“Tak Ada Jalan Buntu, Selama Yakin Pada Allah”

Dalam mengarungi samudra kehidupan, menusia laksana sebuah roda. Kadang ia berada di atas, kadang pula ia berada di bawah. Begitu pula dengan kisah hidup Azam, pria asal Bojonegoro, Jawa Timur.

Dikisahkan olehnya, ketika ia dalam masa kejayaan, bukan hanya rumah yang menjadi simbol kekayaannya. Mobil yang berjumlah tiga buah, juga menjadi fasilitas yang melengkapi kemewahan yang ia miliki. Belum lagi hasil dari usaha yang ia geluti, jual beli beras, yang omzetnya mencapai 25 ton per-bulan.

Namun malang tidak bisa dihindari, ketika roda kehidupan bergelinding membawanya ke posisi dasar. Usahanya bangkrut, dan utang bertebaran di sana-sini. Inilah kisahnya yang ditulis dengan bahasa tutur.

***

Kisah ini saya mulai dari sejarah masuknya saya ke lembaga dakwah. Saya bergabung pada tahun 1995, setelah menyelesaikan studi di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Surabaya tahun 1994, jurusan Fisika.

Langkah bergabung dengan lembaga dakwah bukan langkah mudah. Keputusan ini, sungguh sangat bertentangan dengan keinginan orangtuaku yang ingin aku menjadi seorang pegawai negeri (PNS). Maklum, di desa, jarang anak mengenyam bangku kuliah. Apalagi, statusku sebagai sarjana Fisika. Merekapun selalu memaksaku, bahkan tidak jarang dengan menggunakan bahasa yang –kadang-kadang- tidak mengenakkan. Namun, laksana karang di lautan, tekadku untuk berdakwah dan bergabung di sebuah lembaga dakwah tak pernah runtuh, sampai akhirnya mereka pun menyerah.

Saya memilih sebuah lembaga dakwah, sebagai ‘pelabuhan’, karena saya melihat keindahan Islam di sana, yang sebelumnya tidak pernah saya saksikan di beberapa lembaga lain. Bagaimana para penghuninya menghormati tamu, sungguh mengesankan. Belum lagi melihat para awak yang senantiasa menjaga keistiqomahan dalam menunaikan shalat jama’ah dan shalatul lail (tahajjud), menjadi daya pengikat tersendiri. Pemandangan semacam inilah yang membuat hatiku berbunga-bunga, dan mendesakkan hati untuk segera berbabung.

Selain itu, dulu, di era Orde Baru (Orba) yang sangat otoriter ditambah kejaman Orba, rekayasa intelijen kepada umat Islam yang sangat kasar, membuatku merasa enggan untuk mendaftarkan diri menjadi PNS.

Setelah tiga bulan aktif, saya memutuskan untuk mengakhiri masa lajang, maka nikahlah aku dengan seorang wanita asal Surabaya, yang notabenya adalah teman kuliah.

Sambil menikmati bulan madu, aku mulai aktif di lembaga dakwah. Berbagai amanah pernah saya emban, mulai dari wakil kepala sekolah (Waka), bendahara Yayasan, dan berbagai amanah lain.

Apapun yang diamanahkan oleh lembaga kepadaku, dengan sekuat tenaga akan aku lakukan dengan sebaik-baiknya.

Merintis Bisnis

Ditengah-tengah kesibukan sebagai aktivis dakwah, pada 1998, aku memberanikan diri untuk terjun di dunia enterpreunership (kewirausahaan). Dan bisnis yang menjadi incaran adalah jual-beli beras dari desa ke kota.

Bisnis ini aku pilih, karena memang pada saat itu, pasar Surabaya sedang membutuhkan asupan beras yang tinggi. Peluang inilah yang aku baca, kemudian terjun di dalamnya. Adapun daerah asal penyuplaian, saya pilih Bojonegoro karena kabupaten ini merupakan salah satu penghasil beras terbanyak di Jawa Timur (Jatim).

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya dalam waktu satu tahun, aku mampu meraih keuntungan yang cukup besar. Aku telah mampu mengontrak rumah yang lumayan megah. Mobil tidak hanya satu, aku beli tiga sekaligus. Bila dikalkulasi, omzetku saat itu, mampu mencapai 25 ton, tiap bulannya. Padahal, jujur, modal yang saya gunakan untuk memulai bisnis ini hanya keberanian. Tak sepeser pun uang saya keluarkan untuk memulai bisnis ini. Bukan karena apa-apa, tapi memang tidak ada.

Saya datang ke Bojonegoro menemui salah satu juragan beras di sana, kemudian menjelaskan prihal bisnis yang sedang saya rancang. Ia menyetujui untuk menjadi mitra kerja. Pada awal pengiriman, dia hanya memberikan 3 ton. Lambat-laun, setelah mengetahui perkembangan bisnis ini sangat masif, beliau pun akhirnya berani mengirim seberapapun jumlah yang saya butuhkan.

Bisnis ini terus berjalan dengan lancar, hingga memasuki tahun 2001. karena begitu mudahnya rizki hinggap ke pangkuanku, maka sempat timbul sifat arogansi (sombong) dalam diri. Pernah pada suatu saat, aku hampir ‘ketiban durian jatuh’. Uang sebesar Rp 2,2 Milyar hampir aku dapat namun akhirnya lenyap. Padahal, bisa dikatakan uang tersebut tinggal sejengkal saja menjadi hak milik saya.

