Pilih Jadi Mualaf, Putra: Saya Damai Lihat Ibadah Islam

Putra merasakan kedamaian saat melihat ibadah yang dilakukan umat Islam.

Putra, pria berusia 36 tahun ini mulai mengenal Islam sejak dia merantau ke Jambi. Beruntung di perantauan dia tidak seorang diri. 

Dia merantau untuk meneruskan pendidikan sarjana. Dia sempat menempuh pendidikan di Medan hanya satu tahun, karena satu dan lain hal Putra memutuskan untuk pindah ke Jambi. 

Di Jambi, Putra tinggal dengan kakek dan nenek dari ayahnya. Putra sebenarnya lahir dan besar di Jakarta, kedua orang tuanya pun kini menetap di Jakarta. 

Namun mereka berasal dari Jambi, kakek dari ayahnya Tionghoa sedangkan neneknya Banjar, Kalimantan. Dengan latar belakang keluarga yang multikultural, Putra pun tumbuh di keluarga dengan multiagama. 

Kakek dan neneknya Konghucu, sedangkan kedua orang tuanya menganut Katolik. Namun  belakangan baik adik dan kakak dari ayahnya menjadi mualaf.  

Lingkungan yang Islami baik keluarga maupun teman-teman dekat membuatnya tertarik dengan Islam. Pergaulan mereka yang Muslim pun terlihat penuh kebaikan apalagi ketika mereka beribadah.  

Dengan latar belakang agama yang beranekaragam, tentu adat dan budaya mereka pun berbeda terutama saat beribadah dan dalam kegiatan sehari-hari. Ketika berada di keluarga muslim, Putra mengakui bahwa kehidupan mereka terasa lebih damai dan nyaman.  

“Jujur saya tertarik dengan Islam karena ibadah di Islam yang berbeda dan membuat hati saya terasa lebih damai melihatnya”ujar dia sebagaimana dikutip dari Harian Republika, Selasa (6/10).

Bagi Putra, Islam memiliki ajaran yang sesuai dengan pemikirannya. Berbeda dengan agama sebelumnya. Islam buat dia lebih logis.  

Putra pun kemudian mulai memperhatikan saudaranya sholat, mengaji dan berpuasa. Dia pun mempelajari dan mempraktikannya.  

Putra mengaku kesulitan apalagi menghafal bacaan arab yang jauh dari kebiasaan sebelumnya. Dan hal itu dilakukan ketika sudah dewasa. Putra terus melakukan hal tersebut sambil terus menguatkan keyakinannya. Sembari mempelajari Islam diapun tetap berkuliah.  

Sebelumnya dia kuliah satu tahun di Medan,  kemudian melanjutkan ke Jambi. Tepat pada Juni 2005, Putra yakin untuk bersyahadat di depan ulama besar Jambi KH Nasution saat majelis taklim.  

Usai bersyahadat, Putra terus istiqamah untuk mempelajari Islam. Dia bersyukur keluarga muslimnya sangat mendukung dan mendampingi Putra untuk belajar terutama mengaji dan sholat. Butuh waktu lama untuk bisa membaca bacaan sholat dengan lancar. Hingga berbulan-bulan lamanya.  

Untuk puasa, diakui Putra mampu menjalaninya tanpa kendala. Dia merasa tidak berat ketika menjalaninya. Karena Putra juga tidak terlalu suka dengan makanan minuman yang diharamkan, untuk meninggalkan hal tersebut juga tidak terlalu berat.  

Di tengah mempelajari Islam, Putra harus menghadapi ujian ketika berhadapan dengan orang tua. Dia hanya dua bersaudara tentu memiliki hubungan yang sangat dekat. Komunikasi tetap lancar meski dia telah memeluk Islam. 

Namun karena khawatir orang tua marah, Putra memang tidak memberitahukan kepada kedua orang tuanya. Benar saja, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Putra baru memberitahu setelah kuliah selesai. 

Kedua orang tua pun awalnya tidak bisa menerima dan kecewa atas pilihannya tersebut. Apalagi Putra memberitahu setelah bersyahadat.  Putra terus meyakinkan kedua orang tuanya bahwa itu adalah pilihan hati dan keyakinannya. Lambat laun mereka pun menerimanya.  Kini ketika hari raya keduanya, mereka pun tetap saling menghormati. Meski mereka berbeda agama.

