Perbedaan antara Nifaq dan Riya’

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah perbedaan antara nifaq dan riya’? Dan manakah yang lebih berbahaya bagi seorang muslim sekaligus juru dakwah (da’i)?

Jawaban:

Antara nifaq dan riya’, keduanya sama-sama jelek. Akan tetapi, nifaq itu lebih jelek dan lebih parah. Hal ini karena nifaq adalah seseorang menampakkan kebaikan, padahal dia menyembunyikan keburukan, baik berkaitan dengan i’tiqad (keyakinan) ataupun berkaitan dengan amal perbuatan. Meskipun demikian, nifaq yang berkaitan dengan keyakinan nifaq i’tiqadi), bisa mengeluarkan seseorang dari Islam, wal ‘yaadhu billah. Sedangkan nifaq yang berkaitan dengan amal perbuatan (nifaq ‘amali) terkadang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam, dan terkadang tidak. [1]

Adapun riya’, seseorang beramal shalih karena Allah Ta’ala, akan tetapi dia ingin dilihat manusia. Dia memperbagus amalnya, atau melakukan suatu amal dengan kualitas yang lebih baik, namun tujuannya mengharapkan pujian manusia dengan amalnya tersebut. Dia menginginkan kebaikan, namun dia memperhatikan pujian manusia atas amalnya, lalu dia pun memperbagus amalnya karena hal itu. Dari sini jelaslah bahwa nifaq itu lebih buruk. 

Riya’ adalah salah satu ciri dari ciri-ciri orang munafik. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142) [2]

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53535-perbedaan-antara-nifaq-dan-riya.html

Keutamaan Waktu Ba’da Ashar Hari Jumat

Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ba’da ashar di hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Bagaimana maksud ba’da ashar tersebut? Berikut penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah. Beliau berkata,

فمن أراد أن يتحرى وقت الإجابة بعد العصر يوم الجمعة : فلذلك صور متعددة ، منها:

١. أن يبقى بعد صلاة العصر لا يخرج من المسجد يدعو ، ويتأكد ذلك منه في آخر ساعة من العصر ، وهذه أعلى المنازل

وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر لم يكلم أحداً حتى تغرب الشمس

٢. أن يذهب إلى المسجد قبل المغرب بزمن ، فيصلي تحية المسجد ، ويدعو إلى آخر ساعة من العصر ، وهذه أوسط المنازل

٣. أن يجلس في مجلس – في بيته أو غيره – يدعو ربه تعالى في آخر ساعة من العصر ، وهذه أدنى المنازل

“Bagi yang menginginkan mencari waktu mustajab setelah Ashar hari jumat, ada beberapa cara:

1. Tetap tinggal di masjid setelah shalat ashar, tidak keluar dari masjid dan berdoa. Ditekankan ketika akhir waktu ahsar (menjelang magrib), ini adalah kedudukan tertinggi.

Said bin Jubair jika shalat ashar tidaklah berbicara dengan sseorangpun samapi tenggelam matahari.

2. Ia berangkat ke masjid menjelang magrib kemudian shalat tahiyatul masjid, berdoa sampai akhir waktu ashar ini adalah kedudukan pertengahan

3. Ia duduk ditempatnya –rumah atau yang lain- berdoa kepada Rabb-nya sampai akhir waktu ashar. Ini adalah kedudukan terendah. [Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Perhatikan bagaimana semangat para salaf dahulu memanfaatkan berkahnya waktu ba’da ashar di hari Jumat.

Ibnul Qayyim berkata,

كان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغلا بالدعاء

“Dahulu Sa’id bin Jubair apabila telah shalat ashar, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib) karena sibuk dengan berdoa.” [Zadul Ma’ad 1/384]

كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس

“Dahulu Thawus bin Kaisan jika shalat ashar pada hari Jumat menghadap kiblat, ia tidak berbicara dengan seorang pun sampai tenggelam matahari (magrib).” [Tarikh Waasith]

CATATAN: Hal ini juga bisa dilakukan oleh wanita di rumahnya, setelah shalat ashar wanita berdoa dan berharap dimustajabkan. Demikian juga orang yang terhalangi untuk shalat ashar di masjid seperti dengan sakit atau ada udzur lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

