Sahur dan Berbuka dengan Thibbun Nabawi

Rasa lemah dan mengantuk saat puasa bisa jadi karena asupan saat sahur dan buka

Puasa dalam Islam jauh lebih dari sekedar himyah (menahan makan). Puasa dalam Islam adalah ibadah, bentuk penyehatan diri dan untuk menggapai takwa. Maka ada baiknya kita mempelajari juga perihal berbuka dan bersantap di antara dua puasa agar ketika berpuasa tidak mengalami gangguan, penyakit atau kelemahan fisik.

Rasa lemah dan mengantuk terus-menerus yang sering mendera selama Ramadhan dan akhirnya membuat malas melaksanakan ibadah lainnya, bisa jadi dipengaruhi asupan sejak berbuka hingga sahur.

Terlalu banyak makan dapat menyebabkan lambung menjadi dingin (kurang enzim pencernaan). Mengonsumsi berbagai makanan, seperti yang lambat dan cepat dicerna secara bersamaan, justru dapat menyebabkan penyakit. Oleh karenanya Rasulullah SAW pun ketika dapat tersedia makanan, beliau memilih menu berbuka dan sahur yang sederhana lagi baik untuk tubuh.

Berikut ini makanan dan minuman yang terdokumentasi dalam hadits dan dapat menjadi pilihan untuk sahur dan berbuka :

  1. Ruthob (Kurma Segar)

“Rasulullah SAW biasa berbuka dengan rothob (kurma segar) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Menurut Ibnu Muflih, sifat kurma ruthob panas dan lembab pada tingkat kedua, dapat menguatkan lambung yang dingin dan cocok untuk tipe lambung tersebut. Ruthob dapat meningkatkan libido dan memberi nutrisi untuk tubuh.

Namun bagi yang belum terbiasa mengonsumsinya bisa mengalami pusing, sembelit dan nyeri kandung kemih apabila terlalu banyak memakannya. Untuk mencegah hal tersebut dapat mengonsumsi ruthob bersama dengan mentimun atau semangka.

  1. Tamr (Kurma Kering)

Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian akan berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma sebab kurma itu berkah, kalau tidak ada, maka dengan air karena air itu bersih dan suci.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)

Kurma kering (tamr) saat ini telah sangat mudah ditemukan di Indonesia, tak hanya banyak di bulan Ramadhan. Tentunya menu ini sangat memungkinkan untuk diterapkan sebagai makanan utama ketika berbuka, tentunya juga sahur.

Hadits Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, “Sebaik-baik (menu) makan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma kering).” (Riwayat Abu Dawud: 23345, hadits ini hadits shahih)

Mengenai berbuka dengan tamr, Ibnu Muflih menjelaskan, puasa itu mengosongkan perut dari makanan, sehingga liver dan stamina pun melemah. Sedangkan stamina sangat tertarik dan suka kepada sesuatu yang manis, sehingga ia bisa menguat dengan cepat bila mendapatkannya.

Kurma, khususnya ruthob dan tamr adalah makanan pokok penduduk Madinah zaman Rasulullah SAW. Mereka memperlakukannya seperti nasi bagi orang Indonesia. Apabila kita telah terbiasa insya Allah bersantap sahur dengan tamr akan mendapatkan manfaat yang sama. Namun apabila belum terbiasa bisa saja mengalami efek samping berupa sakit kepala, haus dan perut terasa panas. Hal itu dapat diatasi dengan meminum sakanjabin setelah mengonsumsi tamr yang resepnya telah dijelaskan di edisi lalu.

Apabila kurma terlalu manis, efek negatif yang ditimbulkan adalah rasa haus, maka dapat berbuka dan sahur dengan kurma dan segelas air. Kurma tersebut juga dapat dibuat naqi’ agar tidak terlalu manis dan lebih cepat diserap tubuh. Selain itu bagi ibu hamil dan menyusui dapat mengonsumsi kurma tamr yang direndam dalam susu.

