Kesalahan Mendahulukan Puasa Syawal Dari Qadha Puasa

Sebagian wanita salah dalam menyikapi puasa sunnah nan mulia yakni puasa Syawal. Mereka lebih semangat menyelesaikan puasa Syawal daripada menunaikan utang puasa mereka. Padahal puasa qadha’ adalah dzimmah (kewajiban) sedangkan puasa Syawal hanyalah amalan sunnah. Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi masalah ini?

Perlu diketahui bahwa tidak boleh mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ puasa atau membayar utang puasa. Seharusnya yang dilakukan adalah puasa qadha’ dahulu lalu puasa Syawal. Karena jika kita mendahulukan puasa Syawal dari qadha’ sama saja dengan mendahulukan yang sunnah dari yang wajib. Ini tidaklah tepat. Lebih-lebih lagi yang melakukannya tidak mendapatkan keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawal sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Untuk mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh, puasa Ramadhan haruslah dirampungkan secara sempurna, baru diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal.

Selain itu, qadha’ puasa  berkaitan dengan dzimmah (kewajiban), sedangkan puasa Syawal tidaklah demikian. Dan seseorang tidak mengetahui kapankah ia masih hidup dan akan mati. Oleh karena itu, wajib mendahulukan yang wajib dari yang sunnah. Sebagaimana dalam hadits qudsi juga disebutkan bahwa amalan wajib itu lebih utama dari yang sunnah,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

Tidaklah hambaku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib hingga aku mencintainya” (HR. Bukhari no. 6502)

Sa’id bin Al Musayyib berkata mengenai puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah),

لاَ يَصْلُحُ حَتَّى يَبْدَأَ بِرَمَضَانَ

Tidaklah layak melakukkannya sampai memulainya terlebih dahulu dengan mengqodho’ puasa Ramadhan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

Adapun riwayat dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– yang menyebutkan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Aku dahulu masih punya utang puasa dan aku tidak mampu melunasinya selain pada bulan Sya’ban”(HR. Bukhari no. 1950).

Aisyah menunda qadha’ puasanya ini karena kesibukan beliau dalam mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh Yahya dalam Shahih Bukhari.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik.

(*) Keterangan di atas kami sarikan dari kitab “Ahkam Maa Ba’da Ash Shiyam”, hal. 168 karya Syaikh Muhammad bin Rasyid Al Ghafiliy.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10022-kesalahan-mendahulukan-puasa-syawal-dari-qadha-puasa.html

Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan Syawal?

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

5 Syawal 1428 H (Bertepatan dengan 17 September 2007)

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/377-puasa-syawal-puasa-seperti-setahun-penuh.html

Tetap Rajin Ibadah Meskipun di Luar Ramadhan

Di antara yang perlu kita koreksi dalam diri kita sendiri adalah betapa rajinnya kita di bulan Ramadhan ini untuk melaksanakan berbagai macam amal ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, di luar bulan Ramadhan, semua itu sirna, hampir tanpa bekas. Tidak perlu menunggu sampai akhir bulan Syawal, shalat jamaah subuh tanggal 1 Syawal pun masjid kembali sepi seperti semula.

 

Kita yang rajin shalat malam di bulan Ramadhan, setelah Ramadhan berlalu, kita pun meninggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan agar kita tetap menjaga kontinuitas shalat malam.

Dari sahabat ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai ‘Abdullah, janganlah Engkau seperti fulan. Dulu dia rajin mendirikan shalat malam, lalu sekarang dia meninggalkan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)

Demikian pula dengan ibadah puasa. Di bulan Ramadhan, kita berpuasa sebulan penuh, kecuali sebagian kaum muslimin yang memang memiliki ‘udzur syar’i sehingga boleh tidak berpuasa. Sebagaimana kita rajin berpuasa di bulan Ramadhan, hendaknya kita juga tetap melaksanakan ibadah puasa sunnah di luar bulan Ramadhan. Banyak sekali ibadah puasa sunnah yang bisa kita kerjakan, baik itu puasa Syawal, puasa Senin dan Kamis, dan seterusnya.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan bagaimana beliau tetap rajin berpuasa sunnah setelah Ramadhan berlalu. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ؛ وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ العَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا ؛ وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa yang lebih banyak dalam sebulan melebihi puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau bersabda, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan bosan (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu bosan (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan bila beliau sudah terbiasa melaksanakan shalat (sunnah), beliau menjaga kesinambungannya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 741)

