‘Mari Mentadabburi Makna Alquran’

Pimpinan Majelis Cinta Alquran, Habib A Rahman Al-Habsyi, mengungkapkan, Allah SWT memerintah hambaNya yang beriman untuk mentadabburi Alquran agar selamat di dunia dan akhirat. Menurut dia, tadabur Alquran ialah dengan merenungi, memahami dan memikirkan isi dalam Alquran.

“Menghayati isi kandungan Alquran yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT,” ungkap pimpinan Majelis Cinta Alquran, Habib A Rahman Al-Habsyi kepada Republika, Senin (24/10).

Habib A Rahman menyarankan jangan sampai apa yang kita perbuat dalam hidup sehari-hari, bertentangan dengan Alquran. KarenaAlquran di dalamnya terdapat sejarah umat masa lampau dan gambaran kehidupan masa akan datang yang bisa dijadikan pelajara.

“Tidak lain, semuanya itu bertujuan bagaimana manusia bercermin dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya agar tidak binasa oleh kelalaian dan kepongahannya,” ujar Habib Rahman Al Habsyi mengingatkan.

Agar kita bisa mentadabburi Alquran, Habib A Rahman mengutip Kitab Tafsir AlQurthuby, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berilah matamu haknya untuk beribadah.” Mereka bertanya : “Ya Rasul Allah, apakah haknya mata dalam beribadah?” Rasulullah SAW menjawab: “Melihat mushaf (Kitab Suci), merenungkan ayatnya dan mengambil pelajaran dari keajaiban-keajaibannya.

 

 

sumber:Republika Online

Rasulullah SAW Paling Mencintai Nabi Isa

TERNYATA Nabi Isa itu paling dicintai oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan ada perintah bagi kaum Nashrani untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan nanti akan dijelaskan pula bahwa agama para nabi itu satu, yaitu Islam dan Tauhid.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam sahihnya:

“Muhammad bin Sinan menuturkan kepada kami. Dia berkata; Fulaih bin Sulaiman menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hilal bin Ali menuturkan kepada kami dari Abdurrahman bin Abi Amrah dari Abu Hurairah -radhiyallahuanhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ahadits al-Anbiya, lihat Fath al-Bari [6/550]. Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Kitab al-Fadhail dengan redaksi yang agak berbeda)

Hadis yang agung ini menyimpan pelajaran berharga bagi kita, antara lain :

-Ibnu Hajar mengatakan, “Makna hadis ini adalah pokok agama mereka -para nabi- adalah satu/sama yaitu tauhid, meskipun cabang-cabang syariat mereka berbeda-beda” (Fath al-Bari [6/549])

-Hadis ini menunjukkan bahwa agama para nabi yang diutus oleh Allah di muka bumi ini adalah tauhid yaitu memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah semata.

-Hal itu sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Allah mensyariatkan bagi kalian ajaran agama yang telah Allah wasiatkan kepada Nuh, dan sebagaimana juga Kami wahyukan kepadamu, dan yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu hendaknya kalian menegakkan agama dan tidak berpecah belah di dalamnya” (QS. as-Syuura : 13).

-Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa agama yang diajarkan oleh segenap para nabi itu adalah beribadah kepada Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, meskipun syariat mereka berbeda-beda (lihat Tafsir al-Quran al-Azhim [7/147]).

-Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (yang artinya),”Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa; tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiyaa : 25).

-Hadis ini merupakan bantahan telak bagi kaum atheis yang menolak agama.

-Hadis ini juga merupakan bantahan bagi kaum Nasrani yang mengaku mengikuti Nabi Isa alaihis salam namun tidak mau tunduk kepada ajaran Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan ia juga menjadi bantahan bagi kaum Yahudi.

-Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar kenabianku seorang di kalangan umat ini, Yahudi ataupun Nasrani lalu meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaranku melainkan dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu).

-Hadis ini merupakan bantahan telak bagi kaum Liberal dan Pluralis (semacam JIL dan begundal-begundalnya) yang mengatakan bahwa semua agama itu benar; maksud mereka Yahudi, Nasrani dan Islam adalah dilandaskan pada monothesime (baca: tauhid) oleh sebab itu ada di antara mereka yang menulis buku dengan judul Tiga agama satu tuhan [?!} dengan alasan bahwa semua agama itu adalah diturunkan oleh Ibrahim alaihis salam.

