Tag: Ramadhan
Hakikat Menahan Diri dalam Puasa Menurut Grand Syekh Al Azhar
Bulan puasa merupakan salah satu bulan yang selalu dinanti oleh seluruh umat Islam di mana pun berada. Bagaimana tidak, pada bulan ini semua orang akan berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan membersihkan diri dari segala bentuk kedurjanaan yang menghinggapi diri. Berikut ini rahasia menahan diri dalam berpuasa.
Banyak yang beranggapan bahwa menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa⎯mulai dari makan, minuman, atau pun bersenggama⎯merupakan suatu perkara yang begitu berat (masyaqah) di dalam ibadah puasa. Namun siapa sangka, ketika ditelisik dengan seksama, justru kepayahan tersebut memiki beberapa rahasia (sir) atau falsafat yang tiada tara.
Rahasia Menahan Diri dalam Puasa
Grand Syekh Al Azhar, Syekh Ahmad Tayyib dalam bukunya yang berjudul “Min Dafatiry Al Qadimah” menjelaskan beberapa rahasia atau falsafat yang cukup menarik terkait ibadah puasa, salah satunya perihal falsafah menahan diri (At Tark).
Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan bahwa kepayahan (masyaqah) yang ada di dalam puasa sebenarnya tidak lepas dari falsafah “At Tark” itu sendiri; sebab ketika kita merenungkan perihal rukun islam,–mulai dari membaca syahadat, shalat, zakat, atau pun haji–pasti kita akan temukan bahwa ke empat rukun tersebut dibangun atas asas mengerjakan (Al Fi’l) dan meninggalkan (At Tark).
Sedangkan puasa, ia hanya berasaskan At Tark saja, yakni meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh nafsu serta dapat membatalkan puasa. Dalam puasa tidak ada sama bentuk (format) ibadah bisa dikerjakan, beda halnya dengan empat rukun islam di atas.
Falsafat ketiadaan (Al Adamiyyah) inilah yang menyebabkan eksistensi puasa bersifat rahasia di mata manusia, selama yang bersangkutan tidak mempublikasikannya. Hanya Allah dan orang yang berpuasa saja yang mengetahuinya, bahkan sampai-sampai dikatakan bahwa malaikat Hafadzah tidak menulis ganjaran ibadah puasa, sebab ia tidak bisa melihatnya.
Oleh sebab itu, puasa merupakan satu-satunya ibadah yang sangat sulit diselubungi sifat riya, berbeda halnya dengan ibadah-ibadah lainnya yang dapat dengan mudah diselubungi sifat riya, baik dalam skala kecil maupun besar.
Selain itu, seluruh amal ibadah mempunyai potensi untuk dinikmati oleh pelakunya kecuali puasa; sebab dalam puasa tidak ada ruang bagi jiwa-raga manusia untuk merasakan kenikmatannya, bahkan secara tabiat, puasa selamanya akan menimbulkan kepayahan dan kemasyaqahan yang berat bagi pelakunya.
Maka tidak heran, jika puasa memiliki keistimewaan tersendiri di hapadan Allah swt, sebagaimana termaktub dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah di dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ
“Seluruh amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri kecuali puasa, sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku sendiri lah yang akan membalasnya”. (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam menafsiri hadits tersebut, Ulama-ulama Arifin memiliki penafsiran yang cukup menarik, diantaranya:
Pertama, tidak membutuhkan (Al Istighna) makan dan minum merupakan salah satu dari sebagian sifat Allah Swt. Oleh sebab itu, ketika berpuasa seakan-akan manusia menyembah Allah dengan salah satu dari sebagian sifat-Nya dan ia berusaha untuk bertingkah laku (Takhalluq) seperti tingkah laku-Nya Allah Swt.
Kedua, puasa tidak bisa dijadikan sarana ibadah terhadap selain Allah, seperti halnya orang-orang kafir yang tidak pernah mengagungkan berhala-berhala mereka melalui sarana puasa.
Ketiga, ketika hari kiamat kelak, seluruh amal ibadah manusia dapat berkurang dan ganjarannya diberikan terhadap orang yang pernah ia alami, kecuali puasa. Ganjarannya tidak akan berkurang sama sekali, walaupun ia memiliki hak adami (dosa terhadap sesama manusia) atau pernah berbuat zalim terhadap orang lain.
Itulah sekelumit rahasia falsafat menahan diri (At Tark) dalam puasa yang dikemukan oleh Grand Syekh Al Azhar Syekh Ahmad Tayyib di dalam bukunya. Semoga bermanfaat.
Tiga Waktu Mustajab Berdoa di Ramadhan
Berikut ini tiga waktu mustajab berdoa di Ramadhan. Tidak terasa kita hampir memasuki pertengahan bulan Ramadhan. Bulan suci yang dipenuhi oleh limpahan rahmat dan berkah dari Allah SWT.
Setiap Ramadhan umat muslim berlomba-lomba dalam memperbaiki ibadah dan memperkuat keimanan, dan tak terkecuali pula mereka khusyuk dalam berdoa memohon agar segala hajat dan keinginanya dapat dikabulkan oleh Sang Pencipta.
Dalam ajaran Islam sendiri, terdapat beberapa masa yang dikenal sebagai waktu mustajab berdoa. Terlebih di bulan suci Ramadhan, ada waktu-waktu tertentu apabila seorang hamba menengadahkan tangan kepada Tuhannya, maka doanya itu sulit tertolak.
Lantas, kapan saja waktu mustajab berdoa di bulan Ramadhan? Merujuk dari sejumlah hadis shahih berikut ini diantaranya waktu mustajab untuk berdoa :
Pertama, waktu Sahur
Perlu diketahui, waktu mustajab berdoa di bulan Ramadhan pertama adalah waktu sahur. Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa sahur menjadi waktu ketika rahmat tersebar, nikmat menjadi semakin sempurna, dan permintaan dikabulkan.