ظاهر الأحاديث الإطلاق ، وأن من دعا في وقت الاستجابة : يُرجى له أن يجاب في آخر ساعة من يوم الجمعة ، يُرجى له أن يجاب ، ولكن إذا كان ينتظر الصلاة في المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب : فهذا أحرى ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي) – رواه البخاري – ، والمنتظر في حكم المصلي ، فيكون في محل الصلاة أرجى لإجابته ، فالذي ينتظر الصلاة في حكم المصلين ، وإذا كان مريضاً وفعل في بيته ذلك : فلا بأس ، أو المرأة في بيتها كذلك تجلس تنتظر صلاة المغرب في مصلاها ، أو المريض في مصلاه ويدعو في عصر الجمعة يرجى له الإجابة ، هذا هو المشروع ، إذا أراد الدعاء يقصد المسجد الذي يريد فيه صلاة المغرب مبكراً فيجلس ينتظر الصلاة ، ويدعو

“Dzahir hadits adalah mutlak yaitu barangsiapa yang berdoa di waktu musjatab pada akhir hari jumat (yaitu menjelang magrib, karena akhir hari dalam hijriyah adalah magrib). Diharapkan bisa dkabulkan, akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid tempat shalat magrib, ini lebih hati-hati karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ia menegakkan shalat’. Orang yang menunggu sebagaimana kedudukan orang yang shalat maka dalam keadaan shalat lebih diharapkan mustajab. Orang yang menunggu shalat sebagaimana orang shalat. Jika ia sakit bisa dilakukan di rumahnya , tidak mengapa. Atau wanita yang menunggu shalat magrib di mushallanya (tempat shalat di rumah), atau yang sakit di mushallanya berdoa di waktu ashar dan berharap mustajab. Jika ia ingin, menuju masjid tempat ia ingin shalat magrib lebih awal, duduk menunggu shalat dan berdoa.” [ Majmu’ Fatawa bin Baz 30/270]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42217-keutamaan-waktu-bada-ashar-hari-jumat.html

Adab Pada Hari Jumat Sesuai Sunnah Nabi

Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menggunakan Minyak Wangi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)

5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib

Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah

“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat

Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

8. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya.

(Disarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono)

***

Penulis: Abu Abdirrohman Bambang Wahono

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/184-adab-pada-hari-jumat-sesuai-sunnah-nabi.html

Hukum Mandi Jum’at (Bag. 2)

Sengaja Meninggalkan Mandi Jum’at Tanpa Udzur, Shalat Jum’atnya Tidak Sah?

Jika status mandi Jum’at itu wajib, lalu bagaimana seandainya seseorang meninggalkan mandi Jum’at secara sengaja tanpa ‘udzur, kemudian shalat Jum’at, apakah shalat Jum’atnya batal?

Jawabannya tidak batal, karena mandi Jum’at itu bukan karena sebab hadats, berbeda dengan mandi janabah, yang disebabkan karena hadats besar berupa junub. Oleh karena itu, jika seseorang mendatangi shalat Jum’at, padahal dia baru junub dan belum mandi, maka shalat Jum’atnya tidak sah. Dua hal ini harus bisa dibedakan.

Selain itu, harus dipahami bahwa mandi Jum’at ini adalah kewajiban di luar shalat. Berbeda halnya jika kewajiban itu ada di dalam shalat itu sendiri. Contoh, adzan adalah kewajiban, namun di luar shalat. Seandainya seseorang shalat tanpa adzan, maka tidak batal shalatnya. Meskipun dia sengaja meninggalkan adzan. Berbeda halnya jika kewajiban itu di dalam shalat, maka shalatnya batal, jika kewajiban itu ditinggalkan dengan senagaja, misalnya kewajiban tasyahhud awwal.

Lalu, jika seseorang berniat wudhu ketika mandi tersebut, apakah hal itu sudah mencukupi sehingga tidak perlu wudhu lagi?

Jawabannya tidak mencukupi, karena sekali lagi, mandi Jum’at itu bukan disebabkan karena hadats. Adapun wudhu disebabkan oleh hadats. Adapun jika seseorang itu mandi junub, maka hal itu sudah mencukupi, tidak perlu wudhu lagi. Adapun mandi Jum’at adalah mandi yang disebabkan karena memuliakan hari Jum’at, sehingga tidak bisa menggantikan wudhu. Sehingga setelah mandi Jum’at, seseorang harus berwudhu.

