Belajar Bersyukur

Jangan butakan mata kita. Hanya sebab satu dua keinginan yang tidak tercapai, lalu kita menjadi manusia pengeluh, yang terhambat sebab fokusnya hanya pada kekurangan.

Mata kita selalu terbiasa melihat kekurangan. Ini yang biasanya terjadi, selalu dan selalu yang kita lihat kekurangan. Padahal Allah berfirman,

“Dan janganlah engkau tujukan penglihatanmu kepada yang Kami beri kesenangan dengannya berbagai golongan dari mereka berupa perhiasan dunia, supaya Kami menguji mereka padanya, sedang rezeki Tuhanmu lebih baik dan kekal.”

(Thâha: 131)

Orang yang tinggi melihat bahwa ia kurus. Orang yang pendek melihat betapa enaknya bila bisa bertambah tinggi 5-10 cm. Yang punya TV 14” kepingin mempunyai TV yang 21”. Yang punya rumah tipe 36 kepingin tipe 72, di huk lagi. Yang punya mobil satu, pengen dua. Teruuuus begitu….

Tidak salah memang punya keinginan. Namanya saja manusia. Tapi sudahkah kita syukuri apa yang sudah kita terima?

Ini pertanyaan yang harus kita pertanyakan kepada diri kita. Jangan-jangan yang ada saat ini pun belum kita syukuri, lalu kita sudah kepengen ini dan itu sebagai tambahannya.

Jadilah kita manusia yang tidak pernah terpuaskan dahaga keinginannya. Kalau sudah begini, andai penyalurannya tepat, yakni lebih giat berusaha dan lebih cermat menangkap peluang, mungkin positif hasilnya.

Tapi andai salah penyalurannya, misal mencari jalan pintas, maka bisa ditebak, keinginan tersebut menjebak dia pada situasi kehidupan yang bermasalah. Ibaratnya, ia berenang di kolam yang tak bertepi.

Kehidupan itu indah koq kalau dijalani dengan kebersyukuran. Apa yang ada di sekeliling kita, kita nikmati dulu sebagai pemberian Allah Yang Maha Baik. Keinginan dipasang, tapi tidak menjadi pasung yang mengharuskan kita memenuhi keinginan itu dengan membabi buta, oke…?

Berterima kasihlah pada Allah atas segala kebaikan-Nya, pasti Allah akan berkenan memberikan tambahannya.

“… Jika kamu bersyukur, niscaya akan Kutambah nikmat-Ku padamu, tapi jika kamu lupa akan nikmat-Ku, ingatlah akan azab-Ku yang pedih.” (Ibrâhîm: 7).

Dan salah satu cara berterima kasih itu, adalah menerima apa yang ada dan mau berbagi.

 

 

sumber: YusufMansur.com

Kiat Ampuh untuk Menjadi Pribadi yang Mudah Bersyukur

Dunia ini fana. Manusia hidup di dunia sekejap saja. Toh, kehidupan dunia yang hanya sementara ini nyatanya telah menjebak banyak manusia untuk tenggelam mencari kesenangan yang seolah tidak ada habisnya. Kehidupan akhirat yang kekal abadi pun kemudian terlupakan.

Ya, keinginan manusia akan kesenangan hidup ini seolah tidak ada batasnya. Setelah terpenuhi satu keinginan, akan muncul keinginan yang lain, begitu seterusnya.

Hingga segala cara akan ditempuh demi menggapai keinginan akan kesenangan atas segala hal yang bersifat duniawi, tidak peduli lagi baik buruk, halal haram, dan dosa serta nearka. Yang penting dapat hidup senang bergelimang harta dan memiliki kedudukan.

Seandainya manusia mengetahui betapa kehidupan akhirat itulah sebenar-benar kehidupan, kehidupan yang tidak ada lagi kematian, tentu mereka akan mengambil apa-apa yang ada dalam kehidupan dunia ini sedikit saja dan seperlunya. Sayangnya, kesadaran akan hal ini faktanya tidak dimiliki semua orang. Hingga mereka menjadi sedemikian rakus. Ibaratnya, seluruh isi dunia ini pun masih kurang untuk memuaskan keserakahannya.

Kita tentu berlindung kepada Allah dari sifat rakus dan selalu merasa kurang ini sehingga tidiak terjerumus melakukan tindakan-tindakan yang dilarang karena memperturutkan hasrat duniawi. Cara paling ampuh untuk membentengi diri dari sifat serakah dan tidak pernah puas adalah senantiasa bersyukur.

Bersyukur akan mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dengan bersyukur kita akan selalu merasa cukup dengan nikmat yang limpahkan Allah, sedikit atau banyak.

Bersyukur juga akan menjadikan kita tetap rendah hati dan jauh dari sifat sombong sebab kita menyadari bahwa semua yang ada pada diri kita sekarang adalah pemberian Allah semata.

Bersyukur akan membuat jiwa kita diliputi kasih sayang, baik kepada sesama manusia maupun alam. Sebab, dengan kesyukuran kita, kita akan memiliki kesanggupan untuk berbagi dan melindungi. Bukan mengeksploitasi dan menerkam sesama manusia serta alam hanya demi menumpuk harta dunia.

Rasa syukur akan membuat hati dan jiwa kita tenteram. Kita tidak akan gelisah oleh banyaknya keinginan yang belum terpenuhi dan ambisi yang belum tercapai.

