Karena Hidayah Itu Datangnya dari Allah

TERPAKU menatap perdebatan soal aqidah di jejaring sosial. Mereka saling memerangi tidak lagi layaknya saudara seiman. Mereka saling mencaci, memaki, tanpa ingat lagi apa misi besar yang Allah berikan padanya selama singgah di dunia.

Sudahkah kita mentadaburi kalimat-kalimat Allah,

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki,” (Al Qashash [28] : 56).

Seberapa keras pun sekeliling kita meneriakan yang HAQ, Allah lah yang akan memilih siapakah yang akan diberinya hidayah, diberinya Iman Islam, diberinya hati dan pikiran yang diterangi Alqur’an. Banyak orang “pintar” mampu bicara dalil, bicara hadits, memperdebatkan hukum islam, tapi tidak banyak dari mereka yang mampu mekakukannya dengan dzikir. Iman tidak akan bisa disampaikan dengan keculasan dan lidah-lidah setan.

Islam, Rahmatan Lil Alamin, tapi banyak yang mengaku dirinya islam tapi tidak melakukan misinya untuk menebar rahmat bagi semesta alam.

Firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya,

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Itu bukti nyata bahwa Islam dengan jelas melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah.
Lalu apa yang kita banggakan dengan ilmu yang kita miliki? Perdebatan yang melahirkan kebencian, ucapan yang menetaskan permusuhan?

Untuk sebuah pengakuan bahwa : “Inilah AKU dengan pengetahuan dan keyakinanku dan AKU MAHA benar dengan segala pendapatku ”

Bukankah kebanyakan orang berlaku seperti itu?

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu yang dimilikinya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. 45 Al-Jatsiyah Ayat 23)

Astaghfirullahaladzim…..

Semoga kita terpilih menjadi orang yang mendapatkan hidayah dan tidak dibiarkan tersesat setelah mendapat petunjuk

 

Oleh: Ernydar Irfan

sumber: Islam Pos

 

Surah Al-Baqarah Jawab Keraguan Rita Artha Kesuma

Keputusan Rita Artha Kesuma memeluk Islam bermula saat ia menikah dengan seorang pria Muslim pada 1999. Setelah berislam, perempuan berusia 39 tahun ini merasa kecewa dengan suami yang tidak kunjung membimbingnya. Rita justru belajar shalat dan puasa dari tetangganya.

Kondisi tersebut membuat keraguan terlintas di hati kecilnya. Ia masih labil. Ia sempat kembali ke keyakinan lamanya, Kristen. Padahal, usia keislamannya masih seumur jagung, belum genap tiga bulan. Rapuhnya akidah juga dilatarbelakangi fakta bahwa ia berikrar syahadat sebab faktor pernikahan, bukan kesadaran pribadi.

Pernikahan Rita dan sang suami hanya bertahan 11 tahun. Pada 2010 ia bercerai karena perbedaan prinsip. Dua buah hati mengikuti jejak Rita, memeluk Kristen dan bersekolah khusus di lembaga pendidikan Kristiani.

Setelah dua tahun bercerai, perempuan kelahiran Jakarta ini justru malah menemukan kebenaran dan mendapat hidayah Islam yang sesungguhnya. Saat itu, ia berencana ingin menikah kembali dengan pria Muslim.

 

Namun, saat akan berkunjung ke rumah calon mertua, ia mendapat penolakan dari calon mertua lantaran masih berbeda keyakinan. Rita begitu terkejut. “Saya terus bertanya-tanya sebenarnya apa sih Islam itu? Apalagi, saya benci dengan Muslimah yang memakai pakaian dan hijab serbalebar,” ujar Rita kepada Republika, Rabu (16/3).

Akhirnya ia memutuskan mencari tahu tentang Islam melalui kakak pertamanya yang selama ini sudah terlebih dahulu mempelajari semua agama, termasuk Islam. Ia diberi buku yang berjudul Berguru kepada Allah dan Cara Shalat yang Khusyuk karangan Abu Sangkan.