Mandi Jum’at untuk Wanita

Jika seorang wanita hendak mendatangi shalat Jum’at di masjid, dia pun terkena kewajiban mandi Jum’at. Hal ini berdasarkan cakupan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ جَاءَ مِنْكُمُ الجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at di antara kalian, maka mandilah.” (HR. Bukhari no. 894 dan Muslim no. 844)

Jika wanita shalat di rumahnya, maka tidak wajib mandi Jum’at. Hal ini karena jika dikerjakan di rumah, berarti yang dikerjakan adalah shalat dzuhur. 

Kapan Waktu Mandi Jum’at?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Berkaitan dengan sebagian orang yang tinggal di pelosok, mereka mendatangi shalat Jum’at dengan melakukan perjalanan sepanjang 50 kilometer, sehingga bisa mendatangi shalat Jum’at. Sebagian mereka, dengan menimbang jauhnya jarak, mereka tidak mandi. Sebagian lagi mandi di malam Jum’at. Apakah hal ini sah?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Mandi itu harus dilakukan pada hari Jum’at (maksudnya, setelah terbit matahari di hari Jum’at). Akan tetapi, jika seseorang mandi setelah terbit fajar di hari Jum’at, maka ada dua kemungkinan yang bisa kita katakan. Pertama, mandinya sah, karena “hari” itu mencakup sejak terbit fajar. Akan tetapi, yang lebih hati-hati adalah tidak mandi Jum’at kecuali setelah terbit matahari. Hal ini karena waktu di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari adalah waktu untuk shalat subuh. Sehingga yang lebih utama adalah mandi setelah terbit matahari.” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 1: 337) 

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

“Yang ebih afdhal adalah mandi untuk shalat Jum’at ketika hendak berangkat shalat Jum’at, karena ini lebih memungkinkan untuk tercapainya maksud dari mandi Jum’at. Lebih-lebih jika dikhawatirkan akan tertimpa sesuatu yang bisa menghilangkan kebersihan badan (setelah mandi).” (Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 237)

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum mandi Jum’at, semoga bisa diamalkan oleh kaum muslimin. [1]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Pembahasan ini sebagiannya kami sarikan dari kitab Syarh ‘Umdatul Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, jilid 1 halaman 330-337 (penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyyah, cetakan pertama tahun 1437 H). 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53516-hukum-mandi-jumat-bag-2.html

Hukum Mandi Jum’at (Bag. 1)

Sahabat muslim, kali ini kita akan membahas tentang hukum mandi Jumat sebelum menghadiri shalat Jumat

Niat Mandi Jumat

Bagi orang-orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at, sangat dianjurkan dan ditekankan untuk mandi terlebih dahulu. Baik dia memiliki bau badan yang perlu dihilangkan ataukah tidak. Wajib baginya untuk meniatkan mandi Jum’at, bukan sekedar niat bersih-bersih badan, atau untuk mencari kesegaran, sehingga dia pun mendapatkan pahala atas niatnya tersebut. Terdapat dalil-dalil yang menjelaskan pentingnya mandi Jum’at dan kedudukannya di dalam Islam, sebagaimana yang nanti akan kami sebutkan.

Mandi Spekan Sekali, meski Tidak Shalat Jum’at

Terdapat hadits yang menekankan pentingnya mandi setiap pekan minimal sekali. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَقٌّ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ، يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ

“Menjadi kewajiban atas setiap muslim untuk mandi sekali setiap tujuh hari, dia membasuh kepala dan badannya.” (HR. Bukhari no. 856 dan Muslim no. 849)

Dalil ini menunjukkan bahwa setiap muslim dituntut untuk mandi minimal sekali dalam tujuh hari, agar dia tetap bersih dan segar. Waktunya tidak dikaitkan dengan mandi wajib (mandi junub), misalnya, karena terkadang waktunya bisa lama, lebih-lebih bagi yang tidak memiliki istri. Akan tetapi, ditekankan untuk mandi dan memperbanyak mandi. Inilah mandi rutin yang dianjurkan setiap pekan sekali, meskipun seseorang tidak menghadiri shalat Jum’at. [1]

Hukum Mandi Jum’at: Wajib atau Sunnah?

Tidak ada perselisihan tentang disyariatkannya mandi Jum’at, juga tidak ada perselisihan bahwa shalat Jum’at tetap sah meskipun tidak mandi Jum’at. Yang diperselisihkan oleh para ulama adalah, apakah mandi Jum’at ini wajib? 