Istri Putra pun tidak mempermasalahkannya, karena sejak dekat sebelum menikah. Istrinya mengetahui dan paham mengenai perbedaan dengan orang tuanya.  

Putra yang kini menjabat Kasubag TU Kantor Badan Pertanahan Kerinci ini pun mengakui ujian terberat setelah mualaf adalah penerimaan keluarga. Memang membutuhkan waktu, namun dia bahagia karena kini hubungan mereka baik-baik saja. 

Bahkan banyak keberkahan yang dia dapatkan setelah memeluk Islam, dari mulai karir, keluarga dan terutama nikmat iman dan Islam. “Alhamdulillah saya mendapatkan berkah yang berlimpah dari Allah SWT, keluarga yang sempurna dengan istri dan dua anak. Karier yang terus membaik dan keberkahan lainnya,”ujar dia. Satu hal yang saat ini belum tercapai adalah beribadah haji dan umrah baik sendiri maupun bersama keluarga. 

Dia juga bersyukur, sebelum wafat sang nenek juga telah menjadi mualaf, meski kakek belum sempat merasakan keindahan Islam. Saat ini Putra terus berproses mendalami Islam, seperti mengaji terutama memperbaiki bacaan Alquran. 

Di lingkungan tempat tinggalnya biasanya ada pengajian rutin untuk bapak-bapak. Putra pun berusaha untuk meluangkan waktu. Diakui Putra, dengan kesibukan kerja saat ini dia tidak mengikuti komunitas pengajian tertentu.  

Dia berharap, meski memiliki perbedaan agama baik itu di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat, antarumat beragama dapat terus saling menghormati dan menghargai.

KHAZANAH REPUBLIKA

8 Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam dan Burung Hud-Hud

Allah Ta’ala Yang Maha Pemurah menganugerahkan kepada Nabi Sulaiman Bin Daud ‘alaihimassalam kenabian, mewarisi ilmu, nubuwah dan kerajaan ayahnya. Bahkan Allah Yang Maha Pemurah memberikan tambahan baginya kerajaan yang besar yang belum pernah dimiliki siapa pun sebelum ataupun sesudahnya.

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Dia (Sulaiman) berdoa: “Ya Rabku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang-pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
(QS. Shad: 35).

Doa yang dipanjatkan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ini, telah dikabulkan dan diijabah oleh Allah Ta’ala sehingga beliau dapat memiliki semua yang diingininya. Sebagai catatan penting, doa ini bagian dari mukjizat beliau (Nabi Sulaiman), maka tidak berlaku untuk yang lain. Sehingga orang lain tidak boleh menjadikannya sebagai doa, baik tujuannya untuk mendapatkan kekuasaan atau memperlancar rizki atau tujuan lainnya.

Pelajaran Dari Al-Qur’an

Aqidah Islam menjelaskan bahwa hewan-hewan yang ada di sekitar kita mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla dan suka memuji-Nya. Dari Al-Qur’an kita mengenal kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ini, kita tahu bahwa ternyata hewan juga mengenal Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan mereka suka bertasbih kepada-Nya. Yaitu dari kejadian burung Hud Hud yang melihat peribadatan Ratu Saba’ dan rakyatnya, yang tidak ditujukan kepada Allah Yang Maha Esa, tetapi menyembah matahari.

Suatu ketika Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ingin memeriksa pasukan-pasukannya. Beliau sendiri terjun langsung di lapangan, dan hal ini menunjukkan satu bentuk kebaikan dan ketelitian pengaturan beliau, dimana beliau sendiri yang langsung turun tangan memeriksa pasukannya tanpa diwakilkan, Padahal sudah ada masing-masing yang menjadi pengawas mereka. Maka sampailah beliau di kelompok pasukan burung, namun beliau tidak mendapati burung Hud-hud.

Allah Ta’ala menceritakan hal ini dalam Al-Qur’an ketika Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak melihat burung Hud Hud, beliau berkata,

مَا لِيَ لَآ أَرَى ٱلۡهُدۡهُدَ أَمۡ كَانَ مِنَ ٱلۡغَآئِبِينَ

“Mengapa aku tidak melihat Hud hud, apakah dia temasuk yang tidak hadir?”
(QS. an-Naml: 20).

Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengancam burung Hud-hud, karena telah menyelisihi perintahnya, yaitu tetap berada dalam pasukan. Namun karena kerajaannya ditegakkan di atas keadilan, beliau tidak langsung memberikan hukuman tanpa alasan jelas, tapi beliau menyebutkan pengecualian. Allah Ta’ala berfirman menceritakan hal ini :

لَأُعَذِّبَنَّهُۥ عَذَابٗا شَدِيدًا أَوۡ لَأَاْذۡبَحَنَّهُۥٓ أَوۡ لَيَأۡتِيَنِّي بِسُلۡطَٰنٖ مُّبِينٖ (21) فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ (22) إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ (23) وَجَدتُّهَا وَقَوۡمَهَا يَسۡجُدُونَ لِلشَّمۡسِ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَعۡمَٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ (24) أَلَّاۤ يَسۡجُدُواْۤ لِلَّهِ ٱلَّذِي يُخۡرِجُ ٱلۡخَبۡءَ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَيَعۡلَمُ مَا تُخۡفُونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ (25) ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ۩ (26) قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ (27)

“Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ´Arsy yang besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.”
(QS. An-Naml: 21-27).

Lihatlah! Bagaimana dalam kesempatan itu, burung Hud Hud beralasan tidak berada dalam pasukan karena datang membawa berita besar. Burung ini menyampaikan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tentang penguasa negeri Yaman, seorang ratu. Dan ratu itu dianugeahi segala yang dibutuhkan oleh seorang penguasa, bahkan mempunyai singgasana yang besar.

Burung Hud Hud ternyata bukan hanya memahami kerajaan dan kekuatan mereka, tetapi juga mengerti apa yang menjadi keyakinan rakyat Saba’. Mereka adalah orang-orang yang musyrik, menyembah matahari. Burung Hud Hud dengan tegas mengingkari kesyirikan yang mereka lakukan.

Mutiara Berharga

Imam al-Qurthubi rahimahullah, seorang pakar tafsir di zamannya berkata:

في هذه الآية دليل على تفقد الامام أحوال رعيته والمحافظة عليهم. فانظر إلى الهدهد مع صغره كيف لم يخف على سليمان حاله فكيف بعظام الملك. ويرحم الله عمر فإنه كان على سيرته قال: لو أن سخلة على شاطئ الفرات أخذها الذئب ليسأل عنها عمر

“Pada ayat ini terdapat dalil bahwa hendaklah seorang pemimpin meninjau dan memeriksa keadaan-keadaan rakyatnya serta menjaga mereka. Lihatlah burung Hudhud yang amat kecil tubuhnya, seorang Nabi Sulaiman pun tidak luput darinya perihal kondisinya. Maka bagaimana dengan perkara-perkara yang lebih besar darinya. Semoga Allah merahmati Umar, karena sesungguhnya dalam sirah kehidupannya dia pernah berkata: “Andaikan saja seekor anak domba yang berada di tepi sungai Eufrat di makan oleh seekor serigala, sungguh Allah akan menanyakannya pada Umar”.
(lihat Tafsir al-Qurthubiy, 13/178).

Beberapa faidah berharga yang bisa dipetik dari kisah ini, di antaranya;

1. Sikap Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam yang memeriksa rakyatnya dari kalangan burung menunjukkan bahwa hendaklah setiap pemimpin meninjau dan memeriksa langsung keadaan rakyat-rakyatnya serta menjaga mereka dari segala bentuk keburukan.

2. Mengunjungi rakyat untuk mengetahui keadaan rakyat (blusukan) hendaklah tidak dicampuri oleh kepentingan tertentu demi meraih kekuasaan, melainkan timbul dari rasa takutnya kepada Allah Ta’ala. Sehingga tatkala kekuasaan telah diraih, dia tidak lupa untuk terus meninjau keadaan rakyatnya, baik melalui menteri-menterinya atau orang-orang kepercayaannya.

3. Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Dia memeriksa pasukan burung, karena mereka adalah bagian dari rakyatnya. Oleh karenanya, hendaklah para orang tua (bapak dan ibu) mencontoh sikap Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan mereka terhadap anak-anaknya. Yaitu agar mereka selalu memperhatikan, memeriksa dan mengawasi tumbuh kembang kehidupan anak-anaknya. Sebab anak-anak itu adalah amanah bagi mereka.