  1. Susu

Dari Anas RA berkata, “Adalah (Nabi) SAW bila puasa, beliau berbuka dengan susu.” (Riwayat Thabarani dan Daraquthni, hadits lemah)

Dalam hadits ini susu yang dimaksud adalah laban, bahasa lainnya labneh, yaitu berupa susu yang telah diasamkan, seperti yoghurt. Sedangkan susu yang segar dan belum asam disebut laban halib. Hadits ini lemah.

Rasulullah SAW sering meminum susu di malam hari, misalnya ketika beliau sedang dalam perjalanan hijrah dan menetap di gua. Penggembala kambing milik Abu Bakar RA lah yang memasak dan membawakan laban marduf untuk mereka berdua.

  1. Sawiq (Air Biji Barley-Gandum)

Dari Abdullah bin Abi Aufan RA, dia berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ketika matahari terbenam, dia berkata kepada sebagian orang, ‘Wahai fulan, campurkan sawiq dengan air dan aduklah agar dapat kita minum.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu untuk kami.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu.’ Dia berkata, ‘Hari masih siang.’ Maka dia singgah untuk membuatkan minuman, lalu Nabi SAW meminumnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menyaksikan malam telah datang dari sini dan sini, maka orang berpuasa boleh berbuka.” (Riwayat Bukhari (1955) dan Muslim (1101))

Sawiq adalah minuman yang menyegarkan dan bergizi. Biasanya terbuat dari butir biji-bijian seperti biji barley atau gandum yang telah disangrai, ditambah dengan kacang-kacangan seperti almond, gula dan air. Minuman ini dapat membuat wanita menjadi gemuk berisi, cantik dan sehat.

Sawiq yang dibuat dari gandum dapat meredakan hawa panas dan haus, direkomendasikan untuk orang-orang dengan liver yang bersifat panas. Sawiq dari tepung barley lebih mendinginkan, menutrisi, lebih manis dan lebih lembut dari sawiq gandum.

Sawiq adalah menu berbuka bagi para traveller, terutama seperti yang dialami oleh Rasulullah SAW yang harus mengembara menerjang gurun yang panas. Berbuka dengan sawiq akan menyegarkan tubuh dan meredakan panas tubuh serta haus yang sangat.

Di zaman Rasulullah SAW lebih mudah ditemukan biji barley sebagai makanan pokok dibanding gandum. Sementara di Indonesia gandum lebih mudah didapat dibanding dengan biji barley. Dalam kitab At-Tabikh, Ibnu Sayyar menempatkan satu bab mengenai resep sawiq bagi kalangan traveller.

  1. Air

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah! meski hanya dengan meminum seteguk air” (Riwayat Ibnu Hibban (3476), hadits ini hasan)

Air adalah materi paling sederhana, juga untuk keadaan darurat bagi menu sahur dan berbuka, mengingat pentingnya menjaga kesehatan air dapat melaksanakan tugas itu. Wallahu ‘Alam, semoga bermanfaat!

Oleh : Joko Rinanto, S.Farm

HIDAYATULLAH

Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 3)

Dua Sikap Ekstrim dan Satu Sikap Pertengahan dalam Menyikapi Thibb Nabawi

Dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, kita dapati sikap dua kelompok masyarakat yang kurang tepat.

Pertama, mereka yang belum mengenal bentuk-bentuk pengobatan seperti iniHal ini merupakan sikap yang kurang tepat, karena secara tidak langsung menunjukkan kurangnya perhatian mereka dalam membaca dan menelaah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membicarakan tentang jenis-jenis thibb nabawi dan bahkan sebagiannya tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim? Oleh karena itu, jika ada sebagian di antara kita yang tidak mengenal al-hijamah, habbatus sauda, atau metode thibb nabawi lainnya, bisa jadi hal ini menunjukkan kurangnya perhatian mereka terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kondisi yang lebih parah adalah mereka yang mengenal thibb nabawi, namun kemudian tidak beriman, tidak percaya, disertai sikap mencibir dan merendahkan pengobatan thibb nabawi. Hal ini pun kurang tepat. Karena konsekuensinya, berarti mendustakan banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini.

