Pentingnya Memahami Ilmu Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Bagaimanakah metode terbaik dalam mempelajari ilmu syar’i yang sahih, dengan mempertimbangkan (melihat) realita kondisi jaman sekarang ini?

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa jalan yang terbaik adalah seseorang memulai (belajar) dari kitabullah (Al-Qur’an), kemudian dilanjutkan dengan mempelajari sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mudah baginya. Setelah itu, (dilanjutkan dengan mempelajari) kitab yang ditulis oleh para ulama, baik dalam bidang fiqh atau yang lainnya.

Akan tetapi, yang aku sukai dari proses belajar adalah hendaknya seseorang memperkuat ilmu ushul (kaidah atau landasan pokok), bukan mempelajari (hukum atas) berbagai masalah (kasus). Maksudnya, hendaknya semangat seorang penuntut ilmu tidak ditujukan untuk menghafal (kesimpulan) hukum atas berbagai permasalahan saja. Akan tetapi, hendaknya dia semangat untuk menguasai ilmu ushul (landasan) dan kaidah-kaidah (qawa’id dan dhawabith). Sehingga apabila dia dihadapkan pada permasalahan apa pun, dia bisa menerapkan ushul dan kaidah-kaidah tersebut (sehingga dapat membuat kesimpulan hukum atas permasalahan tersebut, pent.).

Hal ini sebagaimana perkataan para ulama,

من حرم الأصول، حرم الوصول

“Barangsiapa yang tercegah dari mempelajari ilmu ushul, niscaya dia tidak akan mendapatkan ilmu.”

Banyak di antara penuntut ilmu yang mengisi hafalannya dengan mempelajari satu demi satu masalah. Akan tetapi, jika dia keluar dari masalah (yang sudah dia ketahui tersebut), meskipun seujung jari, dia seperti tidak mengetahui apapun. Hal ini dikarenakan dia tidak memahami ilmu ushul dan kaidah (qawa’id) (yang menjadi landasan dalam membuat kesimpulan hukum berbagai masalah tersebut, pent.). Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu haruslah memahami kaidah dan ilmu ushul yang menjadi landasan berbagai masalah (kasus) cabang.

Saya ingat ketika dulu masih belajar, ada seorang penuntut ilmu, dimana dia hafal, namun tidak paham. Dia dulu menghapal kitab Al-Furu’ dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab Al-Furu’ adalah kitab paling lengkap dari kitab-kitab madzhab Hanabilah. Di dalamnya juga terdapat isyarat madzhab yang empat dan madzhab lainnya. Kitab itu ditulis oleh Muhammad bin Muflih rahimahullahu Ta’ala, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau adalah orang paling menonjol dalam pengetahuan terhadap pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam masalah fiqh. Sampai-sampai Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala mengecek pendapat fiqh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melalui beliau ini.

Yang penting, beliau ini (Muhammad bin Muflih) menulis kitab Al-Furu’ dan dihafal oleh salah seorang penuntut ilmu dengan hafalan yang sempurna. Akan tetapi, dia tidak memahami sedikit pun maksudnya. Jadi, apabila penuntut ilmu lainnya mendatanginya, mereka menganggap seolah-olah dia ini sebuah kitab.

Jika ada suatu masalah yang rancu, mereka berkata, “Apa kata Ibnu Muflih dalam bab ini atau dalam bab itu?” Maka penuntut ilmu yang hafal tersebut menyebutkan satu persatu perkataan Ibnu Muflih tanpa mengetahui maksudnya.

Oleh karena itu, seseorang hendaknya perhatian dengan memahami makna dan memahami ushul -yaitu ilmu ushul fiqh dan qawa’id-. Ini adalah perkara paling penting bagi penuntut ilmu.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/45502-urgensi-memahami-ilmu-ushul-fiqh-dan-qawaid-fiqhiyyah.html

Apakah Ilmu Ushul Fikih Mengikuti Perkembangan Zaman?

Soal:

Ustadz saya ingin bertanya:

  1. Apakah ushul fikih bisa berkembang menyesuaikan dengan keadaan zaman?
  2. Apakah mengikuti fatwa ulama termasuk taqlid?

jazakallahu khoir

Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc. menjawab:

Masalah masalah agama ada dua macam:

  1. Masalah masalah yang tidak akan berubah sepanjang masa.
  2. Masalah masalah yang bisa berubah.

Ibnu Qayyim menjelaskan dalam kitab Ighotsatu Lahafan

الأحكام نوعان: النوع الأول: لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرمات، والحدود المقدرة بالشرع على الجرائم ونحو ذلك، فهذا لا يتطرق إلى تغيير، ولا اجتهاد يخالف ما وضع له

النوع الثاني: يتغير حسب المصلحة له زمانًا ومكانًا وحالا كمقادير التعزيرات وأجناسها، وصفاتها، فإن الشارع ينوع فيها بحسب المصلحة) أ.هـ

Hukum itu ada dua macam:

  1. Hukum yang tidak berubah dari keadaannya yang pertama, tidak berubah karena mengikuti kondisi, tempat, dan ijtihad ulama seperti wajibnya sholat lima waktu, Haramnya berbagai keharaman, hukuman hadd untuk tindakan kejahatan dan sebagainya.
  2. Hukum yang berubah karena mengikuti mashlahat waktu, tempat dan kondisi seperti ta’zir (pidana yang diserahkan keputusannya kepada hakim karena tidak adanya dalil). Selesai perkataan beliau.

