Target Pasca Ramadhan

Munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan pasca Ramadhan

Ramadhan telah berlalu. Beragam kebaikan telah terlaksana di dalamnya. Hanya saja, kita tidak bisa memastikan diterima tidaknya amalan itu. Karena itu, munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan.

Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Jadikanlah terkabulnya amalan lebih kalian prioritaskan dari beramal itu sendiri.” (Al-Ikhlas Wanniyah, Ibnu Abi Dunya, Atsar No 7).

Berdoa agar amalan dikabulkan adalah sunah para anbiya. Dalam Alquran dikisahkan tentang Nabi Ibrahim Alaihissalam. Pasca-menyelesaikan pembangunan Ka’bah bersama putranya, Ismail, ia segera berdoa, “Rabbanan taqabbal minna innaka antassamiul alim (wahai Tuhan kami, kabulkanlah dari kami amalan kami, sesungguhnya engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).” (Al-Baqarah: 127).

Doa pada ayat di atas sangat besar manfaatnya. Selain menjadi sebab terkabulnya amalan, doa ini juga bisa mengikis benih-benih ujub yang kerap muncul disebabkan prestasi kebaikan yang kita lakukan. Ujub karena torehan kebaikan adalah sumber keburukan. Jika ini terjadi, tentu sangat fatal dan berbahaya. Bukankah iblis dijangkiti oleh keangkuhan hingga meremehkan Adam dan enggan bersujud kepadanya hanya karena merasa lebih hebat dan senior dalam kebaikan.

Selain berdoa (agar amalan terkabul) kita juga diperintahkan memperbanyak istighfar setelah menuntaskan kebaikan. Istighfar tidak saja berkaitan dengan dosa dan keburukan. Setelah melakukan kebaikan, kita juga diperintahkan istighfar.

Dalam shahih Muslim, Tsauban Radhiallahuanhu berkata, “Nabi Shallallahualaihi wasallam setelah shalat mengucapkan istighfar tiga kali.”

Hikmah dari istighfar ini adalah untuk menutupi kekurangan dalam amalan yang kita lakukan. Saat shalat, misalnya, secara lahiriah kita memang sedang melakukan kebaikan. Tapi, kekhusyukan yang merupakan ruh shalat terkadang tidak hadir secara maksimal.

Inilah bentuk kekurangan yang membutuhkan istighfar. Demikian pula dalam puasa dan ibadah yang lain, tidak luput dari kekurangan. Diterimanya amalan adalah target lanjutan setelah menuntaskan kebaikan. Target ini mesti dicapai. Sebab, hanya amalan yang dikabulkan yang akan menambah perolehan pahala.

Selain menambah pahala, amalan yang dikabulkan akan melahirkan efek positif dalam keseharian. Efek paling mencolok tentunya adalah akitivitas kebaikan yang terus berlanjut. Baik amalan berkaitan ibadah mahdhah, seperti puasa, membaca Alquran, shalat malam, atau ibadah ghaira mahdhah semisal sedekah, membantu sesama, dan lainnya.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum berlalu, tingkat kebutuhan kita akan eksisnya nilai kebaikan warisan Ramadhan sangat-sangat tinggi. Karena eksisnya kebaikan adalah sumber solusi dan sebab turunnya pertolongan Allah.

Ramadhan boleh berakhir, tapi kebaikan pantang berhenti. Bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya adalah momen pembuktian berhasil tidaknya kita di bulan Ramadhan. Karena itu, mari kuatkan azam kita untuk mempertahan kan kebaikan pasca-Ramadhan.

Semoga Allah menganugrahi kita keistiqamahan. Amin ya Rabbal Alamin.

Oleh Ahmad Rifai

KHAZANAH REPUBLIKA

Istiqamah Setelah Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )1.

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.

Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”6.

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh7.

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah8.

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit9.

Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H

 —

1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.

2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).

3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).

4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).

5 Ibid.

6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).

7 HSR Muslim (no. 1164).

8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).

