Suguhkan kepada Tamu yang Halal Meski Sedikit

IMAM HASAN AL BASHRI suatu saat mengunjungi Khalifah Umar bin Abdul Azizi, maka Umar pun menyuguhkan kepadanya setengah potong roti dan setengah potong mentimun dan mengatakan,”Makanlah ia wahai Hasan, sesungguhnya di masa ini barang yang halal sangat sedikit.”

Hingga suatu saat, Maimun bin Mihran sekretaris Umar bin Abdul Azizi mengunjungi Imam Hasan Al Bashri, dan ia memperoleh potongan roti dan potongan mentimun, lalu Hasan Al Bashri pun mengisahkan kunjungannya kepada Umar Bin Abdul Azizi kepada Maimun bahwa ia dijamu dengan potongan roti dan mentimun.

Para ulama zaman terdahulu tidak pernah meremehkan apa yang disuguhkan tuan rumah terhadap tamu, dan tuan rumah selalu berusaha menyuguhkan makanan yang halal kepada tamu, meski jumlahnya tidak seberapa. Mereka mengutamakan jumlah sedikit tapi halal dibandingkan jumlah banyak namun mengandung subhat. (lihat, Lawaqih Anwar Al Qudsiyyah, hal 826)

 

sumber:Hidayatullah.com

Surat Peringatan Rasulullah dari Alam Mimpi

DALAM sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah 10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.

“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”

Surat peringatan semacam itu, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi tentang kiamat sudah dekat.

Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya: “Hai Syekh Abdallah… ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir… Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Kabah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”

Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap minggu di masjid-masjid. Di suratkabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.

Surat peringatan lain terbit dalam dua versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Jafar ibn Abd al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan kewajiban agama.

Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.

Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.

Yang menarik mungkin dalam surat peringatan yang lain secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Kabah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.

Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Kabah lambat-laun akan menghilang atau pintu Kabah tak dapat dibuka lagi.

Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama dan perbuatan-perbuatan baik.

“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.

Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan para pejabat Belanda.

“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”

Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial, yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9 Juni 1888.

Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini. Bahkan menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.

Banyak orang mempertanyakan kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Muashirah pada 2001 terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.

Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada 1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.” Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam Nabi bernama Syekh Ahmad.[Hendri F. Isnaeni/Historia]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2347839/surat-peringatan-rasulullah-dari-alam-mimpi#sthash.xYh7MGIq.dpuf

Luar Biasa, Ini Pekerjaan Rasulullah sebagai Suami

BANYAK lelaki yang enggan melakukan pekerjaan rumah, sebagian dari mereka berpikir bahwa yang menyebabkan berkurangnya kedudukan atau wibawa laki-laki adalah dengan ikut bersama anggota kekuarga mengerjakan pekerjaan rumah.

Adapun Rasulullah, beliau menjahit sendiri bajunya, menambal sendalnya, dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di dalam rumah mereka.

Demikian dikatakan oleh istri beliau Aisyah ketika ditanya apa yang dikerjakan Rasulullah dalam rumahnya. Aisyah menjawab dengan apa yang dilihatnya sendiri. Dalam riwayat lain disebutkan, “Ia adalah manusia di antara sekian manusia, membersihkan bajunya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya.” (HR. Ahmad)

Aisyah juga ditanya tentang apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rumahnya. Ia berkata, “Beliau ada (bersama) pekerjaan keluarganya maksudnya membantu keluarganya- dan apabila (waktu) salat, beliau keluar untuk salat.” (HR. Bukhari).

Jika kita praktikkan sekarang, berarti kita telah mewujudkan beberapa kemaslahatan untuk keluarga:

1. Meneladani Rasulullah

2. Ikut membantu keluarga

3. Rendah hati dan tidak takabur (sombong)

Sebagian suami meminta kepada istrinya agar menghidangkan makanan dengan segera, sementara periuk masih di atas tungku api, anak kecilnya berteriak ingin disusui, ia tidak menyentuh anak tersebut, juga tidak mau sabar sedikit menunggu makanan. Hendaknya beberapa hadits di atas menjadi pelajaran dan peringatan.[]

 

 

Sumber: 40 Nasihat Memperbaiki Rumah Tangga/Syaikh Dr. Muhammad bin Shalih al-Munajjid/Darul Haq

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2347897/luar-biasa-ini-pekerjaan-rasulullah-sebagai-suami#sthash.ybQ6Vk9Z.dpuf

Ini Dahsyatnya Shalat Sunah Subuh

Dikutip dari buku Shalat-Shalat Sunah Rasulullah SAW karangan Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, shalat sunah sebelum Subuh termasuk shalat sunah rawatib yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Sampai-sampai, Rasulullah SAW menjelaskan, dua rakaat sebelum Subuh itu lebih baik dari dunia dan seisinya.