Umumnya masyarakat mengisi waktu ini dengan kegiatan makan dan minum sebagai persiapan diri untuk puasa seharian. Padahal, sahur lebih dari sekadar makan dan minum. Sahur sendiri berlangsung pada sepertiga malam terakhir.
Waktu ini merupakan saat di mana Allah SWT turun ke langit dunia. Bukan sekadar turun ke dunia, Allah juga akan mengabulkan setiap doa hamba-Nya.
“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Di samping dianjurkan untuk berdoa, kaum muslimin juga sangat didorong untuk memperbanyak istigfar dan memohon ampun ke Allah SWT. Berdasarkan hadis di atas, apabila detikers sungguh-sungguh dalam berdoa maupun beristighfar, niscaya Allah akan memberi ampunan dan pengabulan untukmu.
Kedua, Selama Berpuasa
Ketika kita berpuasa di bulan Ramadhan, berarti bukan sekadar memenuhi kewajiban semata. Perlu diketahui, doa orang yang berpuasa tergolong mustajab dan sulit tertolak. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda;
“Tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad, 2: 305)
Lantas doa apa yang bisa dipanjatkan? Tentu apa saja dapat kita memintakan kepada Allah SWT, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Namun, Imam Nawawi mengingatkan agar tidak lupa untuk turut mendoakan kaum muslimin secara umum.
Ketiga, Saat Buka Puasa
Yang terakhir yakni waktu mustajab berdoa di bulan Ramadhan terakhir adalah ketika berbuka puasa. Selain dalam hadis riwayat Ahmad di bagian sebelumnya, disebutkan pula tentang keutamaan berdoa di waktu berbuka dalam riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash RA. Nabi SAW bersabda;
“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah 1753, sahih menurut Al-Bushiri)
Kenapa doa orang yang berbuka puasa mudah diijabah? Berdasarkan penjelasan dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7:278), hal itu karena orang yang berpuasa telah selesai dalam menjalankan ibadahnya. Bukan hanya itu, orang yang puasa juga cenderung dalam keadaan tunduk kepada Allah.
Adapun doa yang dibacakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, baik berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Sebagaimana pandangan salah satu ulama Indonesia, Ustaz Adi Hidayat mengatakan umat Islam bisa berdoa setelah membacakan doa ketika berbuka puasa dan makan hidangan berbuka.
Adapun doa berbuka puasa yang dapat dibacakan adalah
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Zahabazzamau wabtalatil ‘uruku wa sabatil aljru insya Allah
Artinya: “Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah, dan telah diraih pahala, insya Allah.” (HR. Abu Daud no. 2357).
Sementara itu, doa bebas yang dapat dibacakan di waktu berbuka puasa adalah
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
Allahumma laka shumtu babika amantu wa ‘ala rizkqika afthartu birahmatika ya arhamarrohimin
Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Demikian diantaranya ada tiga waktu mustajab berdoa di bulan Ramadhan, yaitu waktu sahur, selama berpuasa, dan saat berbuka puasa. Yuk, perbanyak doa kepada Allah SWT di ketiga waktu tersebut agar segala hajat yang diinginkan insyallah dikabulkan.
*Editor; Zainuddin Lubis
Ramadhan, Saat Tepat Menyerap Solusi Langit Menghadapi Keterpurukan Bangsa
Ramadhan bisa menjadi media tepat mengangkat segala kesulitan hidup bangsa ini, dan mengirimkan kita pemimpin dan penyelenggara negara yang jujur
Oleh: H. J. Faisal
Hidayatullah.com | SOLUSI untuk segala macam permasalahan yang ada di dalam bangsa ini sebenarnya sudah ada. Ya, ini adalah solusi dari langit, solusi yang datangnya dari Tuhan langsung, Allah Ta’alla, bukan dari manusia-manusia yang terkadang merasa memiliki kemampuan atau ilmu yang lebih dari Tuhan.
Allah Ta’alla sebenarnya telah memberi sebuah solusi yang sangat manjur atas segala macam permasalahan yang membelit sebuah bangsa, yaitu dengan menjadi sebuah bangsa yang bertaqwa, yang dimana isi dari bangsa tersebut adalah manusia-manusia atau hamba yang bertaqwa, bukan hamba yang durhaka.
Bagi manusia yang menjalankan agamanya (khususnya muslim) secara setengah-setengah (ibadah wajibnya dijalankan, tetapi maksiatnya juga lancar), hal tersebut mungkin terdengar sangat naif dan tidak ada hubungan ilmiahnya. Tetapi sikap dan pemikiran manusia-manusia ‘serba tanggung’ seperti ini juga sudah diperingatkan oleh Allah Ta’alla.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’alla terangkan di dalam firman-Nya, di dalam Surah Al-A’raf: 96, yang artinya:
وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf:96).
Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan, yang dimaksud keberkahan dari langit dan bumi adalah hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu, Al-Baghawi dalam kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil menjelaskan, keberkahan dalam ayat tersebut adalah diluaskan dan dimudahkannya berbagai macam kebaikan di seluruh penjuru.
Ramadhan Solusi Keterpurukan
Banyak cara agar manusia menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah Ta’alla, salah satunya adalah dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Hal ini sesuai dengan yang telah Allah Ta’alla firmankan di dalam Al-Quran Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman, yang artinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. (berpuasa) agar kamu bertaqwa.” (QS: Al-Baqarah: 183).
Tak hanya dalil Al-Quran, dalil hadits pun juga menegaskan posisi hukum puasa Ramadhan.
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: ” Rasulullah ﷺ bersabda: ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR: Al Bukhari dan Muslim).
Menurut tafsir dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan, yaitu:
1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah Ta’alla berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’alla, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa.
2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’alla, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah Ta’alla mengawasinya
3.Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya, maksiat pun dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga niatnya untuk berbuat kejahatan, seperti korupsi, mencuri, membunuh, menindas, mabuk, berzina, membohongi rakyat, curang, pamer harta, mencari-cari cara untuk memuluskan jalan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menilap uang pajak negara, dan segala bentuk kejahatan pribadi maupun kejahatan sosial lainnya dapat dihilangkan.