4. Perkataan burung Hud-hud kepada Nabi Sulaiman alaihissalam “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”, hal ini menunjukkan beberapa poin penting:

a. Para Nabi tidak mengetahui ilmu ghaib. Berita-berita ghaib yang mereka sampaikan adalah wahyu dari Allah Ta’ala untuk disampaikan kepada umatnya. Adapun ilmu ghaib dari keahlian mereka sendiri, maka hal itu tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam“Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta”.

b. Kebenaran dapat diambil dari siapapun yang menyampaikannya tanpa memandang suku, komunitas, tinggi rendahnya kedudukan seseorang, atau tingkat keilmuan seseorang. Selama sesuatu yang disampaikan adalah kebenaran, maka ia harus diterima.

c. Bolehnya mencontoh keindahan akhlak dan adab para hewan sebagai pembelajaran atau pengetahuan untuk kita.

d. Tidak boleh merendahkan orang-orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, bahkan hendaklah kita menerima nasehat mereka ketika mereka memberi nasehat, dimana hal itu demi kebaikan diri kita.

5. Perkataan burung Hud-hud “Dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini”, menunjukkan ketelitian burung Hud-hud dalam menyampaikan berita. Hal ini mengajari kita agar bersikap hati-hati dalam menyampaikan berita serta menjaga sikap kejujuran, utamanya yang berkaitan dengan agama dan kehormatan seseorang. Jangan menyebarkan berita dusta, hoax, dan semisalnya. Sebab hal ini merupakan sesuatu yang harus dipertanggung jawabakan di hadapan Allah Ta’ala kelak.

6. Perkataan burung Hud-hud “Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah)”, menunjukkan ketulusan dan keikhlasannya dalam mentauhidkan Allah Ta’ala Yang Maha Esa, serta ghirahnya (rasa cemburu dan bersemangat) untuk mengubah kemungkaran yaitu syirik.

Hal ini menunjukkan bahwa hewan-hewan itu sesungguhnya mengenal Rabb Yang menciptakan, memberi dan mengatur rezeki) mereka, di mana mereka juga bertasbih memuji dan mentauhidkan-Nya. Mereka mempunyai rasa cinta kepada orang-orang yang beriman dan mereka juga taat kepada Rabbnya. Bahkan mereka juga membenci orang-orang kafir dan orang yang mendustakan ajaran Allah dan para rasul-Nya. Mereka tunduk kepada Allah Ta’ala dengan sikap ini. Ketikdakpahaman seseorang pada tauhid akan menjadikan dirinya lebih rendah dari binatang.

7. Makhluk Allah yang rendah kedudukannya di mata manusia, akan Allah Ta’ala agungkan kedudukannya, ketika dia mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya. Hal ini sebagaimana burung Hud-hud yang kecil. Ketika dia memiliki ghirah terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Ta’ala, maka Allah ‘Azza Wa Jalla muliakan dia dengan mengabadikan kisahnya di dalam al-Qur’an sebagai pembelajaran untuk setiap manusia.

8. Perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam“Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta”, menunjukkan kehati-hatiannya dalam menerima berita walau ia tahu bahwa burung Hud-hud telah memperlihatkan ketakwaan dan ketauhidannya kepada Allah Ta’ala. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berhati-hati dalam menerima berita dan memperhatikan kebenarannya. Hendaklah kita tidak mudah menerima berita dan untuk selalu memastikan kebenarannya ketika datang berita kepada kita yang berkaitan dengan agama dan kehormatan seseorang atau suatu kaum. Tingginya seseorang dalam menjaga tauhidnya, tidak lantas menjadikan perkataannya untuk selalu dibenarkan ketika ia membicarakan agama dan kehormatan suatu kaum. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang menyikapi burung Hud-hud, dimana ia telah mengetahui ghirah burung Hud-hud itu dalam menjaga tauhidnya kepada Allah Yang Maha Esa.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Sabtu, 15 Shafar 1442 H / 03 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

3 Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala telah mengumpulkan dalam diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa jawaami’ kalim, yaitu ucapan beliau yang singkat, namun penuh dengan makna dan faidah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki wasiat-wasiat yang agung, kalimat yang indah. Siapa pun yang berusaha menggali dan mengamalkannya, niscaya dia akan beruntung di dunia dan di akhirat.