Nabi SAW selalu mengerjakannya serta tidak pernah meninggalkannya shalat sunnah Subuh baik saat berada di rumah atau dalam perjalanan. Hadis sahih dari Abu Maryam menceritakan, Rasulullah SAW pernah dalam satu perjalanan malam. Di ambang Subuh, Rasulullah SAW singgah kemudian tidur. Orang-orang pun ikut tidur.

Mereka kemudian terbangun ketika matahari telah terbit menyinari. Rasulullah SAW pun menyuruh muazin mengumandangkan azan. Kemudian, Nabi mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh. Rasulullah SAW pun mencontohkan untuk berbaring di atas lambung kanan setelah menunaikan shalat sunah itu.

Meski demikian, apa yang dicontohkan itu bukan termasuk wajib, melainkan sunah. Ini berdasarkan keterangan dari Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi SAW terbiasa berbincang-bincang dengan Aisyah, jika tidak maka beliau berbaring, setelah shalat sunah tersebut hingga dikumandangkan ikamah sebagai tanda shalat.

Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita untuk istiqomah dalam mengerjakan ibadah, tak terkecuali shalat sunah rawatib. Nabi Muhammad SAW bahkan, pernah mengqadha atau mengganti shalat sunah qabliyah Zuhur. Syahdan, Kuraib, pembantu Ibnu Abbas diutus untuk menemui Aisyah RA untuk menanyakan dua rakaat setelah shalat Ashar.

Kuraib lantas diminta Aisyah untuk menemui Ummu Salamah. Dia pun mendapat penjelasan, Rasulullah SAW memang pernah melarang mengerjakan dua rakaat setelah Ashar. Namun, Ummu Salamah sempat menyaksikan Nabi melakukan shalat sunah tersebut di dalam rumah. Ketika itu, dia sudah mengerjakan shalat Ashar.

Ummu Salamah kemudian mengutus seorang budak wanita untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Ummu Salamah berpesan, dia pernah mendengar Rasulullah SAW melarang kedua shalat ini.

Rasulullah SAW pun bersabda. “Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Ashar? Sesungguhnya beberapa orang dari Abdul Qais mendatangiku untuk mengislamkan beberapa orang dari kaumnya sehingga aku tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah Zuhur. Maka, yang kukerjakan adalah shalat tersebut.” (HR Bukhari Muslim).

Hadis ini pun menunjukkan di syariatkannya mengqadha shalat sunah rawatib setelah Zuhur jika seseorang tidak sempat mengerjakannya. Rasulullah SAW juga mencontohkan untuk mengerjakan shalat sunah rawatib Maghrib di rumah. Kecuali, bagi yang berhalangan.

Penekanan ini pernah disampaikan Rasulullah SAW saat mendatangi Bani Abdul Asyhal. Nabi  mengerjakan shalat Maghrib bersama mereka. Setelah mengucap salam, orang-orang lalu berdiri untuk mengerjakan shalat sunah. Dia pun berkata, “Kerjakanlah kedua rakaat ini di rumah kalian masing-masing.” Diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai.

Aisyah RA juga menjelaskan shalat sunah rawatib di rumah saat ditanya oleh Abdullah bin Syaqiq. Menurut Aisyah, Rasulullah SAW biasa shalat sunah empat rakaat di rumah sebelum shalat Zuhur. Kemudian, Rasulullah berangkat dan mengerjakan shalat Zuhur berjamaah di masjid.

 

sumber: Republika Online

Mencari Energi Shalat Berjamaah

Menghidupkan gerakan shalat subuh berjamaah merupakan gerakan fositif memakmurkan masjid. Gerakan ini perlu diapresiasi karena dapat mengisi shaf-shaf kosong di masjid. Secara psikologi umat Islam pun semangat shalat subuh berjamaah di masjid dan cukup antusias. Namun, kegiatan ini, bukanlah puncak dari perjuangan, tapi awal dari langkah perjuangan.

