Keistimewaan Ibadah Shalat

Shalat adalah ibadah yang paling utama dan paling agung. Shalat adalah sebaik-baik ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Shalat telah mendapatkan keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lainnya. Jika seorang hamba memperhatikan keistimewaan-keistimewaan ibadah shalat tersebut, maka sungguh dia akan semakin mengagungkan ibadah shalat dan akan semakin menjaga pelaksanaannya.

Allah Ta’ala yang langsung memerintahkan di malam mi’raj

Keistimewaan pertama adalah Allah Ta’ala mewajibkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam Mi’raj. Malam tersebut adalah malam yang paling agung dan paling mulia yang dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Malam tersebut adalah malam yang penuh berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dinaikkan ke langit ketujuh, dan mendengarkan perkataan Allah Ta’ala tanpa perantara.

Di malam tersebut, Allah Ta’ala mewajibkan ibadah shalat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan untuk ibadah yang lainnya, Allah Ta’ala mengutus Jibril ‘alaihis salaam untuk mewahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini di antara dalil yang menunjukkan agungnya ibadah shalat dan tingginya kedudukan ibadah shalat ini dalam agama.

Shalat lima waktu, namun setara dengan lima puluh shalat

Pertama kali diwajibkan, shalat tersebut diwajibkan sebanyak lima puluh kali sehari semalam. Kemudian diberikan keringanan menjadi lima shalat saja, namun timbangannya setara dengan lima puluh shalat. Siapa saja yang menjaga shalat lima waktu, seolah-olah dia shalat lima puluh kali sehari semalam. Sebagaimana terdapat dalam hadits ash-shahihain,

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ

“Itu shalat lima (waktu), namun (setara dengan) lima puliuh shalat.” (HR. Bukhari no. 349 dan Muslim no. 163)

Maksudnya, lima kali mengerjakan shalat, namun timbangan amalnya setara dengan lima puluh shalat. Tentu saja hal ini merupakan keutamaan dan nikmat yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada kita, umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shalat adalah syariat seluruh Nabi

Termasuk keistimewaan ibadah shalat adalah bahwa shalat merupakan syariat atau ibadah yang dilakukan oleh seluruh Nabi. Tidaklah Allah Ta’ala mengutus seorang Nabi, kecuali dengan membawa syariat shalat. Dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut dalam Al-Qur’an sangat banyak sekali.

Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab pada hari kiamat

Shalat adalah ibadah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

“Pada hari kiamat, pertama kali yang akan Allah Ta’ala hisab atas amal seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka dia akan beruntung dan selamat. Jika shalatnya rusak, maka dia akan rugi dan tidak beruntung.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 322, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan setelah beriman

Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba. Terdapat banyak dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah kisah diutusnya sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz,

ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

“Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mentaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)

Allah Ta’ala menyebut ibadah shalat dengan “iman”

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Yang dimaksud dengan “iman” dalam ayat tersebut adalah “shalat”. Hal ini karena shalat adalah timbangan iman, dan bukti benarnya keimanaan seseorang.  Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ

“Siapa saja yang menjaga ibadah shalat, maka dia akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan pada hari kiamat. Dan siapa saja yang tidak menjaga ibadah shalat, maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan pada hari kiamat.” (HR. Ahmad no. 6576 dan Ibnu Hibban no. 1467)

Allah Ta’ala mengkhususkan penyebutan ibadah shalat, meskipun sudah tercakup dalam makna umum sebelumnya

Di antara keistimewaan ibadah shalat adalah Allah Ta’ala mengkhususkan penyebutannya dalam banyak ayat, meskipun ibadah shalat tersebut sudah tercakup dalam makna umum yang disebutkan sebelumnya. Sebagai contoh adalah firman Allah Ta’ala,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 45)

“Membaca Al-Kitab (Al-Qur’an) mencakup mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an. Shalat termasuk dalam isi kandungan Al-Qur’an sehingga seharusnya sudah tercakup di dalamnya. Akan tetapi, Allah Ta’ala kemudian menyebutkannnya secara khusus.

Contoh yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ

“dan telah Kami wahyukan kepada mereka (untuk) mengerjakan kebajikan dan mendirikan shalat … “ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 73)

Shalat termasuk dalam “kebajikan”, namun Allah Ta’ala kemudian menyebutkannya secara khusus.

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal salih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 277)

Allah Ta’ala menyebutkan ibadah shalat secara khusus, meskipun shalat tersebut sudah tercakup dalam “amal shalih” yang disebutkan sebelumnya.

Penyebutan ibadah shalat secara khusus setelah sebelumnya sudah tercakup dalam makna umum adalah dalil yang sangat jelas tinggi dan mulianya kedudukan ibadah shalat.

Keistimewaan-keistimewaan lainnya

Selain keistimewaan yang sudah kami sebutkan, ibadah shalat masih memiliki keistimewaan-keistimewaan yang lainnya. Shalat diwajibkan setiap hari sebanyak lima kali di sepanjang umur manusia. Hal ini tidaklah didapatkan pada ibadah lainnya. Ibadah puasa diwajibkan setahun sekali, demikian juga zakat. Haji diwajibkan seumur hidup sekali. Berbeda dengan shalat yang diwajibkan setiap hari lima waktu dan sepanjang umur manusia.

Keistimewaan lainnya, Allah Ta’ala mewajibkan ibadah shalat dalam semua kondisi atau keadaan seseorang. Baik dia sakit, atau musafir, atau sejenisnya. Dalam kondisi tersebut, ibadah shalat tidaklah gugur, meskipun memang ada keringanan, namun kewajiban shalat tidaklah hilang secara keseluruhan.

Selain itu, Allah Ta’ala mempersyaratkan ibadah shalat tersebut untuk didirikan dalam kondisi yang paling mulia, dalam kesempurnaan thaharah (bersuci) dan bagusnya pakaian untuk menghadap Allah Ta’ala.