-Sungguh dangkal akal mereka, sepertinya mereka belum pernah membaca -atau pura-pura tidak tahu- ayat (yang artinya), “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang bertauhid dan muslim, dan dia sekali-kali bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran : 67).

-Imam Ath-Thabari mengatakan : “Ini merupakan pengingkaran dari Allahazza wa jalla terhadap klaim orang-orang yang mendebat ajaran Nabi Ibrahim dan millah-nya dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Mereka mengklaim bahwa Nabi Ibrahim berada di atas millah (agama) yang mereka anut. Ayat ini menjadi penegas sikap berlepas dirinya Ibrahim dari perbuatan mereka. Allah menegaskan sesungguhnya mereka itulah -Yahudi dan Nasrani- yang menyelisihi agama yang beliau bawa. Hal ini menjadi kata putus dari Allah azza wa jalla bagi seluruh pemeluk Islam dan umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang menetapkan bahwa mereka itulah -umat Islam- orang-orang yang benar-benar menganut ajaran agama Ibrahim dan berjalan di atas jalan-jalan dan syariat yang beliau gariskan, dan bukannya para pemeluk agama-agama selain agama yang mereka peluk” (Lihat Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

-Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwa al-Masih putra Maryam itu adalah Allah, sedangkan al-Masih sendiri mengatakan, Hai bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian, sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maaidah : 72).

 

sumber:MozikInilah.com

Mendoakan Kesembuhan untuk Non Muslim yang Sakit

ISLAM tidak melarang kaum muslimin berbuat baik kepada orang kafir, selagi mereka tidak mengganggu kaum muslimin. Yang dilarang adalah bersikap baik kepada orang kafir yang memusuhi kaum muslimin karena alasan agama. Karena ini menunjukkan loyalitas dia kepada orang kafir.

Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah: 89)

Mendoakan kebaikan orang kafir untuk kebaikan dunia, termasuk berbuat baik kepada mereka yang diperbolehkan. Sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu menceritakan:

Ada sekelompok sahabat melakukan safar, hingga tibalah mereka di sebuah kampung. Para sahabat minta izin untuk menginap di kampung itu, namun mereka tidak mengizinkannya. Akhirnya mereka mendirikan tenda di luar kampung untuk bermalam.

Tiba-tiba kepala kampung ini disengat binatang, dan mereka berusaha untuk mengobatinya, namun sama sekali tidak berhasil. Hingga ada yang mengusulkan, untuk mendatangi para sahabat, barangkali mereka punya obatnya. Utusan mereka-pun mendatangi para sahabat, dan menyampaikan kondisi kepala suku mereka.

Ada salah satu sahabat yang bersedia mengobati, namun beliau minta syarat, jika berhasil maka harus diupah dengan beberapa ekor kambing. Lalu beliau membacakan surat al-Fatihah sambil ditiukan ke pasiennya, dan dengan izin Allah, kepala suku ini sembuh dan sehat kembali.

Kemudian para sahabat membawa kambing-kambing hasil upah itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau mengizinkannya. (HR. Bukhari 2276)

Dalil ini sangat tegas, para sahabat meruqyah orang kafir yang sedang sakit, dan sembuh. Dan ruqyah bagian dari doa. Karena itu tidak masalah mendoakan non muslim agar mendapatkan kesembuhan. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

sumber: Inilahcom

Ini Solusi Syar’i dalam Menghadapi Kristenisasi

BANYAK sekali makar orang-orang Nasrani untuk menyesatkan kaum muslimin [baca juga: Awas! Ini Usaha Kristenisasi Hasil Konvensi Dunia], lalu apakah kewajiban kaum muslimin dalam menghadapinya? Bagaimanakah caranya menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum muslimin?

Tentu saja tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus kristenisasi yang memangsa setiap individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa nimal wakil!.