9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

10 HSR Muslim (no. 746).

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10042-istiqamah-setelah-ramadhan.html

Jalan Perjuangan Masih Tersisa

Masihkah ingat beberapa hari yang lalu? Ketika setelah buka puasa terakhir di penghujung bulan Ramadhan, gema takbir pun mulai terdengar. Dari segala penjuru orang mengumandangkan “Allahu Akbar”. Hari kemenangan, itulah ungkapan orang  akan hari lebaran.  Kemenangan dari perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan, berhasil menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Esoknya, setelah menunaikan sholat Iedul Fitri beramai-ramai di lapangan, kita pun bersalam-salaman, sambil mengucapkan “minal aidin wal faizin” walaupun banyak yang salah mengartikannya. Mereka menganggap bahasa arab itu artinya “mohon ma’af lahir dan batin”. Ungkapan itu sebenarnya adalah ucapan selamat pada orang lain, bukan ucapan permintaan maaf. Arti “minal aidin wal faizin” yang sebenarnya adalah, semoga anda termasuk para pemenang dan dapat merayakan hari lebaran”.

Hari kebahagiaan telah tiba, yaitu hari raya iedul fitri. Memang pantas itu disebutkan hari kebahagiaan bagi orang yang berpuasa. Karena, itulah janji Rasulullah bagi mereka, beliau bersabda: “Bagi orang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan, gembira ketika mereka berbuka puasa, dan gembira saat mereka bertemu dengan Allah Ta’ala kelak” (HR. Bukhari). Ketika berbuka puasa kita diperintahkan makan dan minum, tidak boleh terus melanjutkan puasa sampai subuh. Begitu juga pada hari Iedul fitri diwajibkan makan minum, maksudnya adalah diharamkan berpuasa di hari bahagia tersebut.

Akan tetapi, perjalanan dan perjuangan hidup kita masih berlanjut. Kemenangan yang kedua, yaitu saat berjumpa dengan Allah Ta’ala masih suatu rahasia. Kita belum tahu apa yang akan dialami semasa hidup kita sebelum ajal menjemput nyawa. Kemenangan di hari hari akhir puasa ini bukanlah final. Ini hanyalah ibarat ujian harian atau ujian semesteran. Masih ada ujian besar yang menanti di depan, hari yang membuktikan menang atau kalah. Yaitu, hari kematian.

Ibadah kita belum selesai dengan berakhirnya Ramadhan. Karena,  Ramadhan hanyalah waktu, ia akan datang dan pergi menghampiri kita. Kitalah orang yang berperan di dalamnya. Bukan Ramadahan yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala, akan tetapi, kitalah yang dimintai perhitungan dari seluruh amalan kita.

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulnya:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Maknanya: “Beribadahlah kepada Allah sampai datang ajal yang pasti akan datang menjemputmu” (QS. Al Hijr: 99)

Masih banyak kewajiban yang harus ditunaikan selama hidup ini. Dan banyak pantangan yang harus dihindari agar pahala yang telah kita simpan sebagai bekal tidak hancur dimusnahkan dosa.

Sungguh amat rugi lah orang yang membawa pahalanya di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, akan tetapi semua pahala itu hancur menjadi debu yang diterbangkan angin.  Merekalah yang mencampuri ibadahnya dengan perbuatan kesyirikan, menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadahnya.

Juga, amat rugilah, orang yang memikul pahala shalat, puasa, sedekah dan lain-lain, namun dihadapan Allah Ta’ala pahala tersebut malah dihadiahkan kepada orang lain sampai habis. Merekalah orang yang suka menzolimi orang lain selama di dunia, menyakiti orang lain dengan ucapannya, sikap dan perbuatannya.

Jadi, apa guna kemenangan puasa saat itu, jika “piala” kemenangan itu tidak sanggup kita jaga keawetannya sampai hari kematian menjelang. Inilah tugas kita yang masih tersisa, yaitu tugas menjaga amalan tetap berharga di hadapan Allah Ta’ala kelak di hari Kiamat. Agar kita dapat memperoleh surga dan dihindarkan dari neraka.