4.Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan dan keimanan kepada Allah Ta’alla, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa.
5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar, sehingga ia akan lebih peduli dan berempati kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”.
Ramadhan sesungguhnya adalah kesempatan bagi umat manusia untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari Allah Ta’alla. Dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan, manusia sebagai hamba Allah Ta’alla digembleng untuk menjadi hamba yang bertaqwa, sehingga dengan menjadi hamba yang bertaqwa.
Karenanya pasti Allah Ta’alla akan meridhoi, menyelamatkan dan memberkahi negeri dimana manusia-manusia itu tinggal. Apakah ada keberuntungan yang lebih tinggi di dunia ini, selain keberuntungan karena ridho, keberkahan, dan keselamatan dari Allah Ta’alla?
Dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan, dan mendidik diri menjadi pribadi yang bertaqwa, itu artinya kita telah menyelamatkan bangsa dan negara kita dari keterpurukan akibat dari kebodohan kita sendiri, dan semoga berlanjut terus di 11 bulan berikutnya, dan begitupun seterusnya sampai menjelang hari akhir.
Dengan demikian jelaslah bahwa selama ini, dari banyaknya kesulitan atau masalah yang membelit negeri ini, baik itu dalam masalah rendahnya adab, ekonomi, politik, hukum, Pendidikan, dan lainnya, apakah kita sebagai manusia-manusia hamba Allah Ta’alla yang tinggal di negeri yang bernama Indonesia ini sudah termasuk kategori sebagai manusia atau hamba yang bertaqwa menurut Allah Ta’alla?
Atau mungkin sebaliknya, kita masih termasuk kategori sebagai manusia dan hamba yang mendurhakai-Nya, sehingga terlalu banyak kesulitan atau masalah yang membelit negeri ini, yang notabene disebabkan oleh kebodohan dan ‘ngeyelnya’ manusia-manusia Indonesia (baca: kita) itu sendiri.
Ya, bodoh karena tidak pernah mau mencaritahu semua petunjuk dari Allah Ta’alla, dan ‘ngeyel’ karena kalaupun kita sudah tahu tentang petunjuk-petunjuk-Nya tersebut, kita malah membandingkan semua petunjuk-petunjuk Allah Ta’alla tersebut dengan segala ‘petunjuk-petunjuk’ dari sesama manusia lainnya, atau juga malah membandingkannya dengan hukum-hukum buatan manusia.
Jadi, janganlah merasa heran jika harga-harga kebutuhan pokok selalu menjadi naik menjelang bulan suci Ramadhan, dan inflasi harga yang tinggi di setiap tahunnya. Mungkin itulah ‘resiko’ yang harus kita terima karena ketidakbertaqwaan kita sebagai hamba penghuni sebuah bangsa yang bernama Indonesia selama in.
Semoga dengan menjadi manusia yang bertaqwa di bulan suci Ramadhan 1444 H ini, dan juga 11 bulan lainnya kedepan, dan seterusnya sampai hari akhir tiba, baik dengan ketaqwaan secara pribadi maupun ketaqwaan secara sosial, kita dapat menempuh cara singkat yang cepat (fast short cut) dalam menyelamatkan bangsa ini.
Hal in agar Allah Ta’alla mengangkat segala kesulitan hidup bangsa ini, dan mengirimkan kita pemimpin-pemimpin atau penyelenggara negara yang baru, yang bertaqwa, amanah, cerdas, beradab, dan bukan pemimpin-pemimpin atau para penyelenggara negara yang durhaka, korup, licik, munafik, bodoh, dan pandai membohongi rakyat. Aamiin ya Rabbal’alamiin.*
Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor/ Anggota PJMI/ Anggota PB Al Washliyah
Zakat: Siapa Saja yang Berhak Menerima Zakat di Saat Ini?
Zakat memiliki makna khusus bagi umat Islam dan zakat hukumnya wajib bagi semua Muslim yang mampu secara finansial untuk memberikan minimal 2,5% dari akumulasi kekayaan mereka untuk kepentingan orang miskin. Zakat juga berarti penyucian atau bertumbuh.
Menurut sebuah laporan oleh Global Humanitarian Assistance: Indonesia, Malaysia, Qatar, Arab Saudi dan Yaman, yang merupakan sekitar 17% dari perkiraan populasi Muslim dunia, menunjukkan bahwa di negara-negara ini saja setidaknya Rp. 82,4 triliun saat ini dikumpulkan dalam Zakat setiap tahun.
Diperkirakan volume global Zakat yang dikumpulkan setiap tahun melalui jalur formal, setidaknya mencapai puluhan triliun rupiah. Jika kita juga mempertimbangkan Zakat yang dibayarkan melalui jalur informal, jumlah sebenarnya lebih dari nominal tersebut.
Mari kita lihat ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang zakat:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana [QS. At-Taubah (9): 60].
Dalil dan ketentuan pembagian zakat sudah ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat di atas. Karenanya, tulisan ini akan menjabarkan lebih detail siapa saja yang berhak menerima zakat khusus di zaman ini dan bagaimana mendistribusikannya.
Orang miskin
Definisi orang miskin akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan juga dalam ukuran keluarga. Sekitar 767 juta orang di dunia hidup dengan penghasilan kurang dari rata-rata Rp. 30.000 per hari.
Orang yang membutuhkan
Definisi yang membutuhkan di sini merupakan orang yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik.
Kebutuhan dasar meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal serta obat-obatan jika diperlukan. Ini juga dapat mencakup transportasi jika orang yang membutuhkan membutuhkannya untuk pergi bekerja.
Mereka mungkin berpenghasilan di atas garis kemiskinan tetapi mungkin tidak dalam posisi memiliki kemampuan dalam mengurus kebutuhan lainnya seperti obat-obatan atau makanan, transportasi atau pakaian mereka dengan benar.
