Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 2)

Poin kesebelas

Apabila properti tersebut masih dalam progres pembangunan -di mana properti tersebut merupakan komoditi perdagangan-, wajib menunaikan zakat atas properti tersebut, baik properti itu telah siap untuk dijual atau penjualannya baru terlaksana setelah pembangunan selesai. Pada kondisi ini, pemilik menunaikan zakat sesuai dengan nilai terhadap kondisi terkini properti tersebut ketika waktu wajibnya zakat tiba.

Poin kedua belas

Properti, di mana pemilik membeli properti dan kemudian menunggu-nunggu (wait and see) kenaikan harga properti, wajib ditunaikan zakatnya pada setiap tahun sesuai dengan nilai properti, meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun.

Dengan demikian, pembelian properti dengan niat mengambil untung di waktu berpuluh-puluh tahun yang akan datang, tidaklah menggugurkan kewajiban zakat dari pemilik properti.

Termasuk dalam hal ini adalah pembelian area lahan yang terletak di pelosok dengan niat menunggu kenaikan tingkat permintaan dan harga properti. Maka niat menjual lahan tersebut di masa yang akan datang merupakan sebab timbulnya kewajiban zakat. Kewajiban zakat tetap ada dan tidak ada pengaruh karena tertundanya niat menjual lahan selama lahan tersebut dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana yang menjadi tujuan adalah pengembangan harta.

Kondisi inilah yang disebut oleh ulama dengan “التاجر المتربص”. Pendapat terkuat dalam tema ini adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan wajib dizakati di setiap tahun.

Poin ketiga belas

Tidak ada kewajiban zakat untuk properti yang dibeli oleh seseorang dengan niat menjaga harta, kecuali dia melakukan itu sebagai trik untuk menghindari kewajiban zakat.

Poin keempat belas

Apabila seseorang membeli properti yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, namun belum diserahterimakan kepadanya, hingga uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut mencapai haul, maka wajib menunaikan zakat atas properti tersebut. Karena properti itu akan berpindah kepemilikan kepada pembeli ketika akad telah dilaksanakan. Dan penyerahan properti dianggap sudah terjadi.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya perihal seseorang yang membeli lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan dengan mengeluarkan sejumlah uang. Sebagai informasi, pembeli ini belum menerima lahan tersebut hingga saat ini, bahkan kuitansi pembelian pun belum diterima. Apakah dia berkewajiban menunaikan zakat atas lahan tersebut?

Beliau rahimahullah menjawab,

نعم عليه الزكاة في هذه الأرض، ولو لم يستلم الصك، مادام البيع قد ثبت ولزم، فيزكيها زكاة عروض تجارة، فيقومها حين وجوب الزكاة بما تساوي، ويخرج ربع عشر قيمتها

“Benar, selama penjualan telah terjadi dan mengikat, dia wajib menunaikan zakat untuk lahan tersebut meski dia belum menerima kuitansi pembelian. Dengan demikian, dia berkewajiban menunaikan zakat komoditi perdagangan, di mana pembeli memperkirakan kewajiban zakat dari lahan dengan nilai yang setara dan mengeluarkan 2,5% dari nilai lahan tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, 18: 234)

Baca Juga: Tidak Boleh Melakukan Tipu Daya untuk Menghindari Pembayaran Zakat

Poin kelima belas

Properti yang digadaikan wajib dizakati, jika dipersiapkan menjadi komoditi perdagangan.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan,

فإن كنت أعددتها للتجارة وهي مرهونة فعليك زكاتها، وإن كانت مرهونة ولم تعد للتجارة ، ولكن مرهونة حتى توفيه حقه، وإذا أوفيته فهي للسكن أو للتأجير، فهذه ليس فيها زكاة

“Apabila Anda mempersiapkan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan, Anda berkewajiban menunaikan zakatnya meski properti tersebut tengah digadaikan. Akan tetapi, jika properti tersebut berstatus gadai dan tidak dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana properti itu digadaikan hingga bisa ditebus, dan setelah ditebus Anda menempati atau menyewakannya, maka properti tersebut tidak wajib dizakati.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, 15: 43)

