OPINI: Menumbuhkan Sikap Zuhud melalui Puasa

Puasa Ramadan sejatinya dapat meningkatkan karakter zuhud bagi setiap kaum mukmin. Zuhud, menurut Ibnu Qayim, bermakna terbebasnya hati dari belenggu dunia. Seseorang dengan sifat zuhud akan berikhtiar untuk menggapai derajat-derajat akhirat. Karena dahsyatnya sifat zuhud, para ulama salaf seperti Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad, Hinad bin Sari mengkhidmatkan diri menulis buku tentang zuhud dengan judul yang persis sama, yakni az-Zuhd.

Meski demikian, zuhud bukan berarti menolak kekuasaan, jabatan dan kemuliaan dunia. Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud adalah orang-orang yang punya kekuasaan pada zamannya. Namun sejarah mencatat bahwa kedua nabi mulia ini adalah manusia-manusia yang berkarakter zuhud. Begitu juga dengan Ali Bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Usman bin Affan. Mereka adalah orang-orang yang kaya harta. Namun mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan sifat zuhudnya.

Bagaimana ibadah puasa dapat menumbuhkan sikap zuhud? Ibnu Qayyim membagi zuhud menjadi beberapa macam. Pertama, zuhud dari sikap berlebihan dalam perkara yang halal. Melalui puasa, kita diajarkan untuk tidak makan, minum dan berhubungan biologis. Di luar Ramadan, semua perkara ini adalah halal jika dilakukan dengan syariat. Namun, sesuatu yang halal bisa menjerumuskan manusia ketika kerasukan menjadi gaya hidupnya. Kalau mau jujur, rusaknya hutan, korupsi, syahwat kekuasaan yang menghalalkan segala cara adalah bentuk-bentuk dari kerakusan manusia. Puasa sejatinya melatih diri kita untuk mampu membangun kontrol diri terhadap anasir-anasir kerakusan.

Yang kedua, zuhud juga berkenaan dengan perkara yang tidak terlalu penting dalam perkataan, pandangan dan segala nafsu yang dapat menjatuhkan muruah atau martabat manusia. Dalam menjalani ibadah puasa Ramadan, kita didorong untuk menghindari pandangan terhadap yang diharamkan, pembicaraan yang sia-sia, menggunjing, membuat rumor-rumor, apalagi menyebarkan perkataan dan berita hoaks dan dusta. Dengan latihan ini, setiap mukmin diharapkan dapat menjaga kehati-hatian agar tidak terperosok pada sifat-sifat yang dapat menistakan dirinya melalui pembicaraan dan pandangannya. Puasa adalah media untuk menumbuhkan pribadi yang penuh hormat dan martabat.

Yang ketiga adalah zuhud dalam perkara syubhat atau perkara yang masih meragukan. Masih menurut Ibnu Qayyim, jika syubhat sebuah perkara berat, maka sikap zuhud menjadi wajib. Jika perkara syubhatnya ringan, maka sikap zuhudnya dianjurkan saja. Bagi muslim yang tinggal di negara-negara nonmuslim, perkara syubhat menjadi tantangan tersendiri. Contoh, banyak makanan yang tidak jelas halal dan haramnya sehingga memunculkan keraguan.

Kenikmatan Dunia
Mukmin yang memiliki sikap zuhud tentu akan menghindari untuk menikmati makanan yang belum jelas kehalalannya dan mengganti dengan makanan lain yang sudah jelas kehalalannya. Puasa berperan penting dalam melatih kemampuan zuhud seperti ini. Di masa Ramadan, jangankan perkara yang haram, perkara yang halal saja kita dituntut untuk menahan diri, apalagi perkara yang masih bersifat syubhat.

Yang keempat adalah zuhud dalam perkara yang haram. Hukum zuhud ini wajib bagi setiap kaum muslim. Orang-orang yang sudah terbiasa melatih pengontrolan diri melalui puasa cenderung memiliki radar spiritual yang kuat untuk menghindari perkara-perkara yang haram. Dalam konteks kehidupan berbangsa, perkara-perkara yang haram seperti korupsi, suap menyuap dalam bidang hukum dan politik, perselingkuhan, dan kesewenang-wenangan adalah sumber keruntuhan sebuah bangsa. Ibadah puasa akan selalu mengingatkan kita bahwa segala perkara yang haram harus dijauhkan dari kehidupan kaum mukmin.

Mewujudkan sifat zuhud memang bukan perkara mudah karena godaan dunia yang memesona. Dalam Alquran surat Ali Imran ayat 14, godaan-godaan itu bisa dalam bentuk syahwat seksual, kecintaan terhadap anak keturunan, harta benda, kendaraan, hewan ternak dan sawah ladang. Segala kenikmatan ini bersifat universal dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Di era milenia sekarang ini, goncangnya bangunan sosial masyarakat kita disebabkan oleh jatuhnya manusia dalam menikmati berbagai kenikmatan dengan tidak memakai nilai-nilai agama. Pergaulan bebas, rebutan kekuasaan dengan segala cara, mencuri uang rakyat dengan cara yang haram, kapitalisme yang semakin menciptakan jurang si kaya dan si miskin adalah gambaran bagaimana jika kenikmatan tidak dipandu oleh ajaran-ajaran agama.