Boleh kita katakan bahwa kewajiban itu berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syari secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya:

  1. Menancapkan kembali dasar-dasar akidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum. Dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar akidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta.
  2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan keasadaran membela kesucian dan kehormatan Islam.
  3. Menutup seluruh saluran masuknya produk-produk kristenisasi, seperti film, selebaran, majalah dan lainnya. Yaitu dengan tidak memberi izin masuk dan menetapkan hukuman keras bagi yang melanggarnya.
  4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya kristenisasi serta wasilah-wasilahnya, menjauhkan kaum muslimin darinya serta mencegah mereka agar tidak terjerat jaring-jaringnya.
  5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya adalah pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus. Berdasarkan realita yang ada dua perkara tersebut merupakan sarana yang vital bagi kaum Nasrani untuk mengambil simpati kaum muslimin dan menguasai akal pikiran mereka.
  6. Hendaknya setiap muslim di mana saja ia berada berpegang teguh kepada agama dan akidah Islam walau bagaimanapun kondisi dan kesulitan yang dihadapi. Hendaklah mereka memegang teguh syiar-syiar Islam dalam diri mereka dan orang-orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing, dan hendaknya setiap keluarga muslim memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak akidah dan akhlak mereka.
  7. Hendaknya setiap pribadi maupun keluarga muslim tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam dibekali dengan kesiapan dalam menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin.
  8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka. Orang-orang berada hendaknya memperhatikan kaum fuqara, mengulurkan tangan kedermawanan mereka dalam hal-hal kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak terulur kepada mereka dan memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka!.

Akhirnya, kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dengan asma-Nya yang husna dan sifat-Nya yang Ula agar menyatukan barisan kaum muslimin, menautkan hari mereka, mendamaikan di antara mereka, menunjuki mereka jalan-jalan kebaikan, melindungi mereka dari makar dan kejahatan musuh-musuh mereka serta menjauhkan mereka dari kekejian dan fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi, sesunguhnya Dia Maha Pengasih.

Ya Allah, siapa saja yang menginginkan kejahatan terhadap Islam dan kaum muslimin maka sibukkanlah ia dengan urusan dirinya sendiri, dan tolaklah makar dan rencana busuknya itu serta timpakanlah keburukan atas dirinya, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

[Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta]

 

 

sumber: MozaikInilahcom

Sejarah Hajar Aswad (3-habis)

Disamping kaitannya dengan syarat sah thawaf sebagaimana yang dijelaskan di atas, ada beberapa amalan sunah dalam ibadah haji, khususnya dalam pelaksanaan thawaf, yang berkaitan dengan Hajar Aswad.

Amalan-amalan sunah yang dapat dilihat dalam paparan pendapat para ulama berikut ini:

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa disunahkan pada saat akan memulai thawaf, berdiri di sisi Hajar Aswad menghadap ke arah Rukun Yamani dari Ka’bah denganHajar Aswad berada di sebelah kanan. Pundak kanan berada di ujung Hajar Aswad.

Lalu berniat untuk thawaf. Kemudian menghadap ke kanan ke arah Hajar Aswad dan berjalan menuju pintu Ka’bah. Setelah melewati Hajar Aswad, menghadap kanan dan menjadikan Ka’bah di sebelah kiri dan memulai thawaf. Prosedur ini hanya dikerjakan pada putaran pertama.

Disunahkan juga menyentuh Hajar Aswad dan mencium sekadarnya ketika memulai thawaf. Disunatkan bagi laki-laki untuk meletakkan dahinya ke Hajar Aswad serta menyentuh dan menciumnya sebanyak tiga kali.

Jika tidak mampu menyentuh secara langsung, bisa dengan menggunakan tongkat atau galah, lalu mencium ujung tongkat atau galah yang menyentuh Hajar Aswadtersebut. Jika tidak juga bisa, cukup dengan isyarat tangan. Menggunakan tangan kanan lebih utama. Kegiatan menyentuh dan mencium Hajar Aswad ini dinamakan dengan istilah Istilam.

Disunahkan pula berdoa dan membaca “Bismillahi Allahu Akbar” ketika menyentuh atau melalui Hajar Aswad sambil mengangkat kedua tangan seperti ketika shalat. Kemudian membaca: “Allahumma Imanan bika wa tashdfqan bikitabika wa wafa’an bi’ahdika wattiba ’an lisunnati nabiyyika Muhammadin SAW.” Bacaan ini lebih dimuakkadkan pada thawaf pertama daripada pada thawaf lainnya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa disunahkan menyentuh Hajar Aswad pada putaran pertama thawaf dan kemudian bertakbir. Jika tidak dapat mencium Hajar Aswad, hendaklah menyentuh dengan tangan.

Jika tidak mampu menyentuh secara langsung, bisa dengan menggunakan tongkat atau galah, lalu menyentuhkan ke mulut ujung tongkat atau galah yang menyentuhHajar Aswad tersebut dan bertakbir.