Ke dua, mereka yang berlebih-lebihan dalam mendudukkan thibb nabawi. Bagi mereka, thibb nabawi adalah satu-satunya bentuk pengobatan yang harus dipilih. Selain thibb nabawi adalah pengobatan yang salah, tidak “nyunnah”, dan tidak boleh ditempuh, apa pun dan bagaimana pun kondisi penyakit yang mereka derita. Atau menjadikan thibb nabawi sebagai standar apakah seseorang itu termasuk ahlus sunnah ataukah bukan. Yang berobat hanya dengan thibb nabawi berarti ahlus sunnah tulen, sedangkan mereka yang berobat dengan pengobatan medis berarti kurang “nyunnah” atau diragukan ke-ahlus-sunnah-annya.

Di antara sikap dan perilaku yang muncul dari masyarakat kelompok ke dua ini antara lain:

  1. Menganjurkan dilakukannya tindakan penyuntikan sari atau ekstrak habbatus sauda atau air zam zam, baik secara langsung melalui jarum suntik atau secara tidak langsung melalui cairan infus. Padahal, tindakan ini berbahaya dan dapat mengancam nyawa.
  2. Lebih memilih thibb nabawi tanpa memperhatikan kondisi penyakit yang diderita. Padahal, penyakit tersebut memerlukan tindakan pembedahan segera (karena ada kelainan anatomis), atau memerlukan penggantian cairan tubuh secara darurat (misalnya dehidrasi berat karena diare), dan kondisi-kondisi lainnya.
  3. Mengklaim bahwa thibb nabawi dapat menggantikan fungsi vaksin. Cukup diberikan madu, kurma, dan habbatus sauda, itu sudah berfungsi sebagai vaksin.
  4. Menganggap tahnik pada bayi baru lahir adalah imunisasi alami, bahkan lebih jauh dari itu, dapat berfungsi sebagai media transfer kesalihan seseorang.
  5. Mengklaim bahwa ibu-ibu yang akan melahirkan dan dalam kondisi gawat darurat dan harus dilakukan tindakan operasi sesar, bisa diganti dengan diruqyah dan tidak perlu dioperasi.

Contoh-contoh di atas menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, apalagi hal ini kemudian dihubung-hubungkan dengan tingkat keimanan seseorang. Mereka yang hanya mau melakukan ruqyah dianggap paling tinggi imannya, sedangkan mereka yang menempuh pengobatan medis dianggap kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala.

Sikap pertama dan ke dua di atas adalah sikap yang kurang tepat.

Ke tiga, sikap yang terbaik adalah sikap pertengahan, yaitu tidak bersikap meremehkan (apalagi mendustakan) dan tidak pula bersikap berlebih-lebihan. Yaitu, kita beriman dengan hadits-hadits yang berbicara thibb nabawi. Namun, kita dudukkan thibb nabawi secara proporsional. Artinya, kita juga menempuh pengobatan medis jika memang terbukti bermanfaat. Sebagaimana dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminta tolong kepada tabib untuk mengobati sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit. Dan sikap ini pula yang dicontohkan oleh para ulama rahimahumullahu Ta’ala sebagaimana penjelasan selanjutnya.