Di akhir surat ini kita diajarkan bahwa semua kenikmatan yang digambarkan tadi adalah kenikmatan dunia yang bersifat temporal dan kenikmatan yang paling tinggi akan diberikan oleh Allah di akhirat kelak. Tentu kenikmatan yang diraih diakhirat bukanlah taken for granted, namun harus diperjuangkan dan diusahakan melalui amal ibadah dan, tentu saja, sikap zuhud kita selamat kita hidup di dunia. Sungguh, ibadah puasa di Ramadan membantu kita untuk menumbuhkan sikap zuhud tersebut.

Endro Dwi Hatmanto, *Penulis merupakan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

HARIAN JOGJA

Zuhud tidak Mesti Menjadi Miskin

Para sahabat Nabi SAW yang hidup zuhud terbilang orang berharta

Ada data menarik yang disampaikan al-Mas’udi dalam kitabnya Muruj al-Dzahab terkait harta kekayaan para sahabat Rasulullah SAW. Zubair bin Al-Awaam meninggalkan 59,8 juta dirham setelah wafat. Konon, beliau memiliki 1.000 budak, 1.000 kuda, 11 rumah megah, juga ratusan hektare tanah dan perkebunan yang tersebar di Madinah, Basrah, Kufah, Fustat dan Iskandariyah. Selain itu, beliau juga seorang saudagar.

Abdurrahman bin Auf saat awal berhijrah ke Madinah tidak memiliki harta sepeser pun. Tapi, tak lama kemudian beliau menjadi orang paling kaya se-Madinah. Menjelang akhir hidupnya, beliau mewasiatkan agar sebagian hartanya dibagikan kepada 100 ahli Badar yang masih hidup. Masing-masing mendapat jatah 400 dinar. Selain itu, beliau memiliki 1.000 budak yang telah dibebaskan, 1.000 unta, 100 kuda, juga 3.000 domba yang digembalakan di Baqi’.
 
Zaid bin Tsabit meninggalkan 300 ribu dinar serta ratusan ton emas dan perak. Ibnu Mas’ud, selain memiliki 50 budak dan hewan ternak, meninggalkan 9.000 ton (mitsqal) emas dan beberapa rumah megah di pelosok-pelosok Irak. Al-Khabab bin al-Irts, sahabat Rasul SAW yang terkenal miskin, di akhir hidupnya mewasiatkan untuk membagi-bagi sisa hartanya yang berjumlah 40 ribu dinar.

Fakta ini menunjukan bahwa para sahabat adalah orang-orang kaya. Tapi, kekayaan mereka tidak lantas membuat mereka lupa akan akhirat. Mereka hidup zuhud. Ali bin Abi Thalib menjelaskan, zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Alquran, supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.

Orang yang tidak bersedih karena kehilangan sesuatu darinya dan tidak bersuka ria karena apa yang dimiliki, itulah orang yang zuhud. Dari tafsir yang dikemukakan Ali bin Abi Thalib tersebut, kita dapat melihat dua ciri orang yang zuhud dalam pandangan Allah.

Pertama, Zaid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zaid tidak memperoleh kebahagiaan dari dengan memiliki. Para sahabat Rasulullah SAW tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi mereka menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiannya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya.

Kedua, kebahagiaan seorang Zaid tidak lagi terletak pada hal-hal yang duniawi, tetapi pada dataran rohani. Kedewasaan kepribadian jiwa kita terletak pada sejauh mana kecenderungan kita pada hal-hal yang rohani. Makin tinggi tingkat kepribadian kita, kebahagiaan rohani meningkat. Dua prinsip inilah yang dipegang para sahabat.

Al-Ghazali menegaskan, zuhud itu menghilangkan keterikatan hati dengan dunia, tapi bukan berarti menghilangkannya. As-Syadzili, pendiri tarikat sufi As-Syadziliyah, dalam setiap doanya selalu meminta kepada Allah, “Ya Allah luaskanlah rizkiku di dunia dan janganlah ia menghalangiku dari akhirat, jadikanlah hartaku pada genggaman tanganku dan jangan sampai ia menguasai hatiku.”

Para sahabat memiliki kekayaan dunia, tapi tidak punya keterikatan hati dengan materi. Harta bagi mereka hanyalah fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk tujuan hidup. Karena itu, petuah Rasul SAW harus dipegang erat-erat dalam sikap hidup kita, “Bekerjalah untuk duniamu seolah engkau hidup abadi dan beramalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok.” (HR al-Bazzar).

Oleh: Abdul Aziz

KHAZANAH REPUBLIKA

Khutbah Jumat: Zuhud, Modal Utama Perjuangan Islam

Khutbah Pertama

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَصْلَحَ الضَمَائِرَ، وَنَقَّى السَرَائِرَ، فَهَدَى الْقَلْبَ الحَائِرَ إِلَى طَرِيْقِ أَوْلَي البَصَائِرَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيُكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَنْقَى العَالَمِيْنَ سَرِيْرَةً وَأَزكْاَهُمْ سِيْرَةً، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى هَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

قَالَ تَعَالَى: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

وَقَالَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ

 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Suatu kali, Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad SAW. Ia mendapati beliau SAW sedang berbaring di atas alas tipis di atas tanah padang pasir yang panas membara. Di bawah kepala beliau SAW terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang diisi serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.