Dari sinilah kisah perjalanan religi ibu dua anak dimulai. Ia beranjak menemukan kebenaran Islam. Waktu bergulir, ia perlahan berpaling dari keyakinan lamanya, termasuk sulit menerima konsep dan doktrin ketuhanan yang ada di dalamnya.

Proses pencarian perempuan kelahiran 14 September 1977 ini dalam mencari kebenaran Islam tak memakan waktu lama. Hanya butuk waktu tiga bulan, Rita telah menemukan kebenaran Islam melalui diskusi dengan banyak pihak, termasuk guru spiritual.

Keraguannya terkait Alquran juga terjawab saat ia membaca surah al-Baqarah ayat ke-23. Tepat pada November 2012, ia kembali ke pangkuan Islam dan bertekad tak akan melepaskan anugerah terindah yang pernah ia dapatkan sepanjang hidupnya tersebut.

 

Meski telah memeluk Islam, Rita mengakui, pemahaman agama yang dimilikinya jauh dari kata sempurna. Ia merasa masih hanya berkutat pada ritual ibadah, seperti shalat dan mengaji. Timbul hasrat kuat, ia ingin belajar akidah Islam lebih. Namun, ia bingung. Bagaimana dan ke mana?

Muncul ide untuk berselancar di dunia maya. Ia tertarik dengan Mualaf Center Indonesia (MCI). Anak ketiga dari empat bersaudara ini mulai belajar tetang akidah Islam dengan seorang guru yang sangat ia kagumi. Guru tersebut ia panggil dengan sebutan Bunda Sri. Proses pembelajaran ini memberikan dampak perubahan yang sangat besar bagi dirinya. Khususnya hal yang berkaitan dengan akidah.

Dari proses pembinaan yang diikuti, Rita mulai mendapatkan ketenangan jiwa. Kendati begitu berat di awal, ia merasa saat ini kehidupannya menjadi menjadi lebih terarah dan bermakna.

Ujian berat yang dialami pun dapat ia lalui dengan penuh keyakinan dan kepasrahan pada Allah SWT. Rita sempat berada di titik nol untuk kehidupan ekonominya. Namun, ia berhasil melaluinya.

Dengan Islam, Rita belajar kepatuhan, kesederhanaan, tauhid, dan akidah. “Keislaman yang saat ini benar-benar membuatku nyaman. Dulu gampang panas, emosi. Itu hikmah terbesar yang aku rasakan saat masuk Islam,” katanya.

 

Sebagai orang tua tunggal, dukungan anak-anak sangat berarti dalam proses pencarian akidah yang diakukan oleh perempuan keturunan asal Yogyakarta ini. Keluarga besarnya sering mencibir keyakinan yang ia anut.

Dulu ia sempat merasa emosi dengan cibiran dari keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, ia sudah mulai mengabaikan cibiran itu. Bahkan, cibiran keluarga besar tak berdampak apa pun bagi dirinya.

Kendati demikian, hubungan silaturahim dengan orang tuanya tetap terus terjalin dengan baik. Walaupun pada awalnya orang tua sempat kecewa dengan keputusan Rita yang berpindah keyakinan. Bahkan, saat ini Rita masih tinggal bersama ibunya, meski berbeda keyakinan.

Kebanggaan ibu dua anak ini kepada putra-putrinya sungguh tak terbendung. Walaupun dulunya sempat bersekolah di sekolah khusus Kristen, kedua buah hatinya mampu memiliki prestasi di sekolah baru, yakni di madrasah dengan muatan pelajaran yang didominasi pendidikan Islam. Kedua buah hati memiliki nilai yang begitu memuaskan. Bahkan, putranya masuk peringkat tiga besar. 