Itulah kemenangan hakiki, yang disebutkan Allah Ta’ala,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Maknanya: “Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 185)

Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)

Read more https://pengusahamuslim.com/4087-jalan-perjuangan-masih-tersisa.html

Tetap Rajin Ibadah Meskipun di Luar Ramadhan

Di antara yang perlu kita koreksi dalam diri kita sendiri adalah betapa rajinnya kita di bulan Ramadhan ini untuk melaksanakan berbagai macam amal ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, di luar bulan Ramadhan, semua itu sirna, hampir tanpa bekas. Tidak perlu menunggu sampai akhir bulan Syawal, shalat jamaah subuh tanggal 1 Syawal pun masjid kembali sepi seperti semula.

 

Kita yang rajin shalat malam di bulan Ramadhan, setelah Ramadhan berlalu, kita pun meninggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan agar kita tetap menjaga kontinuitas shalat malam.

Dari sahabat ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai ‘Abdullah, janganlah Engkau seperti fulan. Dulu dia rajin mendirikan shalat malam, lalu sekarang dia meninggalkan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)

Demikian pula dengan ibadah puasa. Di bulan Ramadhan, kita berpuasa sebulan penuh, kecuali sebagian kaum muslimin yang memang memiliki ‘udzur syar’i sehingga boleh tidak berpuasa. Sebagaimana kita rajin berpuasa di bulan Ramadhan, hendaknya kita juga tetap melaksanakan ibadah puasa sunnah di luar bulan Ramadhan. Banyak sekali ibadah puasa sunnah yang bisa kita kerjakan, baik itu puasa Syawal, puasa Senin dan Kamis, dan seterusnya.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan bagaimana beliau tetap rajin berpuasa sunnah setelah Ramadhan berlalu. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ؛ وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ العَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا ؛ وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa yang lebih banyak dalam sebulan melebihi puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau melaksanakan puasa bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau bersabda, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan bosan (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu bosan (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan bila beliau sudah terbiasa melaksanakan shalat (sunnah), beliau menjaga kesinambungannya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 741)

Inilah model ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, beliau kontinyu dalam beribadah. Beliau tidak mengkhususkan satu hari atau satu bulan tertentu untuk fokus beribadah, lalu beliau tinggalkan ibadah-ibadah tersebut di luar hari dan bulan khusus tersebut. Model ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak demikian.

Dari ‘Alqamah, beliau berkata,

قُلْتُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْتَصُّ مِنَ الأَيَّامِ شَيْئًا؟ قَالَتْ: ” لاَ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وَأَيُّكُمْ يُطِيقُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيقُ

“Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu dalam beramal?” Dia menjawab, “Tidak. Beliau selalu beramal terus-menerus tanpa putus. Siapakah dari kalian yang akan mampu sebagaimana yang mampu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 741)

 

Amal yang kontinyu, inilah model beramal yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ العَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Amalan yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang dikerjakan secara terus menerus oleh pelakunya.” (HR. Bukhari no. 6462 dan Muslim no. 741)

Dan meskipun secara kauntitas itu sedikit, namun jika dikerjakan secara kontinyu, amal tersebut menjadi amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang terus-menerus dikerjakan (kontinyu) walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783)

 

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pengingat bagi diri penulis sendiri, dan siapa saja yang membaca tulisan ini.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47065-tetap-rajin-ibadah-meskipun-di-luar-ramadhan.html

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (5)

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(8) Semakin Mendalami Ilmu Agama

Boleh dibilang ini adalah indikasi terbesar bagi seorang hamba yang telah meraih sukses di bulan Ramadhan. Karena buah dari sukses Ramadhan adalah dilimpahkannya berbagai kebaikan kepada hamba. Dan Allah jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya yang terpilih, Dia terlebih dahulu akan mempersiapkan hamba-Nya tersebut untuk memahami ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam:

“Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, Maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Shahih Bukhari: 71 dan Shahih Muslim: 1037]

Mafhum mukholafah dari hadits ini adalah; bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya (berarti) tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah [al-Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 49]. Dan yang demikian ini mustahil bagi mereka yang benar-benar sukses di bulan Ramadhan di mata Allah. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan pasti akan mendapat limpahan kebaikan dari Allah, dan indikasinya akan terlihat jelas setelah Ramadhan, dari usahanya yang lebih serius dalam menuntut dan memahami ilmu agama.