Perjuangan shalat berjamaah masih panjang karena ada empat shalat wajib lagi belum terorganisir pelaksanaanya yaitu shalat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Keempat shalat ini hukumnya wajib seperti wajibnya shalat Subuh. Keutamaan yang terkandung di dalamnya pun berbeda-beda dan tidak bisa dibandingkan dengan shalat wajib lainnya termasuk shalat Subuh karena memiliki porsi masing-masing. Sangat keliru jika ibadah itu dibedakan hanya faktor keutamaan yang terkandung dalam ibadah yang dimaksud.

Pelaksanaan shalat wajib pasti akan lebih baik dilakukan berjamaah di masjid daripada di rumah termasuk shalat kaum perempuan. Banyak ayat dan hadis Nabi SAW memuat dorongan dan keutamaan shalat berjamaah di masjid. Selain itu banyak juga ancaman kepada orang yang mengabaikan salat berjamaah di masjid.

Disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]:45, ”Jadikan sabar dan salat itu sebagai penolongmu”. Kalau salat kita belum mendatangkan energi postif dan akhlak mulia maka besar kemungkinan salat kita belum diterima Allah SWT sebagaimana sabda Nabi SAW. “Pada hari kiamat nanti ada orang yang membawa salatnya kepada Allah SWT. Kemudia dia mempersembahkan salatnya kepada Allah SWT. Lalu salatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian kumal kemudian ditamparkan kewajahnya. Allah menolak amal ibadah salatnya.

Dalam hadis yang lain disebutkan, Nabi SAW bersabda;  “Jika salat seseorang tidak mencegah dia dari kemungkaran, maka salatnya tidak menambah sesuatu kecuali salatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah sSWT”.

Selain itu, Nabi bersabda, akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin. Empat belas abad yang lalu Nabi SAW telah memprediksi bahwa akan datang satu zaman, masjid-masjid mereka makmur dan damai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama dan intelektual mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.

Mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda orang beriman ? Dan mengapa orang yang salat di masjid itu kosong dari hidayah ? Hal ini menunjukkan bahwa salat bukanlah tanda satu-satunya bahwa seorang yang melakukannya otomatis disebut mukmin dan dapat hidayah tetapi itu baru tanda bahwa yang melakukannya adalah seorang Muslim.

Tanda orang mukmin selain shalat masih banyak yang perlu diperhatikan seperti sabda Nabi SAW bahwa siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah dia menghormati tetangganya. Dalam hadis yang lain, hendaklah dia senang menyambung silaturahim atau tali persaudaraan. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari akhirat, hendaklah dia berbicara yang benar, jika tidak mampu berbicara dengan benar maka lebih baik dia diam diri. Pada hadis lain, tidak dianggap sebagai orang beriman apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang sementara para tetangga kepalaran.

Secara tersirat Nabi menyampaikan bahwa nanti akan datang suatu zaman, orang-orang berkumpul di masjid untuk menegakkan shalat berjamaah, tetapi tidak akur dengan tetangga di sampingnya baik yang Muslim dan non-Muslim, memutuskan tali silaturahim termasuk tidak menyambungkan tali silaturahim di antara sesama Muslim. Mereka menyebarkan fitnah dan menuduh yang tidak layak terhadap kaum muslimin lainnya. Mereka melaksanakan shalat, tetapi sulit mengucapkan perkataan yang benar, tidak bisa berlaku adil baik kepada sesama Muslim apalagi di luar Islam. Mereka shalat, tetapi mengabaikan tanggung jawab sosial dengan acuh tak acuh atas penderitaan yang dirasakan oleh sesama manusia.

Dalam hadis Qudsi dijelaskan kriteria shalat yang diterima Allah SWT; Sesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima shalat dari orang yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Dia tidak mengulang maksiat kepada-Ku. Dia menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup shalat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat-Ku untuk menjaganya. Jika dia berdoa kepada-Ku, Aku akan ijabah. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di Surga.

Tanda-tanda salat yang diterima oleh Allah SWT berdasarkan hadis Qudsi tersebut, di antaranya; Pertama, merendahkan diri. Dia datang melaksanakan salat dengan merendahkan diri hanya pada-Nya. Jiwa yang merendahkan diri disebut jiwa khusyu jauh dari sifat ujub dan riya. Kedua, tidak sombong sesama makhluk Allah SWT.