Jika tidak juga bisa, cukup dengan bertakbir setiap kali melewati dan menghadap Hajar Aswad. Menurut ulama Malikiyah, disunahkan juga mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani pada putaran pertama.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa disunahkan menyentuh dan mencium Hajar Aswad pada setiap putaran apabila tidak kesulitan untuk melaksanakannya. Jika tidak bisa atau sulit untuk melaksanakannya, maka cukup dengan memberi isyarat dengan tangan ketika menghadap Hajar Aswad.

Ulama Hanafiyah berpendapat disunahkan menyentuh dan mencium Hajar Aswadpada akhir putaran. Berniat menyentuh dan mencium Hajar Aswad pada putaran pertama dan terakhir adalah sunat muakkad. Jika tidak dapat menyentuh dan mencium, hendaklah menyentuh dengan tangan.

Jika tidak mampu menyentuh secara langsung, bisa dengan menggunakan tongkat atau galah, lalu mencium ujung tongkat atau galah yang menyentuh Hajar Aswadtersebut.

Jika tidak juga bisa, cukup dengan menghadap ke Hajar Aswad, mengangkat tangan dan menghadapkan bagian tangan sebelah dalam kepadanya, lalu bertakbir, bertahlil, memuji Allah SWT dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

 

 

sumber:Republika Online

Sejarah Hajar Aswad (2)

Peristiwa besar lain yang menyangkut Hajar Aswad adalah pencurian dan penyanderaan Hajar Aswad yang dilakukan oleh kelompok atau golongan Qaramithah.

Pada akhir abad ke-9 M mereka memberontak kepada pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah yang sedang berada dalam periode kemunduran dan perpecahan.

Pada tahun 317 H Pasukan Qaramithah di bawah pimpinan Abu Thahir Al-Qurmuthi berhasil mengobrak-abrik kota Makkah, mencuri Hajar Aswad dan membawanya ke pusat gerakan mereka di belahan timur semenanjung Arabia di kawasan Teluk Persia. Kemudian Hajar Aswad mereka bawa ke Kufah dan mereka sandera dalam tahun-tahun 930-951 M (317-339 H).

Mereka meminta uang tebusan untuk mengembalikan Hajar Aswad tersebut. Jumlah uang tebusan yang mereka minta sangat besar sehingga sulit dipenuhi oleh pemerintah ketika itu.

Setelah 22 tahun Hajar Aswad di tangan para penyandera tersebut, akhimya kaum Qaramithah di bawah Abu Ishak Al-Muzakki mengembalikan Hajar Aswad ke tempat asalnya di Ka’bah. Konon, Khalifah Al-Muthi’ Lillah dari Dinasti Abbasiyah harus mengeluarkan uang sebanyak 30.000 dinar sebagai imbalan pengembalian Hajar Aswad tersebut.

Hajar Aswad dalam ibadah haji
Hajar Aswad mempunyai peranan yang penting dan menentukan dalam pelaksanaan haji dan umrah. Fungsi Hajar Aswad akan terlihat terutama dalam pelaksanaan thawaf yang merupakan salah satu rukun haji. Dalam pelaksanaan thawaf, para ulama sepakat bahwa salah satu syarat sahnya thawaf adalah harus dimulai dari posisi yang lurus sejajar dengan Hajar Aswad.

Ulama Syafi’iyah menetapkan bahwa apabila akan melaksanakan thawaf, harus memulainya dengan menempatkan badan sejajar lurus dengan Hajar Aswad di mana posisi Hajar Aswad berada di sebelah kiri pelaku thawaf.

Tidak boleh ada anggota badan sedikit pun yang melebihi posisi sejajar dengan Hajar Aswad. Mengakhiri putaran thawaf juga harus memposisikan badan lurus sejajar dengan Hajar Aswad, tidak boleh ada anggota badan yang berada di belakang garis sejajar tersebut.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa memulai thawaf harus pada posisi lurus sejajar dengan Hajar Aswad. Bila seseorang memulai thawaf pada sebelum garis sejajar Hajar Awad, maka dia wajib menyempurnakan thawaf putaran akhir sampai ke garis sejajarHajar Aswad. Tidak boleh hanya sampai ke tempat dia memulai thawaf.