Inilah sebagian keistimewaan ibadah shalat yang banyak sekali dan telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah. Hendaknya seorang hamba merenungkan keistimewaan-keistimewaan ibadah yang agung ini sehingga dia pun kemudian mengagungkan dan menjaga pelaksanaan ibadah shalat.

Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Wakaf, Amalan Para Sahabat radhiyallahu‘anhum (Bag. 3)

Baca artikel sebelumnya di Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag.2)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Dahulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka paling segera dalam melakukan kebaikan. Mereka tidak bakhil (pelit) dalam mengorbankan harta mereka, bahkan jiwa mereka, demi membela agama Islam dan menyebarkannya.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan contoh terbaik di tengah-tengah umat ini untuk teladan dalam segala kebaikan, termasuk dalam hal berwakaf.

Mereka berlomba-lomba memberikan wakaf yang terbaik.

Mayoritas dari sahabat radhiyallahu ‘anhum yang memiliki kemampuan harta, mereka telah mewakafkan hartanya di jalan Allah.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga bersemangat mewakafkan harta mereka yang termahal, lalu Allah jaga wakaf mereka sehingga terus bermanfaat sampai berabad-abad. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafi’i, Al-Humaidi, Abu Bakr Al-Khashshaf, Ibnu Syaibah, Ibnu Hazm, dan selain mereka rahimahumullah.

Berikut ini adalah potret wakaf para sahabat radhiyallahu’anhum[1]

Gambaran Umum Wakaf Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Setiap sahabat yang memiliki harta telah mewakafkan hartanya

Jabir radhiyallahu’anhu berkata,

“Saya tidak mengetahui ada seorang pun yang mampu dari para sahabat, baik Muhajirin maupun Anshar radhiyallahu’anhum, melainkan ia mensedekahkan hartanya sebagai wakaf, tidak boleh dibeli, tidak diwariskan, dan tidak dihibahkan.”

Riwayat ini, meskipun disanadnya ada perawi yang majhul, tapi diperkuat dengan penguat-penguat lainnya, seperti:

Muhammad bin Abdur Rahman rahimahullah berkata,

“Saya tidak mengetahui seorang pun sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam peserta perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, melainkan telah mewakafkan hartanya, tidak boleh dibeli, tidak diwariskan, tidak dihibahkan.”

Riwayat yang semisal juga diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyib dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Riwayat yang semisal juga diriwayatkan dari Imarah bin Ghaziyyah dari para sahabat peserta perang Badar.

Riwayat yang semisal juga diriwayatkan dari Sa’id bin Abdur Rahman dari penduduk Quba’, peserta perang Badar dan Ahli Aqabah, bahwa mereka mewakafkan harta mereka pada orang-orang setelah mereka … ”

Gambaran Terperinci Wakaf Para Sahabat radhiyallahu ’anhum

Wakaf Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum

Para sejarawan, ahli hadits dan selain mereka menyebutkan bahwa setiap sahabat yang memiliki harta telah mewakafkan hartanya [2], baik jenis wakaf dzurri maupun wakaf khairi, di antaranya – sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Syabbah dalam Taariikhul Madiinah [3] – yaitu,

Pertama, Wakaf Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Al-Khashshaf dalam Ahkamul Auqaf  berkata,

“Diriwayatkan bahwa Abu Bakar mewakafkan rumah miliknya di Mekkah dan beliau tinggalkan hingga tidak diketahui bahwa rumah itu diwariskan darinya, namun ditempati orang-orang yang mukim, baik dari golongan anaknya, cucunya dan keturunannya di Mekkah. Mereka pun tidak saling mewariskan.”

Al-Baihaqi berkata dalam As-Sunan Al-Kubra,

Al-Humaidi berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu mewakafkan rumahnya di Mekkah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).”

Dan rumah tersebut adalah sebuah rumah terkenal di Mekkah.

Kedua, Wakaf Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Umar bin Al-Khaththab mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar, lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta arahan beliau tentangnya. Lalu dia berkata,

“Wahai Rasulullah, saya mendapatkan sebidang lahan tanaman (dari harta rampasan) di Khaibar, saya tidak pernah sekalipun mendapatkan harta sebagus lahan tanaman ini sebelumnya. Lalu apa yang Anda perintahkan kepadaku terhadap lahan tersebut?”

Beliau bersabda,

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Jika Engkau mau, Engkau tahan lahan tersebut (dari dimiliki [4]) dan Engkau sedekahkan (hasil tanaman)nya”.

Ibnu Umar berkata,

“Lalu Umar pun mewakafkannya, yang mana tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan olehnya.”

(Namun) Umar mewakafkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, jihad fi sabilillah, musafir (yang kehabisan bekal), dan untuk menjamu tamu.

Tidak berdosa bagi pengurus wakaf tanah tersebut untuk memakan dari (hasil tanaman)nya dengan cara yang baik [5], dan memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan [6].” (HR. Bukhari, Kitab Asy-Syuruth, Bab Asy-Syuruth fi Al-Waqf 2737)

Al-Baihaqi berkata dalam As-Sunan Al-Kubra, Al-Humaidi berkata, “Umar mewakafkan rumahnya di daerah Al-Marwah dan Ats-Tsaniyyah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi, pent.).”

Ketiga, Wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ، فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ المُسْلِمِينَ

“Barangsiapa yang membeli sumur “rumatun” [7], maka bagiannya dari air yang ia timba darinya itu seperti bagian air yang ditimba kaum muslimin.” Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pun membelinya.

Dalam hadits Shahih Bukhari rahimahullah pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ

Barangsiapa yang menggali sumur “rumatun”, maka baginya surga. Lalu ‘Utsman pun menggalinya.