Contoh Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Ulama dalam Menyikapi Metode Pengobatan Orang Kafir

Mengapa kita mengatakan bahwa sikap ke tiga, yaitu sikap pertengahan, merupakan sikap yang terbaik berkaitan dengan thibb nabawi? Hal ini karena kita dapati contoh teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan thibb nabawi ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber referensi utama kita dalam mengenal dan mempelajari thibb nabawi. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata juga bersikap terbuka dengan metode pengobatan atau praktik-praktik kesehatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Dari Jadamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا

“Sungguh aku berkeinginan untuk melarang kalian dari melakukan ‘al-ghilah’ (yaitu, menyetubuhi istri ketika sedang menyusui anaknya). Namun aku melihat (orang-orang) Romawi dan Persia, mereka melakukan ‘al-ghilah’ terhadap anak mereka, dan tidak membahayakan (anak-anak) mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1442)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang perbuatan menyetubuhi istri ketika menyusui berdasarkan pengetahuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap praktek dan pengalaman orang-orang Romawi dan Persia yang notabene adalah bangsa non-muslim.

Dalam hadits yang lain, dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

“Pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku. Beliau meletakkan tangannya di antara dua buah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”(HR. Abu Dawud no. 3875) [1]

Meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ramuan obat yang sebaiknya diminum, beliau tidak meracik dan mengobati sahabatnya sendiri. Beliau meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar menemui ke Al-Harits bin Kalidah yang merupakan seorang tabib.

Demikian pula teladan dari ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mempelajari berbagai jenis metode pengobatan. Hisyam bin ‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

يَا أُمَّتَاهُ لَا أَعْجَبُ مِنْ فِقْهِكِ أَقُولُ زَوْجَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَلَا أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالشِّعْرِ وَأَيَّامِ النَّاسِ أَقُولُ: ابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَكَانَ أَعْلَمَ النَّاسِ وَلَكِنْ أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالطِّبِّ كَيْفَ هُوَ؟ وَمِنْ أَيْنَ هُوَ؟ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: فَضَرَبَتْ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَتْ: أَيْ عُرَيَّةُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْقَمُ فِي آخِرِ عُمُرِهِ فَكَانَتْ تَقْدُمُ عَلَيْهِ الْوُفُودُ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ فَتَنْعَتُ لَهُ فَكُنْتُ أُعَالِجُهُ فَمِنْ ثَمَّ

“Wahai ibu (ummul mukminin), saya tidak heran ketika Engkau menguasai ilmu fiqh karena Engkau adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak Abu Bakar. Saya juga tidak heran ketika Engkau pandai ilmu sya’ir dan sejarah manusia (Arab) karena Engkau adalah anak Abu Bakar dan Abu Bakar adalah manusia yang paling pandai (mengenai sya’ir dan sejarah Arab, pen.).

Akan tetapi, saya heran ketika Engkau mengusasi ilmu pengobatan (kedokteran), bagaimana dan dari mana Engkau mempelajarinya?

Kemudian ia menepuk kedua pundakku dan berkata, “Wahai Urwah yunior, setiap utusan kabilah yang datang dari berbagai penjuru untuk mengobati sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhir hayatnya, aku deskripsikan sakit yang diderita Nabi kepada dokter yang datang lantas aku yang menjelaskan resep yang diberikan dokter tersebut. Dengan hal ini aku menguasai ilmu kedokteran.” (Hilyatul Auliya’, 2: 50)

Kisah di atas menguatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mempelajari berbagai model pengobatan dari berbagai sumber, meskipun beliau sendiri adalah di antara sahabat yang paling dalam ilmunya terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula sikap yang dicontohkan oleh para ulama kita rahimahumullah. Kita dapati perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani. Padahal mereka adalah orang-orang kafir.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu tentang halal dan haram (yaitu ilmu agama, pen.)- yang lebih berharga daripada ilmu kedokteran. Akan tetapi, ahli kitab telah mengalahkan kita.” (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pun menyesalkan kaum muslimin yang menyia-nyiakan dan lalai untuk belajar ilmu kedokteran. Beliau mengatakan,

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Mereka (umat Islam) telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (yang beliau maksud adalah ilmu kedokteran, pen.) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani. (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Tidak kita ragukan bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah ulama yang memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan thibb nabawi. Dan jika menurut beliau itu sudah cukup, lalu untuk apa beliau memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani, dan bahkan menyesalkan kondisi kaum muslimin yang jauh tertinggal dalam bidang ilmu kedokteran dibandingkan mereka?

Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa sikap terbaik adalah sikap pertengahan. Yaitu kita beriman dengan keutamaan thibb nabawi sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan tetap bersikap proporsional. Di antaranya dengan bersikap terbuka terhadap metode pengobatan yang dikembangkan ilmu kedokteran medis saat ini, selama tidak menyelisihi hukum-hukum syariat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أرى أن يجمع الإنسان بين هذا وهذا ولا منافاة بأن يجمع بين الرقية الشرعية وكذلك الأدوية الحسية ولا مانع

“Saya berpendapat hendaknya manusia menggabungkan antara ini (ruqyah syar’iyyah, pen.) dan ini (ilmu pengobatan, pen.). Tidak ada pertentangan dan penghalang dalam menggabungkan ruqyah syar’iyyah dan ilmu pengobatan.” (Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14) [2]

Beliau rahimahullah juga berkata,

الأمراض النفسية كثيراً ما تستعصي على الأطباء إذا عالجوها بالأدوية الحسية، ولكن دواؤها بالرقية ناجع ومفيد ، وكذلك الأمراض العقلية، تنفع فيها الأدوية الشريعة وقد لا تنفع فيها الأدوية الحسية، لذلك أريد منكم أيها الأخوة أن تلاحظوا هذا وإذا أمكنكم أن تجمعوا بين الدواءين فهو خير، أي الحسي والشرعي، حتى تصرفوا قلوب المرضى إلى التعلق بالله عزوجل وآياته، وحينئذ أحيلكم إلى الكتب المؤلفة في هذا الشأن، أن تطالعوها وتحفظوها وترشدوا إليها المرضى، لأن تعلق المريض بالله عز وجل له أثر قوي في إزالة المرض أو تخفيف المرض

“Penyakit kejiwaan itu banyak, yang tidak mampu diobati oleh para dokter dengan pengobatan fisik. Akan tetapi, pengobatan dengan ruqyah akan berhasil dan bermanfaat. Begitu juga penyakit akal, terkadang pengobatan syar’i akan bermanfaat, namun pengobatan fisik tidak mendatangkan manfaat.

Oleh karena itu, aku menginginkan kalian saudara-saudaraku (para dokter) untuk memperhatikan hal ini. Dan jika memungkinkan bagi kalian untuk menggabungkan kedua jenis pengobatan ini, tentu lebih baik, yaitu pengobatan fisik dan pengobatan syar’i. Sehingga hal ini akan mendorong kalian untuk mempelajari buku-buku yang membahas ruqyah, menelaah, menghapal, dan mengarahkan orang sakit untuk membaca buku ruqyah. Bergantungnya hati orang sakit kepada Allah Ta’ala memiliki pengaruh yang kuat untuk menghilangkan atau meringankan penyakit.” (Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14)

Semoga dengan penjelasan ini dapat membuka ilmu dan pengetahun saudara-saudara kami yang masih berlebih-lebihan dalam menyikapi thibb nabawi.

Selesai

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47429-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-3.html

Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 2)

Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Murni Ibadah ataukah Ada Manfaat Kesehatan?

Ibadah dan mentauhidkan Allah Ta’ala merupakan tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Di atas pondasi inilah, seluruh ajaran dan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpangkal, yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan umatnya dari kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan),’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl [16]: 36)

Sehingga tujuan utama dari amal yang kita lakukan adalah beribadah dan mengharap pahala dari-Nya, bukan tujuan-tujuan rendah yang sifatnya duniawi semata, termasuk tujuan kesehatan.

Oleh karena itu, berkaitan dengan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manfaat kesehatanharus kita bedakan beberapa jenis ini:

Pertama, murni ibadah atau mencari keberkahan (tabarruk).

