Wazi’ Perilaku Manusia dalam Islam

Wazi’ Perilaku Manusia dalam Islam

K.H. Afifuddin Muhajir menyebutkan salah satu keunggulan undang-undang syariat dibandingkan dengan undang-undang positif adalah memiliki pengendali Agama (wazi’ qurani) dan kekuasaan (wazi’ sulthani) sekaligus.

Sementara undang-undang positif hanya memiliki pengendali kekuasaan (wazi’ sulthani). Syekh Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya Maqhasidus Syariah Islamiyah [367-370] mengatakan bahwa syariat islam di dalam menerapkan undang-undang pensyariatannya memberikan suatu otoritas legalitas formal untuk mengendalikan tindak-tanduk manusia dalam mensukseskan penerapan syariat Islam.

Pengendali atau dalam istilah lain adalah wazi’ (yang mengawal/mendekti/mengendalikan prilaku manusia) dalam islam diklasifikasi tiga bagian. Pertama wazi’ jibilly. Kedua, wazi’ qurani. Ketiga wazi’ sulthani.

Wazi’ jibillyi/ fitrah manusia

merupakan pengendali secara fitrah manusia atau karakter kemanusiaan. Pertama-tama, syariat berpegangan terhadap pengendali fitrah kemanusiaan untuk mengawal tindak-tanduk manusia.

Oleh karena itu, syariat hanya memberikan warning kepada manusia untuk melakukan sesuatu karena mengandung kemaslahatan yang secara hati nurani digandrungi atau disenangi.

Sebaliknya, syariat cukup memberikan peringatan untuk menghindar dari hal-hal yang negatif secara fitrah. Dengan demikian, syariat tidak perlu mewajibkan sesuatu untuk dilaksanakan maupun dihindari karena mencukupkan dengan wazi jibilly ini. dengan kaidah

الوازع الجِبِلّي يغني عن ايجاب الشرع

“Pengendali fitah kemanusian mencukupkan diri dari mewajubkannya syari’at”

Contoh dalam hal ini semisal makan, berpakaian, ingin melakukan hubungan seksual dan lain sebgainya. Oleh karena itu, syariat tidak sampai mewajibkan pernikahan karena secara fitrah manusia pasti ingin melakukannya. Hanya saja, syariat mengatur dan melembagakan hubungan seksual dalam pernikahan agar tetap sesuai dengan undang-undang syariat.

Wazi’ sulthani atau pengendali kekuasaan

Pada dasarnya dilegitimasi oleh syariat untuk mengawal prilaku individual maupun anggota msyarakat agar tetap sesuai dengan tuntunan syariat. Pada biasanya, peran pengendali ini ketika pengendali secara rohani dan qurani sudah melemah dan hal yang mendorong untuk melanggar aturan syariat mulai menguat.

Syekh Ibnu Asyur menegaskan;

فمتى ضعف الوازع الديني، في زمن أو قوم أو في أحوال يُظَنُّ أن الدافع إلى مخالفة الشرع في مثلها أقوى على أكثر النفوس من الوازع الديني، هنالك يُصار إلى الوازع السلطاني، فيناطُ التنفيذُ بالوازع السلطاني.

“Ketika suatu waktu dan pada kaum tertentu pengendali Agama sudah melemah, atau situasi dan kondisi sosial yang menyalahi aturan syariat tidak dapat dibendung maka disanalah peran pengendali kekuasaan. Dengan demikian, pelaksanaan undang-undang syariat dikatkan dengan pengendali kekuasaan”

Hal yang senada dikatakan oleh Khulafa Al-Rayidin Sayyidina Utsman;

: “يزع الله بالسلطان ما لا يزع بالقرآن”

“Allah memberikan tali pengendali dengan kekuasaan di dalam hal yang tidak dikendalikan dengan Al-Quran”

Wazi’ Al-Qur’ani/agama

Pada dasarnya, seluruh ketentuan-ketentuan syariat secara garis besar pelaksanaannya dikaitkan dengan pengendali agama yaitu keimanan yang benar yang melahirkan rasa pesimis dan optimis kepada Tuhan seacara proporsional.

Dua pengendali di atas, yaitu pengendali Nurani dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dengan pengendali Agama. Sebab tiga pengendali ini secara berkelindan satu sama lain untu mengawal prilaku sosial maupun individual dalam penerapan syariat islam.

Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Syeh Ibnu Asyur;

واعلم أن الوازع الديني ملحوظٌ في جميع أحوال الاعتماد على نوعي الوازع. فإن الوازع السلطاني تنفيذ للوازع الديني، والوازع الجبلي تمهيد للوازع الديني

“ketahuilah, bahwa pengendali Agma dijega dalam segala kondisi yang ditopang dengan kedua pengendali lainnya. Karena pengendali kekuasaan menerapkan tugas pengendali Agama sedangkan pengendali rohani sebagai pengenal untuk pengendali Agama”

Wazi’ ijtima’iyah

Itulah tiga pengendali atau tiga hal yang mendikte tindak-tanduk manusia yang diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia agar mengendalikan dirinya di dalam penerapan syariat Islam.

Namun, menurut Dr. K.H. Imam Nakhe’i, ada satu pengendali lagi yaitu wazi’ ijtima’iyah kendali sosial karena banyak seorang individu ingin melakukan sesuatu namun tidak bisa karena memandang terhadap sosialnya.

Misalnya perzinahan seseorang tidak melakukan perzinahan bukan karena Negara maupun keagamaan melainkan justru karena sosial sebab sosialnya orang yang berzina dipandang buruk.

Demikian, orang berbaju dengan menggunakan kerudung bukan krena agama maupun negara namun karena sosialnya memandang buruk orang yang tidak menggunakan kerudung sehingga sang individu tetap menggunakan kerudung dengan pertimbangan sosialnya. Wallhu A’lam.

BINCANG SYARIAH