Poin keenam belas

Menurut mayoritas ulama, setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti berkewajiban menunaikan zakat apabila bagian kepemilikannya mencapai nisab.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,

الشركاء في عقار يشترط في وجوب الزكاة على كل واحد منهم, أن تبلغ قيمة نصيبه من العقار نصاباً في نفسه, أو بضمه إلى مال لـه زكوي آخـر من نقد عُرُوْض تجارة”

“Syarat wajib zakat atas setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti adalah nilai bagian kepemilikan untuk setiap mitra dari properti tersebut secara tersendiri telah mencapai nisab atau telah mencapai nisab jika digabungkan dengan nilai harta lainnya yang juga berupa komoditi perdagangan.” (Fatawa Jami’ah fi Zakat al-Iqar, hlm. 12)

Adapun mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah nilai properti secara keseluruhan dan bukan bagian nisab setiap mitra. Dengan demikian, jika nilai properti mencapai nisab, setiap mitra wajib menunaikan zakat meski bagian kepemilikannya tidak mencapai nisab. Pendapat ini yang dipilih oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Poin ketujuh belas

Properti yang diwakafkan untuk kepentingan sosial seperti untuk kebutuhan fakir miskin tidak wajib dizakati karena tidak adanya kepemilikan.

Poin kedelapan belas

Tidak ada perbedaan terkait kewajiban zakat antara properti yang mudah dijual dengan properti yang sulit dijual selama memiliki harga jual. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Karena yang menjadi pertimbangan dasar dalam memberlakukan kewajiban zakat atas komoditi perdagangan adalah karena komoditi tersebut merupakan harta yang dikhususkan untuk dikembangkan seperti uang, baik dikembangkan dengan suatu aktivitas atau tidak, baik memperoleh untung maupun rugi.

Dengan demikian, adanya kesulitan dalam menjual komoditi perdagangan tidaklah berpengaruh dalam tema zakat selama komoditi perdagangan tersebut memiliki harga pasar yang nyata dan bisa diperjualbelikan.

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (8: 102) dinyatakan,

الأرض المعروضة للبيع تجب فيها الزكاة كلما تم عليها الحول؛ لأنها من عروض التجارة، وتقدر قيمتها بما تساوي على رأس السنة، ويخرج منها ربع العشر، سواء كانت رائجة أو كاسدة؛ لعموم الأدلة في وجوب الزكاة فيما أعد للبيع والتجارة

“Tanah yang hendak dijual wajib dizakati setiap kali tercapai haul karena tanah tersebut termasuk komoditi perdagangan. Nilainya diperkirakan dengan harga pasar yang setara di awal tahun dan dikeluarkan zakat 2,5% dari nilai tersebut, baik tanah tersebut mudah terjual ataupun sulit terjual. Hal ini karena keumuman dalil-dalil yang ada menyatakan kewajiban zakat diperuntukkan bagi setiap komoditi yang dipersiapkan untuk dijual dan diperdagangkan.” (Ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-Fauzan, dan al-Ghudayan).

Syaikh Abdurrahman al-Barrak mengatakan,

ليس لكساد العقار أثر في سقوط الزكاة، بل في نقص مقدار الزكاة؛ فإن الأرض الكاسدة تقوَّم بالسعر الذي يمكن أن تشترى به مهما قلَّ

“Kesulitan dalam menjual properti tidak berpengaruh dalam menggugurkan kewajiban zakat, tidak pula mengurangi kadar zakat. Tanah yang sulit terjual ditaksir dengan harga beli yang ada betapa pun sedikit harga tersebut.”

Namun, jika properti tersebut sangat sulit terjual, di mana pemiliknya sudah menawarkan untuk dijual namun tidak memperoleh pembeli sama sekali, sebagian ulama berpendapat bahwa pemilik cukup menunaikan zakat untuk setahun saja jika properti itu akhirnya terjual.