Menurut Imam Ghazali, orang takabur adalah orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain dan dia memandang enteng dan hina orang lain. Sifat sombong ini bisanya muncul karena faktor ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, kecakapan dan kecantikan. Puncak dari kesombongan adalah menolak eksistensi al-Haq (Allah SWT) dan menolak kebenaran yang datang dari-Nya karena yang menyampaikannya adalah orang yang tidak bertitel, statusnya lebih rendah dari dirinya, pahamnya berbeda dengan diri, kelompok, dan alirannya.

Ketiga, tidak maksiat pada Allah SWT. Tanda orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT mampu mengendalikan nafsunya. Di akhirat kelak ada beberapa kelompok manusia yang mendapat perlindungan karena amalannya di dunia yaitu orang yang diajak kencan oleh seorang perempuan yang cantik dan memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi tapi dia menolak ajakannya seraya berkata; “Aku takut kepada Allah SWT. Sikapnya seperti Yusuf saat  Zulaikha menggoda dirinya.

Keempat, memiliki jiwa solidaritas sosial tinggi. Tanda salat yang diterima bukan hanya berdiri lama, melakukan ruku, dan sujud yang panjang dalam salat tetapi ia aktif memikirkan dan mencari solusi penderitaan yang menimpa sesamanya. Dia menyisihkan waktu dan rizkinya untuk ikut serta membahagiakn orang lain.

Kriteria salat yang diterima dan kekhususannya penting ditafakuri sebagai tolok ukur salat berjamaah kita. Rasulullah menegaskan, Ada dua orang umatku yang melakukan salat, yang ruku dan sujud sama akan tetapi nilai salatnya kedua orang itu jauhnya antara langit dan bumi. Perbedaan ini karena salat mereka tidak termasuk kriteria salat yang diterima oleh Allah SWT. Allahu alam bi al-shawab.

 

Oleh : Fadhlullah M. Said *)

*) Guru SMA Plus Babussalam, Pon-Pes Babussalam al-Muchtariyah Ciburila Dago Atas Bandung

sumber: RepublikaOnline

Menghormati Agama Orang Lain Tak Berarti Mengikuti

ADA dua pembahasan dalam bagian ini. Pertama, larangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyerupai orang kafir. Kedua, larangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengikuti hara raya orang kafir. Larangan berpartisipasi dalam perayaan Hari Raya orang kafir sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar menyerupai mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini dalam melindungi umatnya, dari akidah, kebiasaan, dan perilaku orang-orang kafir.

2. Kedua, larangan Mengikuti Perayaan Hari Besar Orang Kafir

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sudah melarang umatnya untuk mengikuti Hari Raya mereka. Dari Aisyah Radhiallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari Id: “Sesungguhnya setiap kaum memiliki Hari Raya, dan hari ini adalah Hari Raya kita.”

Maka, Hari Raya umat Islam adalah Hari Raya yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, saat itulah kaum Muslimin merayakan kebahagiaan mereka, kesenangan mereka, berhibur dari, makan-makanan yang enak dan lainnya. Bukan pada Hari Raya agama orang lain, baik Yahudi, Nasrani, Konghucu, Budha, Hindu, dan agama lainnya. Secara khusus, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melarang umat Islam mengikuti Hari Raya mereka.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, beliau berkata: “Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yakni hari Fithri dan hari Adha.”

Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari mengatakan hadis ini sanadnya sahih. Syaikh Al Albani juga mensahihkannya dalam Ash Shahihah. Pada masa jahiliyah, kaum musyrikin memiliki dua hari, yakni Nairuz dan Mihrajan. Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim: “Dilarang (bagi umat Islam) mengadakan permainan dan berbahagia pada dua hari itu yakni Nairuz dan Mihrajan. Hadis ini juga terdapat larangan yang halus dan perintah untuk beribadah, karena kebahagiaan hakiki terdapat dalam ibadah.”

Lalu, disebutkan perkataan Al Muzhhir: “Ini merupakan dalil bahwa menghormati Nairuz dan Mihrajan, dan Hari Raya orang-orang muysrik yang lain adalah terlarang.” Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan: “Dari hadis ini disimpulkan bahwa adalah hal yang dibenci berbahagia menyambut Hari Raya orang musyrik dan menyerupai mereka, dan telah sampai perkataan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi dari kalangan Hanafiyah: Barang siapa yang memberikan hadiah kepada orang musyrik demi menghormati Hari Raya mereka, adalah perbuatan kufur kepada Allah Taala.”