Para ulama fiqh rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum mandi Jum’at menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama, wajib secara mutlak. 

Para ulama yang berpendapat wajib, berdalil dengan hadits-hadits berikut ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi Jum’at itu wajib atas setiap orang yang telah baligh.” (HR. Bukhari no. 879 dan Muslim no. 846)

Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مِنْكُمُ الجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at di antara kalian, maka mandilah.” (HR. Bukhari no. 894 dan Muslim no. 844)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ، جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

“Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah Allah jadikan bagi kaum muslimin. Barangsiapa menghadiri shalat Jum’at, hendaklah mandi. Jika mempunyai minyak wangi, hendaklah mengoleskannya, dan hendaklah kalian bersiwak.” (HR. Ibnu Majah no. 1098, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani)

Pendapat ke dua, sunnah secara mutlak. 

Para ulama yang mengatakan sunnah secara mutlak, mereka berdalil bahwa mandi yang statusnya wajib itu hanya mandi janabah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Siapa yang tidak junub, maka tidak wajib mandi, namun yang diwajibkan adalah wudhu.

Mereka juga berargumen bahwa seandainya jamaah itu shalat Jum’at tanpa mandi Jum’at, maka shalat Jum’atnya sah menurut kesepakatan ulama. Seandainya mandi Jum’at itu wajib, tentu shalat Jum’atnya tidak sah. Sebagaimana status seseorang yang junub, lalu menghadiri shalat Jum’at tanpa mandi Jum’at terlebih dahulu. Maka shalat Jum’at orang tersebut tidak sah berdasarkan ijma’. 

Pendapat ke tiga, memberikan rincian.

Ulama yang memberikan rincian mengatakan, jika seseorang itu memiliki bau badan yang berpotensi mengganggu orang lain (misalnya, karena berkeringat), maka wajib mandi. Jika tidak, maka tidak wajib mandi (menjadi sunnah).  Di antara ulama yang memiliki pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. 

Wallahu a’lam, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa hukum mandi Jum’at adalah wajib secara mutlak. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegas mengatakan, 

غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi Jum’at itu wajib atas setiap orang yang telah baligh.” (HR. Bukhari no. 879 dan Muslim no. 846)

Perkataan Rasulullah, “Mandi Jum’at itu wajib”, adalah perkataan yang tegas dan jelas tentang status hukum mandi Jum’at. Bagaimana mungkin mandi wajib itu hukumnya tidak wajib, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan wajib?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Perintah untuk mandi di hari Jum’at adalah perintah yang sangat ditekankan. Perintah wajibnya lebih kuat daripada wajibnya shalat witir, membaca basmalah ketika shalat, wajibnya wudhu karena menyentuh wanita, wajibnya wudhu karena menyentuh kemaluan … “ (Zaadul Ma’aad, 1: 365)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Oleh karena itu, jika seseorang melepaskan diri dari sikap ta’ashub (fanatik kepada pendapat seorang ulama), dan dia membaca hadits ini, tidak diragukan lagi bahwa dia akan mengatakan wajibnya mandi Jum’at.” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 1: 332)

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

“Pendapat yang mengatakan wajibnya mandi Jum’at adalah pendapat yang kuat, menurut pandanganku. Siapa saja yang meremehkannya, dia telah meremehkan kewajibannya. Shalat Jum’atnya sah jika dia dalam kondisi suci. Hal ini karena hukum asal dari perintah adalah wajib. Kita tidak memalingkan dari wajib menjadi sunnah, kecuali jika ada dalil. Perintah (mandi Jum’at) ini datang dalam bentuk tegas, kemudian kewajiban ini dikuatkan lagi dengan dalil-dalil yang shahih dan sharih (jelas) bahwa mandi Jum’at itu wajib. Dalil semacam ini termasuk dalil yang qath’i. Dalil yang tidak mengandung kemungkinan lain semacam ini tidak boleh ditakwil karena adanya dalil lain (yang tampaknya bertentangan, pen.). Bahkan, dalil lain itulah yang harus ditakwil jika secara sekilas tampak bertentangan dengan dalil yang qath’i. Wallahu a’alam.” (Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 236)

Pendapat wajib secara mutlak juga dikuatkan dengan kisah sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ketika ‘Umar bin Khaththab sedang berkhuthbah pada hari Jum’at di hadapan jama’ah, masuklah seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Umar pun memanggilnya seraya bertanya, “Sudah jam berapakah ini?” 