Sesaat kemudian, masuklah Umar bin Khatthab menemui Nabi SAW dan mendapati beliau masih dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya.  Nabi SAW kemudian bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?”

Umar bin Khattab menjawab, “Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rasulullah, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!”

Sejurus kemudian, Nabi SAW bersabda, “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rasulullah.”

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rasulullah SAW mengajarkan kepada Umar bin Khattab dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menekankan poin penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Seorang zahid memandang dunia sebagai suatu hal yang kecil semata. Baginya dunia adalah sarana untuk menuju akhirat. Maka, ketika dia dihadapkan suatu hal yang bertujuan akhirat dengan mengorbankan dunia, dia tidak akan berpikir dua kali untuk itu. Justru hal itu ia lakukan dengan sepenuh hati untuk mendapatkan keutamaan di akhirat.

Banyak para ulama menulis pembahasan khusus tentang zuhud dalam karya-karya mereka. Pembahasan ini terpisah dari kajian-kajian akhlak lainnya. Misalnya Abdullah bin Mubarak menulis kitab Az-Zuhdu wa Ar-Raqaiq. Al-Mu’affiy Al-Mushuliy menulis kitab Az-Zuhdu. Demikian juga para imam lainnya seperti Imam Waki’, Asad bin Musa, Ahmad bin Hambal, Hanad As-Sirri, Abu Dawud, Abu Hatim dan Imam Ibnu Abi Dunya. Ini membuktikan bahwa sikap zuhud adalah sikap yang mulia dan dari sini lahir jiwa-jiwa patriot yang rela berkorban demi keridhaan-Nya.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Imam Ahmad pernah ditanya tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “Jika dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.

Dari sikap zuhud pula muncul spirit berkorban dan mempersembahkan terbaik untuk Allah ta’ala. Karena sang hamba yang zuhud senantiasa berfikir bagaimana akhiratnya menjadi kehidupan terindah. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala mencintai orang-orang zuhud. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saat ditanya tentang amalan yang mengundang kecintaan Allah ta’ala, beliau pun menjawab:

 ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ

“Bersikap zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu,” (HR.Ibnu Majah)

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Selain mampu meyakinkan diri bahwa semua perkara dunia adalah fana dan hina serta berpaling darinya, untuk mencapai derajat zuhud ada syarat-syarat yang harus kita penuhi.

Abu Zakariya Yahya bin Muadz Ar-Razi, salah satu ulama ahlu sunnah wal jamaah yang hidup pada abad ke-3 H menyebutkan ada tiga syarat zuhud. Tokoh yang disebut sebagai seorang juru nasihat oleh Imam Adz-Dzahabi ini mengatakan, “Seseorang tidak akan mencapai hakikat zuhud sampai dalam dirinya terdapat tiga hal:

  1. Beramal tanpa terikat tujuan duniawi
  2. Berucap tanpa berharap apapun (selain pahala dari Allah)
  3. Mencari kemuliaan (Untuk akhirat), bukan untuk jabatan dunia.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hasan Al-Basri menambahkan syarat zuhud, hendaklah kita percaya dan yakin sepenuhnya kepada balasan Allah. Sehingga tidak pernah terbetik dalam hati untuk berharap kepada selain Allah.

Maka dapat dipastikan bahwa ketika seseorang sudah mencapai derajat zuhud ia tidak lagi mengharap apapun dari manusia, harapannya hanya ia gantungkan pada Dzat yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana kehidupan para nabi dalam berdakwah. Ketika mereka diberi iming-iming harta duniawi agar meninggalkan dakwahnya, jawaban mereka sama, yaitu:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.

 وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقاً مَعْصُوْماً، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْماً.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَاناً صَادِقاً ذَاكِراً، وَقَلْباً خَاشِعاً مُنِيْباً، وَعَمَلاً صَالِحاً زَاكِياً، وَعِلْماً نَافِعاً رَافِعاً، وَإِيْمَاناً رَاسِخاً ثَابِتاً، وَيَقِيْناً صَادِقاً خَالِصاً، وَرِزْقاً حَلاَلاً طَيِّباً وَاسِعاً، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.

 رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

 عِبَادَاللهِ !

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

KIBLAT.net


Lima Faktor yang Bisa Menumbuhkan Sifat Zuhud

Selama ini banyak orang yang salah paham atau salah mengartikan sifat zuhud. Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Zuhud juga bukan harus hidup miskin dan meninggalkan segala gemerlap kehidupan dunia. Karena bagaimanapun tidak ada larangan bagi umat Islam untuk meraih kekayaan setinggi-tingginya. Asal cara memperoleh dan penggunaannya sesuai dengan ajaran Islam. 