 

Imam Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Taala.” [Syarh Shahih Muslim: VII/128]

Jika kita renungkan ucapan Imam Nawawi: “ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Taala”, maka akan nampak jelas korelasi antara mendalami ilmu agama dengan tujuan utama puasa Ramadhan yang disebutkan dalam ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Logikanya; jika Anda sukses menjalani Ramadhan, maka Anda pasti akan menjadi orang yang bertakwa, sementara ilmu adalah kendaraan yang akan mengantarkan Anda kepada takwa (sebagaimana ucapan Imam Nawawi di atas). Sehingga bisa ditarik garis kesimpulan bahwa: orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan akan dipersiapkan oleh Allah untuk mendalami ilmu agama, demi meraih apa yang telah Ia janjikan sebagai buah dari berpuasa yaitu takwa.

Setelah meraih mahkota takwa, maka bersiap-siaplah seorang hamba mendulang kemuliaan demi kemuliaan, kebaikan demi kebaikan yang melimpah dan beragam jenisnya.

[Al-Hujjah dari berbagai sumber bacaan/ Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (4)

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(6) Loyalitas (Wala) Sesama Muslim Semakin Kokoh

Ramadhan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Renungkanlah bagaimana Allah menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang menyediakan ifthar (buka puasa) bagi saudaranya:

“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” [Ahmad: IV/114-116, shahih menurut at-Tirmidzi: 804]

Ramadhan benar-benar menjadi momentum bagi kita untuk merekonstruksi makna al-Wala yang sempat runtuh dan terkubur. Dengan demikian, rasa cinta dan persaudaraan Islam pun akan bersemi. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan, senantiasa menjaga bangunan al-Wala tetap kokoh menjulang, baik di luar Ramadhan sekalipun.

(7) Doa yang Terkabul

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, punya satu kesempatan doa yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka.” [Hadits Shahih, Ibnu Majah: I/557]

Jika doa yang Anda panjatkan saat Ramadhan menjadi kenyataan, maka ucapkanlah kalimat syukur, kemudian Anda boleh berharap dengan yakin, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

 

INILAH MOZAIK

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (3)

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(3) Semakin Jauh dari Maksiat

Ini karena puasa adalah tameng yang membentengi hamba dari perbuatan maksiat. Sebagaimana hadits Rasulullah:

“Wahai sekalian anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih tangguh memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa bisa menjadi perisai baginya (dari kemaksiatan).” [Shahih Bukhari: IV/106 dan Shahih Muslim: 1400 dari sahabat Ibnu Masud]

Maka jika keadaan Anda lebih jauh dari maksiat jika dibandingkan dengan kondisi Anda sebelum Ramadhan, maka ber-husnuzzon-lah kepada Allah, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

(4) Cinta pada al-Qur-an

Orang-orang yang sukses di bulan Ramadhan akan bertambah rajin membaca al-Qur-an di luar Ramadhan jika dibandingkan dengan waktu sebelum Ramadhan. Karena bulan ini adalah “Bulannya al-Qur-an”, tiada hari tanpa membaca al-Qur-an. Sehingga kebiasaan mulia ber-wirid dengan tilawah al-Qur-an tentunya akan tetap berlanjut setelah Ramadhan.

(5) Menjadi Dermawan

Hikmah puasa memberikan kita kesempatan untuk merasakan penderitaan kaum dhuafa dan fakir miskin. Dari sini diharapkan tumbuh kesadaran sosial yang tinggi dengan menyantuni mereka, menyayangi serta meringankan beban mereka. Kewajiban zakat fithrah di akhir Ramadhan juga mengajarkan hal ini. Selepas Ramadhan, orang-orang yang sukses akan lebih dermawan.