Jenis pertama, yaitu syariat yang dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena murni ibadah kepada Allah Ta’ala atau dalam rangka mencari berkah (tabarruk). Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Ada atau tidak ada manfaat kesehatan yang diperoleh, amal tersebut hukumnya bisa jadi sunnah atau wajib.

Contoh, tahnik bayi baru lahir. Hukum tahnik kepada bayi baru lahir adalah sunnah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam rangka tabarruk (mencari berkah dengan beribadah kepada Allah Ta’ala)Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu yang diterima oleh sang bayi. Oleh karena kita, kita pun melakukan tahnik dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala (bukan karena mencari berkah dari air liur pentahnik).

Kami jumpai beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan manfaat tahnik bagi kesehatan bayi, misalnya untuk meningkatkan kadar glukosa darah bayi. Namun, tampaknya jauh sekali dan tidak didukung oleh pembuktian yang valid. Karena kuantitas lumatan kurma tentu sangat sedikit (minimal) sekali dan juga bervariasi antar individu pentahnik. Oleh karena itu, hendaknya kita mencukupkan diri dengan penjelasan ulama bahwa hikmah tahnik adalah agar yang pertama kali masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis dan tidak perlu menghubung-hubungkan atau mencari-cari manfaat kesehatannya jika kita tidak memiliki bukti yang valid.

Contoh ke dua, yaitu perintah memanjangkan jenggot bagi kaum laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Pangkaslah kumis dan lebatkanlah jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893 dan Muslim no. 259)

Berdasarkan perintah ini, memanjangkan jenggot hukumnya wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengaitkannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai seorang muslim yang baik adalah melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun tidak ada manfaat kesehatan yang nyata bagi tubuh kita.

Ke dua, perbuatan yang beliau kerjakan karena ada manfaat kesehatan tertentu.

Contohnya adalah bekam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bekam, dan beliau jelaskan bahwa ada manfaat kesehatan, bahkan beliau sebut sebagai sebaik-baik metode pengobatan. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah bekam itu sunnah atau mubah, maka jelas sekali bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan bekam dengan manfaat kesehatan.

Oleh karena itu, jika kita berbekam, kita bisa meniatkan untuk mengikuti (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berpahala. Di samping kita juga menginginkan adanya manfaat langsung bekam tersebut untuk kesehatan tubuh kita.

Dua hal ini hendaknya bisa dibedakan dan tidak dicampur-adukkan. Oleh karena itu, kita tidak boleh meng-klaim perbuatan yang dilakukan Nabi dalam rangka murni ibadah (jenis pertama), lalu kita katakan bahwa perbuatan tersebut memiliki manfaat kesehatan tertentu, tanpa ada dalil yang valid atau penjelasan para ulama terpercaya.

Perhatian Penting:

Sebagai sebuah metode pengobatan, thibb nabawi tidak hanya berbicara tentang jenis teknik (misalnya bekam) atau bahan (misalnya madu) yang digunakan. Akan tetapi, thibb nabawi adalah metode atau konsep yang kompleks, mencakup bagaimana mengetahui (mendiagnosis) penyakit, mengetahui dosis, indikasi, dan kontraindikasi suatu obat tertentu, dan sebagainya. Hal ini agar metode thibb nabawi tersebut menjadi metode pengobatan yang manjur (mujarab). Jika tidak terpenuhi, maka metode pengobatan tersebut, meskipun metode thibb nabawi, tidak akan memberikan kesembuhan.

Kompleksnya konsep metode thibb nabawi ini dapat kita ketahui dari penjelasan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala, salah seorang ulama pakar thibb nabawi, tentang syarat-syarat agar suatu metode pengobatan itu manjur (mujarab). Hal ini telah kami bahas di tulisan kami yang lain, sehingga silakan merujuk ke sana. [1]

[Bersambung]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47425-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-2.html