Poin kesembilan belas

Saham-saham properti ditunaikan zakatnya sebagai zakat komoditi perdagangan karena perusahan-perusahaan properti tersebut membeli lahan dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Dengan demikian, setiap pemegang saham wajib menaksir saham yang dimiliki pada perusahaan tersebut dengan nilai yang setara dengannya dan mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.

Poin kedua puluh

Properti yang kepemilikan dan penguasaannya terbatas, atau saham properti yang diblokir, tidak wajib dizakati karena hukumnya serupa dengan harta dhimar (harta yang berada di luar kekuasaan pemilik).

Dalam buku al-Masail al-Mustajaddah fi az-Zakat (hlm. 87) dinyatakan,

فالأرض التي تحجز في المخططات ، كمرافق ومدارس وغير ذلك ، ومالكها ممنوع من التصرف فيها ، إلا إذا قررت الجهة الرسمية عدم الرغبة فيها ، فلا زكاة فيها إلا بعد تمكين مالكها من التصرف فيها ، فيستقبل في زكاتها حولا من تاريخ التمكين من التصرف فيها

“Dengan demikian, tanah yang baru Anda booking dalam suatu brosur hukumnya seperti fasilitas umum dan sekolah, di mana pemiliknya tidak bisa mengelolanya, kecuali otoritas yang berwenang menetapkan bahwa tanah tersebut tidak lagi dibutuhkan. Semua itu tidak wajib dizakati kecuali setelah pemiliknya menguasai sehingga dapat dikelola. Sehingga zakatnya diambil setelah tercapai haul yang ditentukan dari tanggal tamkin (penguasaan secara penuh) atas pengelolaan tanah tersebut.”

Demikian pula dengan saham-saham properti yang diblokir yang bisa jadi disebabkan beberapa hal, seperti penggelapan dan penipuan yang dilakukan oleh pihak perusahaan, adanya berbagai hambatan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah, adanya sengketa atau ada pihak lain yang juga berhak atas properti tersebut. Apa pun kondisinya, saham properti di mana pemiliknya tidak mampu untuk mengelolanya, maka tidak wajib dizakati.

Poin kedua puluh satu

Properti dinilai pada akhir haul sesuai harga pasar, di mana nilainya bisa kurang atau lebih dari harga beli.

Poin kedua puluh dua

Perhitungan haul tidak dimulai dari waktu pembelian properti. Haul yang digunakan adalah haul harta/uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut.

an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

وإذا ملكه [يعني : عروض التجارة] بنقد نصاب فحوله من حين ملك النقد

“Jika dia telah memilikinya –yaitu komoditi perdagangan- dengan membayar sejumlah uang yang mencapai nisab, maka haulnya adalah haul ketika dia memiliki uang tersebut.” (al-Minhaj, 2: 107)

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

[Selesai]

Sumberhttps://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/66831-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-2.html

Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 1)

Poin pertama

Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.

Poin kedua

Kaidah umum dalam tema ini adalah properti tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Dengan demikian pada asalnya tidak ada kewajiban zakat atas properti kecuali properti tersebut menjadi komoditi dagang.

Poin ketiga

Properti yang difungsikan pemiliknya untuk tempat tinggal atau pemanfaatan pribadi lainnya seperti gudang dan semacamnya, tidak dibebani kewajiban zakat berdasarkan kesepakatan ulama. Karena dalam kondisi ini, properti tersebut difungsikan sebagai harta qinyah/aktiva tetap (harta yang kepemilikannya tetap dan difungsikan untuk pemanfaatan pribadi).

Harta yang demikian tidak wajib dizakati berdasarkan kesepakatan ulama, baik pemanfaatan tersebut diniatkan sejak pembelian atau setelahnya. Adanya niat kepemilikan untuk dimanfaatkan secara pribadi menjadikan properti tersebut harta yang tidak perlu dizakati meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun dengan catatan niat pemiliknya tidak berubah.