Orang yang Bertanggung Jawab akan Hal ini
Termasuk orang-orang yang mengelola dana zakat baik di masjid maupun di lembaga lain. Jika seorang Imam masjid terlibat dalam pengumpulan dana zakat, ia dapat memenuhi syarat untuk menerima dari ketentuan pembagian zakat.
Orang yang Hatinya Dimenangkan
Mencakup muallaf, orang baru memeluk Islam, dan semua orang yang mungkin belum pernah mendengar tentang Islam atau yang mungkin memiliki sikap negatif terhadap Islam dan Muslim.
Dalam kategori ini termasuk individu dan kelompok yang terlibat dalam pekerjaan hubungan masyarakat untuk Islam, kelompok Muslim yang terlibat dalam pekerjaan antaragama dan antarkomunitas, media Muslim yang terutama ditujukan untuk mempromosikan Islam, universitas, dan perguruan tinggi yang mengajarkan Islam kepada non-Muslim.
Untuk Membebaskan Manusia dari Perbudakan
Ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan di dunia kita saat ini. Ada sekitar 42 juta anak perempuan, wanita, dan anak laki-laki yang terpaksa menjual tubuhnya kepada orang lain karena tidak punya mata pencaharian lain. Juga, ada sekitar satu juta keluarga yang karena kemiskinan terpaksa menjual anak-anak mereka kepada orang lain (Islamic City, 2022).
Mereka yang Terbebani Utang
Orang-orang yang berutang termasuk mereka yang berada di atas garis kemiskinan dan yang kebutuhan dasarnya juga ditutupi serta terbebani oleh utang sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tanggung jawab rumah tangga mereka dengan baik.
Untuk Setiap Perjuangan di Jalan Allah SWT
Ini termasuk mereka yang berada di luar sana untuk menyebarkan firman Allah SWT dan yang membela keadilan sosial dan kesetaraan serta melawan penindasan.
Untuk Para Musafir
Mereka yang berpergian dengan kemampuan terbatas atau orang-orang terlantar termasuk pengungsi atau bahkan tunawisma.
Kemudian, bagaimana seharusnya zakat didistribusikan?
Zakat bisa dilakukan secara individua tau bisa dilakukan melalui organisasi, badan amil, lembaga khusus zakat dan masjid yang memiliki keahlian di bidang ini.
Situasi yang ideal adalah memiliki badan pusat di setiap negara bagian atau kota untuk mengumpulkan dana zakat secara transparan. Syukurnya kita memiliki banyak lembaga yang kompatibel dalam urusan Zakat seperti BAZNAS.
Lalu, kelompok pengumpul dan individu harus mendidik masyarakat tentang pemusatan sumber daya dan kemudian melalui konsultasi dengan orang-orang terpercaya dari masyarakat mendistribusikan ke penerima di setiap kategori.
Selain itu, yang penting disadari juga adalah ketika zakat disalurkan melalui lembaga dan masjid, maka masyarakat harus diberitahu tentang distribusinya. Dengan kata lain, harus ada transparansi mutlak dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat.
Memburu Cinta Allah Melalui Ibadah Zakat
Zakat dalam Islam merupakan sebuah perintah Allah SWT yang harus ditunaikan oleh setiap insan yang mengaku muslim dan mampu mengeluarkannya. Ia termasuk dari salah satu rukun Islam yang lima dan menempati urutan yang ke tiga setelah shalat dan puasa.
Perintah menunaikan zakat tersebut terekam jelas di dalam Alquran. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa harta yang dimilikinya sejatinya merupakan titipan Allah SWT yang harus diteruskan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
Dalam arti, bahwa setiap hamba merupakan persambungan tangan Allah untuk meneruskan amanatnya kepada penduduk bumi. Sebagai wakil Tuhan, maka dia tidak boleh koruspi atas tugas-tugas yang sedang ia emban tersebut agar senantiasa menjadi pemimpin yang amanah, loyal, integritas dan peduli terhadap sesamanya.
Sesungguhnya harta yang dimiliki oleh setiap insan tersebut merupakan titipan Allah yang harus disampaikan kepada orang-orang yang lebih berhak menerimanya. Karena itu harus disalurkan. Perintah zakat sejatinya merupakan serangkaian kegiatan ibadah yang bertujuan untuk mengembalikan harta tersebut kepada mereka yang lebih berhak menerima dan membutuhkan daripadanya. Dalam Alquran berbunyi:
وفي اموالهم للسآئل والمحروم
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat, ayat 19).
Rifqi Fairuz, mengutip pernyataan Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Islam Yang Saya Anut; dasar-dasar Ajaran Islam”, menjelaskan bahwa dalam al-Quran, redaksi perintah zakat sering menggunakan kata “aatu az-zakat”.
Kata aatu ini merupakan akar dari beragam kata dengan ragam makna, antara lain: istiqamah, cepat, segera dan bergegas melakukan sesuatu, mengantar, dan memudahkan jalan. Dari sini, ragam kata redaksi perintah zakat tersebut memiliki hikmah tersendiri dalam pelaksanaan zakat (islami.co 22 Mei 2020).
Jadi, perintah zakat menjadi sebuah keharusan yang harus disegerakan supaya semua hamba-Nya dapat merasakan kenikmatan yang sudah Allah siapkan untuk mereka. Dalam kitab Al Mawaidz Al ‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri dijelaskan bahwa Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Dengan sifat Ar-Rahman, Allah masih memberikan haknya kepada hamba-hamba-Nyalaya meskipun ia ingkar, layaknya makan, tempat tidur dan seluruh kebutuhan hidupnya secara menyeluruh kepada seluruh hamba, tidak terkecuali kepada mereka yang beragama non-muslim.
Lihat misalnya kisah Nabi Ibrahim as yang mendapatkan teguran dari Allah lantaran enggan memberikan makanan kepada non-muslim. Kepada non-muslim saja Allah tetap memberikan haknya terus kenapa dalam urusan mengeluarkan zakat yang merupakan kewajiban pokok umat muslim masih berat melakukannya?.
Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri mengutip sebuah hadist:
الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء
“Para Penyayang itu akan disayang Allah, Sayangilah siapapun yang ada di bumi, niscaya ia akan disayang oleh para penduduk yang ada di langit”.
Hadis tersebut menekankan akan pentingnya untuk saling mencintai satu sama lain. Mencintai harus dasar ikhlas. Karena hal itu akan menyebabkan dirinya disayang Tuhan. Melalui perintah zakat sejatinya adalah untuk menanamkan rasa spirit saling cinta untuk sesamanya supaya terjalin rasa simpati dan empati di antara mereka.
Sebelumnya, sudah dilakukan serangkaian ibadah puasa selama satu bulan penuh untuk membangkitkan semangat solidaritas, sehingga melalui pendidikan puasa tersebut agar seluruh umat muslim dapat merasakan lapar sebagaimana telah dirasakan selama ini oleh saudaranya yang fakir dan miskin tersebut.
Dengan demikian, dengan memasukkan kebagian melalui pendidikan zakat tersebut, kata Syekh Muhammad bin Abu Bakar, mengutip hadist yang lain, adalah lebih baik dari beribadah 60 tahun (hal. 155).
Alhasil, di dalam menunaikan ibadah zakat fitrah di sini harus dilepaskan dari rasa sesuatu apapun yang sekiranya dapat mengotori niat baik untuk menjalankan tugasnya berupa ibadah zakat ini.
Dalam menunaikan ibadah zakat ini harus dengan dasar ikhlas supaya menjadi hamba yang dapat disayang Tuhan, didasari rasa sayang dan tanpa pamrih (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Inilah kata Syekh Abdul Qodir Jailani yang disebut berinfak di jalan Allah (Ali Imran, (3): 92). Selamat Merenungkan pesan-pesan Allah SWT yang sarat dengan cinta. (*)
Hukum Berhubungan Intim di 10 Malam Terakhir Ramadhan
Bagaimana hukum berhubungan intim di 10 malam terakhir Ramadhan? Untuk menjawab itu, penulis ingin menjelaskan dulu bahwa dalam kitab Tafsir Al-Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, bahwa di masa awal Islam, di bulan Ramadhan, umat Islam diharamkan melakukan makan, minum dan berhubungan intim selepas Isya:
كَانَ فِي صَدْر الْإِسْلَام عَلَى تَحْرِيمه وَتَحْرِيم الْأَكْل وَالشُّرْب بَعْد الْعِشَاء
Artinya: “Pada awal masa Islam, (saat berpuasa) diharamkan melakukan hubungan badan, makan, dan minum selepas Isya”.
Kemudian, turunlah QS. Al-Baqarah 187 yang menyatakan kehalalan melakukan hubungan badan, makan dan minum di sepanjang malam pada bulan Ramadhan:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ
Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl,
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,”
Keterangan ayat di atas menyebutkan bahwa melakukan hubungan intim, makan, dan minum itu diperbolehkan di malam bulan Ramadhan. Secara spesifik ayat diatas juga menyebutkan perintah “campurilah” atau pergaulilah istrimu di malam hari bulan Ramadhan.
Biasanya, di dalam Alquran, sebuah kata perintah mengindikasikan hukum wajib. Namun dalam ayat ini, perintah tersebut menunjukkan hukum “mubah” atau diperbolehkannya melakukan hal tersebut, sebagaimana sebuah kaidah fikih menyebutkan:
الامر بعد النهي تدل على الاباحة
Artinya: “perintah yang hadir sesudah larangan, menunjukkan hukum mubah”
Meskipun demikian, kelanjutan ayat diatas menyatakan larangan melakukan hubungan badan di malam bulan Ramadhan bagi orang yang sedang melakukan I’tikaf di Masjid:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn
Artinya: “(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.
Terkait dengan i’tikaf dan 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra., lebih meningkatkan ibadah khususnya I’tikaf di 10 malam terakhir bulan Ramadhan:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Artinya: Nabi Saw. ketika masuk 10 terakhir ramadhan, beliau mengencangkan sabuknya, menghabiskan malamnya dengan ibadah, dan membangunkan para istrinya (untuk ibadah). (HR. Bukhari 2024).
Dalam kitab Umdatul Qori juz XI, h. 139 disebutkan bahwa maksud daripada kalimat “mengencangkan sabuknya” ialah bahwa Nabi menjauhi hubungan badan dan menghabiskan waktu untuk fokus beribadah selama 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.
Keberadaan hadis di atas bukanlah dalam rangka mengharamkan umat Islam untuk melakukan hubungan intim di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, namun untuk menunjukkan kesungguhan beliau dalam melaksanakan ibadah di waktu tersebut dalam rangka menyongsong hadirnya malam lailatul qodar.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hukum berhubungan intim di 10 malam terakhir bulan Ramadhan hukumnya boleh kecuali bagi mereka yang sedang melaksanakan I’tikaf di Masjid. Wallahu a’lam bi shawab.
Cek Jadwal Haji Anda di Aplikasi Android ini!
Apakah Zakat Fitrah Harus Dibagikan Pada 8 Golongan, atau Hanya untuk Fakir-Miskin?
Kewajiban zakat fitrah harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, praktek yang sering terjadi di masyarakat adalah penyerahan zakat fitrah hanya kepada golongan fakir dan miskin saja. Lantas, Apakah zakat fitrah harus dibagikan kepada seluruh golongan delapan (asnaf tsamaniyah) atau khusus diberikan pada fakir-miskin?
Dalam literatur kitah fikih Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazzab, juz 6, halaman 185 berikut,
وَيَجِبُ صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ وَهُم الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلِّفَةُ قَلُووبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ….. (وَقَالَ)أَبُو سَعِيدَ الاُصْطُخْرِيُّ تُصَرَّفُ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْففُقَرَاءِ لَأَنَّهُ قَدْرٌ قَلِيلٌ
Artinya : “Wajib mendistribusikan seluruh sedekah kepada delapan golongan. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abū Sa’īd al-Ustukhrī berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”
Namun demikian, pendapat yang masyhur dari kalangan Syafii ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.
Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik . dan salah satu riwayat dari mazhab al-Syafi’i. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Zakat juz 2, halaman 241 berikut
هَلْ تُفَرَّقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ؟ وَهَلْ يَقْتَصِرُ صَرْفُهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعَمُّمٌ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ ؟ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الفُطْرَةِ إِلَى الأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرَفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ، وَهُمْ المَذْكُوْرُنَ فِي آيَةٍ:(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ التَّوْبَةَ: (60), وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ (الْمَجْمُوعَ 144/6)، وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ، فَإِذَا فَرَّقَهَا المُزَكِّي بِنَفْسِهِ سَقَطَ سَهْمُ الْعَامِلِينَ لِعَدَمِ وُجُودِهِمْ، وَالْمُؤَلَّفَةِ لِأَنَّ أَمْرَهُمْ إِلَى الْإمَامِ لَا إِلَى غَيْرِهِ (الْمَحَلِّي : (145-143/6)
وَرَدَّ اِبْنُ الْقَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ:” وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَة قَبْضَة، وَلَا أَمْرٌ بِذَلِكَ، وَلَا فَعَلَهُ أحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ بَلْ أحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفِ قَلْبِهِ، وَلَا فِي الرِّقَابِ، وَلَا لِغَارِمٍ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِاِبْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ، بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.
Artinya : “Apakah zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan?
Yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “Innama assshadaqatu” dan wajib dibagi secara merata.
Ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah Saw adalah mengkhususkan shadaqah pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan.
Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus.
Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan.
Menurut malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut mazhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok.
Tetapi, pendapat dari kalangan Syafi’i ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.
Pendapat ini adalah pendapat yang lebih sahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik. Demikian penjelasan mengenai hukum zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Kisah Teladan dari Para Ulama Hebat di Bulan Ramadan (Bag. 2)
Kisah Sedekah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Di saat itu kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,
أفضل الصدقة صدقة في رمضان
“Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadan.” (HR. Tirmidzi, dari Anas bin Malik)
Kisah Sedekah Umar dan Abu Bakr
Zaid bin Aslam meriwayatkan kisah dari ayahnya, “Aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu berkata, ‘Rasulullah memerintah kami untuk bersedekah. Kebetulan ketika itu aku sedang ada harta. Aku bergumam, ‘Hari ini aku akan bisa mengalahkan Abu Bakr.’ Ketika itu, aku sedekahkan setengah hartaku.’”
ما أبقيت لأهلك؟
“Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah.
Aku jawab, “Sejumlah yang saya sedekahkan ini, ya Rasulullah.”
Tak berselang lama Abu Bakr datang, ternyata dia menyedekahkan semua harta yang beliau miliki.
ما أبقيت لأهلك؟
“Berapa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakr.
“Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”, jawab Abu Bakr.
Aku kemudian berkata kepada Abu Bakr,
لا أسابقك لا أسابقك إلى شيء أبدا
“Aku tidak akan pernah bisa mengalahkanmu dalam amal saleh.”
Kisah Sedekah Sahabat Thalhah bin Ubaidillah
Dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah, dia bercerita, “Nenekku Sa’di binti ‘Auf Al-Mariyah -istri dari sahabat Thalhah bin Ubaidillah- bercerita kepadaku.”
Suatu hari Thalhah menemuiku dalam keadaan gelisah.
Aku bertanya, “Apa gerangan yang membuatmu gelisah? Apa yang bisa saya bantu?”
“Tidak ada.” jawab Thalhah.
“Tapi kamu adalah istri orang yang muslim”, lanjutnya.
Aku bertanya kembali, “Apa yang sedang kamu alami?”
“Hartaku makin banyak dan menyusahkanku”, kata Thalhah.
“Oh tidak mengapa, dibagi saja harta itu”, sambutku.
Lalu, harta itu pun aku bagi–bagi sampai hanya tersisa 1 dirham.
Thalhah bin Yahya (perawi kisah) berkata, “Aku kemudian bertanya kepada berdaharanya Thalhah, “Berapa duitnya ketika itu?” Dia menjawab, “400.000 dirham.”
Sedekah di Bulan Ramadan Lebih Istimewa
Sedekah di bulan Ramadan tentu lebih istimewa. Maka, segeralah lakukan. Tunaikan semampu anda. Berikut ini jenis sedekah yang prioritas dilakukan di bulan Ramadan:
Pertama, memberi makan orang yang membutuhkan.
Allah Ta’ala telah memotivasi kita melakukan amal ini,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا ﴿١٠﴾ فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا ﴿١١﴾ وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Penduduk surga itu di dunia gemar memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (8) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (9) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (10) Maka, Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (11) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan: 8-12)
Para Salafush Shalih sangat semangat dalam beramal sosial yang mereka niatkan ibadah dengan berbagi makanan kepada orang yang membutuhkan. Bahkan, sering kali mereka mengedepankan amalan ini dari banyak ibadah. Baik dengan cara membantu orang yang kelaparan atau sekedar berbagi makanan dengan rekan-rekan yang saleh. Karena ibadah memberi makan tidak disyaratkan hanya kepada fakir miskin saja. Ibadah yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يا أيها الناس أفشوا السلام أطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام
“Wahai manusia, sebarkan salam, berikanlah makan, sambung silaturahmi dan salat malamlah ketika manusia tidur. Maka, Engkau pun akan masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengatakan,
لأن أدعو عشرة من أصحابي فأطعمهم طعاما يشتهونه أحب إلي من أن أعتق عشرة من ولد إسماعيل
“Aku mengundang sepuluh temanku untuk makan makanan yang mereka sukai, itu lebih aku sukai daripada membebaskan sepuluh budak dari keturunan Nabi Ismail.”
Banyak pula ulama salaf yang membatalkan puasa sunahnya saat diundang makan. Seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, Dawud At-Tha’i, Malik bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal.