Salah satunya adalah hadits yang diceritakan dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

عِظْنِي وَأَوْجِزْ

“Berilah aku nasihat, namun ringkas saja.”

Dalam riwayat lain dikatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ

“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ilmu yang singkat dan padat.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari). Dan kumpulkan rasa putus asa dari apa yang di miliki orang lain.” (HR. Ahmad no. 23498, Ibnu Majah no. 4171. Lihat Ash-Shahihah no. 401)

Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga perkara yang mengumpulkan seluruh kebaikan.

Pertama, wasiat untuk menjaga shalat dan mendirikan shalat dalam kondisi yang paling sempurna.

Wasiat yang pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa siapa saja yang hendak mendirikan shalat, hendaklah dia shalat sebagaimana shalat orang-orang yang hendak berpisah. Kita tentu mengetahui bahwa orang yang akan bepergian jauh dengan niat tidak akan pernah kembali, tentu berbeda kondisinya dengan orang yang bepergian namun akan segera kembali pulang.

Demikian pula orang yang sedang mendirikan shalat. Jika dia menghadirkan dalam hatinya, seolah-olah shalat tersebut adalah shalat yang terakhir, tentu dia akan berusaha untuk shalat sebaik mungkin, dia akan sungguh-sungguh, membaguskan gerakan dan bacaannya, dan berusaha khusyu’ dalam semua posisi shalat. Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin berusaha untuk memperhatikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang satu ini dalam setiap shalat yang dia dirikan. Dia merasa bahwa shalat tersebut adalah shalat yang terahir, dia merasa tidak akan shalat lagi setelah itu, dia shalat sebagaimana orang yang akan bepergian jauh dan tidak akan pernah kembali. Jika perasaan semacam ini hadir, diharapkan dia akan mendirikan shalat secara sempurna.

Kedua, wasiat untuk menjaga lisan.

Wasiat kedua adalah wasiat untuk menjaga lisan. Lisan adalah perkara paling berbahaya dalam diri seorang manusia. Jika ada kalimat yang keluar dari lisan seseorang, maka dia harus bertanggung jawab alias menanggung akibatnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari).” Maksudnya, kita menyesal kemudian sibuk meminta maaf kepada orang lain sebagai akibat dari kalimat yang kita ucapkan tersebut.

Ya, hari ini kita mengucapkan suatu kalimat, lalu di kemudian hari kita sibuk meminta maaf atas kalimat yang kita ucapkan. Atau di kemudian hari kita sibuk membuat klarifikasi atas pernyataan yang kita buat. Hal ini karena ternyata kalimat tersebut menyakiti orang lain, misalnya.

Ini pula yang diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?”

Aku (Mu’adz) menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.”

Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda, “Tahanlah lidahmu ini.”

Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) sungguh kita akan diazab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?”

Beliau menjawab, “(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 5136)

Dalam hadits yang lain, diceritakan oleh shabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan menutupi (kesalahan) lisan lalu berkata, “Takutlah pada Allah tentang kami, kami bergantung padamu. Apabila Engkau lurus, kami pun lurus. Dan apabila Engkau bengkok, kami pun (ikut) bengkok.” (HR. Ahmad no. 11908, Tirmidzi no. 2407. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 351)

Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari)”; mengingatkan kita untuk selalu muhasabah dengan diri kita sebelum mengucapkan suatu perkataan. Hendaklah dia merenungkan, apakah ada kebaikan dalam kalimat yang akan dia ucapkan? Jika yang dia dapati hanya keburukan, tentu dia akan segera menahan lisannya. Begitu pula jika dia tidak tahu apakah dampaknya akan baik atau buruk, dia pun akan menahan diri sampai perkara tersebut jelas baginya.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Ketiga, wasiat untuk memiliki sifat qana’ah.

Wasiat ketiga mengandung pelajaran untuk bersikap qana’ah, dan menggantungkan hati sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada manusia, siapa pun mereka. Kumpulkanlah rasa putus asa atas apa yang dimiliki oleh orang lain, jangan berharap kepada mereka, dan gantungkanlah harapanmu hanya untuk Allah Ta’ala saja. Engkau tidak meminta, kecuali hanya meminta kepada Allah Ta’ala. Engkau tidak berharap, kecuali hanya berharap kepada Allah Ta’ala saja. Engkau berputus asa dari siapa pun, kecuali Allah Ta’ala. Sehingga Engkau pun hanya berharap kepada Allah Ta’ala saja. Shalat adalah penghubung antara seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga shalat adalah sarana utama untuk mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala.

Jika seseorang hanya berharap kepada Allah Ta’ala, dia akan hidup dengan qana’ah, dia hanya bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala pun akan mencukupinya di dunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala mengatakan,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar [39]: 36)

Allah Ta’ala mengatakan,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Harta Banyak yang Tidak Berkah Itu Cepat Hilangnya

Harta yang didapatkan dengan cara tidak berkah semisal hasil korupsi, hasil mencuri, hasil riba, hasil menjadi pelacur dan lain-lainnya, tidak akan berkah dan akan cepat hilang tanpa disadari. Betapa banyak orang yang dahulunya tidak peduli dengan halal dan haramnya harta, setelah hijrah dan bertaubat, dia pun berkata,

“Dulu harta saya banyak, tapi cepat juga habisnya entah ke mana, tanpa saya sadari. Siang-malam saya lembur mencari harta yang banyak, tapi harta itu lenyap dengan cepat. Yang paling miris, saya tidak bahagia dengan harta tersebut. Sekarang setelah hijrah, saya mencari harta yang halal,  harta saya cukup untuk hidup dan saya merasakan kebahagiaan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

والقليل من الحلال يبارك فيه والحرام الكثير يذهب ويمحقه الله تعالى.

“Harta halal yang sedikit diberkahi daripada harta haram yang banyak. Harta haram ini cepat hilangnya dan Allah hancurkan.” (Majmu’ Fatawa, 28: 646)

Hendaknya ini menjadi perhatian kita semua, terutama di zaman ini, zaman yang sudah mendekati akhir zaman di mana orang-orang mulai tidak peduli dengan halal dan haramnya harta yang dia dapatkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram“. (HR. Bukhari)

Yang perlu kita cari dari rizki bukan jumlahnya semata, tetapi juga keberkahannya. Dengan harta yang berkah, hidup kita jadi mudah dan dimudahkan dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan. Cara mendapatkan keberkahan adalah dengan ketakwaan, yaitu rasa takut kepada Allah Ta’ala akan harta yang haram dan cara mendapatkannya yang haram. Apabila kita bertakwa, maka Allah Ta’ala akan turunkan keberkahan kepada kita

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengajarkan kita agar berdoa dan memohon keberkahan harta, bukan sekedar jumlah semata. Beliau pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

“Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya dan berkahilah semua yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Hasil dari doa beliau adalah keberkahan harta Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

فوالله إن مالي لكثير، وإن ولدي وولد ولدي يتعاقبون على نحو المئة

“Demi Allah, hartaku sangat banyak. Sementara anak dan cucu-cucuku, mencapai 100  orang.” (HR. Ibnu Hibban no. 7177)

Semoga harta kita selalu berkah dan mendapatkan keridhaan dari Allah Ta’ala.

@ Lombok, Pulau Seribu Masjid

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel Muslim.or.id

Takwa Adalah Tujuan Sekaligus Wasilah

Kita telah mengetahui bahwa tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah untuk ibadah, seperti yang disebutkan dalam Firman Allah Swt.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

Tapi apa tujuan dari ibadah itu sendiri?

Kita akan temukan jawabannya dalam Firman Allah Swt.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:21)

Dari ayat ini kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari ibadah adalah agar manusia sampai pada ketakwaan. Seperti halnya ibadah puasa dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa tujuan dibaliknya adalah agar manusia sampai pada ketakwaan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:183)

Akan tetapi, takwa sebagaimana ia adalah tujuan, tapi takwa juga adalah wasilah yang akan mengantarkan seseorang kepada dua tujuan yang lebih agung dan lebih tinggi, yaitu :

1. Agar manusia mencapai kedudukan syukur.

Allah Swt Berfirman :

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

“Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya.” (QS.Ali ‘Imran:123)

2. Agar manusia meraih kesuksesan dan keselamatan sebagai tujuan utama dalam kehidupan.

وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS.Ali ‘Imran:130)

Karena itulah takwa adalah tujuan sekaligus wasilah untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bertakwa.

KHAZANAH ALQURAN

Baca Tujuh Zikir Ini Setiap Hari, Anda Dapat Keberkahan Berlimpah

Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak dzikir dan membaca kalimat thayyibah. Dzikir tersebut dianjurkan tidak hanya pada saat mengerjakan ibadah, seperti shalat ataupun setelah shalat, tapi juga ketika mengerjakan aktifitas lainnya.

Dzikir di luar ibadah formal tidak mesti dilafalkan, tetapi bisa dibaca di dalam hati saja. Misalnya, pada saat bekerja di manapun, biasakan hati untuk selalu mengingat Allah.

Menurut Abu Laits al-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin setidaknya ada tujuh kalimat thayyibah yang perlu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuh kalimat ini sangat mulia di hadapan Allah dan Malaikat, serta orang yang membiasakannya akan diampuni dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan. Selain itu, orang yang membiasakannya akan merasakan manisnya ketaatan dan hidup akan terasa lebih baik.

Tujuh kalimat thayyibah yang perlu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:

Pertama, mengawali setiap perbuatan dengan membaca bismillahirrahmanirrahim

Kedua, mengakhiri setiap perbuatan dengan membaca alhamdulillah.

Ketiga, memperbanyak membaca astaghfirullah ketika melakukan kesalahan, baik kesalahan dalam perkataan maupun perbuatan.

Keempat, membaca insyaallah setiap akan mengerjakan sesuatu.

Kelima, apabila menghadapi sesuatu yang berat dan sulit biasakan membaca la hawla wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim.

Keenam, apabila ditimpa musibah baik nyawa maupun harta ucapkanlah innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Ketujuh, biasakan membaca kalimat tauhid, la ilaha illallah, sepanjang waktu, baik di siang hari maupun malam hari.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Islami.co

BINCANG SYARIAH

Agar Tidak Lupa Hafalan Al-Quran, Baca Doa Berikut Ini

Al-Quran merupakan kitab suci yang mudah dihafal namun juga mudah hilang dari ingatan alias lupa. Oleh karena itu, agar tidak lupa hafalan Al-Quran tersebut, kita perlu senantiasa mengulang dan juga sering berdoa kepada Allah. Di antara doa agar hafalan tidak cepat hilang adalah sebagai berikut;

اَللّهُمَّ نَوِّرْ بِالْكِتَابِ بَصَرِيْ وَاطْلُقْ بِه لِسَانِيْ وَاشْرَحْ بِه صَدْرِيْ وَاسْتَعْمَلْ بِه بَدَنِيْ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ فَإِنَّهُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Allohumma nawwir bil kitaabi bashorii wathluq bihii lisaanii washroh bihii shodrii wasta’mal bihii badanii bi hawlika wa quwwatika fa innahuu laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim.

Ya Allah, berilah cahaya dadaku dengan Al-Quran, gerakkan lisanku dengannya, lapangkan dadaku dengannya, gerakkan tubuhku dengannya dengan upaya dan daya-Mu. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Doa ini disebutkan dalam kitab Ahadits Hisyam bin Amar, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata;

من خشي ان ينسى القرأن فليقل اَللّهُمَّ نَوِّرْ بِالْكِتَابِ بَصَرِيْ وَاطْلُقْ بِه لِسَانِيْ وَاشْرَحْ بِه صَدْرِيْ وَاسْتَعْمَلْ بِه بَدَنِيْ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ فَإِنَّهُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Barangsiapa khawatir melupakan Al-Quran, maka hendaknya dia berdoa; Allohumma nawwir bil kitaabi bashorii wathluq bihii lisaanii washroh bihii shodrii wasta’mal bihii badanii bi hawlika wa quwwatika fa innahuu laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim (Ya Allah, berilah cahaya dadaku dengan Al-Quran, gerakkan lisanku dengannya, lapangkan dadaku dengannya, gerakkan tubuhku dengannya dengan upaya dan daya-Mu. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung).

BINCANG SYARIAH

Doa saat Membangun Rumah

Keberadaan bangunan rumah mempunyai fungsi yang sangat penting bagi setiap orang. Selain sebagai tempat berteduh dan berkumpul bersama keluarga, rumah juga berfungsi sebagai tempat ibadah kepada Allah. Oleh karena itu doa saat membangun rumah sangat penting artinya.

Saat membangun rumah selayaknya kita banyak memohon kepada Allah agar dijadikan tempat berteduh yang tenang, membawa kedamaian dan keberkahan. Salah satu doa saat membangun rumah adalah doa yang terdapat dalam surah Almu’minun ayat 29 berikut.

رَّبِّ أَنْزِلْنِيْ مُنْزَلًا مُّبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ

Rabbi anzilni munzalan mubarakan wa anta khoirul munzalin

“Ya Allah, tempatkan aku di tempat yang berkah, dan Engkau adalah sebaik‐baik pemberi tempat.”

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Bermakmum Kepada Penyembah Kubur

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Soal:

Apakah boleh shalat bermakmum kepada imam yang berkeyakinan menyimpang terhadap para wali dan orang shalih?

Jawab:

Keyakinan bahwasannya para wali dan orang shalih dapat memberi manfaat dan madharat (dengan sendirinya), atau memberikan kesembuhan kepada orang sakit, atau menghilangkan kesulitan, sebagaimana yang diyakini para penyembah kuburan (Quburiyyun) dewasa ini terhadap beberapa kuburan, ini semua adalah syirik akbar, wal ‘iyadzu billah (semoga Allah melindungi kita). Pelakunya telah keluar dari Islam, dikarenakan mereka telah beribadah kepada selain Allah ‘Azza Wa Jalla

Tidak ada yang dapat menguasai madharat dan manfaat, juga melapangkan kesempitan, serta juga menunaikan segala kebutuhan seorang hamba, kecuali Allah ta’ala semata. Tidak ada satu pun selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, yang dapat menguasai hal-hal di atas.

Keyakinan bahwa orang-orang yang telah wafat dan telah dikubur dapat memberikan manfaat dan madharat, bahkan walaupun keyakinan tersebut diarahkan kepada orang yang masih hidup. Bahwa mereka mampu melakukan sesuatu yang sejatinya hanya dimampui oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, seperti memberikan kesembuhan kepada orang yang sakit, mendatangkan rezeki, dan menolak marabahaya, maka semua keyakinan tersebut termasuk syirik akbar.

Itu semua merupakan bentuk bergantungnya hati dan tawakkal, bahkan penyerahan ibadah-ibadah yang agung, kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Sehingga, imam yang berkeyakinan sebagaimana dijabarkan di atas, selama masih di atas keyakinan tersebut, bukan termasuk orang Islam. Keimamannya pun tidak sah, disebabkan ia adalah seorang musyrik yang berbuat kesyirikan akbar kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

Anggota Hai’ah Kibar Al-Ulama, Saudi Arabia

Sumber: https://ar.islamway.net/fatwa/5410 

Penerjemah: Muhammad Fadhli, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Ini Bacaan Shalawat Agar Semua Hajat Tercapai

Salah satu cara mewujudkan keinginan, harapan dan hajat kita adalah dengan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Saw dan keluarganya. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani dalam kitab Afdalus Shalawat ‘ala Sayyidis Sadat, berikut adalah salah satu lafadz shalawat yang dianjurkan untuk dibaca agar keinginan dan hajat kita cepat tercapai.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ

Allohumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala aali sayidina muhammadin wa ‘ala ahli baitihi.

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan kepada penghuni rumahnya (ahlil bait).”

Syaikh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani menjelaskan keutamaan shalawat ini sebagai berikut;

قال ابن حجر في كتاب الصواعق روي عن جعفر مرفوعا : من صلى على محمد وعلى اهل بيته مائة مرة قضى الله مائة حاجة سبعين منها في اخرته قال الشيخ السجاعي في حاشيته عليه ولفظها اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ

“Ibnu Hajar dalam kitab Al-Shawa’iq berkata, ‘Diriwayatkan oleh Imam Ja’far secara marfu’ bahwa siapa saja yang membaca shalawat kepada Nabi Saw dan ahli baitnya sebanyak seratus kali, maka Allah mengabulkan hajatnya sebanyak seratus hajat, tujuh puluh di antaranya diberikan di akhirat. Syaikh Al-Suja’i berkata dalam kitab Hasyiah atas kita Al-Shawa’iq, ‘Lafadz shalawat tersebut adalah ; Allohumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala aali sayidina muhammadin wa ‘ala ahli baitihi.

BINCANG SYARIAH