Laki-laki itu menjawab, “Aku sangat sibuk hari ini. Aku tidak sempat pulang, sehingga ketika terdengar adzan, tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali berwudhu.” 

Umar berkata, 

وَالوُضُوءُ أَيْضًا، وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِالْغُسْلِ

“Engkau hanya berwudhu? Bukankah Engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk mandi?” (HR. Bukhari no. 878 dan Muslim no. 845)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Lihat Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 234.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53500-hukum-mandi-jumat-bag-1.html

Karyawan Muslim Jangan Mau Disuruh Memakai Topi Sinterklas

Sering kita temui seorang muslim rela memakai atribut natal karena tuntutan pekerjaan

Jangan Engkau Gadaikan Aqidahmu

Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila anda diperintahkan atau dipaksa untuk memakai topi sinterklas oleh bos atau atasan anda, jangan mau atau pasrah saja menerima, karena ini masalah aqidah yang sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Hal yang Perlu Diperhatikan dan Dilakukan

  1. Anda berhak menolak dengan alasan agama, karena MUI telah mengeluarkan fatwa larangan memakai atribut keagamaan non-muslim, yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 56  tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim
  2. Anda bisa berbicara baik-baik dengan bos atau atasan anda, terkait hal ini. Dengan cara & diplomasi yang baik, umumnya manusia akan menerima diplomasi yang baik
  3. Hal ini adalah masalah aqidah yang cukup penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena topi sinterklas adalah ciri khas atribut agama lain saat ini
  4. Walapun kita merasa itu hanya sekedar formalitas dan kita meyakini tidak setuju, akan tetapi ini masalah aqidah. Tentu agama lain tidak ingin, apabila karyawan non-muslim dipaksa memakai jilbab saat suasana lebaran.
  5. Tentu hati kecil anda menolak, tidak bisa dibayangkan maut datang dalam keadaan anda memakai topi sinterklas (karena maut bisa datang kapan saja)

Jangan Takut Menolak

Selain adanya fatwa dari MUI mengenai hal ini beberapa kepala daerah juga melarang atasan atau karyawan memaksa karyawannya untuk memakai topi sinterklas. Misalnya berita berikut Ridwan Kamil Minta Karyawan Muslim Tak Diwajibkan Pakai Atribut Sinterklas untuk hal ini anda memiliki pegangan regulasi dan aturan yang kuat untuk menolak memakai topi sinterklas dalam rangka menyambut natal.

Pegang Teguhlah Syariat Islam

Secara syarat hal ini benar-benar krusial dan penting karena menyangut masalah aqidah. Kita seorang muslim dilarang mengguakan atribut agama lain apapun jenisnya. Seorang sahabat memakai salib dari emas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnya untuk segera membuang salib emas tersebut. Perhatikan hadits berikut,

Adi bin Hatim Radhiallahu ‘anhu berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَفِيْ عُنُقِيْ صَلِيْبٌ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ: ياَ عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذاَ الْوَثَنَ

 “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat salib (yang terbuat) dari emas, (lantas) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai ‘Adi, buanglah darimu watsan/berhala ini!’. [HR At Tirmidzi no. 3095, Dihasankan oleh Al-Albani] 

Walaupun ada yang beralasan:

“Topi sinterklas bukanlan ajaran kristen, tapi dongeng di masa lalu dan bukan tanda khas agama kristen”

Kita jawab: yang menjadi patokan adalah saat ini. Semua manusia paham bahwa topi sinterklas identik dengan natal dan yang terpenting topi sinterklas dipakai untuk menyambut natal kan? Apakah seorang muslim menyambut natal?

Mendekati perayaan orang kafir saja tidak diperbolehkan apalagi menyambutnya. Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu mengingatkan kita agar menjauhi perayaan hari raya orang kafir. Jika mendekat saja saat itu dilarang, bagaimana dengan memakai atribut agama mereka dan  memberi selamat? Tentu juga dilarang (saat itu ucapan selamat harus mendatangi, tidak bisa jarak jauh dengan bantuan alat komunikasi). Beliau berkata,

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [HR. Baihaqi]

Selain itu tidak mau memakai topi sinterklas tidak akan merusak toleransi. Toleransi adalah membiarkan mereka melaksanakan ibadah, tidak boleh diganggu dan dihalangi akan tetapi kita tidka ikut menyambut atau membantu sedikitpun dan dalam bentuk apapun.