Sungguh syukur akan membuat hidup kita menjadi indah dan bahagia.
Allah pun memerintahkan kepada manusia agar senantiasa bersyukur, sebagaimana diterangkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah juga menjanjikan bahwa siapa yang bersyukur pasti akan ditambah nikmatnya. Sebaliknya, bagi siapa kufur atas nikmat Allah, maka ia akan mendapatkan siksa yang pedih.

Sifat penuh rasa syukur akan memuliakan kedudukan seorang insan. Sebaliknya, tanpa rasa syukur, seseorang hanya akan menjadi pribadi pengeluh, selalu merasa kurang, tidak ingat untuk berbagi, bahkan sanggup melakukan cara apa saja demi mewujudkan ambisi atau menyesap kesenangan hidup yang tiada berujung.

Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat menjadi orang yang senantiasa bersyukur? Kita dapat menjadi hamba Allah yang mudah bersyukur dengan membiasakan diri melakukan hal-hal berikut ini.

a. Melihat ke bawah untuk urusan duniawi
Dengan melihat ke bawah, kita akan mengetahui bahwa kita jauh lebih beruntung dan jauh lebih kaya dibandingkan jutaan manusia di muka bumi ini.

Banyak saudara kita yang tidak dapat makan, tidak memiliki tempat tinggal, menderita penyakit parah, hidup di daerah konflik, atau mengalami musibah bencana alam. Dibandingkan dengan mereka, bukankah apa yang ada pada diri kita jauh lebih baik? Jadi, tidak ada alasan kita tidak bersyukur bukan?

b. Selalu mengingat nikmat yang kita terima dari Allah
Kita tidak mungkin dapat menghitung nikmat yang kita terima dari Allah SWT saking banyaknya nikmat tersebut. Namun, selalu mengingat sebagian nikmat tersebut akan membawa kita pada rasa syukur.

c. Selalu mengucapkan alhamdulillah
Ucapan alhamdulilllah yang kita ucapkan setiap kali mendapatkan karunia dari Allah akan mengingatkan kita betapa Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang, yang selalu memberikan yang terbaik bagi manusia. Ucapann ini akan mengingatkan kita agar tidak lupa bersyukur.

d. Membiasakan diri untuk mengucapkan terima kasih
Ucapan terima kasih yang kita ucapkan setiap kali menerima kebaikan dari orang akan membiasakan kita untuk senantiasa bersyukur atas hal baik yang kita terima.

e. Berhenti mengeluh
Ketika menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan, kita kerap kali tergoda untuk mengeluh. Mulailah mengubah kebiasaan ini. Lebih baik berhenti mengeluh dan segera produktif berkarya sehingga hasil yang baik akan kita dapat dan kita pun akan lebih mudah bagi kita untuk bersyukur.

 

 

– See more at: http://renunganislami.net/kiat-ampuh-untuk-menjadi-pribadi-yang-mudah-bersyukur/#sthash.igAzqwvv.dpuf

Tiga Cara Syukuri Nikmat Allah SWT

Banyak cara mengekspresikan rasa syukur. Namun, sebagian umat Islam lebih banyak mengucapkan Alhamdulillah. Apakah memang demikian?

Pimpinan Lembaga Dakwah Kreatif, iHaqi, Ustaz Erick Yusuf mengatakan ucapan hamdallah hanya satu cara. Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah SWT.

Pertama, syukur dengan hati. Ini dilakukan dengan mengakui sepenuh hati apa pun nikmat yang diperoleh bukan hanya karena kepintaran, keahlian, dan kerja keras kita, tetapi karena anugerah dan pemberian Alloh Yang Maha Kuasa. Keyakinan ini membuat seseorang tidak merasa keberatan betapa pun kecil dan sedikit nikmat Allah yang diperolehnya.

Kedua, syukur dengan lisan. Yaitu, mengakui dengan ucapan bahwa semua nikmat berasal dari Allah SWT. “Pengakuan ini diikuti dengan memuji Allah melalui ucapan alhamdulillah. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah,” kata Kang Erick, sapaan akrabnya, saat mengisi pengajian di SD Mutiara Bunda, Rancamanik, Bandung, Senin (25/5).

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Hal ini dengan menggunakan nikmat Allah pada jalan dan perbuatan yang diridhai-Nya, yaitu dengan menjalankan syariat , menta’ati aturan Alloh dalam segala aspek kehidupan

Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap Muslim. Sikap ini mengingatkan untuk berterima kasih kepada pemberi nikmat (Allah) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan syukur, ia akan rela dan puas atas nikmat Allah yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Selain itu, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim.   Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Allah, alias kufur nikmat, adalah orang-orang sombong yang pantas mendapat adzab Allah SWT.

Allah  telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya: “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” (QS al-Baqarah:152)

Akantetapi, belum termasuk orang yang bersyukur mengucapkan hamdalah tetapi juga menggunakan rizki Allah untuk maksiat.

“Syukur berasal dari kata syakaro-yasykuru yang artinya mensyukurinya,memujinya atau berterima kasih.ada juga yang mengartikan syukur ini adalah membuka lawan dari kafaro(menutup),” paparnya.

Menurut Kang Erick, ketika Muslim bersyukur maka syukur itu akan membuka nikmat lainnya. Sebaliknya, ketika seorang Muslim kufur sesungguhnya itu perbuatan dosa.  “Allah SWT berfirman dalam Alqurqan surat  Ibrahim ayat 7 yang artinya Jika kamu bersyukur pasti akan aku tambah (nikmat-Ku) untukmu dan jika kamu kufur maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih,” ucapnya.

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kata syukur lawan katanya adalah kufur (menutupi nikmat). Syukur konsekuensinya adalah bertambah nikmat sedang kufur konsekwensinya adalah siksa.