Dan disebutkan dalam salah satu riwayat Basyir bin Basyir Al-Aslami disebutkan bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslimin.

Dari Al-Walid bin Abi Hisyam berkata,

Utsman berkata, “Rumahku yang di Mekkah ditempati (sebagai wakaf) oleh keturunanku dan orang-orang yang mau menempatinya.”

Keempat, Wakaf Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’ anhu.

Al-Baihaqi berkata, Al-Humaidi berkata,

“Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mewakafkan tanahnya di daerah Yanbu’, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).”

Dan disebutkan oleh Ibnu Syabbah dalam Taariikhul Madiinah bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu juga memiliki banyak mata air yang di wakafkan untuk orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

[Bersambung]

Penulis Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id

Mau wakaf Jam Waktu Sholat untuk di masjid atau musholah? Silakan berkunjung ke Toko Albani untuk membeli Jam Waktu Sholat!

Hidup Penuh Sunah Nabi, Seperti Apa Itu?

Hidupnya Alquran adalah dengan sunah.

Penggunaan istilah sunah memang marak digencarkan oleh umat Muslim dalam satu dekade terakhir ini. Namun apakah yang disebut sunah itu segala sesuatu yang asalnya hanya dari hadis? Lantas bagaimana keterkaitan hadis dengan Alquran itu sendiri?

Dalam buku Ilmu Living Quran-Hadis; Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi karya Ahmad Ubaydi Hasbullah dijelaskan, secara singkat penggunaan sunah sejatinya berupa penegasan bahwa kata tersebut merupakan perwakilan dari kata Alquran dan hadis. Sedangkan istilah sunah yang hidup dan menghidupkan sunah juga merupakan komponen utama living Quran-Hadis.

Tema living Alquran-hadis memiliki makna ganda. Yang pertama yaitu bermakna menghidupkan Alquran dan hadis (ihya Alquran wal ihya al-hadis). Sedangkan yang kedua adalah the living Alquran and hadis.

Dijelaskan bahwa yang disebut sebagai sunah adalah Alquran dan hadis. Dengan mengacu pada Alquran saja, maka sunah itu tidak akan hidup. Sebab hidupnya Alquran adalah dengan sunah. Sedangkan esensi dari hadis adalah sunah itu sendiri. Sehingga komposisi sunah adalah Alquran dan hadis.

Sedangkan pada masa Nabi, sunah pasti hidup karena Nabi sendiri yang menghidupkannya. Nabi mengacu pada Alquran, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam testimoni Sayyidah Aisyah bahwa akhlak Nabi tak lain adalah Alquran (kaana khuluquhu Alquran). Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Nabi merupakan artikulasi dari Alquran tanpa terkecuali.

KHAZANAH REPUBLIKA


Pelindung dan Penolongku Hanya Allah!

Allah Swt Berfirman :

إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an). Dia melindungi orang-orang shalih.” (QS.Al-A’raf:196)

Di masa itu, orang-orang musyrikin selalu meneror Nabi Muhammad Saw dan selalu menakut-menakuti beliau dengan berhala-berhala mereka. Ayat ini adalah sebuah perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk membalas teror dan ancaman mereka dengan ucapan :

إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah !”

Kata الوَلِي memiliki arti kekasih yang melindungi, penolong dan penjaga. Yakni semua makna ini mengarah pada “penjagaan” Allah atas Nabi-Nya.

Allah Swt memerintahkan kepada Nabi untuk mengucapkan secara tegas bahwa pembelaku, penolongku, penjagaku adalah Allah ! Tuhan Semesta Alam. Maka semua kekuatan, teror dan ancaman kalian sama sekali tak berarti bagiku.

Pada bagian selanjutnya dari ayat ini, Allah Swt menyebutkan :

ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ

“yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an).”

Setelah menyebut penolongku adalah Allah, ayat ini menggandengkan dengan Sifat Allah yaitu “yang menurunkan Al-Qur’an”. Seakan Rasulullah Saw diperintahkan untuk berkata kepada mereka :

“Aku tidak memperdulikan syariat dan aturan hidup yang kalian jalankan selama kini. Karena pelindungku adalah Allah, Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan Dia-lah yang berjanji akan menjadi penolong bagi setiap hamba yang berjuang di jalan-Nya. Sementara berhala yang kalian sembah bahkan tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri, apalagi akan menyelamatkan kalian.”

Dan pada bagian terakhir disebutkan :

وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ

“Dia melindungi orang-orang shalih.”

Pada bagian akhir ini ditegaskan kembali bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba yang berada di jalan-Nya. Ini sudah menjadi Sunnatullah yang pasti bahwa ketika Allah selalu menjadi penolong dan pembela bagi Nabi-Nya, maka Allah juga akan menjadi penolong dan pembela bagi orang-orang mukmin. Dan ini adalah kabar gembira bagi seluruh orang muslim yang istiqomah berada di jalan Nabi Muhammad Saw. Bahwa Allah pasti akan menjadi penolong dan pelindung mereka selalu.

Maka kesimpulannya, Allah Swt adalah pembela dan penolong bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang tertindas di muka bumi ini. Maka siapapun yang mencari perlindungan dari selain Allah maka ia telah tersesat dan merugi. Karena Allah adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Sementara Iblis adalah seburuk-buruk pelindung dan seburuk-buruk penolong bagi orang kafir.

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kengerian di Hari Kiamat

Huru – hara di jagat raya

Akan tiba saatnya malaikat Israfil meniup sangkakala. Bumi diguncangkan dengan sedahsyat – dahsyatnya. Gunung – gunung dihancurkan dan diterbangkan bagai bulu berhamburan, manusia berlarian bak belalang beterbangan. Lautan meluap dan menyala, langit terbelah dan merapuh, cahaya rembulan menghilang, bintang berjatuhan, matahari pun digulung.