Bahkan, lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melarang seorang Muslim membantu menjual keperluan orang Islam yang ingin ikut-ikutan Hari Raya mereka pada Hari Raya orang kafir, baik berupa makanan, pakaian, dan lainnya, sebab itu merupakan pertolongan atas kemungkaran.

 

 

[Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2347895/menghormati-agama-orang-lain-tak-berarti-mengikuti#sthash.vAIKjIHn.dpuf

Apa setelah Aksi Super Damai 212?

Aksi Super Damai 212 telah menjadi inspirasi. Sekitar 5,5 juta Muslim saat itu berkumpul secara swadaya dan menggelar shalat Jumat terbesar dan paling tertib sepanjang sejarah. Semangat itu diharapkan menjadi momentum perubahan demi kebaikan umat Islam.

Menurut pendiri Majelis Taklim Wirausaha (MTW), Ustaz Valentino Dinsi, GNPF MUI pada Rabu (21/12) menyepakati terbentuknya Dewan Ekonomi Syariah 212. Dewan itu diketuai Ustaz Syafii Antonio, sedangkan Ustaz Valentino sebagai wakilnya. Ada tujuh tokoh Muslim yang mengisi dewan itu.

Dia menjelaskan, GNPF MUI berupaya merumuskan konsep dan mewujudkan gerakan kebangkitan ekonomi umat Islam. Seperti diketahui, cukup banyak pengusaha Muslim yang memakai nama “212” untuk mengenang momentum historis itu.

Menurut Ustaz Valentino, GNPF MUI ingin agar inisiatif-inisiatif semacam itu tidak bergerak sendiri-sendiri. Karena itu, nama 212 dipatenkan. Hal itu dilakukan sambil terus mengawal kasus Ahok.

“Disepakati, 212 itu dipatenkan oleh notaris atas nama GNPF MUI untuk menjadi milik umat. Jadi tak boleh ada orang, individu, atau kelompok tertentu menggunakan 212 tanpa berkomunikasi dengan GNPF MUI.

”Kenapa itu penting? Kita bisa demo tertib karena arahan ulama, kan? Jangan setelah itu kita pecah-belah gara-gara duit,” ujar Ustaz Valentino Dinsi saat memberikan materi di acara Milad Akbar Masjid Agung At-Tin, Jakarta, Sabtu (24/12).

Dengan demikian, ungkap Ustaz Valentino, sejak saat itu lembaga mana pun yang memakai nama “212” dibekukan. Bila masih ada yang memakai merek 212, ujar dia, maka bukan berasal dari GNPF MUI. “Kami sedang bekerja untuk menyusun tata kelola ini. Pada saatnya nanti, kami segera umumkan dalam waktu yang tidak terlalu lama,”
jelasnya.

Bagaimana dengan toko-toko atau minimarket yang terlanjur bermerek 212? Ustaz Valentino menyarankan agar mereka merapatkan barisan bersama GNPF MUI.

Rencananya, tim ahli Dewan Ekonomi Syariah GNPF MUI akan membuatkan standar manajemen retail. Namun, jaringan retail ini tidak lantas mematikan usaha-usaha kecil di sekitarnya.

Akan ada rebranding untuk warung-warung kecil. Hal itu disertai dengan peningkatan kapasitas, misalnya, dalam hal penyediaan barang (supplier) atau jaringan distributornya.

Minimarket yang enggan mengubah merek masih bisa bergabung dalam jaringan ini. Caranya, lanjut dia, dengan rebranding, yakni memakai istilah a member of 212 yang menyertai nama minimarket itu.

“Jadi kita arahkan seluruh umat Islam belinya di situ. Sementara yang kita akan bikin adalah, Minimarket 212, kemudian distribusinya, kemudian pabriknya. Nanti akan menyusul, kita bisa bikin urusan properti-nya, pertambangan, rumah sakit, dan segala macam. Pembiayaan dari umat.” ujarnya.

GNPF MUI, menurutnya, ingin agar jangan sampai ada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam demi keuntungan pribadi. Karena itu, lembaga yang disepakati adalah Koperasi Syariah 212. Sekalipun nantinya menjadi perseroan terbatas (PT), menurut Ustaz Valentino, PT itu akan dimiliki Koperasi, bukan individu.