Inilah model ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, beliau kontinyu dalam beribadah. Beliau tidak mengkhususkan satu hari atau satu bulan tertentu untuk fokus beribadah, lalu beliau tinggalkan ibadah-ibadah tersebut di luar hari dan bulan khusus tersebut. Model ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak demikian.

Dari ‘Alqamah, beliau berkata,

قُلْتُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْتَصُّ مِنَ الأَيَّامِ شَيْئًا؟ قَالَتْ: ” لاَ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وَأَيُّكُمْ يُطِيقُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيقُ

“Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu dalam beramal?” Dia menjawab, “Tidak. Beliau selalu beramal terus-menerus tanpa putus. Siapakah dari kalian yang akan mampu sebagaimana yang mampu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 741)

 

Amal yang kontinyu, inilah model beramal yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ العَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Amalan yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang dikerjakan secara terus menerus oleh pelakunya.” (HR. Bukhari no. 6462 dan Muslim no. 741)

Dan meskipun secara kauntitas itu sedikit, namun jika dikerjakan secara kontinyu, amal tersebut menjadi amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang terus-menerus dikerjakan (kontinyu) walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783)

 

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pengingat bagi diri penulis sendiri, dan siapa saja yang membaca tulisan ini.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47065-tetap-rajin-ibadah-meskipun-di-luar-ramadhan.html

Meresapi Makna Takbir

Manusia sudah selayaknya mengakui kebesaran Allah SWT. Bagaimana tidak? Sampai sekarang, manusia tidak mampu menghitung jumlah bintang di langit. Padahal, amat banyak bintang yang lebih besar dari ukuran bumi yang kita diami ini.

Info astronomi mengatakan, dari bumi ke bintang yang tertinggi–yang masih bisa dilihat dengan teleskop–jaraknya mencapai lebih dari 10 miliar tahun perjalanan cahaya.

Kalau kita memikirkan hal ini, maka ucapan yang terpantas adalah Allahu Akbar.Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan manusia agar selalu menyadari kebesaran Allah. Salah satu caranya ialah dengan mengajarkan membaca Allahu Akbar (‘Allah Mahabesar’) di hampir setiap perpindahan dari rukun shalat.

Semestinya, kesadaran akan kemahabesaran Allah juga meresap dalam kehidupan sehari-hari. Setiap Muslim harus menyadari betapa kecil bumi yang kita diami ini. Betapa sangat kecil diri kita dalam pandangan Allah.

Kita juga patut sadar. Meski diri kita ini sangat kecil dan hampir tidak ada artinya bila dibandingkan dengan keluasan alam semesta, Allah selalu peduli. Dia mengurusi jantung kita agar tetap berdetak.

Allah tetap menjaga peredaran darah agar mengalir ke sekujur tubuh. Allah juga selalu memelihara paru-paru agar tetap kuat untuk menghirup udara segar dan mengembuskannya lagi ke luar tubuh. Semua itu merupakan rahmat dan karunia Allah SWT kepada manusia. Kasih sayang Allah memang selalu mengalir kepada makhluk-Nya ini.

Bila kita menyadari kebesaran Allah dan meresapinya hingga ke lubuk hati, maka kita akan mudah menerima pencerahan rohani. Hati akan menjadi terang benderang, sehingga hidup, umur, waktu, dan seluruh potensi diri yang diberikan Allah akan menjadi indah.

Kesadaran itu juga akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam kepada-Nya. Menyadari kebesaran Allah juga akan menumbuhkan sifat dan sikap rendah hati (tawadlu’).