Jika dia tidak menyempurnakan akhir putarannya sampai ke garis sejajar Hajar Aswad, dan telah berlangsung waktu yang lama atau telah batal wudhunya, maka dia wajib mengulangi thawafnya dari awal kembali. Jika dia telah kembali ke negerinya sebelum menyempurnakan thawaf tersebut, maka dia wajib membayar dam berupa seekor hewan korban.

Ulama Hanabilah menyatakan bahwa putaran thawaf harus dimulai dari Hajar Aswad. Putaran thawaf yang tidak dimulai dari Hajar Aswad dianggap tidak sah dan tidak dihitung sebagai satu putaran. Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa wajib memulai thawaf dari Hajar Aswad. Jika tidak memulai dari Hajar Aswad, wajib diulangi selama masih berada di Makkah. Jika telah pulang, maka wajib membayar dam.

 

 

sumber: Republika Online

Sejarah Hajar Aswad (1)

Pada awalnya, Hajar Aswad merupakan salah satu batu yang ditemukan oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS pada saat mereka sedang membangun Ka’bah.

Nabi Ismail yang pertama menemukan batu tersebut ketika dia mencari-cari batu tambahan untuk bangunan Ka’bah.

Batu tersebut kemudian diserahkannya kepada ayahnya. Nabi Ibrahim begitu tertarik kepada batu tersebut sehingga dia menciuminya berulang-ulang kali. Ketika akan menempatkan batu tersebut pada tempatnya, mereka terlebih dahulu menggendongnya sambil berlari-lari kecil mengelilingi bangunan Ka’bah sebanyak tujuh putaran.

Dalam sejarahnya yang panjang, Hajar Aswad telah terlibat dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang penting. Salah satu peristiwa penting tersebut melibatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemeran utama.

Pada sekitar lima tahun sebelum Muhammad diangkat sebagai nabi dan rasul, yakni ketika beliau berumur 35 tahun, diadakan pemugaran Ka’bah karena adanya beberapa kerusakan.

Pemugaran tersebut diadakan berdasarkan kesepakatan para pemuka kabilah suku Quraisy yang ada di Kota Makkah. Akan tetapi, terjadi perselisihan yang hampir saja mengakibatkan pertumpahan darah di antara sesama masyarakat Quraisy tersebut ketika akan menetapkan siapa yang berhak menempatkan kembali Hajar Aswad pada posisinya semula. Masing-masing tokoh Quraisy merasa paling berhak untuk menempatkan kembali batu tersebut.

Ketika perselisihan semakin memuncak, muncullah Abu Umayyah bin Mughirah Al-Makhzumi mengajukan usul agar permasalahan tersebut diserahkan kepada seseorang yang akan mengadilinya. Dia mengusulkan agar orang tersebut adalah orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui Bab Al-Shafa pada hari itu. Usulan tersebut disetujui oleh semua pemuka Quraisy.

Ternyata, orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui Bab Al-Shafa pada hari tersebut adalah Muhammad bin Abdullah. Maka disepakatilah Muhammad bin Abdullah sebagai orang yang akan mengadili perkara penempatan kembali Hajar Aswad tersebut.

Di sinilah semakin terlihat kualitas pribadi Muhammad bin Abdullah. Dengan kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, Muhammad berhasil memberikan jalan keluar yang dapat diterima semua pihak. Beliau menghamparkan sehelai kain di tanah, lalu mengangkat Hajar Aswad dan menempatkannya di atas bentangan kain tersebut.

Kemudian beliau meminta setiap pemuka kabilah Quraisy memegang masing-masing sudut dan sisi kain tersebut dan bersama-sama mengangkatnya untuk membawa Hajar Aswad ke tempatnya semula. Setelah sampai ke dekat tempat Hajar Aswad, Nabi Muhammad mengangkat dan menempatkan Hajar Aswad ke tempat aslinya.

Dengan cara demikian, para pemuka Quraisy merasa sama-sama punya andil dalam menempatkan kembali Hajar Aswad ke tempat aslinya.

Cara sederhana dan bijaksana yang ditempuh Muhammad bin Abdullah tersebut berhasil menghindarkan persengketaan yang hampir terjadi dan berhasil pula memuaskan semua pihak. Sejak saat itu, rasa percaya dan hormat kaum Quraisykepada Muhammad bin Abdullah semakin meningkat.