 

Sumber: Republika Online

Sonia Soares: Islam Paling Tahu Keadaan Pemeluknya

Nama saya Sonia Soares, biasa dipanggil Sonia. Saya adalah gadis kelahiran Timor Leste, tanggal 08 Nopember 1999. Saya seorang mualaf yang saat ini sedang menempuh pendidikan formal di salah satu sekolah Islam swasta dan menjadi santri di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan Annaba Center Indonesia.

Menjadi seorang mualafah bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi pada diri saya. Latar belakang keluarga yang beragama Katholik, menjadikan saya harus memikul beban yang tidak ringan karena saya berhadapan dengan mayoritas penganut Katholik dalam lingkungan keluarga.

Meski ayah hanyalah seorang yang bekerja sebagai tukang ojek dan ibu adalah pedagang sayur, tapi dalam diri mereka terdapat keimanan Katholik yang cukup kuat. Ini dapat dilihat dari keseharian mereka yang juga aktif dalam kegiatan ke-katholik-an.

Saya memilih masuk Islam ketika saya masih berumur sekitar dua belas tahun. Usia yang sangat muda, namun waktu itu saya sudah baligh, karena ukuran baligh dalam Islam bukan dilihat dari usia melainkan dari perkembangan organ reproduksi.

Waktu itu saat masih SD, saya berteman dengan seorang anak yang kebetulan beragama Islam. Meski hanya seorang diri di kelas yang beragama Islam, namun teman saya ini tetap konsisten menjalankan ajaran agamanya.

Mungkin pembaca bertanya, bagaimana saya bisa tahu jika teman saya tersebut konsisten terhadap agamanya? Jawabannya karena ketika kami semua hendak memulai pelajaran di sekolah, dan kemudian berdoa menurut agama Katholik, tapi teman saya itu berdoa dengan cara Islam meski hanya mengucapkannya dengan suara berbisik.

Pembaca mungkin menganggap bahwa hal itu merupakan sesuatu yang biasa. Ya! Memang itu sesuatu yang biasa bagi anda, tetapi tidak bagi saya. Mempertahankan keyakinan (agama) sebagai minoritas di lingkungan yang mayoritas bukanlah hal mudah, dan itulah yang terjadi pada teman saya.

Singkatnya, ini pula yang membuat saya bertanya mengapa begitu penting mempertahankan keyakinan (akidah) dalam Islam. Berawal dari kebiasaan dalam berdoa itulah kemudian terlintas dalam benak saya tentang aktifitas kebaktian yang selama ini saya lakukan.

Kalau dalam agama Islam, peribadatan diatur sesuai dengan porsinya, namun dalam Katholik agaknya tidak. Ibadah, khususnya shalat, dalam Islam dilakukan dengan ketentuan yang tidak menyulitkan penganutnya. Ketika hendak shalat misalnya, seorang Muslim terlebih dahulu berwudhu kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan suci, tidak mesti baru apalagi yang mewah.

Berbeda dengan ajaran yang disampaikan oleh pastor kami dulu. Setiap berangkat ke gereja diharuskan menggunakan pakaian yang bagus, dan jika mungkin mengenakan pakaian yang baru. Tidak mesti suci, yang penting “wah” dipandang.

Oleh sebab itu, meski kami tinggal di desa, kebanyakan pria penganut Katholik di kampong kami memakai jas ketika datang ke gereja, sedangkan para wanita mengenakan kebaya. Perbedaan inilah yang akhirnya membuat saya berpikir, mengapa harus demikian.

Di tengah kesusahan dan kesulitan ekonomi yang kami rasakan di desa, agama justru semakin mempersulit umatnya untuk beribadah.

“Bagaimana logikanya, seorang yang susah secara ekonomi harus membeli pakaian dengan harga mahal hanya untuk beribadah? Bahkan mengganti pakaian ini dianjurkan setiap kali berangkat kebaktian di gereja, sedangkan untuk makan sehari-hari saja pun sudah susah. Belum lagi iuran yang harus dibayarkan setiap bulan sebagai bentuk kewajiban bagi kami.”, ujarku waktu itu. Sepertinya agama hanya untuk orang kaya saja, tidak bagi orang yang kekurangan seperti kami.