Allah berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6)

Secara aturan negara juga, menteri agama sebelumnya telah menjelaskan bahwa tidak memakai topi sinterklas adalah bentuk toleransi. Misalnya berita sebagai berikut, Menag: Bertoleransi Bukan untuk Menuntut Pihak Lain

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53312-karyawan-muslim-jangan-mau-disuruh-memakai-topi-sinterklas.html

Islam Agama Semua Nabi dan Rasul

BEBERAPA kalangan beranggapan bahwa Nabi yang pertama kali membawa agama Islam adalah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Sedangkan nabi-nabi terdahulu, menurut mereka, membawa agama yang berbeda-beda.

Kata mereka, Nabi Ibrahim alaihissalam beragama tauhid, tidak beragama Islam, dan Allah menurunkan kepada Nabi Musa dan Isa alaihimassalam agama Yahudi dan Nashrani, bukan agama Islam. Anggapan seperti ini tentu tidak benar karena tidak sejalan dengan ayat-ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama semua nabi dan rasul.

Allah taala menegaskan dalam Alquran:

“Sesungguhnya agama yang diridai oleh Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19)

Dalam ayat lain, Allah taala berfirman:

“Dan barangsiapa mencari selain agama Islam untuk ia peluk, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85)

Sungguh tidak logis, apabila Allah taala menurunkan banyak agama yang berbeda-beda kepada para nabi dan rasul, kemudian yang diterima hanya agama Islam.

Islam Agama Semua Nabi dan Rasul


Semua nabi, mulai Nabi Adam alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam membawa agama yang sama, yaitu Islam. Begitu juga seluruh pengikut para nabi, semuanya beragama Islam.

Nabi Ibrahim, Sulaiman, Yusuf, Isa dan nabi-nabi yang lain, semuanya beragama Islam. Mereka semua menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Perhatikan dan cermati ayat-ayat Alquran berikut ini.

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang jauh dari syirik dan kufur dan dia seorang yang muslim. Dan sekali-kali dia bukanlah seorang yang musyrik.” (QS Ali Imran: 67)

“Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya isinya: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, bahwa janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang memeluk Islam.” (QS An-Naml: 30-31)

“(Yusuf berkata): Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh.” (QS Yusuf: 101)

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil), ia berkata: Siapakah yang akan menjadi pembela-pembelaku untuk menegakkan agama Allah? Para Hawwariyyun (sahabat-sahabat setia Nabi Isa) menjawab: Kamilah pembela-pembela-agama Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.” (QS Ali Imran: 52)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Alquran lainnya yang kesemuanya menegaskan bahwa para nabi beserta pengikut-pengikut mereka beragama Islam. Dengan demikian, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mambawa selain Islam. Adapun perbedaan di antara para nabi adalah terletak dalam hukum-hukum syariat yang Allah taala turunkan kepada mereka, seperti dalam tata cara dan ketentuan bersuci, shalat, zakat, puasa dan lainnya. Tentang hal ini, Allah taala berfirman:

“Dan untuk tiap-tiap umat di antara kalian (umat Muhammad dan umat-umat sebelumnya), Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maidah: 48)

Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Para nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka satu yaitu agama Islam, dan ibu-ibu (syariat-syariat) mereka berbeda-beda.” (HR al-Bukhari). Nabi Muhammad Bukan Muslim Pertama Allah taala berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:

“(Muhammad berkata): tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah muslim yang pertama.” (QS Al-Anam: 163).

Di kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah muslim pertama pada masanya, bukan muslim pertama secara mutlak. Imam ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan:

“Yang dimaksud bahwa Nabi Muhammad adalah muslim pertama di kalangan umat ini (umat beliau).”

Penafsiran yang sama dapat kita jumpai dalam kitab tafsir al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Jalalain, an-Nasafi dan lainnya. Mengapa Disebut Yahudi dan Nashrani? Dari apa yang telah diuraikan di atas menjadi jelas bahwa seluruh nabi dan rasul beserta para pengikut mereka adalah orang-orang yang beragama Islam, termasuk Nabi Musa, Nabi Isa dan para pengikut keduanya.

Mengapa para pengikut Nabi Musa dinamakan Yahudi dan para pengikut Nabi Isa disebut Nashara atau Nashrani, berikut penjelasan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami li Ahkam Alquran (Penerbit Muassasah ar-Risalah, juz 2, hlm. 157-160).