 

sumber: Republika Online

Bersabar dalam Ujian, Bersyukur dalam Kenikmatan

ADA banyak perspektif atau pun sudut pandang yang bisa dikemukakan dalam melihat banyaknya bencana atau musibah yang terjadi di negeri ini. Namun, sebagai Muslim tentu kita harus meyakini bahwa semua bencana yang menjadi musibah ini adalah bagian dari ketetapan Allah Ta’ala.

Dengan demikian, maka tidak ada respon atau pun reaksi terbaik dari terjadinya musibah yang menimbulkan kesulitan dan kesusahan dalam kehidupan ini melainkan semakin menguatkan iman dalam hati bahwa Allah benar-benar Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Di sisi lain, manusia mesti menyadari bahwa perkembangan ilmu dan teknologi yang dimilikinya sama sekali tidak ada apa-apanya dengan kekuatan ilmu yang ada di sisi Allah Ta’ala. Sungguh tak pantas manusia menepuk dada kemudian ingkar kepada Allah. Untuk itu, sudah seharusnya umat Islam menjadikan terjadinya bencana ini sebagai jalan terbaik untuk kembali kepada Allah Ta’ala.

Bagaimana tidak, Gunung Kelud yang bisa dikatakan baru ‘batuk’ saja sudah mampu menebar debu vulkanik yang cukup berbahaya bagi kesehatan tubuh hingga ke wilayah-wilayah yang sangat jauh, bahkan mampu melumpuhkan aktivitas penerbangan di beberapa bandar udara. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa Allah sangat luar biasa.

Memulai Lembaran Ihsan

Tentu ada kesedihan, duka dan penderitaan dari terjadinya musibah dan bencana yang terjadi di beberapa wilayah di negeri ini. Tetapi, kita mesti meyakini bahwa apa pun keputusan Allah, termasuk letusan gunung adalah suatu keputusan penting yang tentu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.

Satu sisi misalnya, mungkin ada kehilangan harta benda yang cukup banyak akibat bencana yang terjadi. Tetapi, betapa jiwa kita melihat dan merasakan sendiri bahwa ternyata Allah benar-benar Maha Kuasa.

Kemudian, dari bencana tersebut terlihat bagaimana rasa persaudaraan dan kepedulian sesama umat di negeri ini sangat tinggi. Betapa tidak, berbagai kelompok dari umat ini datang berbondong-bondong memberikan segenap daya dan kemampuan untuk membantu meringankan beban mereka yang langsung terkena dampak bencana.

Dari sedikit fakta ini kita dapat memahami bahwa ternyata bencana atau musibah pada kenyataannya juga mendatangkan rahmat Allah Ta’ala yang tidak sedikit. Bayangkan, betapa susahnya iman itu tumbuh dalam hati dan mengakar kuat dalam kondisi biasa-biasa saja. Dengan musibah, mereka yang mau berpikir dan merenung, tentu akan semakin meningkat kualitas keimanannya.

Demikian pula halnya dengna persaudaraan. Persaudaraan itu adalah nikmat dari Allah yang sangat berharga. Dalam kehidupan biasa-biasa saja, mungkin sangat sulit rasa persaudaraan dan kepedulian dihidupkan. Tetapi, dengan adanya bencana, banyak hati tergerak untuk bahu-membahu saling peduli.

Jadi, bencana yang mendatangkan duka, di sisi lain ternyata memberikan anugerah besar yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Dalam buku “Dywan Imam Syafi’i” yang dita’lif, Ta’liq wa Takhrij oleh Syaikh Muhammad bin Abdurrahman, Imam Syafi’i berkata, “Duka itu merupakan permulaan munculnya ihsan, dan takdir mendominasi segalanya. Yang terjadi adalah apa-apa yang tertulis di Lauhul Mahfudz. Nantikanlah kesejateraan beserta penyebab-penyebabnya. Bersikap patuhlah selama engkau masih memiliki nyawa.”

Allah akan Mengganti

Pernyataan Imam Syafi’i tersebut sangat patut untuk kita renungkan. Karena secara ilahiyah itu bersinggungan kuat dengan apa yang Allah firmankan di dalam Al-Qur’an.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghaabun [64]: 11).

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa siapa saja yang ditimpa musibah kemudian dia menyadari bahwa hal itu terjadi atas qadha’ dan takdir Allah, lalu dia bersabar dan mengharapkan balasan pahala atas kesabarannya, serta menerima keputusan yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap dirinya, maka Allah akan memberikan petunjuk ke dalam hatinya dan akan menggantikan apa yang telah hilang dari dirinya di dunia dengan petunjuk dan keyakinan di dalam hatinya.

Lanjut Ibn Katsir, kadangkala Allah akan mengganti sesuatu yang diambil dari hamba-Nya dengan sesuatu yang sama nilainya. Kadangkala Allah akan menggantinya dengan ganti yang lebih baik.

Menurut Ali bin Abi Thalhah, ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa Allah akan memberi petunjuk di dalam hatinya untuk benar-benar yakin, sehingga dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya itu tidaklah untuk menyalahkannya.

Pesan Nabi

Dengan demikian maka tidak patut seorang Muslim berduka berlarut-larut dengan terus meratapi apa yang dianggapnya menyusahkan. Juga tidak pantas seorang Muslim melihat kejadian ini hanya sebagai suatu kebetulan. Karena pandangan seperti itu tidak memberi manfaat positif apa pun selain akan menambah kerasnya hati dan akal kita sendiri, sehingga sulit menerima kebenaran.