Sikap ini akan berkembang menjadi sikap senang menghargai orang lain. Setiap manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, yang jelata maupun berpangkat tinggi, semua dihormati dengan akhlak yang baik. Dengan saling menghormati, pergaulan hidup akan terjalin dalam suasana damai.

Tidak adanya rasa rendah hati, akan membuat seseorang merasa dirinya superhebat. Orang akan merasa paling benar dan arogan. Sikap takabur seperti itu jelas menentang Allah.

Sebab, manusia yang sebenarnya sangat kecil, kok berani mencoba unjuk kehebatan di depan Sang Khalik, Allah Rabbul’alamin. Untuk itu, Allah mengingatkan manusia dalam Alquran surah al-Isra’ ayat 37. Artinya, “Dan janganlah kamu berjalan di atas bumi ini dengan sombong (arogan), karena sesungguhnya kamu tidak mampu menembus bumi dan tegakmu tidak akan setinggi gunung.”

Jadi, seharusnya orang yang shalat, yang tentunya mengucapkan takbir, selalu meresapi makna takbir. Menghayati makna takbir dalam setiap gerak langkah kehidupan.

Bila ada orang-orang yang shalat, tetapi kelakuannya masih arogan, kemungkinan hatinya belum meresapi makna takbir yang diucapkannya sendiri.

Oleh: D Zawawi Imron

 

HIKMAH REPUBLIKA

Asal Usul Kata Lebaran

LEBARAN merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu.

Maksud kata “lebar” di sini adalah sudah berlalunya bulan Ramadan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari Bahasa Arab dari akar kata bada yang berarti setelah, selesai.

Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai hari raya Idul Fitri.

Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut hari raya Idul Fitri.

Ada dua bentuk ketupat yaitu kepal (lebih umum) dan jajaran genjang. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan Brunei.

Biasanya ketupat disuguhkan dengan opor ayam, rendang dan masakan-masakan khas masing-masing daerah yang mengandung santan. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreatifitas kuliner di beberapa daerah. [MG]

INILAH MOZAIK

 

 

Istiqamah Setelah Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )1.

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.

Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”6.

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh7.

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah8.

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit9.

Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

 —

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/10042-istiqamah-setelah-ramadhan.html

Momen Lebaran, Kesempatan Mempraktekan Akhlak Karimah

Saling mengunjungi antar-kerabat, antar-tetangga dan teman baik menjadi aktifitas yang rutin dilakukan ketika lebaran. Pada tulisan terdahulu, telah dijelaskan bahwa aktifitas ini dibolehkan dalam syari’at bahkan merupakan perbuatan yang memiliki landasan dalil.

Dengan aktifitas ini, anggota keluarga dan kerabat pun saling bertemu atau bahkan berkumpul di satu tempat. Para tetangga pun saling berjumpa satu sama lain, juga dengan teman-teman yang dikenal. Berangkat dari semua ini, momen lebaran tentunya menjadi kesempatan tersendiri bagi seorang muslim untuk mempraktekan akhlak karimah, tentunya tanpa harus melanggar aturan syari’at.

Terlebih lagi bagi para penuntut ilmu agama dan orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, momen ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa anda berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bukan hanya dalam aqidah dan ibadah namun juga dalam akhlak, dan akhlak mulia adalah hasil dari pelajaran tauhid yang anda terapkan.

Diantara akhlak mulia yang dapat dipraktekkan antara lain:

Memperbanyak senyum

Wajah yang penuh senyuman adalah akhlak Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu berkisah:

مَا حَجَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلاَ رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي

Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menghindari aku jika aku ingin bertemu dengannya, dan tidak pernah aku melihat beliau kecuali beliau tersenyum padaku” (HR. Bukhari, no.6089).