اِذَا رُجَّتِ الْاَرْضُ رَجًّاۙ – ٤  وَّبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّاۙ – ٥ فَكَانَتْ هَبَاۤءً مُّنْۢبَثًّاۙ – ٦

“Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan.” (QS. Al Waqi’ah: 4-6)

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ

“dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al Qari’ah: 5)

خُشَّعًا اَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْاَجْدَاثِ كَاَنَّهُمْ جَرَادٌ مُّنْتَشِرٌۙ

Pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al Qomar: 7)

اِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْۖ – ١ وَاِذَا النُّجُوْمُ انْكَدَرَتْۖ – ٢  وَاِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْۖ – ٣

“Apabila matahari digulung, bintang-bintang berjatuhan, dan gunung-gunung dihancurkan.” (QS. At Takwir: 1-3)

اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ – ١ وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ – ٢ وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ – ٣

“Apabila langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan, dan lautan dijadikan meluap.” (QS. Al Infithar: 1-3)

وَانْشَقَّتِ السَّمَاۤءُ فَهِيَ يَوْمَىِٕذٍ وَّاهِيَةٌۙ

“dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh.” (QS. Al Haaqqah: 16)

وَاِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْۖ

“dan apabila lautan dipanaskan.” (QS. At Takwir: 6)

Banyak mata terbelalak, wajah biru muram tertunduk terhina penuh penyesalan dan hati takut tak terkira. Hari itu ibu akan lalai dengan anak susuannya. Manusia berlari dari saudara, ibu-bapak, istri dan anak-anaknya. Manusia berlarian untuk dirinya masing – masing. [1]

فَاِذَا جَاۤءَتِ الصَّاۤخَّةُ ۖ – ٣٣ يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ – ٣٤  وَاُمِّه وَاَبِيْهِۙ – ٣٥ وَصَاحِبَتِه وَبَنِيْهِۗ – ٣٦

“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya.” (QS. ‘Abasa: 33-37)

Baca Juga: Teman Akrab Menjadi Musuh di Hari Kiamat

Keadaan manusia saat hari kebangkitan

Manusia dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan dalam keadaan tidak dikhitan. Manusia benar – benar akan dibangkitkan lagi sebagaimana dulu pernah diciptakan pertama kali, keluar dari rahim ibu dalam keadaan seperti itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً

“Manusia akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan belum dikhitan.” (HR. Muslim no 2859 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Manusia dibangkitkan dalam keadaan yang bermacam – macam. Orang yang selama di dunia selalu meminta – minta kepada orang lain, dia akan dibangkitkan dalam keadaan berwajah tanpa daging. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْم

Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 )

Orang yang semasa di dunia senantiasa dalam kesombongan, dia akan dibangkitkan dalam keadaan berbadan sebesar semut. ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam,

“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Laki – laki yang selama di dunia berpoligami namun tidak adil kepada istri – istrinya maka dia akan dibangkitkan dalam keadaan berbadang miring. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3942. Syaikh Al Albani menyatakan hadits tersebut shahih)

Para pelaku riba’ akan dibangkitkan dalam keadaan berjalan sempoyongan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman,

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.” (QS. Al Baqarah: 275)

Orang – orang kafir akan berjalan di atas wajah – wajah mereka. Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ada seorang berkata kepada rasulullah“Wahai Rasulullah, bagaimana bisa orang kafir digiring di atas wajah mereka pada hari Kiamat?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bukankah Rabb yang membuat seseorang berjalan di atas kedua kakinya di dunia, mampu untuk membuatnya berjalan di atas wajahnya pada hari Kiamat?!” (HR.Bukhari no. 4760 dan Muslim no. 2806)

Padang mahsyar yang mencekam

Bumi akan ditarik dan didatarkan. Manusia akan melanjutkan perjalanan menuju persidangan di hadapan kepada Dzat yang telah menciptakan dan membangkitkannya lagi. Semua akan dikumpulkan dalam dataran luas dan rata.[2] Matahari akan didekatkan 1 mil. Peluh bercucuran hingga ada yang tenggelam karenanya.

Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.”Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata.

”Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Manusia tersiksa di dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua betisnya. Ada pula yang sampai pinggangnya. Ada juga yang keringatnya sungguh-sungguh menyiksanya.” 

Perawi berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjuk dengan tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2864)

Di antara hal yang membuat mencekam adalah didatangkannya neraka pada masa – masa di padang mahsyar tersebut. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لَهَا سَبْعُونَ أَلْفَ زَمَامٍ، مَعَ كُلِّ زَمَامٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ يَجُرُّونَهَا

“Didatangkan neraka di hari itu, dalam keadaan ia memiliki 70.000 tali kekang. Setiap tali kekang diseret oleh 70.000 malaikat.” (HR. Muslim no. 2842)

Masa penantian, sungguh hari – hari mengerikan dan menyakitkan.  Letih dan lelah menunggu dimulainya persidangan. Pergilah manusia kepada Nabi Adam ‘alaihissalaam meminta untuk memohonkan syafaat kepada Allah ta’ala, namun Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab, “Sungguh hari ini Rabbku sangat murka.

Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, Dia melarangku akan suatu pohon, tetapi saya berbuat maksiat. Saya juga butuh syafaat, saya juga butuh syafaat. Pergilah ke selain aku. Pergilah kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam.”

Mereka pun lantas mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalaam dan meminta supaya beliau memohonkan syafaat kepada Allah ta’ala, namun beliau tidak mampu untuk mengabulkan permintaan itu.

Kemudian mereka melanjutkan menuju Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa ‘alaihimussalaam. Akan tetapi mereka semua tidak mampu, dan mengatakan perkataan yang kurang lebih sama, “Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya.”

Akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam dan meminta supaya beliau memohonkan syafaat kepada Allah. Beliau pun lantas berangkat hingga sampai di bawah Arsy. Beliau bersujud kepada Rabb.

Kemudian Allah ta’ala ajarkan pada beliau pujian-pujian kepada-Nya serta keindahan sanjungan terhadap-Nya yang belum pernah Dia ajarkan kepada selain beliau. Hingga akhirnya Allah ta’ala pun mengabulkan doa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam[3]

Persidangan menegangkan

Allah ta’ala datang, sedangkan malaikat berbaris berurutan. Tibalah hari persidangan. Manusia yang selama di dunia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain, maka saat itulah manusia akan dituntut atas apa yang telah dilakukan di dunia. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tahukah kamu siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat radhiyallahu’anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) shalat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini.

Maka orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan padanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581)

Kemudian orang – orang yang akan binasa dihisab di depan banyak orang sehingga dia akan sangat malu dengan dosa – dosanya. Manusia akan diberikan catatan amalannya.

Orang yang celaka akan menerima catatan amalnya dengan tangan kirinya. Dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku”. (Allah ta’ala berfirman): “Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.”[4]

Kemudian tibalah hari penimbangan. Sekecil apapun amalan seseorang di dunia pasti akan Allah ta’ala datangkan pada hari kiamat. Termasuk berbagai kemaksiatan dan dosa yang pernah dilakukan manusia semasa di dunia, meskipun tidak ada orang yang tahu dan meskipun semasa di dunia manusia telah melupakannya. Kemudian manusia akan dikelompok-kelompokkan. Orang zhalim akan dikelompokkan dengan orang zhalim, orang munafik dengan orang munafik dan lain sebagainya. Lantas Allah ta’ala jadikan tempat tersebut gelap.

Bentangan di atas neraka Jahannam

Manusia akan melewati jembatan yang terbentang di atas neraka jahannam. Jembatan yang lebih halus dari rambut, lebih tajam dari pedang, licin, menggelincirkan, terdapat besi – besi pengait dan kawat berduri berujung bengkok.  

Banyak manusia akhirnya tergelincir dan terjatuh ke dalam panasnya neraka Jahannam, dan tidak ada yang menjamin kita kelak dapat melewatinya dengan selamat. Kita berdoa semoga kita termasuk orang – orang yang Allah ta’ala beri keselamatan.

بَلَغَنِي أنَّ الجِسْرَ أدَقُّ مِنَ الشَّعْرَةِ، وأَحَدُّ مِنَ السَّيْفِ

“Telah sampai (berita) kepadaku bahwa shirath itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang…” (HR. Muslim no. 183)

ثم يؤتى بالجسر فيجعل بين ظهري جهنم. قلنا: يا رسول الله، وما الجسر؟ قال: مدحضة مزلة، عليه خطاطيف وكلاليب، وحسكة مفلطحة لها شوكة عقيفاء، تكون بنجد، يقال لها: السعدان،

“Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, bagaimana bentuk jembatan itu?”. Jawab beliau, “Licin dan mengelincirkan.

Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dân…” (HR. Bukhari no. 7439 dan Muslim no. 183)

Sungguh, mungkin terkadang kita terlalu tersibukkan dengan dunia dan melupakan kengerian di hari kiamat. Padahal kehidupan yang abadi adalah kehidupan akhirat.

Saat ini, hari – hari yang sedang kita jalani adalah kenyataan bagi kita dan hari kiamat itu masih dalam berita yang harus dipercaya. Kelak di hari kiamat nanti, hari kiamat adalah nyata dan hari ini tinggallah cerita yang akan disesali oleh banyak manusia.

Baca Juga:

Penulis Apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki

[1] Lihat juga QS. Thaha: 102 dan QS. Al Hajj: 1-2, QS. ‘Abasa: 33-37

[2] Lum’atul I’tiqad syarah Syaikh Fauzan hal. 205

[3] Lihat selengkapnya di HR. Bukhari no. 7510 dan Muslim no. 193

[4] Lihat selengkapnya QS. Al Haqqah : 25 – 31

Maulid Nabi, Ekspresi Cinta Untuk Taat Syariat

Cinta kepada Nabi Muhammad SAW adalah menjalankan ketaatan dengan syariat Islam

Setiap memasuki bulan Rabiul Awal, terkenang sosok manusia agung kekasih Allah SWT. Kegundahannya adalah memikirkan nasib umatnya. Bahkan kegundahan memikirkan nasib umatnya tersebut terbawa hingga menjelang wafatnya. 

Beliau gundah akan nasib umatnya sepeninggal beliau. Apakah umatnya tetap berpegang teguh dengan syariat yang dibawanya? Ataukah justru umatnya ini banyak menelantarkan syariat yang dibawanya?

Bulan Rabiul Awal mendedangkan kerinduan kepada sosok tauladan sepanjang jaman yakni Nabi Muhammad SAW. Kami mengetahui bahwa dengan kegembiraan saja menyambut kelahiranmu, bisa mendatangkan rahmat Allah SWT. 

Adalah Abu Lahab, sang paman yang memusuhi dakwah Nabi SAW, mendapatkan dispensasi dari siksa yang diterimanya setiap hari kelahiran Nabi SAW lantaran suka citanya menyambut kelahiran beliau SAW. Lantas, bagaimana pula dengan kita, umatnya yang ingin meneladaninya dan menaati syariat yang dibawanya? Tentu keberkahan hidup akan didapatkan. 

Ekspresi kegembiraan dan suka cita menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW itu terlihat di tengah–tengah kaum muslimin. Mereka membaca sholawat, melakukan diba’an dan mengadakan pengajian mauidhoh hasanah serta seabrek kegiatan lainnya sebagai wujud kegembiraan menyambut kelahiran Nabi SAW. Adalah merupakan kewajaran bila orang tua sangat gembira dengan kehadiran seorang anak di tengah–tengah kehidupan mereka. 