Sikap zuhud harus menjadi pondasi kuat manusia di tengah kehidupan duniawi yang penuh dengan rasa cinta dan ambisi terhadap materi. Menurut Wahib bin Ward, zuhud terhadap dunia adalah tidak merasa putus asa manakala ada dunia (harta benda) terlepas dari genggaman dan tidak merasa senang bila ada dunia datang. Sementara Ibnu ‘Ajibah memaknai zuhud sebagai terbebasnya hati dari ketergantungan selain kepada Allah. 

Sederhananya, zuhud adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah.  Sehingga yang mengetahui apakah dia zuhud atau tidak adalah dirinya sendiri, dan tentu saja Allah swt. 

“Jangan kalian mengatakan bahwa seseorang mempunyai sifat zuhud. Karena keberadaan zuhud adalah di hati,” kata Abu Sulaiman ad-Darani.

Imam Ahmad membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan. Pertama. Tingkatan zuhud orang awam. Pada tingkatan ini, seseorang dianggap zuhud manakal dia meninggalkan keharaman. Kedua, tingkatan zuhud orang-orang istimewa (khawash). Yaitu meninggalkan hal-hal –bahkan yang halal sekalipun- yang melebihi kebutuhannya. Jadi dia hanya mengambil sesuatu yang menjadi kebutuhannya saja. Ketiga, tingkatan zuhud orang yang sangat istimewa (al-‘arifin). Pada tingkatan ini, seseorang akan meninggalkan segala sesuatu yang mengganggunya untuk ingat kepada Allah.

Lalu bagaimana caranya agar sifat zuhud bisa tumbuh di hati seseorang? Mengutip buku Akhlak Rasul menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), setidaknya ada lima faktor yang bisa menumbuhkan sifat zuhud di dalam hati seseorang.

Pertama, memikirkan kehidupan akhirat. Di dalam Islam, kehidupan di dunia adalah ladang akhirat. Jika dia beramal baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Juga sebaliknya. Bila dia berlaku buruk selama di dunia, maka ia akan mendapatkan siksa. Di akhirat kelak. Dengan senantiasa memikirkan kehidupan akhirat, maka dia akan selalu ingat bahwa amal yang dia kerjakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga dia tidak tertarik lagi dengan kenikmatan di kehidupan dunia yang sementara ini.

Kedua, menumbuhkan kesadaran bahwa kenikmatan di dunia bisa memalingkan hati dari ingat kepada Allah. Di samping itu, perlu juga ditumbuhkan dalam hati bahwa kenikmatan dunia membuat seseorang akan lama berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya.

Ketiga, menumbuhkan kesadaran bahwa memburu dunia sangatlah melelahkan. Tidak jarang seseorang saling sikut, berbuat keji dan hina, untuk mendapatkan dunia. Hal itu tentu saja membuat derajat manusia semakin rendah di hadapan Allah, meskipun mungkin derajatnya tinggi di hadapan manusia. 

Keempat, menyadari bahwa dunia itu terlaknat. Sebagaimana keterangan dalam hadits nabi, dunia dan yang ada di dalamnya adalah terlaknat kecuali dzikir kepada Allah, belajar atau mengajar, dan pekerjaan yang ditujukan hanya kepada Allah. Jadi apapun itu, jika membuat seseorang menjadi jauh dari Allah maka terlaknat. 

Kelima, merasa bahwa dunia adalah hina dan godaannya bisa membahayakan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-A’laa ayat 16-17; “Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Sekali lagi zuhud bukan berarti anti-harta benda. Juga bukan harus hidup miskin atau identik dengan kemiskinan. Namun melepaskan keterkaitan hati dengan harta. Contohnya, banyak sahabat Nabi Muhammad saw. yang kaya namun tetap zuhud seperti Abduraahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka memiliki harta yang melimpah, namun hartanya tidak membutakan mata dan hati mereka sehingga melupakan akhirat. (A Muchlishon Rochmat)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105132/lima-faktor-yang-bisa-menumbuhkan-sifat-zuhud
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Menanam Sikap Zuhud

Kebanyakan kebahagiaan itu difokuskan hanya pada urusan duniawi.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dunia ini indah dan memesonakan, dan sesungguhnya Allah Taala menyerahkannya kepada kalian. Kemudian Allah akan melihat bagaimana kalian berbuat atas dunia ini. Maka berhati-hatilah dalam urusan dunia dan berhati-hatilah juga terhadap wanita.” (HR Muslim).

Hadis tersebut mengingatkan kepada kita agar berhatihati dan bersikap bijak terhadap kehidupan dunia. Tentu, setiap manusia ingin hidupnya dipenuhi dengan kebahagia an. Mereka rela melakukan apa saja untuk mendapat kan nya. Ukuran kebahagiaan bagi seseorang pastinya berbedabeda. Ada yang bahagia memiliki harta berlimpah, mempunyai anak banyak, mobil mewah, punya istri cantik, serta ada pula yang bahagia dengan hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan menggunakan harta benda.