“Artinya, milik umat Islam. Jadi, tak ada pendiri, penggagas, komisaris. Tidak ada yang mengatasnamakan umat, lalu mengambil duit untuk kepentingan pribadi. Itu yang kita hindari. Supaya, jangan sampai semangat umat rusak,” jelas lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.

 

sumber: Republika Online

Memperindah Shaf Shalat

 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أَحْسِنُوا إِقَامَةَ الصُّفُوْفِ فِى الصَّلَاةِ -ابن حبان

Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Perbaguslah dalam pembentukan shaf-shaf dalam shalat.”

(Riwayat Ibnu Hibban dalam Ash Shahih)

 

Maksudnya adalah, sempurnakanlah shaf dan tutuplah celahnya. Sedangkan perintah mengenai hal ini sifatnya sunnah.

Dan disunnahkan pula jika masjid berukuran besar, maka imam memerintahkan kepada seorang laki-laki untuk meluruskan shaf, berkeliling memeriksa dan menyeru akan hal itu. Demikian pula disunnahkan kepada siapa saja yang hadir untuk ikut menyeru akan hal itu, karena termasuk bagian dari amar ma’ruf dan dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

Dalam Al Majmu’ disebutkan bahwa maksud dari menyelaraskan shaf adalah menyempurnakan shaf  yang terdepan kemudian shaf-shaf setelahnya serta menutup celah dan penjagaan akan hal itu oleh siapa saja yang berdiri di shaf, dimana posisinya tidak lebih maju dibanding siapa saja yang berada di sampingnya. (Lihat, Faidh Al Qadir, 1/192)

 

sumber: Hidayatullah.com

Petunjuk Nabi Tentang Sedekah

RASULULLAH Shalallaahu ‘Alahi Wasallam adalah orang yang paling banyak bersedekah dengan apa pun yang beliau miliki. Beliau tidak meminta lebih banyak dari apa yang diberikan Allah untuk beliau dan beliau juga tidak pernah memandang sedikit pemberian-Nya.

Tidaklah seorang pun meminta sesuatu yang beliau punya, baik sedikit maupun banyak, melainkan beliau akan memberikannya. Pemberian beliau itu ialah pemberian seseorang yang tidak takut akan kemiskinan.

Bersedekah dan memberi hal yang paling disukai Rasulullah. Kebahagiaan dan kesenangan beliau dengan sesuatu yang diberikan kepadanya, lebih besar dari kebahagiaan orang yang menerimanya.

Beliau ialah orang yang paling dermawan untuk suatu kebaikan. Tangan kanan beliau seperti angin yang berhembus. Bila seseorang memerlukan uluran tangan dan mendatangi beliau, beliau niscaya mendahulukan orang itu daripada diri beliau sendiri. Terkadang dengan memberinya makan, hadiah, atau dengan membeli sesuatu lalu memberikan barang tersebut sekaligus uangnya kepada si penjual.

Beliau juga terkadang meminjam sesuatu, lalu mengembalikannya lebih banyak, lebih baik, atau lebih besar. Beliau biasa membeli sesuatu dan memberi harga lebih tinggi dari harga barang. Beliau menerima hadiah dan membalasnya dengan yang lebih baik dan berlipat ganda sebagai suatu tindakan kasih sayang serta variasi dalam berbagai wujud sedekah dan kebajikan dengan segala kemungkinannya.

Beliau menyedekahkan apa pun yang beliau punya dengan kondisi dan dengan sabda beliau, hingga beliau memberikan segala yang ada, memerintahkan untuk bersedekah, dan menganjurkannya. Beliau mengajak dengan tindakan nyata dan sabda. Bila ada orang pelit dan kikir memandang beliau, niscaya kondisi beliau akan mendorongnya untuk memberi dan berinfak. Orang yang bersahabat serta bergaul dengan beliau dan melihat petunjuk beliau, pasti tidak akan mengekang jiwanya untuk berlaku dermawan dan kebajikan. Karena itulah, Rasulullah ialah orang yang paling murah hati, paling bersih jiwa, serta paling lembut perasaannya karena sedekah dan kebajikan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk lapangnya hati.

Mu’adz bin Jabal r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.“ (At-Turmudzi).

Ibnu Abbas r.a meriwayatkan:

“Rasulullah ialah manusia yang paling dermawan dan beliau sangat dermawan di bulan Ramadhan saat bertemu Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan, Jibril mengajarkan Al-Qur’an, dan sungguh Rasulullah ialah manusia yang paling dermawan dengan kebaikan melebihi angin yang berhembus.” (Al-Bukhari dan Al-Muslim).

Jabir r.a meriwayatkan:

“Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah diminta sesuatu, lalu beliau bersabda tidak.” (Muttafaq Alaihi).

Anas r.a meriwayatkan:

“Tidaklah Rasulullah diminta sesuatu atas keislaman, melainkan beliau akan memberikannya. Seseorang mendatangi beliau, lalu beliau memberikan domba padanya yang ada di antara dua gunung. Lantas orang tersebut kembali kepada kaumnya seraya berkata, ‘Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam karena Muhammad itu memberikan sesuatu kepada orang tanpa takut akan kemiskinan.”‘ (HR Muslim).

Aisyah r.a meriwayatkan:

“Para shahabat menyembelih seekor domba, lalu Nabi bersabda, ‘Masih adakah sisanya?’ Aisyah berkata, ‘Tidak tersisa apa pun selain bahunya saja.’ Beliau bersabda, ‘Semuanya masih ada kecuali bahunya.” (At-Tirmidzi). Artinya, akan tersisa untuk kita di akhirat kelak, kecuali pundaknya saja.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Sahl bin Sa’ad berkata, “Seorang wanita mendatangi Nabi dengan membawa pakaian berupa mantel yang berbordir. Wanita itu lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya datang untuk memberikan pakaian ini pada Anda.’ Rasulullah mengambilnya dan memang beliau sangat memerlukannya. Kemudian mantel itu dilirik oleh salah seorang shahabat. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, indah sekali mantel itu. Berikan mantel itu padaku.’ Beliau pun memberikannya.

Ketika Rasulullah telah pergi, para shahabat lain mencelanya seraya berkata, ‘Kau tidak bersikap baik saat melihat Rasulullah mengambil mantel pemberian wanita itu karena beliau sangat memerlukannya lalu kau memintanya. Padahal kau tahu, kalau Nabi tidak pernah menolak orang yang meminta pada beliau.’

‘Shahabat itu pun berkata, ‘Demi Allah, tidak ada yang mendorongku untuk melakukan hal itu melainkan karena aku berharap keberkahannya ketika telah dipakai oleh Rasulullah. Dan saya berharap mantel itu menjadi kain kafanku nanti.’”

Ibnu Mas’ud r.a meriwayatkan, “Nabi mengunjungi Bilal dan ia memiliki setumpuk gandum. Beliau bersabda, ‘Apa ini wahai Bilal?’

Ia menjawab, ‘Saya menyimpannya untuk para tamu Anda.’

Beliau bersabda, ‘Tidakkah kau takut ia hanya akan menjadi asap di neraka Jahanam? Infakkan wahai Bilal dan janganlah engkau takut miskin pada Zat Yang memiliki ‘Arsy’.” (HR Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Abu Hurairah).

Sabda beliau, “Dan janganlah engkau takut miskin pada Zat Yang Memiliki ‘Arsy.” ialah sebagai wujud keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, berprasangka baik kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya diiringi dengan melakukan perantara dan usaha.

Abdullah bin Abbas r.a meriwayatkan bahwa Abu Dzarr berkata kepadanya, “Wahai keponakanku, saya pernah bersama Rasulullah dengan memegang tangan beliau. Beliau bersabda kepadaku:

‘Wahai Abu Dzarr, saya tidak ingin memiliki emas dan perak sebesar gunung Uhud lalu saya infakkan di jalan Allah kemudian saya meninggal pada saat ajalku tiba dengan meninggalkan sedikit harta.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana dengan harta yang banyak?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu Dzarr, saya memilih yang sedikit, sedangkan engkau memilih yang lebih banyak. Saya menginginkan akhirat, sedangkan engkau menginginkan dunia. Cukuplah bagimu harta yang sedikit saja.’ Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali padaku.” (HR Ath Thabrani, Al-Bazzar, dan al-Haitsami).*/Hasan bin Ahmad Hammam, dari bukunya Terapi dengan Ibadah.

 

sumber: Hidayatulah.com