Beliau juga memerintahkan hal tersebut kepada ummatnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi 1956, ia berkata: “Hasan gharib”. Di-shahih-kan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib)

Bermuka cerah dan ramah

Tidak sepatutnya seorang muslim bermuka masam kepada saudaranya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, walaupun itu berupa cerahnya wajahmu terhadap saudaramu” (HR. Muslim, no. 2626)

Berkata-kata yang baik dan sopan

Allah memerintahkan hamba-Nya berkata yang baik. Allah Ta’ala berfirman:

>وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

… dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (QS. Al Baqarah: 83)

Para da’i serta penuntut ilmu agama lebih ditekankan lagi untuk mampu berkata baik dan sopan. Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih” (QS. Fushilat: 33)

Jika tidak mampu berkata baik, maka diam itu lebih baik. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari 6018, Muslim 47)

Banyak memberi bantuan

Ketika berinteraksi dengan para kerabat, bersemangatlah memberikan bantuan-bantuan walaupun kecil, seperti menuangkan minuman pada orang-orang yang lebih tua, membukakan pintu, memarkirkan kendaraan, membawakan barang para tetamu, dll. Demikianlah akhlak seorang muslim. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ، وَإِنَّ مِنَ المَعْرُوفِ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ، وَأَنْ تُفْرِغَ مِنْ دَلْوِكَ فِي إِنَاءِ أَخِيكَ

Setiap perbuatan baik adalah sedekah. Dan diantara bentuk perbuatan baik itu adalah bermuka cerah kepada saudaramu, serta menuangkan air ke bejana saudaramu” (HR. Tirmidzi 1970, ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ، كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ، يَعْدِلُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا، أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ

Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya dari mulai matahari terbit. Mendamaikan dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah…” (HR. Bukhari 2989, Muslim 1009)

Bantuan-bantuan yang anda berikan kepada kerabat atau saudara anda itu akan menjadi sebab datangnya bantuan Allah untuk anda kelak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Pertolongan Allah itu senantiasa diberikan kepada seorang hamba selama hamba tersebut memberikan pertolongan kepada saudaranya” (HR. Muslim, no. 2699)

Banyak bersedekah

Keluarga dan kerabat adalah orang yang lebih utama daripada yang lain untuk mendapatkan sedekah anda. Terutama bila diantara kerabat anda ada yang tergolong kurang mampu. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat … “ (QS. An Nahl: 90)

Orang yang bersedekah akan dilipat-gandakan pahalanya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid: 18)

Sedekah juga bisa menghapus dosa-dosa anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والصدقة تطفىء الخطيئة كما تطفىء الماء النار

Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi, di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614)

Bersalaman

Ketika bertemu dengan kerabat, sambutlah ia dengan jabatan erat tangan anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَاَ

Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani)

Namun perlu menjadi catatan, anda tidak diperkenankan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram anda, walaupun ia termasuk kerabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Andai kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)

Anda bisa memberikan anggukan, senyuman atau isyarat lain yang bisa menggantikan fungsi jabat tangan menurut adat di tempat anda.

Tawadhu’ dan tidak pamer kekayaan

Ketika berkumpul di tengah banyak orang, seringkali hati kita mengajak untuk pamer harta dan kelebihan yang ia miliki. Ini adalah sifat yang tercela. Allah Ta’ala berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS. At Takatsur 1-3)

Sebaliknya, seorang muslim itu hendaknya bersikap tawadhu’ (rendah hati). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu kecuali Allah akan tinggikan ia” (HR. Muslim, no.2588)

Sifat suka pamer, sombong dan tidak tawadhu itu akan menumbuhkan kedengkian, persaingan dan bahkan kezhaliman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain” (HR. Muslim no. 2865)” (HR. Muslim no. 2865)

Memperbanyak salam

Menebar salam lebih baik dari sapaan-sapaan gaul atau pun greets ala barat. Karena saling mengucapkan salam akan menumbuhkan kecintaan terhadap hati sesama muslim serta dengan sendirinya membuat suasana Islami di tengah kerabat dan keluarga anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا. ولا تؤمنوا حتى تحابوا أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا السلام بينكم

Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR. Muslim, no.54)

Sesekali bercanda untuk mencairkan suasana

Bercanda untuk mencairkan suasana agar timbul kedekatan dan terikatnya silaturahim adalah hal yang dianjurkan. Selama bercanda ini tidak dijadikan kebiasaan atau terlalu sering dilakukan. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun terkadang bercanda. Sahabat Anas ibnu Malik berkisah,