Alasan itulah yang membuat saya berpikir bahwa hanya Islam-lah satu-satunya agama yang mengerti akan keadaan pemeluknya. Bahwa ketakwaan seorang individu dilakukan sesuai kemampuan pemeluk agama, seperti yang ustaz di Annaba Center Indonesia jelaskan; “bertakwalah semampu kalian.” (Q.S. At-Taghabun : 16), bukan karena keterpaksaan.

Singkatnya, perpindahan agama yang saya alami didasari atas ketidaksesuaian antara perintah agama dengan kondisi yang kami alami, sehingga saya berpikir agama saya yang dulu tidaklah menjadi agama yang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.

 

 

sumber: Republika Online

Adab Adab Imam dalam Shalat Berjamaah

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.

Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian” [1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, adad-adab imam.
Kedua, adab-adab makmum.

Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]

Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua : Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya. Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]

Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.

Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.

2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.

3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya” [5]

4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ…

“Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”[6]

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya”.

Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]

Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]

Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.

Ketiga : Mentakhfif Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10]. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ

“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya” [11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian” [13]

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;

1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.”[17]

2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.

3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ

“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf” [18 [19]

Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallm:

لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ

“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar” [20].

Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :

لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ

“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin.” [22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]

Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.

 

 

Oleh Ustadz Armen Halim Naro

sumber: AlManhaj

Inilah Syarat Menjadi Imam Masjid

Menjadi seorang imam masjid bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kriteria atau persyaratannya.

Menurut Sekretaris Bidang Dakwah Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ahmad Yani, seperti yang dikutip dari Republika, merekrut imam masjid sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pribadi. Seorang imam sebaiknya ialah orang yang memenuhi kriteria agama dan mengenal lingkungan sekitar masjid. 

Menurut Mantan Imam Masjid Istiqlal  Jakarta, Kiai Haji Mustafa Ali Yakub, Rasulullah SAW sendiri menetapkan kriteria seorang imam. Apa sajakah itu?

  1. imam bukanlah orang yang dibenci di lingkungan itu.
  2. imam juga memiliki kemampuan membaca Alquran dengan baik dan memahami rukun serta syarat sah shalat berjamaah.

Begitu juga halna menurut Ketua Bidang Kajian Majelis Ulama Indonesia, Cholil Nafis, seorang imam harus memiliki sifat wara (berhati-hati) dalam urusan agama. Menurutnya, menjadi imam tidak harus dikaitkan dengan bayaran atau upah. Sebab, sejatinya, imam bukanlah pekerjaan kepada manusia, namun pengabdian terhadap Allah SWT.

“Jangan sampai imam itu menjadi pekerjaan mencari uang dan pekerjaan untuk mencari penghidupan,” kata Cholil.

 

Dinungkil dari Republika Online

SYIAH Bergembira Digantinya KH Ali Mustafa Yaqub Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal

KH Ali Mustafa Yaqub kini sudah dicopot sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Jum’at, 22 Januari 2016, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah mengukuhkan Prof Dr Nasaruddin Umar (Tokoh Islam Liberal) sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta menggantikan KH Ali Mustafa Yaqub.

SYIAH bergembira atas digantinya KH Ali Mustafa Yaqub sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Hal itu dinyatakan lewat akun IJABI Pusat @ijabipp.

Memang selama ini, KH Ali Mustafa Yaqub dikenal sebagai tokoh Umat yang sangat lugas dan tegas dalam membela Islam dan Umat Islam. Beliau juga tak segan mengingatkan bahaya Syiah bagi Umat dan NKRI.

Pada November 2014, masjid Istiqlal pernah ‘kecolongan’ dimana ada ulama Syiah dari Iran yang memberikan ceramah di Masjid Istiqlal. Kejadian yang sangat disesalkan KH Ali Mustafa Yaqub.