Baca Juga: Hukum Menganggap Lunas Hutang dengan Niat Zakat

Poin keempat

Lahan pertanian dan perkebunan tidak wajib dizakati, yang wajib dizakati adalah hasil pertanian dan perkebunannya. Jika seseorang membeli sebuah lahan untuk diperdagangkan, kemudian dia memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani/berkebun dalam periode penawaran ke pembeli, maka ketika panen dia berkewajiban menunaikan zakat atas hasil pertanian/perkebunan sebanyak 10% dan menunaikan zakat atas lahan tersebut berdasarkan harga pasar.

Alasannya adalah  dalam kondisi ini terdapat kewajiban yang masing-masing memiliki sebab timbulnya kewajiban zakat yang berbeda, di mana penunaian kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.

Zakariya al-Anshari mengatakan,

فَإِنْ زَرَعَ زَرْعًا لِلْقِنْيَةِ فِي أَرْضٍ لِلتِّجَارَةِ : فَلِكُلٍّ مِنْهُمَا حُكْمُهُ ، فَتَجِبُ زَكَاةُ الْعَيْنِ فِي الزَّرْعِ ، وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي الْأَرْضِ

“Apabila dia bertani untuk dimiliki di atas lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, maka untuk berlaku hukum zakat untuk kedua hal tersebut. Berlaku kewajiban zakat untuk hasil pertanian dan zakat perdagangan untuk lahan tersebut” (Asna al-Mathalib 1/385).

Poin kelima

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang dimiliki dengan niat dimanfaatkan sehingga mendatangkan keuntungan seperti untuk disewakan dan mengambil keuntungan dari  profit yang ada. Zakat hanya berlaku atas biaya sewa yang dihasilkan dari properti tersebut jika terpenuhi nisab dan haul. Sehingga tidak ada kewajiban zakat atas setiap properti seperti rumah, gudang, apartemen berperabot, toko, dan bangunan jika direncanakan untuk disewakan menurut mayoritas ulama. Dengan demikian tidak perlu melakukan penilaian (apparaisal) terhadap properti tersebut pada setiap tahun untuk dikeluarkan zakatnya.

Poin keenam

Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Al-Mawardi mengatakan,

مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ

“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan)” (al-Inshaf: 3/154).

Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi atau yang semisal. Sedangkan perdagangan adalah menjual barang dengan niat memperoleh keuntungan.

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah menyebutkan kasus di mana seseorang memiliki lahan yang dibeli dengan niat ke depannya akan didirikan rumah di atasnya, kemudian niatnya berubah sehingga dia berkeinginan menjual lahan tersebut karena tidak membutuhkannya lagi. Dan pada kasus yang serupa, seseorang memiliki beberapa lahan kemudian dia memiliki kebutuhan sehingga dia berniat menjual salah satu lahannya agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan,

فليس عليه زكاة لا في هذه ولا في التي قبلها , لأنه ما نوى البيع هنا للتجارة , لكن نواه في المسألة الأولى لاستغنائه عنها , وفي المسألة الثانية نواه لحاجته إلى قيمتها , بخلاف صاحب العروض فإنه ينتظر فيها الربح ، فهو من الأصل لا يريد إلا أن تكون للتجارة

“Tidak ada kewajiban zakat yang wajib ditunaikan orang tersebut, tidak pada kasus yang pertama maupun yang kedua. Karena penjualan yang diniatkan bukan untuk perdagangan akan tetapi pada kasus pertama, dia menjual lahan karena memang tidak membutuhkannya lagi, dan pada kasus yang kedua dia berniat menjual lahan untuk memenuhi kebutuhannya dengan hasil penjualan tersebut. Hal ini berbeda pelaku dagang, di mana dia akan mengharapkan keuntungan dari lahan yang dijual, sehingga pada asalnya tidak ada niat lain selain menjadikan lahan tersebut sebagai komoditi perdagangan” (Fath Dzi al-Jalal 6/173).

Poin ketujuh

Tidak ada kewajiban zakat jika properti dimiliki seseorang dan dia tidak memiliki niat yang kuat untuk menjadikan properti itu sebagai komoditi perdagangan, atau dia tidak menentukan niat spesifik untuk properti yang dimilikinya.