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم يستحمله فقال أنا حاملك على ولد ناقة قال يا رسول الله وما أصنع بولد ناقة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم وهل تلد الإبل إلا النوق

Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta beliau memboncengnya, lalu Nabi berkata, ‘Saya akan menaikkanmu di atas anak unta betina!’ (padahal yang dimaksud adalah unta dewasa). Orang itu berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apa yang dapat saya lakukan terhadap anak unta betina?’ Rasulullah menjawab,’Bukankah setiap unta yang dilahirkan itu disebut anak unta?’ (HR. Abu Daud no.4998, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:

قالوا : يا رسول الله إنك تداعبنا قال إني لا أقول إلا حقا

Para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh engkau terkadang mencandai kami’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Sungguh aku tidak akan berkata kecuali kebenaran” (HR. Tirmidzi, no.1990, ia berkata: “Hasan shahih”)

Dari Bakr bin Abdillah, ia berkata,

انَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَادَحُونَ بِالْبِطِّيخِ، فَإِذَا كَانَتِ الْحَقَائِقُ كَانُوا هُمُ الرِّجَالَ

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah saling melempar kulit semangka, padahal mereka adalah sebenarnya mereka adalah orang-orang terhormat” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 226, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)

Mendahulukan orang lain dalam perkara non-ibadah

Kita diperintahkan untuk berlomba-lomba untuk dalam perkara ibadah dan kebaikan akhirat, namun dalam perkara duniawi, keuntungan dunia, kesenangan dunia, yang lebih utama adalah mendahulukan orang lain dan membiarkan orang lain menikmatinya lebih dahulu daripada kita. Allah Ta’ala memuji kaum Anshar:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr: 9)

Jika anda menyukai untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, dan anda juga senang bila saudara anda semuslim bisa mendapatkannya, itulah salah satu tanda keimanan anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

Tidak beriman seseorang hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya” (HR. Bukhari no.13, Muslim no.45)

Memuliakan tamu

Ketika anda dikunjungi kerabat, anda sebagai tuan rumah hendaknya memuliakan mereka yang berstatus sebagai tamu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari 6018, Muslim 47)

Menjaga pandangan

Terkadang ada sebagian kerabat atau keluarga kita yang tidak menutup auratnya dengan baik atau membawa hal-hal yang tidak sepatutnya dilihat. Allah Ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menjaga pandangan mereka dari yang haram:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“. (QS. An Nuur: 30)

Kepada kaum wanita yang beriman, selain diperintahkan juga untuk menjaga pandangan juga diperintahkan untuk memakai busana muslimah yang syar’i agar kaum lelaki bisa menjaga pandangan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An Nuur: 31)

Saling menasehati dalam kebaikan

Ketika bertemu dengan keluarga dan kerabat, itu adalah kesempatan emas untuk mendakwahkan mereka kepada agama yang benar sesuai dengan Al Qur’an, sunnah serta pemahaman para salaf. Jangan buang kesempatan ini, walaupun itu sekedar memberikan majalah, memberikan info channel radio sunnah, website sunnah, menghadiahkan jilbab yang lebar, mengajak shalat, mengajak berzakat atau semacamnya. Karena Islam adalah agama nasehat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim, 55)

Ilmu yang anda sampaikan sekecil apapun akan menjadi amal jariyah anda yang terus mengalir kelak jika orang yang dakwahkan senantiasa mengamalkan dan mendakwakannya lagi kepada orang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

Jika seorang manusia mati, terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no.1631)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من دل على خير كان له مثل أجر فاعله

Barangsiapa menunjukkan kepada suatu kebaikan, ia akan mendapatkan pahala orang yang melakukannya” (HR. Muslim no.1893)

Demikianlah beberapa akhlak mulia yang bisa anda praktekan ketika momen lebaran. Semoga Allah menolong kita untuk dapat menerapkan akhlak mulia ini sehingga menjadi hamba-Nya yang sempurna imannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq-nya” (HR. Tirmidzi no.1162, ia berkata: “Hasan shahih”)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/6791-momen-lebaran-kesempatan-mempraktekan-akhlak-karimah.html