Berikut selengkapnya:

KH Ali Musthofa Ya’qub: Ceramah Ulama Syi’ah Di Istiqlal Bisa Bahayakan Umat dan NKRI

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Dr. Ali Musthofa Ya’qub mengatakan ceramah ulama Syiah di Masjid Istiqlal yang kini melahirkan keresahan Ahlus Sunnah sudah masuk dalam kategori membahayakan NKRI.

“Memang benar, ada ulama Syi’ah dari Iran yang memberikan ceramah di masjid Istiqlal hari Jum’at Kemarin. Cuma yang mempunyai wewenang untuk memberikan izin itu bukan saya tetapi Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal di bawah pengawasan Kementerian Agama,” kata Kiai Musthofa saat dimintai konfirmasi oleh hidayatullah.com, Sabtu (22/11/2014).

Menurutnya, ceramah salah satu ulama Syi’ah asal Iran di Masjid Istiqlal hari Jum’at (21/11/2014) lalu telah membuat keresahan kalangan umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Ceramah tokoh Syiah di Masjid Istiqlal hari Jumat (21/11/2014)
Ia membenarkan bila acara itu diadakan di Masjid Istiqlal pada hari Jumat kemarin, di mana ketika itu dirinya sedang ada urusan ke Pontianak. Awalnya informasi yang ia terima ada dua tamu, satu imam Masjid Kubah (Madinah), satunya lagi dari Iraq.
Rupanya setelah datang dari Pontianak dia baru faham jika yang ceramah itu justru dari Iran, bukan dari Iraq.

Kepada hidayatullah.com Kiai Musthofa mengatakan dirinya sudah berulangkali memberikan masukan kepada Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal untuk tidak memberikan kesempatan kepada ulama Syi’ah untuk berceramah di Masjid Istiqlal karena hal itu hanya akan menimbulkan kontroversi, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat saja.

“Silahkan memberikan izin kepada tamu dari Iran (orang-orang Syi’ah,red) untuk melaksanakan shalat di masjid Istiqlal tapi jangan sampai memberikan kesempatan berceramah karena akan membahayakan umat Islam,” tegasnya mengulang nasehatnya yang diberikan kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta. [Baca: Izin Ceramah Syi’ah Di Istiqlal Wewenang Kemenag]

Apalagi menurut Kiai Musthofa, sudah jelas bahwa Syi’ah sendiri merupakan ancaman terbesar yang membahayakan umat Islam, khususnya NKRI. Jadi jangan sampai memberikan kesempatan kepada orang-orang Syiah untuk angkat bicara berceramah di masjid Istiqlal.

Hanya saja nasehatnya sering tidak diindahkan. Apalagi, kewenangan memberikan izin tamu-tamu internasional untuk berceramah di masjid Istiqlal Jakarta dipegang oleh Ketua Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RI, ujar Musthofa.

http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/11/22/33680/kh-ali-musthofa-yaqub-ceramah-ulama-syiah-di-istiqlal-bisa-bahayakan-umat-dan-nkri.html

Begitulah sikap tegas KH Ali Musthofa Ya’qub terhadap SYIAH, maka tidak heran kalau kalangan SYIAH sangat bergembira atas digantinya KH Ali Musthofa Ya’qub dari jabatan Imam Besar Masjid Istiqlal.

 

 

sumber: Portal Piyungan

Nasaruddin Umar Jadi Imam Besar Masjid Istiqlal

Mantan wakil menteri agama (wamenag) RI, Prof Dr Nasaruddin Umar, dikukuhkan sebagai imam besar Masjid Istiqlal, Jakarta. Pengukuhan itu dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Jumat (22/1), di Jakarta.

Dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Nasaruddin menyatakan, jabatan yang diembannya kali ini merupakan amanah yang cukup berat. Prof Nasaruddin berharap bisa melaksanakan amanah tersebut dengan baik.

“Mohon doanya, semoga saya bisa melaksanakan dan menjalankannya dengan baik dan amanah,” ujarnya kepadaRepublika.co.id, baru-baru ini. Adapun imam besar Masjid Istiqlal sebelumnya dijabat oleh Prof Dr KH Ali Mustofa Yakub.