Ibnu Umar tidak berbuka puasa, kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Ada pula ulama salaf yang menyuguhkan makanan kepada rekan-rekannya, padahal dia sedang sendiri puasa. Dia duduk menemani makan dan menuangkan minuman kepada para tamu. Contohnya seperti Hasan Al-Basri dan Abdullah bin Mubarak.
Abu Suwar Al-‘Adawi berkabar,
كان رجال من بني عدي يصلوم في هذا المسجد، ما أفطر أحد منهم على طعام قط وحده، إن وجد من يأكل معه أكل، وإلا أخرج طعامه إلى المسجد فأكله مع الناس وأكل الناس معه
“Masyarakat Bani ‘Adi salat magrib di masjid ini. Mereka tidak pernah berbuka puasa sendirian. Di saat ada orang yang bisa mereka ajak buka bersama, barulah mereka makan. Jika tidak ada, maka mereka bawa makanan ke masjid, kemudian berbuka bersama dengan para jemaah masjid.”
Ada banyak ibadah yang terkandung di dalam ibadah berupa berbagi makanan. Di antaranya menumbuhkan kasih sayang pada saudara anda yang Anda beri makanan. Amalan seperti ini bisa memasukkan Anda ke surga. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لن تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا و لن تؤمنوا حتى تحابوا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidak akan menjadi orang mukmin, kecuali kalian saling mencintai.” (HR. HR. Muslim)
Kedua, memberi makan buka untuk orang yang puasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang memberi makan buka puasa orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kisah Membaca Al-Qur’an
Kami akan paparkan dua keadaan terkait para salaf bersama Al-Quran:
Pertama, mereka banyak membaca Al-Qur’an.
Kedua, mudah menangis saat membaca atau mendengarkan ayat Al-Qur’an. Karena khusyuknya hati mereka serta tunduk kepada Allah yang Mahamulia.
Banyak Membaca Al-Quran
Bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Sebuah momen yang tepat bagi seorang muslim untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan ini. Para pendahulu kita (Salafus Shalih) adalah teladan dalam membaca Al-Quran. Berikut ini teladan yang dapat diambil.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyimakkan hafalan Al-Qur’an beliau kepada malaikat Jibril di bulan Ramadan.
‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika bulan Ramadan mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sehari.
Sebagian salafush shalih mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam salat malam Ramadan selama tiga hari. Ada pula yang mengkhatamkan sepekan sekali. Ada yang khatam sepuluh hari sekali. Mereka membaca Al-Qur’an baik ketika salat maupun di luar salat.
Imam Syafi’i rahimahullah kalau bulan Ramadan khatam Al-Qur’an enam puluh kali. Itu yang beliau baca di luar salat.
Qotadah rahimahullah biasa menghatamkan Al-Qur’an sepekan sekali. Namun, untuk bulan Ramadan, beliau menghatamkannya dalam tiga hari. Saat sepuluh hari terakhir, beliau khatamkan dalam satu malam.
Az-Zuhri rahimahullah apabila tiba Ramadan, beliau meliburkan aktivitas membaca hadis dan bermajlis dengan para ulama. Beliau habiskan waktu untuk membaca Al-Qur’an pada mushaf.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah apabila masuk bulan Ramadan, beliau meliburkan semua ibadah, kemudian beliau fokuskan semua waktu untuk membaca Al-Qur’an.
Bukankah ada hadis yang melarang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari?
Ibnu Rajab rahimahullah telah menjawabnya,
وإنما ورد النهي عن قراءة القرآن في أقل من ثلاث على المداومة على ذلك ، فأما في الأوقات المفضلة كشهر رمضان خصوصاً الليالي التي يطلب فيها ليلة القدر، أو في الأماكن المفضلة كمكة لمن دخلها من غير أهلها فيستحب الإكثار فيها من تلاوة القرآن اغتناماً للزمان والمكان ، وهو قول أحمد وإسحاق وغيرهما من الأئمة
“Sesungguhnya riwayat yang menerangkan larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari hanya berlaku jika dilakukan terus menerus. Namun, pada waktu-waktu mulia seperti bulan Ramadan, lebih-lebih di malam-malam yang terdapat lailatul qadr, atau di tempat-tempat mulia seperti Mekah bagi pengunjung yang tidak menetap di sana, dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an. Dalam rangka optimalisasi waktu dan tempat yang mulia. Inilah pendapat Ahmad bin Hambal, Ishaq, dan para imam lainnya.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 171)
Menangis Saat Membaca dan Mendengar Al-Quran
Melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan syahdu layaknya syair, namun tanpa tadabur, bukan termasuk petunjuk dari Salafus Shalih. Mereka itu orang-orang yang mudah tersentuh dengan ayat Al-Quran. Berikut kisah mereka:
Tangisan Rasulullah
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu pernah menceritakan, “Rasulullah pernah memintaku,
اقْرَأْ عَلَيَّ القُرْآنَ
“Tolong bacakan ayat Al-Quran kepadaku.”
Aku jawab,
يَا رسولَ الله، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟!
“Bagaimana mungkin, ya Rasulullah? Aku membaca Al-Quran kepadamu padahal Al-Qur’an diturunkan pada Anda?”
إنِّي أُحِبُّ أَنْ أسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي
“Aku senang mendengar bacaan Al-Quran dari selainku”, jawab Nabi.
فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هذِهِ الآية: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} قَالَ: «حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. متفقٌ عَلَيْهِ.
“Saya lalu membacakan ayat dalam surah An-Nisa’. Saat sampai pada ayat ini (yang artinya), “Bagaimanakah jika Kami datangkan kepada setiap umat seorang saksi dan Engkau Kami jadikan saksi atas umat ini?” (QS. An-Nisa’ 42).
Setelah itu beliau bersabda, “Cukup … cukup.”