 

INILAH MOZAIK

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (2)

Baca sebelumnya, Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (1)

 

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(2) Semakin Ringan dan Nikmat Dalam Melakukan Amal Ketaatan

Puasa Ramadhan juga menempa seseorang untuk meningkatkan kadar keikhlasan ibadahnya. Karena di dalam puasa, hamba tidak dituntut sekedar menahan makan, minum dan syahwat semata, tapi juga lisan dan hatinya dari ketidaksabaran atau dari amal yang tidak bermanfaat.

“Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah melakukan rafats (seperti berbicara porno atau keji) dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada orang yang hendak mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia (bersabar dan) berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa” [Shahih Bukhari:IV/88]

Dan ini sudah barang tentu membutuhkan tingkat keikhlasan yang lebih. Karena dengan keikhlasan seadanya, sangat sulit untuk mampu menghindar dari larangan-larangan semisal dalam hadits di atas.

Ketika semakin tinggi keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula keridhaannya terhadap Allah. Semakin besar keridhaan hamba kepada Allah, semakin ringan baginya dalam melaksanakan ketaatan pada-Nya. Jika Anda merasakan hal tersebut di luar Ramadhan, maka berbahagialah. Anda yang tadinya merasa terbelenggu ketika hendak melangkah untuk beramal, Anda yang kemarin selalu tidur berselimut futur (malas, jenuh dalam beramal), tiba-tiba menjadi orang yang bangkit beramal shalih setelah Ramadhan, maka tersenyumlah dan ucapkan Tahmid (Alhamdulillah), karena Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

Setelah merasa ringan dalam melakukan amal ketaatan (terutama ibadah yang wajib), dan Anda telah istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, maka pada tahap berikutnya Anda akan merasakan kenikmatan dalam beribadah. Jiwa dan raga Anda merasa butuh untuk beribadah. Hati akan terasa hampa dan merugi ketika luput dari satu bentuk ibadah, sekalipun tanpa disengaja.

 

INILAH MOZAIK

Ramadhan yang Membekas

BULAN Ramadhan, umat Islam berlomba-lomba melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih. Karena memang, berbagai kelebihan dan keutamaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan telah memberikan motivasi dan semangat bagi kita untuk meraihnya. Maka, tidak mengherankan bila pada bulan Ramadhan masjid atau mushalla penuh dengan jamaah shalat lima waktu dan tarawih. Begitu pula tadarus al-Quran bergema di mana-mana. Orang-orang berlomba-lomba berbuat amal shalih dengan berinfak, bersedekah, dan sebagainya.

Kini Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita. Lantas, bagaimana status ibadah dan amal shalih kita pasca Ramadhan? Apakah kita tetap istiqamah dalam melakukan ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan selama Ramadhan? Sejauh mana Ramadhan kali ini memberi kesan dan pengaruh terhadap perilaku kita? Beberapa pertanyaan ini patut mendapat perhatian bagi setiap muslim, dalam rangka muhasabah. Selain itu, agar semangat Ramadhan terus hidup di jiwa kita dan membekas dalam perilaku kita sehari-hari pasca Ramadhan.

Sejatinya pasca Ramadhan kita diharapkan istiqamah, mampu dan terbiasa dengan melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal shalih untuk hari-hari pasca Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya, baik berupa amalan wajib maupun sunnat. Karena Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Ramadhan telah mendidik dan mentraining kita secara fulltime 30 hari berturut-turut untuk melakukan ibadah puasa dan lainnya. Tujuannya yaitu untuk menjadi insan yang bertaqwa sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala jelaskan dalam al-Quran (al-Baqarah: 183). Inilah keutamaan Ramadhan yang disediakan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai sarana untuk menjadi orang yang bertakwa.

Jika Ramadhan yang telah berlalu ini dapat memberikan bekas dan pengaruh kepada kita dalam kehidupan kita  sehari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan ditandai semakin baik perilaku, amal shalih dan ibadah kita, maka sukseslah kita dalam training dan ujian untuk memperoleh gelar taqwa tersebut dan beruntunglah kita. Namun sebaliknya, jika Ramadhan tidak membekas dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, maka gagallah kita dalam training dan ujian tersebut dan merugilah kita. Maka, kesuksesan Ramadhan kita sangatlah tergantung dengan kuantitas dan kualitas ibadah kita pada bulan-bulan berikutnya setelah Ramadhan.