Sikap terbaik adalah dengan mengembalikan itu semua kepada Allah, sehingga setiap kejadian akan mendorong kita untuk semakin yakin akan kekuasaan Allah Ta’ala.

Dengan keyakinan yang kuat, maka setiap Muslim akan menjadi manusia-manusia ajaib seperti yang disampaikan oleh Rasulullah.

“Sungguh menakjubkan keadaan orang Mukmin itu. Allah tidak menetapkan suatu keputusan baginya melainkan keputusan itu adalah baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapat ksesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu adalah lebih baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik siapa pun kecuali orang Mukmin.” (HR. Bukhari Muslim).

Dengan demikian, mari kita jadikan terjadinya bencana atau musibah di negeri ini sebagai media terbaik kita untuk tetap istiqomah dalam keimanan dan ketakwaan dengan terus mengasah kemampuan diri untuk selalu bersabar dalam ujian dan bersyukur dalam kenikmatan.*

 

sumber: Hidayatullah.com

Derita Orang Tidak Bersyukur Wajib Diketahui

BERSYUKUR adalah obat paling mujarab untuk mengobati semua penyakit hati. Sekecil apa pun nikmat bila disyukuri maka akan terasa besar. Maka bersyukurlah setiap hari.

Motivator ternama Indonesia, Andrie Wongso mengatakan, Tuhan akan menambah nikmat bagi hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Sebaliknya, orang yang lupa dan tidak pernah bersyukur maka hidupnya akan menderita.

“Kalau manusia sudah tak ingat bersyukur pasti miskin. Apa pun pekerjaannya, berapa pun gaji, dan uangnya mereka akan merasa kurang terus. Hati, jiwa, dan mentalnya jadi miskin,” ucap Andrie Wongso kepada Okezone, belum lama ini di Jakarta.

Sebab, orang tidak bisa bersyukur karena mereka terus melihat kehidupan orang lain, kemudian membandingkan dengan dirinya. Ketika melihat orang lain lebih beruntung langsung iri.

“Setalah iri muncul dengki, benci, sirik, frustasi, depresi, putus asa, hingga bunuh diri. Begitu kita iri, sehari 24 jam akan menderita. Besok terulang lagi, jadilah penderitaan yang tak selesai-selesai. Itu penyakit sudah 99 persen menyerang manusia di dunia,” tutupnya.

 

 

sumber: Oke Zone

Raih Kemuliaan dengan Berbakti pada Orangtua

BERBAKTI kepada keduanya merupakan perintah utama ajaran Islam. Allah Ta’ala sampai mengulang-ulang perintah ini di dalam Al-Qur’an setelah perintah mentauhidkan-Nya:

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmu.” (An-Nisa [4]: 36).

Pada ayat yang lain juga Allah Ta’alategaskan. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra` [17]: 23).

Dari dua ayat di atas, kita dapat pahami bahwa birrul walidain (berbakti kepada ibu dan bapak) adalah perkara utama. Berbakti kepada kedua orangtua bisa diwujudkan dengan cara senantiasa mengasihi, menyayangi, mendoakan, taat dan patuh, melakukan hal-hal yang membahagiakan hati serta menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh mereka. Inilah yang dimaksud dengan birrul walidain.

Karena berbakti kepada ibu dan bapak adalah perintah utama, maka hukumnya jelas, berbaktinya seorang anak kepada Orangtuanya adalah hak yang Allah berikan kepada ibu dan bapaknya. Jadi, manakala ada seorang anak yang tidak berbakti kepada ibu bapaknya, maka baginyaadalah dosa besar, meskipun alasan tidak berbaktinya itu karena dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala.

Suatu ketika datang seseorang lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya ingin ikut berjihad, tapi saya tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Thabrani).

Dalam hadits lain disebutkan, “Bersimpuhlah kau di kakinya (orangtuamu), di sana terdapat surga.”

Boleh Tidak Taat Dalam Hal Kemusyrikan

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya hanya membolehkan seorang anak tidak taat kepada ibu bapaknya dalam hal kemusyrikan dan kemaksiatan. Tetapi perintah berbakti kepada ibu bapak ini tetap berlaku sekalipun orangtua dalam kondisi musyrik. Sekalipun Allah Ta’ala memberikan ketetapan bahwa tidak wajib hukumnya taat kepada Orangtua dalam hal kemusyrikan. Tetapi, berbakti kepada keduanya, tetap sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS: Lukman [31]: 15).

Suatu riwayat menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami seorang sahabat bernama Sa’ad bin Abi Waqashradhiyallahu ‘anhu. Ketika Sa’ad masuk Islam, ibunya tidak setuju, bahkan mengancam untuk tidak makan tidak minum hingga Sa’ad melepaskan keimanannya. Ancaman itu ternyata benar-benar dilakukan oleh sang ibu, hingga kesehatan ibunya menurun dan berada dalam kondisi kritis.

Pada saat kritis seperti itu, Saad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhuberkata dengan lembut kepada ibunya, “Ketahuilah wahai Ibu, demi Allah, seandainyaIbu mempunyai seratus nyawa dan nyawa itu keluar satu persatu dari tubuh Ibu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agama ini, walau apa pun yang terjadi. Aku tidak akan peduli dengan segala ancaman Ibu!”

Dengan demikian dapat dipahami secara keseluruhan bahwa berbakti kepada ibu bapak adalah kewajiban utama seorang anak setelah menunaikan kewajiban utamanya kepada Allah Ta’ala. Seorang anak hanya boleh tidak taat kepada orangtua bila mereka mengajak kepada kemusyrikan dan kemaksiatan. Namun berbakti dan berbuat ma’ruf kepada keduanya tetaplah satu kewajiban.