Usut punya usut, mungkin, penyebabnya karena kesombonganku. Ceritanya, ketika mengetahui akan mendapat rizki nomplok, aku berkata ke pada istriku, “Bu, lihatlah, siapa diantara teman-temanku yang mampu mendapatkan uang Rp. 2,2 Milyar dalam umur semuda aku?” Maklunm kala itu, umurku masih 34 tahun. Tak disangka, kekotoran hati seperti itulah, rupanya, yang kemudian menjadi boomerang dan biang kehancuran bisnisku.

Roda Berbalik

Selain sifat takabbur yang pernah menyelinap di hati, aku merupakan orang yang paling sering ditipu oleh mitra bisnis. Meskipun aku telah berhati-hati dalam bertindak, tapi tetap saja penipuan itu berlanjut. Mungkin itu adalah salah satu bentuk teguran Allah kepadaku. Puncak dari penipuan itu terjadi pada tahun 2002. saat itu, tersebutlah P.T Pohon Mas dan Goldquest yang mengajak untuk berkerja sama dengan cara menanam saham. Setelah dijelaskan bagaimana sistem kerjanya, aku pun tertarik. Uang sebesar Rp 50 juta, aku serahkan langsung tanpa curiga. Lalu apa yang terjadi? Ternyata itu hanyalah modus penipuan. Maka lenyaplah uang itu entah-brantah.

Mulai dari sinilah bisnisku macet. Untuk menutupinya, mobil aku jual, selain itu aku pun berusaha mencari pinjaman ke teman-teman. Karena tidak mencukupi, maka akhirnya aku putuskan untuk meminjam di beberapa Bank seperti; BRI, BNI, Niaga, Permata. Gali lobang untuk tutup lobang.

Aku benar-benar menjadi orang yang terlilit hutang. Bahkan, karena tidak mampu lagi membayar kontrakan rumah, aku dan keluarga harus menumpang di rumah mertua.

Tiga tahun kondisi memprihatinkan tak juga berlalu. Di tengah kekalutan itu, ada kabar yang mengagetkan bahwa rumah yang kami tempati itu akan dijual oleh mertua. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku tak bisa berfikir lagi, mau dibawa kemana keluarga saya ini?. Meskipun saya punya banyak famili, tapi aku tidak akan melibatkan mereka dalam kasus ini.

Singkat cerita, rumah mertua akhirnya terjual seharga Rp. 130 Juta. Dari hasil penjualan, bapak (mertua) memberi kami Rp. 20 juta. Namun belum genap berumur satu minggu, uang itu sudah ludes untuk mencicil hutang-hutangku yang menumpuk. Istriku menangis, sebab, sedianya uang itu akan kamu gunakan untuk mengontrak rumah. Tapi, apalah daya, si-pengutang terus berdatangan menagih.

Di tengah kekalutan, aku datangi temanku. Aku sampaikan permasalahanku dan aku utarakan bahwa saat ini aku sedang butuh kontrakan. Melalui perantaranyalah aku dipertemukan dengan seorang pemilik rumah. Setelah bertemu si-empunya, aku dibingungkan dengan uang kontrakan yang mencapai Rp 16 juta yang tak mungkin kumiliki. (sebelumnya, rumah ini ada yang ingin mengontrak sebesar Rp. 36 juta), Lallahu’alam, Karena kelembutan hatinya, kami dipersilahkan menempati rumah tersebut. Sebagai ganti, aku diminta untuk bekerja dengannya. Rumah berukuran 9×10 meter persegi itulah, yang sejatinya bekas kantor, akhirnya menjadi tempat kami sekeluarga bernaung hingga saat ini. Allahuakbar! Puji syukur ku terus kuucapkan kepada Allah yang telah memudahkan segala urusanku.

Membangun Strategi

Setelah mendapat tempat tinggal yang pasti, saya mencoba menata ulang kehidupan. Aku melamar untuk menjadi agen sebuah majalah Islam. Al-hamdilillah diterima. Pelangganku juga lumayan banyak. Untuk majalah, berkisar 30 orang, buletin 50. Selain itu, aku juga berjualan kecil-kecilan. Karena pernah aktif di sebuah lembaga zakat, akupun ditawari untuk menjadi konsultan seuah lembaga zakat.

Selain disibukkan dengan urusan di atas, aku juga diamanahi untuk merintis badan ‘amil zakat.

Melalui aktivitas-aktivitas inilah, aku bisa kembali bangkit dari sebelumnya. Bahkan, pada bulan Oktober tahun lalu, rumah yang kami (yang semula kontrak telah resmi jadi milik kami). Karena aku telah membelinya seharga Rp 180 juta.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya mampu menanggung beban seberat ini?dan mampu kembali bangkit?. Jawabannya mungkin satu. Dalam menjalani kehidupan, aku memiliki satu prinsip yang membuatku teguh dan tak mudah runtuh.

“Tidak ada jalan buntu selama kita pasrahkan semua urusan kepada Allah.” Sekalipun saat itu saya tidak memiliki sepeser uang, tetapi dengan prinsip itu, Allah senantiasa memperkuat diriku untuk mampu menghadapi ujian demi ujian.

Sebagai gambaran betapa mujarabnya prinsip tersebut, pernah pada bulan suci Ramadhan, kami kebingungan untuk membayar zakat fitrah. Uang yang kami punya tidak cukup untuk memenuhi kewajiban itu. Namun alhamdulillah, tanpa disangka-disangka, Allah memberi rizki kami melalui salah satu sahabatku. Sangat luar biasa. Saya senantiasa berpesan kepada Anda, mulai saat ini, libatkanlah Allah dalam setiap urusan kita. InsyaAllah, semuanya akan terasa lebih mudah.

HIDAYATULLAH