Bahkan mereka akan mengungkapkan kegembiraan tersebut dengan melakukan perayaan kecil–kecilan atas kehadiran sang buah hati. Hari–hari mereka akan penuh warna kebahagiaan. Bertumpu asa akan anaknya nanti menjadi anak yang sholih sehingga menjadi tabungan kebaikan dan pahala bagi kehidupan mereka di dunia dan akherat. 

Sedangkan momen Rabiul Awal ini adalah momen kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran manusia agung yang mendapatkan mandate menyelamatkan manusia dan dunia dari kehancuran. Risalah Islam sebagai kunci keselamatan dunia dan akherat, disampaikannya. Tidakkah lebih layak lagi bagi kita untuk bersuka cita dan mengekspresikan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW? 

Akan tetapi kegembiraan dan suka cita itu sebagian besarnya hanya berhenti dan terpaku secara seremonial belaka. Suka cita akan kelahiran Nabi Muhammad SAW berhenti di malam itu. Ya, malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Seolah mereka sudah merasa cukup dengan ekspresi suka cita dan kegembiraan di malam peringatan tersebut. Itulah wujud cinta mereka kepada sang junjungan. 

Akibatnya yang terjadi kewajiban ditinggalkan dengan pemakluman udzur habis mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sejak sore begitu sibuknya mengurus semua hal terkait peringatan Maulid Nabi. Sholat Ashar, Maghrib dan Isya pun melayang diterbangkan oleh kesibukan melakukan perayaan. 

Tidak terkecuali Sholat Subuh juga terlewati. Bangun tidur kesiangan, saat ditanyakan jawabannya adalah maklum tadi malam begadang melakukan kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. 

Walhasil, berulang kali peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan, potret kehidupan umat belum berubah. Umat ini masih terpuruk dalam gelapnya lorong kehidupan yang jauh dari penerapan risalah sang Nabi. 

Sedangkan Mauidhoh hasanah diperdengarkan, bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW menandai akan era baru. Yakni sebuah era untuk mengubah wajah dunia yang diliputi kegelapan menjadi wajah baru dunia yang diliputi cahaya petunjuk ilahi yakni ajaran Islam. Inilah makna dan esensi yang harus disadari oleh umat Islam. 

Ekspresi kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi sumber energi yang seharusnya melahirkan munculnya enegi dan gelombang besar sebuah gerakan umat untuk menaati Syariat Islam. Dan tidak bisa disebut sebagai menaati syariat hingga kita, umat Islam senantiasa melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari–hari.

Dengan demikian kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah kecintaan yang semu. Akan tetapi kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebuah cinta sejati, sebuah cinta yang melahirkan ketaatan dalam melaksanakan dan berpegang teguh dengan Syariat Islam yang mulia. 

Pengirim: Ainul Mizan, penulis tinggal di Malang

KHAZANAH REPUBLIKA

Wudhu dengan Air yang Tidak Cukup

Jika ada orang yang hanya memiliki sedikit air, sehingga jika digunakan untuk wudhu, hanya bisa untuk sebagian anggota wudhu. Sementara anggota badan lainnya, tidak bisa dicuci. Apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ulama berbeda pendapat dalam menjawab kasus semacam ini,

Pendapat pertama, orang yang memiliki sedikit air, dia diwajibkan untuk berwudhu dengan air seadanya, meskipun tidak sempurna, dalam arti tidak cukup untuk semua anggota wudhu. Kemudian setelah itu, dia harus tayammum. Ini merupakan pendapat Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali.

Pendapat kedua, orang itu tidak diwajibkan wudhu, sehingga dia tidak perlu menggunakan air itu untuk bersuci. Sehingga statusnya seperti orang yang tidak menjumpai air. Karena itu, dia harus tayammum. Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, serta pendapat mayoritas ulama.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

واختلف الفقهاء كذلك فيمن لم يجد من الماء إلا ما يكفي بعض أعضائه. فذهب الأحناف والمالكية وأكثر العلماء : إلى أنه يترك الماء الذي لا يكفي إلا لبعض أعضائه ، ويتيمم، وهذا أحد الوجهين عند الحنابلة .وذهب الشافعية في الأظهر إلى أنه يلزمه استعماله، ثم يتيمم، وهو الوجه الثاني عند الحنابلة.

Ulama berbeda pendapat tentang orang yang tidak menjumpai air, selain sedikit air yang hanya cukup untuk sebagian anggota wudhunya. Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas ulama, bahwa orang ini harus membiarkan air yang tidak cukup itu, dan dia harus bertayammum. Dan ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali. Sementara menurut pendapat yang lebih kuat dalam madzhab Syafiiyah, menyatakan bahwa orang ini harus menggunakan air itu. kemudian dia bertayammum. Dan ini merupakan pendapat kedua dalam madzhab Hambali. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 8/125)

Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat dalam madzhab Hambali,

وإن وجد ماء لا يكفيه: لزمه استعماله، وتيمم للباقي إن كان جنبا، لقول الله تعالى: ( فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا )؛ وهذا واجد. وقال النبي – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (إِذَا أَمَرتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأتُوا مِنهُ مَا اسْتَطَعْـتُمْ) رواه البخاري. وقال: (إِذَا وَجَدْتَ المَاءَ فَأَمسِهِ جِلْدَكَ)

Jika orang tersebut menjumpai air namun tidak cukup, dia harus tetap menggunakannya, dan harus bertayammum untuk sisa anggota badan lainnya, jika dia junub. Berdasarkan firman Allah – Ta’ala – (yang artinya), “Jika kalian tidak menjumpai air, maka lakukanlah tayammum.” Sementara orang ini menjumpai air. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila aku perintahkan kalian maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika kamu menjumpai air, gunakan untuk membersihkan kulitmu (untuk bersuci).” (al-Kafi, 1/119)

Tarjih

InsyaaAllah pendapat yang lebih mendekati dalam hal ini adalah pendapat jumhur (Hanafiyah + Malikiyah), bahwa bagi orang yang tidak memiliki air yang cukup untuk wudhu, maka dia biarkan air itu dan bertayammum.