 

sumber: Republika Online

Sejarah Hajar Aswad dan Pembangunan Ka’bah

Sebagian besar umat Islam, terlebih khusus jamaah haji, mengenal dengan baik batu hitam (Hajar Aswad) yang terletak di sudut Yamani, Ka’bah. Beberapa di antaranya, bahkan pernah mencium Hajar Aswad tersebut. Batu yang memiliki nilai sejarah dalam perkembangan Islam, sejak zaman Nabi Ibrahim AS hingga masa Rasulullah SAW.

Pada awalnya, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk membangun Ka’bah (QS Al-Baqarah [2]: 125-128). Ka’bah adalah tempat ibadah pertama yang dibangun di dunia QS Ali Imran [3]: 96-97). Sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Qishash al-Anbiyaa’ (kisah para Nabi dan Rasul), Ibnu Katsir menjelaskan, saat pembangunan Ka’bah hampir selesai, dan masih terdapat satu ruang kosong untuk menutupi temboknya, Ibrahim berkata kepada anaknya, Ismail AS, untuk mencari batu, agar ruang kosong itu bisa segera tertutupi.

”Pergilah engkau mencari sebuah batu yang bagus untuk aku letakkan di salah satu sudut Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”

Ismail pergi dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari batu yang paling baik. Ketika sedang mencari, malaikat Jibril datang pada Ismail AS dan memberinya sebuah batu hitam (Hajar Aswad) yang paling bagus. Dengan senang hati ia menerima batu itu dan segera membawa batu itu untuk diberikan pada ayahnya. Nabi Ibrahim AS pun gembira dan mencium batu itu beberapa kali.

Kemudian Ibrahim AS bertanya pada putranya, ”Dari mana kamu peroleh batu ini?” Ismail AS menjawab, ”Batu ini aku dapat dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu.” Ibrahim AS mencium batu itu lagi dan diikuti juga oleh Ismail AS. Begitulah, sampai saat ini banyak yang berharap bisa mencium batu yang dinamai Hajar Aswad itu.

Dalam buku Ibnu Katsir disebutkan, ketika Ibrahim memerintahkan Ismail untuk mencari batu tersebut, Ismail merasa sangat letih. ”Wahai ayah, aku merasa malas dan capek.” Ibrahim berkata, ”Biar aku saja yang mencari.” Lalu ia pergi dan bertemu dengan Jibril yang membawakan batu hitam dari India. Sebelumnya, batu itu putih bak permata.

Adam membawanya ketika ia turun dari surga. Batu tersebut berubah menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Lalu, Ismail datang dengan membawa sebuah batu, namun ia telah melihat batu di salah satu sisi Ka’bah.

Ismail berkata, ”Wahai ayahku, siapakah yang membawa batu ini.” Ibrahim menjawab, ”Yang membawa adalah yang lebih giat darimu.” Lalu keduanya melanjutkan pembangunan Ka’bah sambil berdoa, ”Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 127).

 

 

sumber: Republika Online

Kemenag Angkat Bicara Soal ‘Teman Setia’ dan ‘Alquran Palsu’

Kementerian Agama angkat bicara terkait polemik kata ‘awliya’ pada QS al-Maidah: 51 yang diterjemahkan sebagai ‘teman setia’ pada beberapa edisi terbitan Terjemahan Alquran yang beredar saat ini. Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kemenag Muchlis M Hanafi menjelaskan bahwa terjemahan Alquran tersebut merujuk pada edisi revisi 2002 Terjemahan Alquran Kementerian Agama yang mendapat tanda tashih dari LPMQ.

Pernyataan ini menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata ‘awliya’ yang disebutkan telah berganti dari ‘pemimpin’ menjadi ‘teman setia’. Informasi yang viral di media sosial dengan menyertakan foto yang memuat halaman terjemah itu juga disertai keterangan yang menyebutnya sebagai ‘Alquran palsu’.

Muchlis menegaskan tidak benar kabar yang menyatakan bahwa telah terjadi pengeditan terjemahan Alquran belakangan ini. “Tuduhan bahwa pengeditan dilakukan atas instruksi Kementerian Agama juga tidak berdasar,” kata Muchlis dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Ahad (23/10).

Menurut Muchlis, kata ‘awliya’ di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Alquran Kementerian Agama edisi revisi 1998-2002,  pada QS Ali Imran [3]: 28, QS an-Nisaa’ [4]: 139 dan 144 serta QS al-Maidah [5]: 57, misalnya, kata ‘awliya’ diterjemahkan dengan ‘pemimpin’. Sedangkan pada QS al-Maidah [5]: 51 dan QS all-Mumtahanah [60]: 1 diartikan dengan ‘teman setia’.