 

Keutamaan Berbakti Kepada Orangtua

Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhupernahbertanya kepada Rasulullah tentang perbuatan apa yang paling disenangi oleh Allah.

Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua ibu bapak.”

Lalu dia bertanya kembali, “Kemudian apalagi ya Rasulullah.”

Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.”

Artinya, siapa berbakti kepada Orangtuanya dengan sebaik-baiknya, maka jelas surga ada di hadapannya. Betapa tidak?
Lihatlah, hadits ini menunjukkan berbakti kepada orangtua lebih utama nilainya daripada jihad fii sabilillah (berjihad/berperang di jalan Allah). Sementara kita tahu, jihad fii sabilillahadalah jalan pintas menuju surga-Nya. Maka tentu saja berbakti kepada orangtua akan mendapat balasan surga yang lebih baik.

Perlu diketahui pula, kemuliaan untuk orang yang berbakti kepada orangtuanya tidak hanya saja diberikan kelak di akhirat, namun juga sudah ditampakkan sejak di dunia. Hal ini bisa dilihat dari kisah Uwais Al-Qarni, seorang Muslim dari Yaman yang sangat taat dan berbakti kepada ibunya.

Uwais belum pernah berjumpa dengan Rasulullah, namun karena begitu berbaktinya dia kepada orangtuanya, sehingga Allah mencintai dia, dan kecintaan kemuliaan Uwais sampai ke telinga Rasulullah. Tapi suatu saat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertutur bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang ke negeri ini Uwais Al-Qarni, dari desa atau kabilah Murad dan Qaran. Semula ia terkena penyakit belang, lalu sembuh. Ia sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya. Kalau bersumpah dan berdoa kepada Allah pasti dikabulkan. Jika kalian mau, mohonlah kepadanya, agar ia memintakan ampun buat kalian.” (HR. Muslim).

Bayangkan, sahabat sekelas Umar diberikan anjuran untuk memuliakan seorang Uwais Al-Qarni. Seorang Muslim yang belum pernah beliau temui dan belum pernah sekalipun turun ke medan jihad. Tetapi, inilah satu bukti bahwa siapa yang benar-benar berbakti kepada ibu bapaknya, kemuliaan adalah pakaian yang layak disandangnya.

Secara logika, boleh jadi kita tidak disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Uwais telah disebutkan dihadapan para sahabat utama sebab Rasulullah telah meninggalkan kehidupan fana ini. Tetapi, bukan tidak mungkin Allah Ta’ala akan mencatat siapa saja yang berbakti kepada Orangtuanya sebagai seorang Muslim yang dibanggakan di hadapan para malaikat-Nya, Insya Allah.

Dengan demikian sungguh indah balasan atau keutamaan dari berbakti kepada kedua Orangtua. Sayangnya, banyak manusia yang melalaikannya. Padahal, ridha Allah Ta’ala ada pada ridha ibu dan bapak. “Keridhaan Allah seiring dengan/dalam keridhaan ibu bapak, dan kemurkaan-Nya seiring dengan/dalam kemarahan ibu bapak.” (HR. Turmudzi).

Jadi, berbaktilah kepada Orangtua dengan sebaik-baiknya. Niscaya ridha Allah Ta’ala adalah balasan utamanya. Paling tidak, jangan pernah sampai lupa untuk mendoakan keduanya kala kita berdoa(QS. 17: 24).Wallahua’lam.*/ Imam Nawawi, diambil dari al-Qalam

 

sumber: Hidayatullah

Ingat, Durhaka Kepada Orang Tua itu Dosa Besar

Dalam banyak ayat Al-Qur`an, Allah Ta’ala mengaitkan taat kepada-Nya dengan berbakti kepada orang tua. Maka, sudah sepantasnya bahwa durhaka kepada kedua orangtua merupakan perbuatan yang diharamkan.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari dari Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan atas kalian berbuat durhaka kepada ibu, mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, seseorang melarang orang lain memberikan haknya, dan meminta sesuatu yang bukan haknya. Dan Allah membenci tiga perkara, banyak berbicara (dalam hal-hal yang tidak bermanfaat), banyak bertanya dan membuang-buang harta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Hadits ini menyebutkan secara khusus untuk para ibu, walaupun sebetulnya durhaka kepada bapak juga tidak boleh, karena durhaka kepada ibu lebih mudah dari pada bapak, sebab mereka kaum yang lemah.

Hadits ini juga mengingatkan, bahwa berbakti kepada ibu lebih didahulukan dari pada bapak, baik dalam berlemah-lembut, kasih sayang dan lain sebagainya, karena apabila disebutkan salah satunya berarti berlaku bagi keduanya.

Di antara adzab yang Allah turunkan kepada pelaku dosa ketika di dunia adalah bagi anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada dosa yang pelakunya mendapatkan hukuman dari Allah di dunia dan juga akhirat dari pada berbuat zhalim dan memutuskan tali silaturrahim.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud, At-Tirmidzi mengatakan, ”Hadits ini hasan shahih.”)

Durhaka kepada kedua orangtua termasuk dalam kategori memutuskan tali silaturahim.

Durhaka kepada kedua orangtua beragam bentuknya, di antaranya mencaci kedua orangtua.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memasukkan hal itu dalam kategori dosa besar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ

”Sesungguhnya termasuk dosa besar adalah apabila seseorang menghina kedua orangtua.”

Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimanakah seseorang menghina orang tuanya sendiri?”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab,

يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Apabila seorang menghina bapak yang orang lain, sehingga ia membalas dengan menghina bapaknya, lalu ia menghina ibu seseorang, sehingga ia juga membalas dengan menghina ibunya.” (HR. Al-Bukhari)

Sungguh, orang yang menghina atau mencaci-maki kedua orangtuanya adalah orang yang dilaknat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali, bahwa RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ

“Dan Allah melaknat seseorang yang melaknat kedua orangtuanya.” (HR. Muslim)

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua sepanjang hayat. Amin.

Demikian dikutip dari kitab Haditsul Ihsan karya Prof. Dr. Falih bin Muhammad bin Falih Ash-Shughayyir. [Abu Syafiq]

 

sumber:BersamaDakwah

Durhaka Kepada Orang Tua

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka. [QS. Al-Isra’ (17): 23]

‘Uquuqul walidain (durhaka kepada orang tua) adalah dosa besar. Karena itu, Rasulullah saw. –seperti yang dikutip oleh Ibnu Al-Atsir dalam kitabnya An-Nihaayah—melarang perbuatan durhaka kepada kedua orang tua.

Seseorang dikatakan ‘aqqa waalidahu, ya’uqquhu ‘uqaaqan, fahuwa ‘aaqun jika telah menyakiti hati orang tuanya, mendurhakainya, dan telah keluar darinya. Kata ini merupakan lawan dari kata al-birru bihi (berbakti kepadanya).

Kata al-‘uquuq (durhaka) berasal dari kata al-‘aqq yang berarti asy-syaq (mematahkan) dan al-qath’u (memotong). Jadi, seorang anak dikatakan telah durhaka kepada orang tuanya jika dia tidak patuh dan tidak berbuat baik kepadanya, atau dalam bahasa Arab disebut al-‘aaq (anak yang durhaka). Jamak dari kata al-‘aaq adalah al-‘aqaqah. Berdasarkan pemaknaan ini, maka rambut yang keluar dari kepala seorang bayi yang baru lahir dari perut ibunya dinamakan dengan aqiiqah, karena rambut itu akan dipotong.

Yang dimaksud dengan al-‘uquuq (durhaka) adalah mematahkan “tongkat” ketaatan dan “memotong” (memutus) tali hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya.

Jadi, yang dimaksud dengan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua adalah mematahkan “tongkat” ketaatan kepada keduanya, memutuskan tali hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anaknya, meninggalkan sesuatu yang disukai keduanya, dan tidak menaati apa yang diperintahkan atau diminta oleh mereka berdua.

Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba, itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah itu sampai kedua orang tuanya ridha.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim, (kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.” Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”

Oleh karena itu ketika ada seseorang yang memaparkan kepada Rasulullah saw. tentang perbuatan-perbuatan ketaatan (perbuatan-perbuatan baik) yang telah dilakukannya, maka Rasulullah saw. pun memberikan jawaban yang sempurna yang dikaitkan dengan satu syarat, yaitu jika orang itu tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Murah Al-Juhani r.a. bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Nabi saw. kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang haq), kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku (juga) telah melaksanakan shalat lima (waktu), menunaikan zakat dari hartaku, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.’ Nabi menjawab, ‘Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan (seperti) ini, maka dia akan bersama para nabi, shiddiqiin, dan syuhada pada hari Kiamat nanti seperti ini –beliau memberi isyarat dengan dua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah)—sepanjang dia tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.’”
Hadits-hadits Tentang Durhaka
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka!” Seseorang bertanya, “Siapa yang celaka, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Barangsiapa yang sempat bertemu dengan kedua orang tuanya, tetapi dia tidak bisa masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).”

Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata, Nabi saw. pernah naik ke atas mimbar, kemudian dia mengucapkan, “Amin, amin, amin.” Lalu beliau bersabda, “Jibril a.s. telah mendatangiku, kemudian dia berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang sempat bertemu dengan salah satu dari kedua orang tuanya (dan tidak berbakti kepada mereka), kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’.

Jibril kemudian berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan (dan dia tidak berpuasa) kemudian meninggal dunia, maka Allah tidak mengampuninya, dimaksukkan ke neraka, dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’.’ Jibril kemudian berkata, ‘Barangsiapa yang ketika disebutkan namamu di sisinya, tetapi dia tidak (membaca) shalawat kepadamu, kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku mengatakan ‘amin’.’”

Diriwayatkan dari Mughirah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian perbuatan durhaka kepada ibu-ibu (kalian), menuntut sesuatu yang bukan hak (kalian), dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga telah membenci percakapan tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.”
Bukhari-Mualim meriwayatkan dari Abu Bakrah, dari bapaknya bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Maukan kalian jika aku beritahukan (kepada kalian) tentang dosa yang paling besar?’ Beliau mengucapkan sabdanya ini sebanyak tiga kali. Kami menjawab, ‘Mau, ya Rasulullah.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.’ Saat itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk, lalu bersabda, ‘Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu. Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu.’ Beliau terus mengatakan hal itu sampai aku berkata, beliau (hampir saja) tidak diam.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Angin surga akan dihembuskan dari jarak lima ratus tahun dan tidaklah akan mencium bau surga itu orang yang suka menyebut-nyebut amal perbuatannya, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan orang yang kecanduan khamr.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa dia bersabda, Rasulullah saw. bersabda, “(Ada) tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari Kiamat: orang yang durhaka kepada kedua orang tuannya, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya.”