Namun, kebanyakan kebahagiaan itu difokuskan hanya pada urusan duniawi, sesuatu yang sifatnya materiel yang suatu saat rusak, habis, dan lenyap. Allah telah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia dalam Alquran. “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), perumpa maan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turun kan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuhtumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Kahfi: 45).

Jangan sampai salah menyikapi kehidupan dunia ini. Jika salah, bukan kebahagiaan yang datang, justru keresahan dan kesengsaraan yang akan muncul dalam diri. Bekali kehidupan ini dengan penuh keimananan dan ilmu yang cukup, agar bahagia yang didapat. Iman dan ilmu akan menuntun kita bersikap dan bertindak benar.

Salah satu sikap yang harus kita tanam adalah zuhud. Di dalam Alquran banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaannya, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Kabar itu agar tidak menjadikan urusan dunia membuat kita lupa pada urusan akhirat yang justru lebih mulia dan abadi.

Seperti dikatakan, dari Anas RA, ia berkata, Nabi SAW bersabda: “Ya Allah, sebenarnya tidak ada kehidupan yang sesungguhnya kecuali kehidupan akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim). Banyak orang beranggapan bahwa zuhud ialah meninggalkan semua urusan dunia, tidak mementingkan urusan dunia, dan cenderung harus miskin. Sungguh, pendapat itu keliru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sementara al-Junaid berkata: “Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.”

Sederhananya, zuhud adalah sikap tidak terikatnya hati dan jiwa kita oleh dunia. Meski memiliki banyak harta benda, tidak menjadikannya sombong. Mudah untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah dan tak segan menolong orang lain. Seseorang yang hatinya zuhud menganggap semua yang dimilikinya adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya. Jika Allah menambah titipan-Nya, ia tak merasa gembira, jika diambil titipan-Nya (kehilangan), ia tak bersedih.

Sikap seperti itu akan menimbulkan ketenangan serta menjauhkan dari rasa khawatir dan rasa cemas yang berlebihan. Zuhud dan tidak zuhudnya seseorang itu bukan bergantung pada harta banyak atau sedikit, melainkan bergantung pada hatinya. Jika sikap zuhud sudah tertanam di hati dan jiwa, ketenangan lahir dan batin, serta kebahagiaan dunia dan lebih jauh kebahagiaan akhirat insya Allah akan kita dapat. Wallahu a’lam.

Oleh: Agu Sopian

KHAZANAH REPUBLIKA

Zuhud agar Dicintai Allah

Sahabatku yang baik, Rasulullah Shallallahu ‘alahi Wa Sallam mengajarkan kita agar bisa melakukan amalan zuhud. Zuhud adalah amalan hati yang terdalam, dan hanya Allah yang bisa menilainya.

Lakukanlah tiga amalan zuhud ini, agar senantiasa dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Taala :

1. Lebih meyakini bahwa rezeki yang ada, berada pada genggaman Allah daripada meyakini apa yang ada ditangannya.

2. Apabila tertimpa musibah, maka hamba tersebut lebih mengharapkan ganjaran pahala atas musibah yang dialaminya.

3. Senantiasa memandang orang lain sama, baik orang yang memujinya maupun orang yang mencelanya, disaat dirinya berada di atas kebenaran.

Mari sahabat, kita mulai untuk sama-sama mengevaluasi hati kita, agar hati ini bisa senantiasa dicintai Allah dan juga dicintai manusia. Dan semoga Allah senantiasa menggolongkan kita menjadi orang-orang yang zuhud pada dunia dan juga zuhud pada apa yang ada disisi manusia. Aamiin Ya Rabbal alamiin. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Kezuhudan yang Menaklukan Dunia

Dalam sebuah kesempatan Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, sementara beliau sedang berbaring di atas kasur tipis yang langsung beralaskan tanah, di bawah kepala beliau terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang isinya serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.

Sesaat kemudian masuklah Umar bin Khotthob menemui Nabi dan mendapati beliau masih  dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya. Nabi kemudian bertanya: “Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?” Umar bin Khottob menjawab: “Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rosululloh, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!

Sejurus kemudian, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rosululloh”.[1]

Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada Umar bin Khottob dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menekankan point penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.

Sebagaimana diketahui, di antara pelajaran terpenting dan mendasar yang selalu terselipkan dalam setiap syariat Islam adalah konsep hidup zuhud. Zuhud merupakan pagar hati seorang hamba agar tidak terbelenggu dengan dunia dan selalu focus dengan akhirat. Sahabat Abu Dzar al Ghifari –radhiyallohu ‘anhu- pernah menjelaskan tentang zuhud dengan perkataannya; “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal, bukan pula dengan menyia-nyiakan harta. Bersikap zuhud terhadap dunia adalah dengan menganggap apa yang ada di Tangan Allah lebih dipercaya dari pada apa yang ada di kedua tanganmu dan menjadikan pahala musibah ketika engkau mendapatkannya lebih engkau cintai jika musibah itu masih berlangsung bersamamu”.[2]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “jika dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.[3]