“Para pengikut Musa disebut Yahudi karena dinisbatkan kepada Yahudza, putra pertama Nabi Yaqub. Orang Arab mengganti huruf dzal menjadi dal karena kata non-Arab jika diserap ke dalam bahasa Arab, maka diubah pelafalannya.

Menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan Yahudi karena pertaubatan mereka dari menyembah anak sapi. Haada artinya taaba (telah bertaubat). Haa`id berarti taa`ib (orang yang bertaubat). Dalam Alquran (menceritakan perkataan para pengikut Nabi Musa): Innaa Hudnaa ilaiKa. Hudnaa dalam ayat ini artinya “kami telah bertobat”.

Sedangkan Nashara adalah bentuk plural dari Nashrani. Menurut pendapat lain, Nashara adalah bentuk plural dari Nashran, dengan menghilangkan huruf ya. Ini adalah pendapat Sibawaih. Bentuk muannats-nya adalah Nashranah, seperti kata Nadman dan Nadmanah.

Al-Khalil berkata, bentuk tunggal dari Nashara adalah Nashri, seperti kata Mahri dan Mahara. Kemudian dikatakan: mereka dinamakan demikian karena disandarkan pada sebuah desa yang bernama Nashirah.

Isa pernah menetap sementara di sana. Maka dikatakan: Isa an-Nashiri (Isa yang pernah menetap di Nashirah). Ketika para pengikutnya dinisbatkan kepadanya, maka mereka dinamakan Nashara. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Qatadah.

Pendapat lain menyatakan bahwa mereka dinamakan Nashara karena sebagian dari mereka menolong (nushrah) sebagian yang lain. Sebagian yang lain lagi berpendapat, mereka dinamakan Nashara karena perkataan Isa kepada mereka: siapakah yang akan menjadi penolongku (Anshari) untuk menegakkan agama Allah?, para sahabat setianya berkata: kamilah para penolong (Anshar) agama Allah.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa para pengikut Nabi Musa dan Nabi Isa beragama Islam. Yahudi dan Nashara atau Nashrani adalah semacam gelar yang melekat pada diri mereka. Sedangkan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang hidup pada masa sekarang, mereka semuanya adalah orang-orang kafir karena telah menyelewengkan makna tauhid dan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya serta tidak beriman terhadap kerasulan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Nabi bersabda:

“Tidaklah seorang pun dari umat ini, Yahudi atau pun Nashrani (atau yang lain) yang mengetahui tentang kerasulanku lalu ia tidak mau beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali pasti ia menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim) [nuol]

*Nur Rohmad, Tim Peneliti/Pemateri Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

INILAH MOZAIK

Malas Puasa dengan Alasan Bekerja Keras

SEBAGIAN orang beralasan bahwa ia adalah pekerja keras, buruh bangunan, sopir bis jarak jauh, yang kerjanya begitu melelahkan sehingga enggan puasa. Padahal mencari nafkahnya bisa ditunda di lain waktu atau bisa mencari pekerjaan pengganti. Mana yang mesti didahulukan? Bekerja ataukah memilih untuk puasa?

Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa pekerja berat boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah menunaikan fidyah. Benarkah hal ini, manakah saran yang terbaik?

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam- diajukan pertanyaan: Aku berpuasa Ramadhan di negeriku, walhamdulillah. Akan tetapi karena banyaknya pekerjaan dan terlihat berat, aku pun kelelahan. Apakah aku memiliki kewajiban lain ataukah aku harus meninggalkan pekerjaan berat semacam itu dan aku memulai berpuasa?

Jawaban Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, “Hendaklah engkau berpuasa sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan tinggalkanlah pekerjaan berat yang bisa membahayakanmu. Kerja saja semampumu dan tetap sempurnakan puasamu. Jika pekerjaan itu dilakukan 10 jam dan itu memberatkanmu, maka jadikanlah pekerjaan tersebut menjadi 7 jam, 6 jam, atau 5 jam sehingga engkau mampu berpuasa. Jangan lakukan pekerjaan yang bisa membahayakanmu atau membuatmu jadi lemas. Karena sekali lagi, Allah Taala telah mewajibkanmu untuk berpuasa dan engkau dalam keadaan sehat dan selamat, tidak sakit dan bukan pula musafir. Maka wajib bagimu berpuasa dan meninggalkan pekerjaan yang melelahkan, membuat capek dan membahayakan, atau minimal engkau memilih meminimalkan pekerjaanmu.”