 

Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran yang banyak terhadap kepribadian seorang muslim dalam rangka melahirkan insan yang bertakwa dan berkarakter islami. Banyak pembelajaran yang dapat kita peroleh dari bulan Ramadhan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari pasca Ramadhan. Di antaranya adalah:

Pertama, semangat beribadah dan beramal shalih. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat beribadah dan berlomba-lomba dalam  kebaikan. Maka, pasca Ramadhan ini sejatinya kita mempertahankan kualitas dan kuantistas ibadah dan amal shalih itu. Karena ibadah dan amal shalih itu tidak hanya disyariatkan untuk bulan Ramadhan saja, tapi sesungguhnya diperintahkan sepanjang masa selama kita hidup di dunia yang fana ini. Inilah tugas utama kita di dunia sebagai makhluk Allah sesuai dengan firman-Nya:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ (٥٦)

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS: Az-Zariyat: 56).

Bahkan kita diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala untuk berlomba dalam kebaikan setiap saat, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Allah berfirman, Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan..” (Al-Baqarah: 148)

Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita bagaimana mengendalikan diri dari hawa nafsu  dan maksiat lewat ibadah puasa. Pada waktu berpuasa kita dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Jika hal-hal yang mubah seperti makan, minum dan hubungan istri dilarang pada waktu berpuasa, maka terlebih lagi hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian kita dilatih untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Maka puasa itu dapat menjaga diri dari maksiat. Inilah salah satu maqashid syariah dari ibadah puasa sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya, “Puasa itu perisai (penahan diri dari maksiat)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat baik berupa perkataan seperti ghibah, mencaci maki, menipu, menfitnah dan sebagainya, maupun perbuatan seperti mencuri, korupsi, memukul, membunuh dan sebagainya. Pasca Ramadhan ini diharapkan kita menjadi orang  yang shalih. Hal ini tercermin dari perilaku kita yang semakin baik dari sebelumnya.

 

Ketiga, suka membantu orang lain. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk membantu saudara kita yang lemah ekonominya lewat infak, shadaqah dan zakat. Amal shalih tersebut sangat digalakkan pada bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan pertolongan kita dan terjepit ekonominya. Kebiasaan berinfak pada bulan Ramadhan perlu dipertahankan dan dilanjutkan pada bulan lainnya.

Mengenai keutamaannya, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَلِأَنفُسِڪُمۡ‌ۚ

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri…” (QS: Al-Baqarah: 272).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Setiap hari, dua malaikat turun kepada seorang hamba. Salah satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah pengganti kepada orang yang berinfak. Dan yang lain berdoa, “Ya Allah, hilangkan harta orang yang menolak infak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda, “Allah Swt menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Keempat, suka mengasihi dan mencintai saudara seiman. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk berempati dan peduli terhadap orang fakir dan miskin. Melalui puasa Ramadhan kita dapat merasakan kondisi orang-orang yang kelaparan dan bagaimana penderitaan hidup orang fakir dan miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Begitu pula Ramadhan mengajari kita untuk saling mencintai dan mengasihi sesama muslim dengan memberikan menggalakan kita untuk memberikan makanan untuk berbuka puasa dan makanan untuk bersahur . Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan untuk dapat selalu merasakan penderitaan saudara-saudara kita seiman, baik karena lemah ekonominya maupun konflik perang sehingga menimbulkan rasa empati dan kasih sayang terhadap mereka. Kita diharapkan untuk memiliki rasa solidaritas ukhuwwah dan kepedulian sosial serta mencintai saudara muslim. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Kelima, selalu menjaga shalat berjama’ah. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk selalu menjaga shalat jama’ah lewat shlat lima waktu, shalat tarawih dan qiyam lail di masjid dan mushalla. Pada saat shalat tarawih, masjid dan mushalla penuh dengan jama’ah selama bulan Ramadhan. Bahkan pada awal-awalnya terlihat membludak, walaupun pada akhir Ramadhan jama’ah semakin berkurang, namun tetap lebih ramai dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada hari-hari sebelum Ramadhan. Maka, diharapkan pasca Ramadhan kita terbiasa melakukan shalat berjama’ah di masjid atau mushalla. Sejatinya semangat shalat berjama’ah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu pada hari-hari setelah Ramadhan.