Harapan ingin bertemu dengan Allah dalam kondisi terbaik dan berprestasi di hadapan-Nya menjadi motivasi kuat yang lahir dari zuhud terhadap dunia. Dari sikap zuhud pula muncul spirit berkorban dan mempersembahkan terbaik untuk Allah ta’ala. Karena sang hamba yang zuhud senantiasa berfikir bagaimana akhiratnya menjadi kehidupan terindah. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala mencintai orang-orang zuhud. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saat ditanya tentang amalan yang mengundang kecintaan Allah ta’ala, beliau pun menjawab:

«ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ »

“bersikap zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu…”(HR.Ibnu Majah)[4]

Bermula dari zuhud inilah kaum muslimin menjadi penakluk dunia. Dunia berhasil digenggam dalam tangannya, tak secuilpun dari keindahannya mampu membelenggu hatinya. Justru yang terjadi dunia merengek-rengek untuk diambil olehnya. Ibarat orang yang mengejar sumber cahaya, maka secara otomatis bayang-bayang dirinya selalu mengikutinya. Adapun orang yang terbelenggu hatinya oleh dunia, seperti orang yang mengejar bayang-bayangnya sendiri dan menjauh dari sumber cahaya. Gambaran yang jelas tentang perbandingan antara pemburu dunia dan pemburu akhirat adalah seperti yang disampaikan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam salah satu nasehatnya :

«مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ»

“Barang siapa  yang menjadikan dunia tujuannya, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di antara kedua matanya dan tidaklah datang kepadanya bagian dunianya melainkan apa yang sudah ditetapkan untuknya. Dan barang siapa akhirat menjadi niat tujuannya niscaya Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam kondisi hina.” (HR. Ibnu Majah)

Orang-orang zuhud adalah para pemburu akhirat. Para hamba yang menjadikan obsesi akhirat selalu dalam pokok urusannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mudah terbeli dengan dunia seisinya. Sumber energy mereka adalah keikhlasan untuk Allah. Tidak mengherankan jika para penguasa dunia tunduk-takluk di hadapan hamba zuhud.

Dalam perang Yarmuk, peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum kafirin salibis Romawi di tahun 13 H, Jenderal al Qoiqolan –salah seorang jenderal terkemuka di masa Kaisar Heraklius- mengutus mata-mata untuk mengetahui bagaimana kekuatan tempur kaum muslimin. Kemudian berangkatlah pasukan mata-mata menjalankan tugasnya. Seusai mendapatkan informasi yang dibutuhkan, pasukan tersebut bergegas melaporkan kepada Sang Jenderal al Qoiqolan. Informasi tentang kekuatan tempur kaum muslimin diungkapkan oleh mereka dalam satu kalimat: “kami mendapati mereka adalah kaum yang di malam harinya seperti para rahib-rahib sementara di siang harinya mereka adalah para ksatria tangguh. Demi Allah kalau anak raja mereka mencuri pastilah mereka akan memotong tangannya, kalaupun ada yang berzina pastilah mereka akan merajamnya”.[5]

Mendengar informasi tersebut, Jenderal al Qoiqolan langsung berkomentar: “Jikalau engkau jujur dengan apa yang engkau sampaikan, tentulah perut bumi (kematian) lebih baik (bagi mereka) dari pada punggungnya”. Sang Jenderal mengetahui bahwa pasukan yang akan dia hadapi adalah pasukan berani mati yang tidak mudah dikalahkan.

Benar saja, tatkala berhadapan dua pasukan besar. Jenderal Mahan –salah seorang jenderal senior kaisar Heraklius- mengajak negosiasi dengan Kholid bin al Walid yang saat itu menjadi penglima jihad kaum muslimin. Jenderal Mahan berkata kepada Kholid: “Sesungguhnya kami mengetahui  sebab keluarnya kalian dari negeri kalian yaitu karena kekeringan dan kelaparan. Maka kemarilah kalian agar aku berikan setiap orang dari kalian 10 dinar, sandang dan pangan agar kalian bisa pulang ke negeri kalian. Di tahun berikutnya kami akan mengirimkan lagi dengan kadar serupa ”. Perhatikan dalam perkataan tersebut, bagaimana Jendral Mahan hendak merendahkan martabat kaum muslimin. Sang Jenderal mengira kaum muslimin adalah kaum yang mudah terbeli dengan sekeping dunia.

Dengan tegas, Kholid bin al Walid menyanggah anggapan miring dari Jenderal Mahan dan mencoba menciutkan mentalnya seraya berkata; “Sesungguhnya kami tidaklah keluar dari negeri kami karena apa yang engkau sebutkan, akan tetapi kami adalah kaum yang sudah terbiasa minum darah (berperang) dan telah  sampai kepada kami kabar bahwa tidak ada darah yang lebih baik dari pada darahnya bangsa Romawi, maka kami datang untuk itu”.[6]

Perhatikan bagaimana Kholid bin al Walid menolak tawaran dan iming-iming dunia dari Romawi. Kalaupun yang berhadapan saat itu orang yang mencintai dunia pastiah tawaran menggiurkan itu akan diterimanya. Namun yang berhadapan saat itu adalah Kholid bin al Walid seorang pengikut nabi dan panglima kaum muslimin yang zuhud. Tentu saja, iming-iming dari Mahan itu tidak seberapa dengan apa yang dijanjikan oleh Allah dari surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.