(Sumber fatwa: http://binbaz.org.sa/mat/13354)

Alhamdulillah, banyak pekerja keras juga yang saat ini tetap berpuasa. Mereka malah orang-orang yang rajin ibadah. Fatwa yang beri keringanan tidak puasa untuk pekerja keras, punya dampak jelek karena pekerja keras akan bisa mencari-cari alasan untuk tidak berpuasa. Padahal kenyataan, yang tidak puasa itu sebenarnya orang yang juga malas shalat dan malas ibadah. Pekerja keras yang enggan puasa ini cuma cari prioritas dunia, malas menggapai akhirat.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk terus beramal sholih. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Tenangkan Hatimu, Roda Kehidupan Terus Berputar!

Hidup adalah sebuah perjalanan. Ia tak pernah lepas dari 2 kondisi, apakah angin sedang berpihak kepada kita atau angin sedang berpihak kepada orang lain. Roda nasib selalu berputar, tidak ada yang selalu diatas dan tiada pula yang selalu dibawah.

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ -١٤٠-

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badr) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami Pergilirkan di antara manusia.” (QS.Ali Imran: 140)

Hidup tak pernah lepas dari tawa dan tangis, sedih dan bahagia. Imam Ali bin Abi tholib pernah berpesan,

Masa ini terbagi menjadi 2 hari. Hari keberuntungan dan hari naas bagimu.

Disaat hari sedang berpihak kepadamu maka bersyukurlah

Dan disaat hari sedang tidak berpihak padamu maka bersabarlah

Karena itu bekal terpenting dalam menjalani hidup adalah banyak bersyukur dan banyak bersabar. Tidak cukup hanya sesekali bersyukur dan bersabar. Dalam Al-Qur’an Allah menggandengan sifat sabar dan syukur sebanyak 4 kali, itupun dengan Sighoh Mubalaghoh yang bermakna sangat bersabar dan sangat bersyukur.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ -٥-

“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS.Ibrahim: 5 – Luqman: 31 – Saba’: 19 – As-Syura: 33)

Pengulangan ayat yang menggandengkan sabar dan syukur ini ingin menjelaskan bahwa inilah hakikat dunia ditengah roda nasib yang selalu berputar. Dan kuncinya adalah,

Jangan bersedih ketika mendapat musibah karena banyak orang yang musibahnya lebih berat

Jangan bersedih jika ada orang lain yang sukses, kita pun juga bisa meraihnya

Dan jangan lupa untuk bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhitung lagi jumlahnya

Karena roda atasmu akan segera datang pada waktunya

KHAZANAH ALQURAN

Syiar Baginda Nabi saw Untuk Alam Semesta

Baginda Nabi saw datang dengan membawa syiar dan ajaran yang begitu indah untuk semesta alam.

Sebagian dari syiar-syiar tersebut adalah :

(1). Rahmat

Rasulullah saw datang dengan membawa rahmat, menebar rahmat dan mengajak untuk saling memberi rahmat.

Allah swt berfirman,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya’:107)

(2). Cinta

Termasuk syiar utama Rasulullah saw adalah menebar cinta dan kasih sayang.

Allah swt berfirman,

وَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡۚ لَوۡ أَنفَقۡتَ مَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مَّآ أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّهُۥ عَزِيزٌ حَكِيم

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS.Al-Anfal:63)

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS.Ali ‘Imran:159)

(3). Kedamaian.

Baginda Nabi saw selalu membawa pesan perdamaian ditengah umat manusia.

وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَىٰ دَارِ ٱلسَّلَٰمِ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Dan Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (Islam).” (QS.Yunus:25)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِين

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah:208)

(4). Memberi maaf.

Syiar yang tak kalah penting yang selalu dibawa oleh Nabi saw adalah selalu menebar maaf.

وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.An-Nur:22)

وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ

“Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Baqarah:237)

(5). Saling Mengenal.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS.Al-Hujurat:13)

(6). Kehidupan yang baik.

Risalah Nabi saw selalu mengajak manusia untuk menuju kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS.Al-Anfal:24)

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.An-Nahl:97)

Itulah beberapa syiar dan ajaran Nabi saw yang dibawa dalam risalah suci beliau.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN