Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal

Teks Khotbah Jumat: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, marilah senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada orang-orang yang bertakwa surga-Nya yang mengalir di bawah sungai-sungai, surga yang semua kenikmatan dunia tidak ada bandingannya dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ

“Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran: 15)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Ramadan yang penuh kemuliaan belum lama meninggalkan kita, memori-memori indahnya mungkin beberapa kali masih terlintas dalam benak kita. Lalu, tibalah saatnya diri kita memasuki salah satu bulan haram yang juga Allah Ta’ala muliakan. Bulan yang menjadi permulaan bulan-bulan haji. Bulan yang juga dipenuhi dengan berbagai macam ketaatan serta merupakan bulan di mana Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Tidak mengherankan apabila bulan Syawal ini datang, undangan-undangan pernikahan pun datang silih berganti, grup-grup WhattsApp penuh dengan ucapan selamat. Saat melintasi jalan raya, tak jarang pula kita jumpai tenda-tenda didirikan untuk merayakan pernikahan.

Ya, bulan Syawal menurut mazhab Syafi’iyyah (mazhab yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat kita) dihukumi sebagai bulan yang disunahkan untuk melakukan akad nikah dan melangsungkan malam pertama.

Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ- فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟. قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءهَا فِي شَوَّالٍ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Maka, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?”

(Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim no. 1423)

An-Nawawi rahimahullah, salah satu ulama Syafi’iyyah, dalam kitab Syarh Shahih Muslim-nya ketika menjelaskan hadis ini mengatakan,

فِيهِ اسْتِحْباَبُ التزَّوِيجِ والتزوُّجِ والدُّخولِ في شَوَّالٍ، وقَدْ نَصَّ أَصْحابُنا على استحبابهِ، واستدلُّوا بهذا الحديثِ.

“(Hadis ini) menunjukkan anjuran menikahkan, melakukan akad pernikahan, dan melakukan dukhul (malam pertama) pada bulan Syawal. Ulama-ulama mazhab kami (Syafi’iyah) telah menganjurkannya dengan berdalil hadis ini.”

Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, tahukah kalian apa alasan Nabi melangsungkan akadnya dengan Aisyah dan melakukan malam pertamanya di bulan Syawal?

Pertama-tama, harus kita ketahui terlebih dahulu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah tegas dalam masalah akidah dan keyakinan. Beliau sangat bersemangat di dalam mematahkan mitos dan takhayul tidak berdasar yang diyakini oleh masyarakat dan orang-orang jahiliyah.

Dan pada zaman jahiliyah tersebar di kalangan mereka sebuah kepercayaan dan anggapan sial terhadap bulan Syawal. Mereka benci untuk melakukan pernikahan dan memulai kehidupan rumah tangga di antara dua hari raya. Sedangkan Syawal posisinya terletak setelah perayaan Idulfitri dan sebelum perayaan Iduladha. Mereka takut jika melangsungkan pernikahan di bulan Syawal, maka pernikahan mereka tidak akan langgeng dan mudah rusak.

Sebab kepercayaan mereka, karena bulan Syawal dalam bahasa Arab menurut sebagian ahli bahasa berasal dari kalimat Syalat an-naqah bi dzanabiha”, yang maknanya ‘seekor unta betina yang menegakkan ekornya’. Hal itu bermula dari kecenderungan unta-unta betina yang enggan didekati oleh pejantan.

Ekor yang diangkat menandakan penolakan atau bahkan perlawanan. Dari situ, lantas muncullah kesimpulan masyarakat Arab sebelum Islam bahwa menikah di bulan Syawal menjadi sebuah hal yang tabu, bahkan dilarang. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan mematahkan mitos ini. Beliau menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal yang mulia ini. Beliau mulai juga kehidupan pernikahannya dengan ibunda Aisyah di bulan Syawal.

An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadis Aisyah di atas juga menyebutkan,

“Maksud Aisyah dengan perkataannya ini adalah untuk membantah kondisi orang-orang jahiliyah serta takhayul sebagian dari mereka tentang kebencian menikah, menikahkan, dan memulai rumah tangga di bulan Syawal, yang mana hal ini merupakan sisa-sisa pengaruh Jahiliyah. Mereka bertathayyur (beranggapan buruk) dengannya. Karena dalam penamaan Syawal terkandung makna peninggian, pengangkatan, dan pemindahan. Sehingga mereka meyakini bahwa siapa yang memulai rumah tangganya di bulan Syawal, terangkatlah cinta di antara mereka, dan tidak ada kasih sayang, dan tidak ada cinta. Atau mereka menganggap tidak adanya cinta dalam pernikahan di bulan-bulan haji serta di antara dua hari raya. Maka, Aisyah ingin membantah semua itu.”

Sungguh dalam pernikahan Nabi ini tidak hanya mengajarkan kepada kita perihal sunahnya menikah di bulan Syawal. Lebih jauh dari itu, Nabi ingin mengajarkan kepada kita akan pentingnya memiliki akidah yang kuat dan mencontohkan kepada kita tentang bagaimana menghadapi mitos-mitos, tathayyur, dan takhayul yang beredar di masyarakat.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Dalam ilmu akidah, anggapan sial seperti yang diyakini orang-orang jahiliyah terhadap bulan Syawal disebut dengan tathayyur atau thiyarah yang mana hukumnya terlarang dan diharamkan. Yaitu, merasa bernasib sial karena adanya sesuatu.

Sebagai seorang muslim yang tinggal di Indonesia, negara yang kaya akan budaya dan beragam sukunya, tentu telinga kita tidak asing ketika mendengar beragam mitos, pamali, dan tathayyur tersebar di masyarakat kita. Baik itu menganggap sial angka 13. Adanya burung gagak pertanda adanya kerabat yang meninggal. Atau bahkan keyakinan bahwa jika anak lahir pada waktu magrib, maka anak tersebut akan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan. Ketahuilah wahai jemaah sekalian, kesemuanya itu merupakan contoh tathayyur yang terlarang.

Tathayyur semacam ini sangatlah membahayakan akidah serta tauhid kita. Karena tathayyur akan mengantarkan seseorang kepada kesyirikan. Ketika seseorang ber-tathayyur, maka ia telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab (baik ditinjau dari segi syariat maupun praktik di kehidupan nyata) sebagai sebab. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya.” (HR. Abu Dawud no. 3910, Tirmidzi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538 dan Ahmad no. 3687)

Wallahu a’lam bisshawab.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ،   فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Tathayyur, pamali, dan anggapan sial karena sesuatu yang bukan sebabnya merupakan sebuah kezaliman yang besar terhadap Allah Ta’ala. Karena di dalam meyakininya seseorang akan menyandarkan kebaikan, keburukan, kesialan, dan bencana kepada selain Allah Ta’ala. Padahal sejatinya kesemuanya itu terjadi atas ketetapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Jika datang kebaikan pada mereka, mereka berkata, ‘Ini karena kami.’ Jika datang keburukan pada mereka, mereka ber-tathayyur dengan Musa dan kaumnya. Ketahuilah sesungguhnya yang menetapkan ini semua adalah Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan tentang mereka yang bertathayyur dengan Nabi Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Menurut mereka, Nabi Musa dan pengikutnya adalah sebab kesialan. Akan tetapi, dalam ayat ini pula Allah Ta’ala membantah hal tersebut. Allah jelaskan bahwasanya kesialan itu akibat ulah perbuatan mereka sendiri dan Allah-lah yang menentukan itu semua.

Jemaah yang semoga senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala,

Ketahuilah, sesungguhnya dalam Islam tidak ada kesialan, kecuali karena kemaksiatan. Dan tidak ada keburukan, kecuali karena perbuatan dosa. Allah Ta’ala menegaskan,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Syura: 30)

Dan apabila terjadi sebuah kemalangan atau keburukan yang menimpa seorang muslim, maka di situlah kesempatan dari Allah untuk menghapuskan kesalahan-kesalahannya apabila ia bisa bersabar dan tidak mengeluh ketika menghadapinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah, baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan, atau rasa gelisah, sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)

Sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk tidak takut atau khawatir ketika melihat pertanda-pertanda, tathayyur ataupun pamali yang diyakini oleh masyarakat. Karena semuanya itu tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita taufik-Nya untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Karena tawakal merupakan solusi dari tathayyur yang ditawarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alahi wasallam bersabda,

وما منَّا إلَّا ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتوكُّلِ

“Dan tidaklah seorang pun di antara kita, kecuali pernah merasakannya (tathayyur). Namun, Allah akan menghilangkannya dengan tawakal.” (HR. Abu Dawud no. 3910, Tirmidzi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538 dan Ahmad no. 3687)

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84719-pelajaran-tauhid-dari-pernikahan-nabi-dan-aisyah-di-bulan-syawal.html