Akhirnya peperangan tersebut dimenangkan secara gemilang oleh kaum muslimin. Kekaisaran Romawi yang kekuatannya pernah mendominasi dunia secara erabad-abad harus menelan pahit kekalahan. Kekuatan 210.000 pasukan Romawi harus bertekuk lutut di hadapan 24.000 pasukan kaum muslimin. Tentu saja, hasil akhir peperangan tersebut merubah total geo politik dunia. Sejak itulah Islam menjadi kekuatan perubahan baru dalam pentas kepemimpinan dunia. Di balik kemenangan kaum muslimin saat itu tentunya ada sebuah rahasia besar yang tersimpan hingga menghantarkan kaum muslimin menguasai dunia selama berabad-abad. Di antara rahasianya adalah sikap zuhud mereka terhadap dunia ini. Inilah kezuhudan yang menaklukan dunia. Wallohu a’lam.

[abuharits]

 

sumber:Bumi Syam

[1] HR. Bukhori dalam kitab al Adab al Mufrod, bab: duduk di atas Kasur, berkata Syaikh al Albani: hadits hasan shohih.

[2] Imam Ibnu Rojab al Hanbali –rohimahulloh– menyatakan riwayat ini mauquf disandarkan kepada sahabat Abu Dzar al Ghifari  -radhiyallohu ‘anhu-. [Ibnu Rojab al Hanbali,  Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam(Kairo: Dâr al ‘Aqîdah, cetakan I, tahun 1422 H) hal 391]

[3] Ibnu Rojab al Hanbali, Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam (Kairo: Dâr al ‘Aqîdah, cetakan I, tahun 1422 H) hal 394

[4] HR. Ibnu Majah dalam sunannya, kitab: al Zuhd, bab: al Zuhdu fii al dunya. Imam an Nawawi menilai derajat hadits ini hasan sanadnya.

[5] Ibnu Katsir, al Bidayah wa al Nihayah (Kairo: Dâr al ẖadîts, cetakan tahun 1427 H) juz 7 hal 8

[6] Ibnu Katsir, al Bidayah wa al Nihayah (Kairo: Dâr al ẖadîts, cetakan tahun 1427 H) juz 7 hal 10

Dapatkah Kita Zuhud seperti Rabi bin Khutsaim?

ENGKAU telah menggapai kemuliaan dunia yang hakiki. Tak ada orang lain. Tak ada orang yang dapat mencapai derajat tertinggi itu. Engkau telah mencapai derajat yang paling puncak yang tidak dapat didaki, kecuali hanya oleh orang-orang yang ikhlas. Orang-orang banyak beribadah, bercita-cita luhur, dan meninggalkan dunia beserta kesenangannya.

Ia adalah orang yang paling dekat dengan sahabat Abdullah bin Masud radhiyallahu. Ia adalah orang yang paling wara. Ia adalah seorang pria yang hatinya sangat lembut.Suka menumpahkan air mata. Apabila salat ia lupa akan segala hal. Tak ingat lagi kehidupan dunia. Ia sangat mencintai Rabbnya. Ibadahnya tak pernah henti. Ada seorang pria Aslam, yang memberikan kesaksian, ketika melihat orang itu sedang shalat, yang ia tak pernah melihat dilakukan oleh orang lain. “Apabila ia sujud, ia laksana kain yang dilempar dan dihinggapi oleh burung-burung”, ujar Aslam.

Saat menjelang malam Ia jarang tidur. Ia tak memejamkan matanya. Saat orang lain sedang asyik dibuai mimpi-mimpi. Keluarganya pun kasihan kepadanya. Sampai seorang putrinya menegurnya. “Wahai ayah!. Mengapa selalu terjaga? Padahal orang-orang sedang asyik tidur?”. Orang itu menjawab pertanyaan putrinya. “Sesungguhnya neraka janaham terbayang di mataku!, ucap ayahnya. Suatu ketika. Orang itu berkata kepada putrinya yan ia cintai itu, dan berkata : “Aku sangat takut. Takut aku tergelincir ke dalam neraka”, kata ayahnya.

Para sahabat lainnya, ingin mengetahui, bagaimana lamanya shalat tahajud di malam hari. Salah seorang sahabat, lalu menuturkan: “Mereka menaruh tanda di rambutnya, karena rambut orang itu tebal, untuk mengetahui orang itu tidak atau tidak? Ternyata tanda yang mereka taruh itu tidak berubah. Dari peristiwa itu, diketahui ia tidak membaringkan tubuhnya di malam hari”.

Bila pagi tiba. Ia berkata: “Selamat datang, wahai para malaikat Allah. Tulislah, Bismillaahir-Rahmanaanir-Rahim, subhanallah, wal-hamdulillah, laa Ilahaa illallaah wallaahu Akbar!”. Ia sangat meresapi makna Alquran, bila membacanya. Mengetahui apa yang diperintah dan larangannya. Mengenal betul janji dan ancamanNya. Suatu kali, ia melakukan salat tahajud, dan membaca ayat: “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”. (Alquran : 45:21) Ayat itu merasuk ke dalam pikirannya. Sampai tidak dapat melanjutkannya. Ayat itu diulang-ulang sampai pagi hari. Ia merasakan lezatnya, ketika membaca Alquranul Karim.