Al-Qarafi mengatakan,

فَإِنِ اشْتَرَى وَلَا نِيَّةَ لَهُ فَهِيَ لِلْقِنْيَةِ ؛ لِأَنَّهُ الْأَصْلُ فِيهَا

“Jika seseorang membeli properti namun tidak memiliki niat tertentu terhadapnya, maka properti tersebut berstatus harta qinyah karena itulah hukum asal bagi properti” (adz-Dzakhirah 3/18).

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya perihal apakah terdapat kewajiban zakat bagi seseorang yang memiliki tanah namun dia memiliki keinginan beragam terhadap tanah tersebut, entah dijual, dibangun bangunan di atasnya, disewakan, atau ditempati?

Beliau menjawab,

هذه الأرض ليس فيها زكاة أصلاً ما دام ليس عنده عزم أكيد على أنها تجارة ، فليس فيها زكاة لأنه متردد ، ومع التردد لو واحداً في المائة فلا زكاة عليه

“Lahan ini tidak wajib dizakati sama sekali selama tidak ada tekad dari pemilik untuk memperdagangkannya. Dengan demikian tidak ada kewajiban zakat yang mesti ditunaikan orang tersebut karena terdapat keraguan. Adanya keragu-raguan tersebut meski sekadar 1% menyebabkan tidak adanya kewajiban zakat” (Fatawa az-Zakah wa ash-Shiyam hlm. 193).

Poin kedelapan

Terdapat perbedaan pendapat para ulama apabila properti dimiliki untuk dijadikan sebagai harta qinyah atau tempat tinggal, kemudian setelah itu pemiliknya berniat menjadikannya komoditi perdagangan.  Telah disampaikan sebelumnya tarjih yang menyatakan wajibnya zakat atas properti tersebut.

Poin kesembilan

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang semula diniatkan untuk diperdagangkan, kemudian sebelum tercapai haul, pemilik mengubah niatnya sehingga properti tersebut sekadar menjadi harta qinyah atau diniatkan untuk dimanfaatkan secara pribadi atau disewakan. Hal ini dikarenakan niat memperdagangkan yang menjadi syarat wajibnya zakat adalah niat tersebut tetap ada hingga akhir haul. Apabila pemilik mengubah niat sebelum tercapai haul, gugurlah kewajiban zakat.

An-Nawawi mengatakan,

لَوْ قَصَدَ الْقُنْيَةَ بِمَالِ التِّجَارَةِ الَّذِي عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يَصِيرُ قُنْيَةً بِالِاتِّفَاقِ

“Jika pemilik berniat menjadikan komoditi perdagangan yang dimiliki sebagai harta qinyah, status komoditi tersebut berubah menjadi harta qinyah berdasarkan kesepakatan ulama mazhab” (al-Majmu’ 6/49).

Poin kesepuluh

Apabila properti dimiliki seseorang dengan niat sebagai harta qinyah disertai niat menjadikannya sebagai komoditi perdagangan, atau sebaliknya, maka yang menjadi tolok ukur adalah niat asal kepemilikan.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat apabila orang tersebut memiliki suatu komoditi dengan niat digunakan untuk pemanfaatan pribadi, dan terdapat niat lain yang mengikutinya, di mana jika terdapat untung dengan menjual properti tersebut dia akan menjualnya.

Dan wajib mengeluarkan zakat atas komoditi setiap tahun hingga laku terjual apabila pemilik memiliki suatu komoditi dengan niat untuk dijadikan sebagai komoditi perdagangan, di mana sebelum terjual  komoditi tersebut dimanfaatkan dan digunakan oleh pemilik.

Demikian juga, apabila pemilik berniat menggunakan dan mengambil manfaat dari properti tersebut dalam kurun waktu tertentu sebelum dijual, wajib menunaikan zakat perdagangan atas properti tersebut karena niat pemanfaatan yang pertama tidak menggugurkan status properti tersebut yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan.

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

Sumberhttps://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/66792-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-1.html