Fatwa Ulama: Memberikan Hadiah Uang Kepada Anak-anak Ketika Lebaran

Beberapa daerah di Indonesia memiliki kebiasaan memberikan uang (jumlahnya tidak terlalu besar) kepada anak-anak agar mereka senang. Karenanya menjelang lebaran masyarakat juga mulai sibuk menukar uang kecil/receh untuk diberikan kepada anak-anak menjelang lebaran. Hal ini adalah kebiasaan yang baik dan bukalah hal yang terlarang dalam agama

Berikut fatwa terkait hal ini,

السؤال : عندنا أطفال صغار ، وتعودنا في بلادنا أن نعطيهم حسب يوم العيد سواء الفطر أو الأضحى ما يسمى بـ (العيدية) وهي نقود بسيطة ، من أجل إدخال الفرح في قلوبهم ، فهل هذه العيدية بدعة أم ليس فيها شيء ؟

Soal:

Kami memiliki anak-anak kecil dan kami terbiasa di negeri kami, memberi mereka ‘iediyyah’ pada hari raya iedul Fitri atau Iedul Adha, yaitu sejumlah uang-uang kecil (salam tempel), dalam rangka memasukkan kebahagiaan di hati mereka. Apakah ‘iediyyah ini bid’ah atau tidak mengapa dilakukan?

الجواب :
الحمد لله
“لا حرج في ذلك ، بل هو من محاسن العادات ، وإدخال السرور على المسلم ، كبيراً كان أو صغيراً ، وأمر رغب فيه الشرع المطهروبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم” انتهى
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز … الشيخ عبد العزيز آل الشيخ … الشيخ صالح الفوزان … الشيخ بكر أبو زيد .
“فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء” (26/247) .

Jawab:

Alhamdulillah, tidak mengapa hal tersebut, bahkan termasuk adat kebiasaan yang bagus, Menanamkan kebahagiaan kepada kaum muslimin, baik kepada orang dewasa ataupun anak-anak adalah perkara yang dicintai syariat yang suci ini.

Wabillahi at taufiq washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.

Tertanda:

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Wakil Ketua : Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Anggota : Shalih Al-Fauzan, Bakar Abu Zaid.

***

Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (26/247), dinukil dari https://islamqa.info/ar/125810

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/28328-fatwa-ulama-memberikan-hadiah-uang-kepada-anak-anak-ketika-lebaran.html

Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun, sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/17782-tata-cara-puasa-syawal.html

Puasa Syawal, Tanda Kesempurnaan Puasa Ramadhan

Ibadah puasa memang sudah selesai, tapi bukan berarti ibadah juga selesai, karena ibadah itu sampai maut menjemput.

Oleh karenanya, jangan lupa, untuk kesempurnaan puasa Ramadhan kita, semangatlah untuk puasa Sunnah 6 hari Syawal, sebagaimana dalam hadits Abu Ayyub al-Anshori,

عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه و سلّم- قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya 1164).

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya puasa enam hari pada bulan Syawal, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.

Faedah puasa Syawal

Ingatlah saudaraku, membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:

  1. Puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa Syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa Syawal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangsung selagi hamba masih hidup.

Tidak harus berurutan

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa puasa Sunnah enam hari Syawal itu tidak harus berturut-turut setelah Idul Fithri, kapan itu selagi masih di bulan Syawal maka boleh.

Ash-Shon’ani berkata: “Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukannya usai hari raya.

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah Syawal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

Namun, jika engkau wahai saudaraku masih punya tanggungan puasa Ramadhan, maka lunasilah terlebih dahulu sebelum puasa Sunnah Syawal. Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa Ramadhan”.

Sebarkanlah ilmu ini kepada yang lainnya, siapa tahu ada yang bersemangat melaksanakannya karena sebab dirimu sehingga engkau pun meraih pahala dengan sebab tersebut.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/28337-puasa-syawal-tanda-kesempurnaan-puasa-ramadhan.html