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda, “Di antara dosa yang paling besar adalah (apabila) seorang anak melaknat kedua orang tuanya.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang anak melaknat kedua orang tuannya?” Rasulullah saw. menjawab, “(Apabila) anak mencaci ayah orang lain, maka berarti dia mencaci ayahnya (sendiri), dan dia mencaci ibu orang lain, maka berarti dia telah mencaci ibunya (sendiri).”

Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah dianggap berbakti kepada sang ayah jika seseorang menajamkan pandangan (matanya) kepada ayahnya itu karena ia marah (kepadanya).’”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bersabda beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai perbuatan durhaka (kepada kedua orang tua).”

Diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap dosa akan Allah tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena) durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Keridhaan Allah itu ada pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan-Nya ada pada kemarahan kedua orang tua.”

Bentuk-bentuk Perbuatan Durhaka

  1. Tidak memberikan nafkah kepada orang tua bila mereka membutuhkan.
  2. Tidak melayani mereka dan berpaling darinya. Lebih durhaka lagi bila menyuruh orang tua melayani dirinya.
  3. Mengumpat kedua orang tuanya di depan orang banyak dan menyebut-nyebut kekurangannya.
  4. Mencaci dan melaknat kedua orang tuanya.
  5. Menajamkan tatapan mata kepada kedua orang tua ketika marah atau kesal kepada mereka berdua karena suatu hal.
  6. Membuat kedua orang tua bersedih dengan melakukan sesuatu hal, meskipun sang anak berhak untuk melakukannya. Tapi ingat, hak kedua orang tua atas diri si anak lebih besar daripada hak si anak.
  7. Malu mengakui kedua orang tuanya di hadapan orang banyak karena keadaan kedua orang tuanya yang miskin, berpenampilan kampungan, tidak berilmu, cacat, atau alasan lainnya.
  8. Enggan berdiri untuk menghormati orang tua dan mencium tangannya.
  9. Duduk mendahului orang tuanya dan berbicara tanpa meminta izin saat memimpin majelis di mana orang tuanya hadir di majelis itu. Ini sikap sombong dan takabur yang membuat orang tua terlecehkan dan marah.
  10. Mengatakan “ah” kepada orang tua dan mengeraskan suara di hadapan mereka ketika berselisih.

Penutup
Rasulullah saw. berpesan, “Berbaktilah (kalian semua) kepada bapak-bapak kalian, (niscaya) anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.”
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/10/30/293/durhaka-kepada-orang-tua/#ixzz44irWnPnV

Akibat Seorang Anak Memperlakukan Ibu sebagai Pembantu

Seorang anak berlaku kasar kepada ibunya. Dia tidak hanya suka teriak-teriak di wajahnya, akan tetapi suka mencaci dan memakinya. Ibunya yang telah tua, seringkali berdoa kepada Allah ta’ala agar Allah meringankan kekerasan dan kekejaman anaknya. Dia menjadikan ibunya sebagai pembantu yang membantu dan mengurusi segala kebutuhannya, sedangkan ibunya sendiri tidak membutuhkan pengurusan dan bantuannya. Betapa sering air matanya mengalir di kedua pipinya, berdoa kepada Allahta’ala agar memperbaiki belahan hatinya dan memberikan hidayah kepada hatinya.

Pada suatu hari dia menemui ibunya dengan raut wajah kejahatan yang terlihat dari kedua matanya. Dia berteriak-teriak di wajah ibunya, “Apakah ibu belum menyiapkan makanan juga?” Dengan segera ibunya mempersiapkan dan menghidangkan makanan untuknya. Akan tetapi tatkala dia melihat makanan yang tidak dia suka, maka dia melemparnya ke tanah.

Dia marah dan berucap, “Sungguh, aku kena musibah dengan wanita yang sudah tua renta, aku tidak tahu, kapan aku bisa berlepas diri darinya.” Ibunya menangis seraya berkata, “Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah terhadapku. Tidakkah kamu takut kepada Allah? Tidakkah kamu takut akan murka dan kemarahanNya?” Karena mendengar kata-kata ibunya, maka kemarahannya pun memuncak, dia memegang baju ibunya dan mengangkatnya. Dia mengguncang-guncang ibunya dengan kuat seraya menghardik, “Dengar, aku tidak mau dinasihati. Bukan aku yang mesti dibilang harus bertakwa kepada Allah.”

Lalu dia melempar ibunya. Ibunya jatuh tersungkur. Tangisnya bercampur dengan tawa anaknya yang penuh dengan kepongahan seraya mengatakan, “Ibu pasti akan mendoakan kecelakaan bagiku. Ibu mengira Allah akan mengabulkannya.” Kemudian dia keluar rumah sambil mengolok-olok ibunya. Sementara sang ibu, dia berlinangan air mata kesedihan, menangis siang dan malam tiada henti.

Adapun anaknya, dia lalu menaiki mobilnya. Bergembira dan bersuka cita sambil mendengarkan musik. Dia kencangkan volume tapenya. Dia lupa akan apa yang telah dia perbuat terhadap ibunya yang malang. Dia meninggalkan ibunya dalam keadaan bersedih hati sendirian, hatinya menelan rasa sakit, mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Dia punya acara ke luar kota. Tatkala mobilnya melaju di jalan raya dengan kecepatan membabi buta, tiba-tiba ada seekor unta berada di tengah jalan. Dia terguncang dan kehilangan keseimbangan. Dia mencoba untuk menguasai keadaan, akan tetapi tidak ada jalan keluar dari takdir. Dalam kecelakaan itu, ada potongan besi mobil yang masuk ke dalam perutnya, akan tetapi dia tidak langsung tewas. Allah ta’ala menangguhkan kematiannya. Dia berpindah dari operasi satu ke operasi yang lain, hingga akhirnya terbaring di tempat tidur, tidak bisa bergerak sama sekali. (Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 69-71.)