Diantara perkara yang mempengaruhi perubahan hukum adalah masalah urf atau adat istiadat. Karena kebutuhan manusia berbeda beda di satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam kitab i’laamul Muwaqqiin, Ibnul Qayyim berkata:

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال، وذلك كله من الله، وبالله التوفيق

“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan kondisi. Dan semua itu berasal dari Allah. wabillahittaufiq”.

Tentunya syarat adat istiadat itu adalah tidak bertabrakan dengan dalil dalil syariat. Karena adat istiadat itu bisa menjadi sandaran hukum hanya dalam perkara yang tidak disebutkan batasannya dalam syariat seperti makanan, pakaian, minuman dsb.

Adapun mengikuti pendapat ulama, maka ada dua macam:

  1. Mengikutinya tanpa mengetahui dasarnya. inilah yang disebut taklid. Namun bagi kaum awam diperbolehkan.
  2. Mengikutinya dengan mengetahui dasarnya. Ini disebut oleh Ibnu Abdil Barr sebagai ittiba’.

***

Sumber: channel telegram Al Fawaid

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28079-apakah-ilmu-ushul-fikih-mengikuti-perkembangan-zaman.html

Antara Hermeneutika Dan Ushul Fikih

Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc. M.M:

Ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Bisri Tanjung dan dirilis jurnal Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’I Jember. Judul penelitiannya sangat unik, yaitu “HERMENEUTIKA HADIS YUSUF QARDAWI (Studi Analisa Terhadap Metodologi Interpretasi Qardawi). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa beliau adalah seorang tokoh Hermeneutika yang “moderat-eklektis. Penulis juga menyebutkan bahwa Qaradhawi dalam sebagian metodenya masih komitmen menelusuri metode dan prinsip interpretasi para ulama klasik yang berkutat pada urusan ibadah. Namun semangat interpretasi kaum liberal telah mendominasi kerangka berpikir beliau

Lalu penulis menukil hasil penelitian lain, dengan mengatakan “Analisa ini juga menjawab hasil penelitian Mir’atun Nisa’ “Hermeneutika Hadis Yusuf Qardawi dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis”, yang menyimpulkan bahwa Qard}a>wi belum menyentuh pada langkah menganalisa pemahaman teks-teks hadis dengan teori social, politik, ekonami, dan sains terkait. Justru dari analisa yang kami temukan Qardawi juga telah menyentuh teori hermeneutika sains, ekonomi, politik apalagi sosial dan agama”

Ia juga menambahkan, Bahkan beliau dikatakan mengamini metode hermeneutika hadits yang diusung oleh para tokoh “intelek” Islam masa kini yang akrab didengar adalah metode kaum Liberal. Pasalnya, interpretasi hadis beliau lebih mengarah pada konteks kekinian.”

Nurun Najwah sebagaimana yang dikutip oleh Mir’atun Nisa menjelaskan, di antara langkah konkrit hermenetik yang diambil oleh Yusuf Qardawi adalah memaknai teks dengan menyarikan ide dasar dengan membedakan wilayah tekstual dan kontekstual. Prosedur membedakan wilayah tekstual dan kontekstual yang ditawarkan oleh Yusuf Qardawi adalah dengan metode membedakan antara sarana yang berubah-ubah (wasilah) dengan sarana yang tetap (gayah). Paradigma normatifnya terletak pada gayah sedang historisnya terletak pada wasilah. Dengan demikian beliau terkesan mengamini metode kaum liberal.

Penulis juga menukil tulisan Mir’atun Nisa yang berkesimpulan bahwa Yusuf Qardawi telah menyentuh sisi Hermeneutik teks dari beberapa sisi, di antaranya memahami aspek bahasa, memahami konteks sosio historis, mengkorelasikan secara tematik-komperhensif dan integral, serta memaknai teks dengan menyarikan ide dasar dengan membedakan antara wilayah tekstual dan kontekstual.

Saya sendiri telah lama berinteraksi dengan buku-buku Qaradhawi. Barangkali puluhan buku beliau sudah saya lahap. Biasanya saya membacanya dari awal, dari judul buku, mukadimah, daftar isi sampai pada tulisan kecil di sampul belakang buku. Dari hasil pembacaan saya tersebut, saya tidak menemukan satu katapun terkait hermeneutika yang kemudian dijadikan sebagai pisau analisis untuk membaca teks. Bahkan Qaradhawi tidak pernah menukil pendapat para tokoh hermeneutika seperti F.D.E. Schleiermacher, Jurgen Habermas, Hans-Georg Gadamer, Wilhelm Dilthey, Dilthey, Edmund Husserl, Heidgger, Gadamer, Derridam Ricouer dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika kita buka laman buku-bukunya, yang sering dinukil adalah pendapatnya Imam Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Asyur dan para ulama ushul fikih lainnya.