Saya menoleh ke arah beliau. Ternyata, beliau bercucuran air mata.” (Muttafaq ‘alaih)
Tangisan Ahlu Sufah (para sahabat yang tinggal di emperan masjid Nabawi)
Al-Baihaqi rahimahullah menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Beliau berkisah, “Di saat turun ayat
أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ ﴿٥٩﴾ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ ﴿٦٠﴾
“Apa kamu merasa heran kepada kabar ini? Kamu mentertawakan dan tidak menangis?!” (QS. An-Najm: 59-60)
para Ahlu Sufah ketika itu menangis, sampai air mata menetes dari dagu mereka. Ketika Rasulullah mendengar tangisan Ahlu Sufah ketika itu, beliau pun ikut menangis. Kami pun menangis melihat Rasulullah menangis. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يلج النار من بكى من خشية الله
“Orang yang menangis karena takut kepada Allah, tak akan disentuh oleh api neraka.”
Tangisan Sahabat Ibnu Umar
Ketika Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu membaca surat Al-Muthaffifin sampai pada ayat,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Hari kebangkitan adalah hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”
Beliau menangis sampai jatuh tersungkur, sampai tak mampu melanjutkan bacaan.
Tangisan Sufyan As-Tsauri
Dari Muzahim bin Zufar, beliau menceritakan, ”Kami pernah salat magrib bersama Sufyan As-Tsauri rahimahullah. Di saat beliau membaca ayat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
beliau menangis sampai tak sanggup melanjutkan ayat. Kemudian beliau mengulang lagi dari “Alhamdu…”
Tangisan Fudhail bin Iyadh
Dari Ibrahim bin Al-Asy’ats, beliau berkisah, ”Pada suatu malam aku mendengar Fudhail membaca surah Muhammad. Beliau menangis mengulang-ulang ayat ini,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami mengabarkan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad: 31)
Beliau selalu mengulang kalimat ayat “Wa nabluwa akh-baarokum.. (Kami menguji (baik buruknya) hal ihwalmu).”
“Engkau akan menguji ihwal kami?! Bila Engkau menguji baik buruknya hal ihwal kami, sungguh aib kami akan tampak, menjadi tersingkaplah yang tertutupi dari kami. Jika Engkau menguji keadaan kami, sungguh kami bisa binasa dan Engkau akan mengazab kami”, lanjut beliau. Kemudian beliau menangis.
[Bersambung]
***
Penulis: Ahmad Anshori, Lc.
Sumber: https://muslim.or.id/74426-kisah-teladan-dari-para-ulama-hebat-di-bulan-ramadan-bag-2.html
Inilah Empat Hikmah Disyariatkan Zakat
Berikut penjelasan terkait inilah empat hikmah disyariatkan zakat. Pasalnya salah satu rukun Islam adalah menunaikan zakat. Kewajiban ini, sama seperti ibadah lainnya, memiliki syarat dan ketentuan tertentu.
Ada empat hikmah disyariatkan zakat menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Allah mensyariatkan zakat karena manusia dilebihkan satu hal dari lainnya, termasuk rezeki berupa materi. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 71;
وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ
Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa sebagian hambaNya dilebihkan dalam harta. Maka pensyariatan zakat dimaksudkan untuk berbagi kepada yang membutuhkan dan menyadari bahwa rezeki materi itu juga datangnya dari Allah. Di dalamnya terdapat hak orang lain,
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Artinya: Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.
Syekh Wahbah Zuhaili merangkum empat hikmah disyariatkannya zakat kepada umat muslim yang memenuhi syarat tertentu.
Pertama, menjaga harta dari penyalahgunaan.. Penunaian zakat dimaksudkan untuk menjaga harta dari penyalahgunaan baik oleh orang-orang zalim dan tak bertanggung jawab.
Jika seseorang dilebihkan dalam hartanya, ia cenderung menginginkan benda atau materi dalam mengalokasikannya. Maka hikmah zakat salah satunya adalah demikian. Hal ini merujuk pada hadis Nabi riwayat Ibnu Mas’ud,
حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَأَعِدُّوْا لِلْبَلَاءِ الدُّعَاءَ
Artinya: Jagalah hartamu dengan menunaikan zakat dan sembuhkanlah sakit kalian dengan bersedekah dan cegahlah bahaya dengan doa. (HR. Thabrani dan Abu Na’im) Meski sanad hadis ini berstatus dhaif, tapi maknanya bisa diamalkan karena berupa keutamaan amal.
Hikmah ini lebih pada pengendalian diri yang bersifat individual.
Kedua, menolong orang miskin dan yang membutuhkan. Hikmah ini menunjukkan bahwa zakat menjadi ibadah yang bersifat sosial. Masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap orang miskin yang ada di sekitarnya.
Dengan menunaikan zakat, seseorang berpartisipasi menumbuhkan dan memperkuat perekonomian dan daya beli orang miskin dan yang membutuhkan. Dengan zakat pula, konsep kesalingan dan tukar peran antar masyarakat bisa terwujud.
Ketiga, membersihkan diri dari sifat bakhil dan rakus. Zakat juga memiliki hikmah untuk membiasakan seseorang memiliki sifat mulia dan lapang dada karena mereka merayakan sebagian hartanya.
Seseorang yang menunaikan zakat juga berpartisipasi dalam meningkatkan ekonomi yang juga menjadi peran pemerintah.
Keempat, wujud bersyukur. Membayar zakat menjadi salah satu bentuk syukur kepada Allah atas harta yang dititipkan. Bersyukur artinya mentasarufkan rezeki sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.
Demikian empat hikmah disyariatkannya zakat oleh Allah. Hikmah yang tidak hanya kembali pada diri sendiri tapi juga orang lain. Dari empat hikmah tersebut, kita memahami bahwa zakat merupakan ibadah bersifat individual karena sebagai pemenuhan kewajiban hamba kepada Allah yang tertuang dalam nash baik Alquran maupun hadis.
Zakat juga bersifat sosial karena memangkas kesenjangan ekonomi dalam suatu lingkup masyarakat. Demikian penjelasan terkait empat hikmah disyariatkan zakat.