Baca: Etos Perjuangan di Bulan Ramadhan

Di antara keutamaan shalat jama’ah yaitu pertama, orang yang shalat berjamaah mendapatkan 27 kali lipat pahala dibandingkan shalat sendirian (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, setiap langkah orang yang shalat berjama’ah dicatat satu pahala sekaligus dihapus satu kesalahan (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, orang yang shalat berjama’ah akan tetap di doakan oleh para malaikat setelah shalatnya sampai shalat berikutnya selama ia masih ditempat shalatnya (HR. Bukhari dan Muslim). Keempat, makmum yang berbarengan ucapan aminnya dengan para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya. (HR. Bukhari).

Keenam, menjaga shalat sunnat. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk semangat melakukan ibadah sunnah. Pahala amalan sunnat pada bulan Ramadhan dihitung pahala wajib sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (HR. Baihaqi).

Itu sebabnya orang berlomba-lomba melakukan shalat-shalat sunnat di bulan Ramadhan. Maka, pasca Ramadhan kita diharapkan kita untuk tetap istiqamah dalam menjaga shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyatul masjid, Wudhu’, Tahajjud, Witir dan shalat sunat Fajar.

Adapun keutamaan shalat Rawatib yaitu dibangunkan rumah di Surga (HR. Muslim). Keutamaan shalat Dhuha yaitu pahalanya sama seperti bersedekah (HR. Muslim). Mengenai keutamaan shalat sunat setelah wudhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan sejak masuk Islam, karena aku benar-benar mendengar suara terompahmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang paling aku harapkan pahalanya kecuali setiap kali selesai berwudhu, baik di waktu siang maupun malam, aku melakukan shalat sunnah semampuku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun keutamaan shalat sunnat Fajar (sudah masuk waktu shubuh, namun sebelum shalat shubuh) adalah nilai pahalanya lebih baik dari dunia dan isinya, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Shalat dua rakaat di waktu fajar lebih baik daripada dunia beserta isinya.” (HR. Muslim)

 

Ketujuh, suka bertadarus al-Quran. Makna tadarus al-Quran adalah membaca, memahami, menghafal dan mempelajari Al-Quran. Ramadhan telah mendidik dan melatih kita untuk tadarus dengan al-Quran. Tadarus al-Quran termasuk amalan yang paling utama dan digalakkan di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, umat Islam dengan semangat dan antusias bertadarus al-Quran. Bahkan dalam bulan Ramadhan seorang muslim mampu mengkhatamkan Al-Quran beberapa kali.

Maka, sepeninggal Ramadhan kita diharapkan terbiasa dengan berinteraksi dengan al-Quran baik dengan  membaca, mengkhatamkan,  memahami, menghafal maupun mengkaji al-Quran. Karena al-Quran itu tidak hanya wajib dibaca pada bulan Ramadhan, namun juga wajib dibaca pada bulan-bulan berikutnya (selain Ramadhan).

Banyak sekali keutamaan orang yang membacanya, di antaranya yaitu; Pertama: mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat (HR. Muslim). Kedua, Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wassallam menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. (HR. Bukhari). Ketiga, orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim). Kelima, orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah Swt. (HR. Muslim). Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda yaitu setiap huruf dihitung satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakankan menjadi sepuluh ganda (HR. at-Tirmizi), dan sebagainya.

Demikianlah hendaknya kita mengisi hari-hari pasca Ramadhan yaitu dengan istiqamah melakukan berbagai ibadah dan amal shalih seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Ibadah dan amal shalih ini tidak hanya diperintahkan pada bulan Ramadhan, namun juga pada bulan-bulan lainnya. Kesuksesan Ramadhan seseorang itu ditandai dengan semakin baik ibadah dan perilakunya yaitu menjadi orang bertakwa. Semoga ibadah dan amal shalih kita di bulan Ramadhan diterima Allah Swt. Dan semoga kita termasuk kita termasuk orang-orang yang sukses dalam Ramadhan dan mendapat gelar taqwa. Amin!