Dari kandungan pun, yang muncul adalah kaedah-kaedah ushul fikih, terutama yang terkait dengan ushul fikih mqashid. Bahkan biasanya, di awal-awal buku sebelum masuk kepada bahasan yang lebih jauh, beliau menuliskan sandaran teoritis yang diambil dari kaedah-kaedah ushul fikih. Lihatlah misalnya di buku fiqhul awlawiyat, Fiqhul Aqalliyaat al-Muslimah, Fiqhul Muqazanat, Min Fiqhiddaulah fil Islam dan lain sebagainya.

Mungkin akan timbul pertanyaa, bukankah Qaradhawi sering menggunakan konteks sejarah dan juga sosio kultural masyarakat tempatan sebagai bagian dari pertimbangan ijtihad? Benar memang itu dilakukan oleh Qaradhawi. Benar juga bahwa Qaradhawi sering membedakan antara tujuan (ghayat) dan sarana (wasilah). Hanya saja, Qaradhawi merujuknya ke kitab kitab ushul fikih dan bukan kepada para tokoh hermeneutic.

Bisa saja di sini ada irisan antara ilmu ushul fikihdengan hermeneutika, terutama terkait dengan teks dan konteks serta sosiokulutral masyarakat tempatan. Hanya saja, ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa beliau menggunakan teori hermeneutika.

Dalam ushul fikih, terutama yag terkait dengan ushul fikih maqashid, realita sosial suatu masyarakat sangat penting. Ia bahkan menjadi kunci utama untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan kepastian hukum fikih. Jadi, realitas social tu memang menjadi rumusan teoritis ilmu ushul fikih. Memang ada kesamaan, namun sisi perbedaan antara ilmu ushul fikih dengan hermeneutika jauh lebih besar.

Upaya penulis menarik-narik Qaradhawi dengan menyatakan bahwa tulisannya menggunakan metode hermeneutika sungguh mengada-ada. Bahkan bisa saya katakan bahwa penulis sekadar latah saja. Atau mungkin ia tidak memahami hermeneutika secara utuh.

Lucunya lagi, penulis menyebutkan beberapa sandara teoritis yang menurutnya dari hermeneutika, padahal itu murni dari ushul fikih. Perhatikan kutipan di bagian sub “Apa dan Bagaimana Prosesi Interpretasi Teks-teks Hadis yang Disebut Metode Hermeneutik; Manhaj syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj muyassar, karakter teks ala Qardawi”.

Sejak kapakah hermeneutika mengenal Manhaj syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj muyassar? Siapakah tokoh-tokoh Barat yang memperkenalkan hermeneutika dengan berbagai terminology tersebut? Di di buku apa bisa kita dapatkan?

Sebaliknya jika kita buka kita ushul, kita akan menemukan sandaran teoritis tersebut banyak disebutkan. Bahkan ia bagian dari kata kunci dalam ilmu maqashid. Ia adalah bagian kecil dari rumusan teoritis dari kaedah maqashid syariah.

Di sini nampaknya penulis “gagal paham”, baik dengan teori hermeneutika, maupun ushul fikih. Ketidakmampuan atas penguasaan dua system pembacaan teks tadi, menjadikan tulisannya sangat rancu. Kaedah ushul ditarik-tarik menjadi kaedah hermeneutika. Jadi, penulis semacam sedang mengalami “pubertas pemikiran” sehingga gagap terhadap berbagai macam pemikiran baru yang muncul.

Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang tidak paham dan tidak menguasai kitab kuning, khususnya terkati dengan metodologi para ulama terdahulu. Bagi orang yang biasa berinteraksi dengan kitab kuning, terutama ushul fikih, kajian terkait teks, konteks, sosiokultural masyarakat tempatan dan lain sebagainya, bukanlah sesuatu yang asing. Semua itu menajdi bagian tak terpisahkan darai ilmu ushul fikih. Hanya saja, ushul fikih tetap mengacu pada kaedah yang berasal dari kajian induktif terhadap teks al-Quran.

Para ulama kita terdahulu tidak mengenal istilah hermeneutika. Istilah ini baru muncul belakangan di abad 19. Meski demikian, kajian terkait system pembacaan teks di kalangan ulama kita terdahulu sudah sangat berkembang. Bahkan buku-buku terkait rumusan system ijtihad tersebut serasa sangat melimpah. Bahasnya pun sangat mendetail dan lebih sesuai dengan karakteristik bahasa al-Quran.

Ketidak mampuan dalam mengenal terhadap turas Islam inilah yang mengakibatkan pemikir Islam kontemporer mudah latah dan “gumunan”. Maka kembalilah kepada turas Islam. Pelajari lagi ilmu ushul fikih niscaya kita tidak akan kaget dengan berbagai varian pembacaan teks kontemporer. Wallahu a’lam

 

SANG PENCERAH