Sumber: Sungguh Merugi Siapa yang Mendapati Orang Tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga, karya Ghalib bin Sulaiman bin Su’ud al-Harbi. Edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta.
Artikel www.KisahMuslim.com

Masalah Keluarga: Waspadai Orangtua Durhaka pada Anak

Sahabat Ummi, rasanya tak ada yang tak mengenal kisah Malin Kundang, legenda yang menjadi simbol perbuatan durhaka seorang anak kepada ibunya. Tetapi, belum pernah terdengar oleh kita legenda yang merepresentasikan bentuk ke”durhaka”an orang tua pada anaknya. Padahal, seiring usia dunia yang menua, dan semakin merajalelanya kemungkaran, kedurhakaan tak hanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua.

Masih segar dalam ingatan, kisah yang sempat menjadi headline post kriminal beberapa hari lalu, tentang seorang ayah yang memukul putri bungsunya bertubi-tubi dengan bambu  hingga sang bambu mengalami patah tiga, dan gadis kecil yang malang itu pun menemui ajal di tangan ayah kandungnya.

Dan lebih ironinya lagi, peristiwa yang menimpa Kasih, demikian nama bocah berusia 7 tahun itu, bukanlah peristiwa yang pertama kali kita dengar. Berbagai kasus kejahatan yang dilakukan orang tua kandung terhadap anak telah berulang kali terjadi, seperti penyiksaan, penganiayaan, pelecehan seksual, memperdagangkan anak hingga pembunuhan.

Fakta ini menunjukkan bahwa bukan anak saja yang bisa berbuat durhaka kepada orang tua, tetapi orang tua pun bisa berbuat durhaka terhadap anak. Sobat Ummi mungkin akan menyanggah, bukankah kasus-kasus diatas sifatnya sangat kasuistik? Dalam kehidupan keluarga yang berlangsung “normal”, mungkinkah orang tua juga tetap berpeluang untuk berbuat durhaka terhadap anak?

Sebelumnya, mari terlebih dulu kita tilik makna durhaka. Dari sudut bahasa, durhaka berarti ingkar, melawan, membangkang, dan tidak mematuhi. Itu sebabnya, anak yang melawan orang tuanya disebut anak yang durhaka. Dan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar sesudah syirik.

Maka dalam konteks ke”durhaka”an orang tua terhadap anak, jika dihubungkan dengan makna kata tersebut, itu dapat dimaknai dengan bentuk pengingkaran (kewajiban) orang tua terhadap anak dan pengingkaran (pemenuhan hak) anak.

Dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah swt berfirman :

“………Wahai orang-orang mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari azab api neraka……”

Sesuai ayat diatas, maka orang tua berkewajiban memberi pendidikan Islam dan menegakkan ajaran Islam terhadap anak-anaknya, seperti kewajiban sholat, membaca Al-Quran, mengajarkan akhlak dan perilaku yang baik, dan sebagainya. Semua bentuk pendidikan dan pengajaran yang dapat memelihara keluarganya dari melakukan hal-hal yang dapat menggiring mereka pada azab neraka.

Selain itu, orang tua juga berkewajiban memenuhi hak anak-anaknya, seperti hak mendapatkan kasih sayang, perlindungan, nafkah yang layak, sandang, pangan, nama yang baik, juga jaminan pendidikan dan kesehatan.

Orang tua harus memberi contoh tauladan yang baik kepada anak. Jika orang tua menghendaki anak teguh menunaikan sholat, maka orang tua juga tak boleh melalaikan kewajiban sholat. Jika seorang ibu menginginkan putrinya menutup aurat, maka ia juga harus menutup auratnya dengan baik.

Islam adalah agama yang adil. Di satu sisi, Islam menyuruh anak untuk berbuat baik kepada orang tua dan menggolongkan kedurhakaan anak pada orang tua sebagai dosa besar. Namun di sisi lain, Islam juga mewajibkan orang tua untuk memenuhi hak anak dan kewajiban mereka terhadap anak. Karena setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak atas amanah yang dipercayakan kepadanya. Dan amanah terbesar bagi setiap orang tua, adalah sang anak.

Diceritakan dalam sebuah hadis, tentang seorang anak yang kedua orang tuanya digiring menuju syurga, sedangkan si anak digiring menuju neraka. Namun si anak mengajukan protes pada malaikat, dia mengatakan bahwa orang tuanya tidak pernah mengajarkannya hal-hal yang layak mengantarkannya ke syurga. Atas protes sang anak, kedua orang tuanya pun menjadi tertunda langkahnya menuju syurga.

Orang tua yang “durhaka” mungkin tidak akan dihukum dengan dikutuk menjadi batu sebagaimana halnya Malin Kundang, tetapi, ke”durhaka”an orang tua dalam bentuk pengingkaran hak dan kewajiban terhadap anak, boleh jadi akan menunda atau bahkan menghalangi langkah orang tua dari memasuki syurgaNya. Wallahu’alam.

 

 

 

Referensi : Al Habsyi, Ust. Ahmad. Iman Perdana, Teguh. Mukjizat Orang Tua Sempurnakan Suksesmu. 2014. Nourabooks : Jakarta.

 oleh RiawaniElyta

sumber: Ummi Online