 

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, anggota Rabithah Ulama & Duat Asia Tenggara

HIDAYATULLAH

Berakhirnya Ramadhan, Manusia Dibagi Jadi Tiga Kelompok

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Sebagai seorang Muslim, kita patut sedih dan berat hati berpisah dengan bulan Ramadhan. Kita berharap dan berdoa agar amal ibadah kita diterima, istiqamah dalam ibadah dan amal saleh, dan dipertemukan kembali dengan Ramadhan mendatang.

Berbagai keutamaan bulan Ramadhan telah memotivasi kita untuk meraihnya. Tidak mengherankan bila pada Ramadhan, masjid dan mushala penuh dengan jamaah shalat lima waktu, Tarawih, dan witir serta tadarus Alquran. Begitu pula, umat Islam berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan berinfak, bersedekah, dan lainnya.

Berakhirnya Ramadhan, menjadikan manusia terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, golongan yang tetap taat dalam kebenaran dan kebaikan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ghanimah rabbaniyah atau hadiah termahal dari Allah SWT untuk meraih takwa.

Kedua, golongan yang kembali kumat bakda Ramadhan. Inilah orang-orang yang dijajah oleh hawa nafsunya. Baginya, Ramadhan seperti obat nyamuk. Ketiga, golongan yang biasa-biasa saja, mau di bulan atau di luar Ramadhan, baginya sama saja, tak ada yang istimewa.

Golongan kedua dan ketiga, setali tiga uang. “Rugilah orang yang memasuki dan mengakhiri Ramadhan sementara dosanya tidak Allah ampuni.” (HR Tirmidzi). Ke mana pahala puasanya? Orang itu hanya kebagian haus dan lapar, hanya mendapat capai dan letih. Dan, inilah orang yang tekor, paling merugi tiada tara. (HR Nasa’i).

Golongan pertama ini, jika Ramadhan berlalu, berada di antara dua keadaan: antara khawatir dan harap. Khawatir jika umurnya tidak sampai ke Ramadhan berikutnya. Khawatir jika amalnya tidak bisa menebus dosa-dosanya. Dan, berharap semoga amal ibadah mereka diterima, dicatat sebagai amal saleh, dan keluar dari Ramadhan sebagai pemenang.

Sejatinya pasca-Ramadhan, kita tetap istiqamah dan mampu serta terbiasa melakukan aktivitas ibadah dan amal saleh untuk hari-hari berikutnya selama 11 bulan. Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran terhadap kepribadian seorang Muslim untuk melahirkan insan yang bertakwa.

Di antaranya, pertama, semangat beribadah dan beramal saleh secara kualitas maupun kuantitas. Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan lalu telah mengajarkan kepada kita bagaimana mengendalikan diri dan hawa nafsu lewat ibadah puasa.

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat, baik berupa perkataan yang haram, seperti ghibah, mencaci maki, menghina, menipu, memfitnah, maupun perbuatan yang haram, seperti mencuri, merampok, mencopet, korupsi, memukul, membunuh, dan sebagainya. Dengan begitu, pasca-Ramadhan perilaku kita menjadi lebih baik.

Ketiga, suka membantu dan mencintai saudara seiman. Keempat, selalu menjaga shalat berjamaah di masjid atau mushala. Sejatinya semangat shalat berjamaah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu setelah Ramadhan.

Kelima, menjaga shalat sunah. Keenam, suka membaca Alquran. Sepeninggal Ramadhan, kita diharapkan terbiasa membaca Alquran dan berinteraksi dengannya pada setiap saat.

Semoga nuansa Ramadhan senantiasa membekas dan memancar dalam hidup dan kehidupan kita pada bulan-bulan di luar Ramadhan sehingga tujuan ibadah Ramadhan menjadikan manusia sebagai insan takwa terus terpelihara dengan baik. Amin. n