Dengan alasan:

[1] Jika air yang terbatas itu digunakan untuk wudhu, sementara ada anggota wudhu yang tidak terkena air maka wudhu batal. Dan melakukan wudhu yang jelas batal, percuma saja.

[2] Jika tidak memungkinkan melakukan ibadah asal, maka dilakukan ibadah penggantinya. Sehingga ketika tidak memungkinkan berwudhu yang sah, maka cukup lakukan tayammum.

Demikian.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Kaidah Jual Beli yang Mendukung Maksiat

Apa ada kaidah baku yang bisa membantu dalam memahami jual beli barang haram dan jual beli yang digunakan untuk perbuatan maksiat? Apakah setiap jual beli yang mendukung maksiat jadi haram?

Moga bahasan Rumaysho.Com kali ini bisa membantu untuk memahami masalah ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah.” (QS. Al-Maidah: 2)

Beberapa contoh tolong menolong dalam maksiat

Pertama: Tolong menolong dalam transaksi riba

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menegaskan haramnya menjadi pencatat bagi dua orang yang bertransaksi riba dan menjadi saksi dalam transaksi tersebut. Hadits ini juga menunjukkan haramnya tolong menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11:23)

Orang yang duduk di sekitar orang yang minum khamar pun tidak dibolehkan. Dari ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah sampaikan kepada segenap manusia bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk di tempat yang di sana terdapat khamar yang diedarkan.” (HR. Ahmad, 1:20. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi, sedangkan sanad hadits ini dhaif. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib menyatakan bahwa hadits ini sahih lighairihi).

Kedua: Tolong menolong dalam meminum khamar

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan Ibnu Majah no. 3380. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Ketiga: Tolong menolong dalam risywah (sogok menyogok)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud, no. 3580; Tirmidzi, no. 1337; Ibnu Majah no. 2313. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Apa yang dimaksud risywah? Risywah bisa dibaca dengan rusywah, bisa pula dengan rasywah. Ketiga cara baca ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (5:221). Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata,

الرِّشْوَة كُلّ مَال دُفِعَ لِيَبْتَاعَ بِهِ مِنْ ذِي جَاهُ عَوْنًا عَلَى مَا لَا يَحِلُّ ، وَالْمُرْتَشِي قَابِضه ، وَالرَّاشِي مُعْطِيه ، وَالرَّائِش الْوَاسِطَة

“Risywah adalah segala sesuatu yang diserahkan untuk membayar orang yang punya kedudukan supaya menolong dalam hal yang tidak halal. Al-murtasyi adalah yang menerima sogok. Ar-rasyi adalah yang memberikan sogok. Ar-raisy adalah perantara dalam menyogok.” (Fath Al-Bari, 5:221)

Kaidah jual beli yang mendukung maksiat

1. Mubasyarah maqshudah (langsung barang maksiat dan ditujukan untuk maksiat)

Mubasyarah: Barang maksiat

Maqshudah: Ditujukan untuk maksiat

Contoh: Ada yang menjual khamar yang digunakan untuk pecandu yang minum minuman keras.

Hukum: Haram menolong

2. Mubasyarah ghairu maqshudah (langsung haram tetapi tidak diketahui tujuannya untuk hal mubah)

Mubasyarah: Barang maksiat

Ghairu maqshudah: Tidak diketahui kegunaannya untuk hal yang mubah

Contoh: Ada yang membeli rokok, di mana yang membeli pasti bukan gunakan untuk hal mubah. Bentuk lainnya adalah membeli rokok, bukan ia yang merokok, tetapi orang lain.

Hukum: Haram menolong

3. Maqshudah ghairu mubasyarah (ditujukan untuk maksiat tetapi tidak langsung barang haram)

Maqshudah: Diketahui dipakai maksiat

Ghairu mubasyarah: Barang mubah

Contoh: Ada yang memberi uang, tetapi tahu akan digunakan membeli miras.

Hukum: Haram menolong

4. Ghairu mubasyarah wa laa maqshuudah (tidak langsung dan tidak ditujukan untuk maksiat)

Ghairu mubasyarah: bukan barang maksiat

Ghairu maqshudah: dapat digunakan untuk yang mubah dan haram

Contoh: Menjual gawai dan tidak diketahui dipakai untuk yang mubah ataukah yang haram.

Hukum: Boleh menolong

Keempat kaidah di atas disimpulkan dari Majma’ Fuqaha bi ‘Amrika dalam konferensi kelima di Bahrain pada tahun 1428 H, di mana disarikan dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (cetakan ke-23), hlm. 623-624.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

  1. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ath-Thiybah.
  2. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-23, Tahun 2020. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Berkat Mulia Insani.
  3. Shahih Muslim bi Syarh Al-Imam Muhyiddin Yahya bin Syarf An-Nawawi (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj). Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Disusun di Darush Sholihin, Malam Jumat, 23 Muharram 1442 H (11 September 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Yuk, kembangkan Jual Beli yang Jujur dan Amanah di Toko Albani

Haramnya Bisnis dengan Skema Ponzi dan Aplikasi GOINS

CIRI INVESTASI PENIPUAN

  1. Menawarkan imbalan hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar.
  2. Mengandalkan pemasukan dari investor baru
  3. Nilai produk atau jasa yang diperoleh tidak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan
  4. Alamat perusahaan tidak jelas

BENTUK INVESTASI PENIPUAN

  1. Skema ponzi
  2. Skema piramida
  3. Inventory loading

SKEMA PONZI

Dalam skema Ponzi, investor dijanjikan akan mendapatkan penghasilan dengan cara cepat dan berlipat (quick and rich scheme) dari sejumlah uang yang diinvestasikan. Padahal, imbal hasil dalam jumlah besar yang diterima oleh seorang investor tersebut sebenarnya berasal dari uang yang disetorkan oleh investor lain.