Dalam kesempatan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengukuhkan Muzammil Basyuni sebagai ketua pengelola Masjid Istiqlal. Jabatan ini sebelumnya dipegang oleh Drs H Mubarok.

Cara Pandang Terhadap Imam Masjid Masih Konservatif

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni menilai, belum banyak imam masjid di Indonesia yang menjadi pemantik perubahan transformasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut dia, saat ini masyarakat hanya memosisikan dan memaknai imam masjid sebagai pemimpin shalat.

Ia menjelaskan, imam yang hanya diposisikan atau dimaknai sebagai seorang pemimpin proses shalat merupakan cara pandang konservatif. “Persepsi konservatif ini juga sejalan dengan pandangan dogmatis bahwa masjid hanya dimaknai sebagai tempat shalat,” ungkapnya kepada Republika.co.id, Rabu (30/3).

Padahal, pada masa Nabi Muhammad SAW, kata dia, imam masjid tidak hanya dipandang atau diposisikan demikian. “Tapi imam, seperti Nabi dan ulama-ulama pada masa silam lakukan, juga mengambil peran-peran penting yang dapat menginspirasi umat,” tutur Imam menerangkan.

Karena hal itu, pada masa Nabi, lanjutnya, imam masjid merupakan simbol atau representasi umat untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik. “Masjid pun akhirnya menjadi tempat sentral perubahan yang transformatif,” ucapnya.

Kendati demikian, kata Imam, bila ingin mengungkap tentang peran imam-imam masjid di Indonesia sebagai variabel perubahan di masyarakat, memang perlu dilakukan penelitian mendalam. Walau demikian, ia berpendapat, peran imam masjid sebagai pembawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat belum tampak secara gamblang.

 

sumber: Republika Online

Ke Masjid Jangan Hanya Ibadah

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengatakan, masyarakat perlu membangun persepsi bersama tentang makna masjid, serta peran imam di dalamnya. Menurut dia, perlu ada pemberdayaan dari semua pihak. Termasuk umat dan pemerintah, untuk mengonstruksi persamaan persepsi ini.

Imam mengatakan, saat ini imam masjid kerap diposisikan masyarakat sebagai pemimpin shalat saja. Begitupun masjid, yang hanya dimaknai sebagai tempat beribadah. Padahal, pada masa Nabi, baik imam maupun masjid, memiliki kontribusi penting dalam menentukan perubahan umat ke arah yang lebih baik.

Ia menilai, pihak yang perlu diberdayakan untuk membangun kesamaan persepsi terkait hal ini, tentunya adalah semua pihak yang berhubungan langsung kehidupan masjid. “Ini harus dilakukan agar masyarakat tidak datang (ke masjid) hanya untuk ibadah saja,” kata Imam kepada Republika.co.id, Rabu (30/3).

Misalnya, DMI, kata dia, saat ini sedang menggiatkan program modal usaha bergulir untuk pengusaha mikro dan rumahan berbasis masjid. Hal tersebut dilakukan tidak hanya semata-mata untuk memberdayakan umat. “Tapi juga agar masyarakat menilai masjid hanya sebagai tempat shalat saja. Namun mengalir pemberdayaan untuk masyarakat,” tuturnya.

Selain itu, imam masjid juga harus dipilih berdasarkan kemampuannya merealisasikan angan-angan masyarakat. “Imam dipilih untuk konstruksi perubahan yang diangankan masyarakat,” ujar Imam.

Ia berpendapat, saat ini imam dan masjid kerap dituding dan distigma oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Hal tersebut berkaitan dengan maraknya gerakan radikalisme dan terorisme yang selalu dikaitkan dengan kehidupan umat di masjid. Padahal, hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan sejarah kultural masjid. “Jadi kesamaan persepsi tentang imam dan masjid ini harus dibangun ramai-ramai,” ucap Imam.

 

 

sumber: Republika Online