Siapa orang itu? Ia tak lain adalah Rabi bin Khutsaim bin Aidz rahimahullah. Ia adalah murid Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, yang menjadi pewaris ilmunya, peneladan akhlaknya, imam dalam ibadah, zuhud, dan wara.

Rabi tak suka memperlihatkan amal ibadahnya. Ia bahkan berupaya menyembunyikan ibadahnya. Ketika ada orang menemuinya sedang ia sedang memegang mushaf Alquran, ia menutupinya dengan kain agar tak terlihat. Rabi tidak melakukan salat sunah di masjid jami. Ia hanya satu kali orang-orang melihatnya mengerjakan salat sunah. Rabi bin Khutsaim rahimahullah telah mencapai tingkat rasa takut kepada Allah Azza Wa Jalla yang sangat tinggi. Hatinya selalu dipenuhi oleh khasyatillah (takut kepada Allah). Orang yang keadaan seperti itu, pasti akan ringan dari segala musibah dan ujian dunia.

Suatu kali. Rabi pergi bersama dengan Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu. Mereka berdua melihat tukang besi. Mereka berdua melihat besi yang sedang menyala dan ditempa. Lalu, Ibnu Masud melanjutkan ke tempat lain. Sampai di tepian sungai Eufrat. Di tepian sungai yang membelah kota Bagdad itu, mereka bertemu dengan seorang pandai besi yang mengerjakan pembuatan perkakas. Saat melihat api yang menyala-nyala itu, Abdullah bin Masud membacakan ayat Alquran: “Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan, apabila mereka dilemparkan ketempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan”. (al-Furqan :25:12-13).

Saat itu, tiba-tiba Rabi pingsan, dan digotong ke rumahnya. Abdullah bin Masud menunggui sampai dhuhur. Belum juga siuman. Sampai ashar belum juga siuman. Dilanjutkan sampai magrib. Belum juga siuman. Baru sesudah itu, Rabi siuman, kemudian Abdullah bin Masud meninggalkannya. Itulah kondisi orang-orang yang bertakwa.

Seorang dari Bani Taymillah bercerita, dan pernah mendampingi Rabi selama dua tahun. Selama dua tahun itu, orang menceritakan, bahwa Rabi, hanya berbicara satu kali, yang berkaitan dengan dunia, dan dalam bentuk pertanyaan. “Apakah ibumu masih hidup? Berapa masjid di lingkunganmu?”. Orang yang hatinya sibuk dengan zikrullah, tak memiliki kesempatan menyebut-nyebut dunia.

Pernah Rabi terkena penyakit lumpuh dalam waktu yang lama. Suatu ketika ia ingin makan daging ayam. Namun, ia menahan keinginannya itu selama empat puluh hari. Baru, ia berkata kepada istrinya : “Aku ingin makan daging ayam sejak empat puluh hari yang lalu, agar keinginanku dapat diredam”, ucapnya. “Subhanallah. Mengapa itu tidak engkau lakukan?”, sahut istrinya. Maka, istrinya menyuruh seseorang pergi ke pasar membeli ayam. Lalu, disembelihnya ayam itu. Usai menyembelih ayamnya, lalu memasak ayam itu, dan dicampur dengan roti, kemudian istrinya menghidangkan masakan itu kepada suaminya.

Betapa. Saat Rabi akan makan hidangan ayam beserta roti, di depan pintu datanglah seorang pengemis dan meminta- “Berikanlah ini kepadanya. Semoga Allah Azza Wa Jalla memberkahi”, kata Rabi kepada istrinya. “Subhanallah”, sahut istrinya. “Sudahlah. Berikan kepada dia”, kata Rabi. Isterinya lalu berkata: “Kalau begitu aku akan melakukan hal-hal yang lebih baik”, tukas istrinya. “Apa?”, tanya Rabi kepada istrinya. “Aku akan memberikan uang seharga makanan ini”, jawab isterinya. Setelah isterinya menyerahkan uang itu kepada pengemis itu, lalu Rabi berkata: “Berikanlah uang berikut makanan itu seluruhnya”.

Suatu hari datang seorang laki-laki ke rumahnya meminta nasihat. Rabi rahimahullah mengambil kertas lalu menuliskan kata-kata: “Katakanlah, marilah kebacakan apa yang diharamkan Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Berbuat baiklah terhadap kedua orangtuamu (ibu-bapak), dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, melainkan dengan sebab yang benar”.

Rabi bin Khutsaim telah memberikan teladan. Memberikan pelajaran. Memberikan arahan. Semua menjadi jalan menuju kehidupan yang diridhai Allah Azza Wa Jalla. Tak ingin mendapatkan murka-Nya, kelak di akhirat nanti. Wallahu alam. [Eramuslim ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2334957/dapatkah-kita-zuhud-seperti-rabi-bin-khutsaim#sthash.1nWtjQZG.dpuf