. Setelah mereka beranjak pergi, beliau bersabda, ”Ucapkanlah, ’Kami pasrah, bertaubat, menyembah dan kepada Rabb kami memuji.’”

Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, berdoalah bagi kemalangan Tsaqif.”

Maka beliau bersabda,”Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi penduduk Tsaqif dan limpahilah mereka.”*/Sudirman STAIL (sumber buku: Sirah Nabawiyah, penulis: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri)

 

HIDAYATULLAH