SKEMA PIRAMIDA

Skema piramida nyaris senada dengan skema Ponzi. Imbal hasil yang diterima oleh seorang investor sebenarnya juga berasal dari uang yang disetorkan oleh investor lain. Hanya saja, dalam skema Piramida investor juga harus menjadi pemain yang aktif mencari investor lain. Jika tidak bisa mencari investor lain, ia tidak akan mendapatkan apa-apa.

INVENTORY LOADING

Dalam system ini, ada produk atau jasa lain yang diberikan sehingga menjadi seolah-oleh pemasaran berjenjang.

Produk yang ditawarkan tidak hanya berupa barang seperti koin emas atau berlian, tetapi juga berupa jasa pelatihan atau konsultasi yang nilai sebenarnya jauh lebih kecil dari investasi yang harus dikeluarkan.

APLIKASI GOINS

  • Cukup beri like Instagram pada postingan tertentu
  • Dapat duit cuma dengan sekedar like
  • Di balik itu sebenarnya ada investasi yang ditawarkan sebelum menarik poin

Bentuk investasi di GOINS

  • Paket staff dengan biaya Rp. 388.888.
  • Paket pengawas dengan biaya Rp. 588.888
  • Paket pengelola dengan biaya Rp. 1.988.888

GOINS ADALAH SKEMA PONZI (ARISAN BERANTAI)

Goins sebetulnya arisan berantai. Anda setor uang lalu mendapat penghasilan. Dari mana penghasilan Anda? Dari setoran orang yang masuk setelah anda. Lalu orang setelah anda mendapat penghasilan dari orangbyang lebih baru lagi. Begitulah seterusnya.

SKEMA PONZI MEMBUTUHKAN MEMBER BARU BERLIPAT-LIPAT

Karena member lama mendapat untung dari uang member baru, maka skema ponzi membutuhkan adanya member baru secara terus menerus. Dan karena member lama untungnya berlipat-lipat, maka jumlah member baru pun harus berlipat-lipat dari jumlah member sebelumnya.

Bahasan di atas kami menukilkan dari Majalah Manajemen Risiko Stabilitas (Hidajat 2009).

HUKUM HARAMNYA BISNIS PONZI DAN APLIKASI GOINS

Sifat bisnis yang bermasalah adalah jika ada:

  1. Penipuan
  2. Menzalimi orang lain

Menipu dan mengelabui orang lain diharamkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).

Menzalimi harta orang lain tidak boleh karena hadits ini,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah, harta, kehormatan di antara kalian itu haram sebagaimana haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (HR. Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أَنَّ الأَصْلَ فِي المُعَامَلاَتِ الحِلُّ وَالصِحَّةُ مَالَمْ يُوْجَدْ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ وَالفَسَادِ

“Sesungguhnya hukum asal dalam muamalat adalah halal dan sah selama tidak ada dalil yang menunjukkan diharamkan dan menunjukkan rusaknya.” (Syarh Al-Mumti’, 9:120)

Lalu beliau melanjutkan,

مَا دَامَ لَيْسَ فِيْهِ ظُلْمٌ وَلاَ غَرَرٌ وَلاَ رِبًا فَالأَصْلُ الصِحَّةُ

“Selama dalam akad tidak terdapat unsur kezaliman, gharar (ada unsur ketidakjelasan), dan riba, maka akad tersebut sah.” (Syarh Al-Mumti’, 9:120)

Referensi:

Hidajat, Taofik. 2009. “Awas, Skema Ponzi Berkedok Bisnis Di Internet.” Majalah Manajemen Risiko STABILITAS.

Disusun di Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, 19 Safar 1442 H (7 Oktober 2020)

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

12 Bentuk Kezaliman pada Harta Orang Lain

Ternyata kezaliman pada harta orang ada beberapa bentuk yang ini sudah dibahas atau diulas oleh para ulama di masa silam. Beberapa bentuknya ada pula di zaman ini.

Ketika Imam Adz Dzahabi membahas dalam kitab Al Kabair pada Dosa Besar no. 20: Kezaliman mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Lihat Al Kabair hal. 53-55.

Apa saja bentuk kezaliman dalam harta, yaitu mengambil harta orang lain dengan cara yang batil?

  • Pemungut liar
  • Perampok jalanan
  • Pencuri (mengambil harta orang lain yang sudah ia beri pengamanan)
  • Pengangguran yang mengemis dari orang lain
  • Pengkhianat
  • Penipu
  • Orang yang meminjam sesuatu lalu mengingkarinya
  • Berbuat curang dalam timbangan atau takaran
  • Mengambil barang temuan (yang berharga) yang tidak mempublikasikannya lebih dahulu
  • Menjual sesuatu yang memiliki ‘aib dan disembunyikan cacatnya
  • Berjudi (bertaruh)
  • Memberitahukan harga modal lebih dengan maksud membohongi pembeli

Itu 12 bentuk mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebagian besarnya sudah pernah kami bahas di Muslim.Or.Id maupun Rumaysho.Com (silakan klik link di atas). Sebagian lainnya insya Allah akan menyusul untuk dibahas. Semoga Allah mudahkan.

Referensi:

Al Kabair, Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul di Darush Sholihin, 25 Rabi’ul Akhir 1436 H

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com