“Pada QS at-Taubah [9]: 23 dimaknai dengan ‘pelindung’, dan pada QS an-Nisaa’ [4] diterjemahkan dengan ‘teman-teman’,” jelas Muchlis.

Terjemahan Alquran Kemenag, lanjut Muchlis, pertama kali terbit pada 1965. Pada perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada 1989-1990 dan 1998-2002. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.

Penyempurnaan dan perbaikan tersebut, ungkap dia, meliputi aspek bahasa, konsistensi pilihan kata atau kalimat untuk lafal atau ayat tertentu, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan aspek transliterasi. Pada terjemahan Kementerian Agama edisi perdana (1965), kata ‘awliya’ pada QS Ali Imran [3]: 28 dan QS an-Nisaa’ [4]: 144 tidak diterjemahkan.

Terjemahan QS. An-Nisa [4]: 144, misalnya, berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai ‘wali’ dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Pada kata ‘wali’ diberi catatan kaki: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong. Catatan kaki untuk kata *wali* pada QS Ali Imran [3]: 28 berbunyi: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.

Terkait penyebutan ‘Alquran palsu’ pada informasi yang viral di media sosial,  penyabet gelar doktor tafsir Alquran daej Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini mengatakan, terjemahan Alquran bukanlah Alquran. Terjemahan adalah hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap kitab suci umat Islam itu.

Oleh karenanya, banyak ulama berkeberatan dengan istilah “terjemahan Alquran”. Mereka lebih senang menyebutnya dengan “terjemahan makna Alquran”.

Muchlis menerangkan tentu tidak seluruh makna Alquran terangkut dalam karya terjemahan, sebab Alquran dikenal kaya kosa kata dan makna. Seringkali, ungkapan katanya singkat tapi maknanya padat. Oleh sebab itu, wajar terjadi perbedaan antara sebuah karya terjemahan dengan terjemahan lainnya.

 

sumber: Republika Online

Kementerian Agama Jelaskan Penafsiran Awliya di Al Maidah 51

Kementerian Agama menjelaskan soal adanya beberapa edisi terbitan terjemahan Alquran yang menerjemahkan kata awliya pada surah Al Maidah ayat 51 sebagai teman setia. Pgs Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kemenag, Muchlis M Hanafi menyebut bahwa terjemahan Alquran tersebut merujuk pada edisi revisi 2002 terjemahan Alquran Kementerian Agama yang telah mendapat tanda tashih dari LPMQ.

Hal ini ditegaskan Muchlis menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata awliya pada QS Al Maidah ayat 51 yang disebutkan telah berganti dari ‘pemimpin’ menjadi ‘teman setia’. Postingan itu menyertakan foto halaman terjemah Al-Maidah: 51 dengan keterangan yang menyebutnya sebagai ‘Alquran palsu’.

“Tidak benar kabar yang menyatakan bahwa telah terjadi pengeditan terjemahan Alquran belakangan ini. Tuduhan bahwa pengeditan dilakukan atas instruksi Kementerian Agama juga tidak berdasar,” kata Muchlis di Jakarta, Ahad (23/10).

Menurut Muchlis, kata awliya di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada terjemahan Alquran Kementerian Agama edisi revisi 1998 – 2002, pada QS Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia. Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan pelindung, dan pada QS Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan teman-teman.

Terjemahan Alquran Kemenag, kata Muchlis, pertama kali terbit pada 1965. Pada perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada 1989-1990 dan 1998-2002. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.

Penyempurnaan dan perbaikan tersebut meliputi aspek bahasa, konsistensi pilihan kata atau kalimat untuk lafal atau ayat tertentu, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan aspek transliterasi. Pada terjemahan Kementerian Agama edisi perdana (1965), kata awliya pada QS. Ali Imran/3: 28 dan QS. Al-Nisa/4: 144 tidak diterjemahkan. Terjemahan QS. Al-Nisa/4: 144, misalnya, berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Pada kata wali diberi catatan kaki: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong. Catatan kaki untuk kata wali pada QS. Ali Imran/3: 28 berbunyi: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung, atau penolong.

 

 

sumber: Republika Online