Apa Perbedaan Antara Kalimat “Al-Abawain” dan “Al-Walidain” dalam Al-Qur’an?

Sekilas kalimat “Al-Abawain” dan “Al-Walidain” memiliki makna yang sama yaitu kedua orang tua. Tapi walaupun keduanya punya makna yang sama, setiap kata dalam bahasa arab memiliki kandungan makna yang berbeda.

Kalimat Al-Abawain memiliki makna ayah dan ibu, namun lebih dominan ke ayah karena kalimat ini di ambil dari kata الأَبوَة (ayah).

Sedangkan kalimat Al-Walidain juga bermakna ayah dan ibu, namun lebih dominan ke ibu. Kare a kalimat ini di ambil dari kata الوِلَادَة (kelahiran), yang tentunya itu adalah sifat wanita bukan lelaki.

Nah yang menarik, dalam ayat-ayat yang berkaitan tanggung jawab dan urusan-urusan besar, yang di gunakan adalah kalimat “Al-Abawain”.

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ لَا يَفۡتِنَنَّكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ كَمَآ أَخۡرَجَ أَبَوَيۡكُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ

“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga.” (QS.Al-A’raf:27)

وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS.Yusuf:100)

Adapun pesan-pesan yang mengandung perasaan, seperti doa untuk orang tua, berbuat baik kepada orang tua dan permononan maaf dari orang tua, semua itu menggunakan kalimat “Al-Walidain”.

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS.Al-Ahqaf:15)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS.Al-Isra’:23)

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).” (QS.Ibrahim:41)

Subhanallah ! Alangkah detailnya keindahan kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an.

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Hukum COD (Cash On Delivery) Dalam Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum COD (Cash On Delivery) Dalam Islam
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga.

Ustadz, bagaimana hukum beli barang lewat marketplace (seperti Laza*a atau Sho*ee), dengan cara COD (Cash On Delivery), apakah boleh dalam islam?

(Disampaikan oleh Sahabat Belajar Bimbingan Islam)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Seiring dengan berkembangnya peradaban berkembang pulalah teknologi, dan seiring dengan berkembangnya teknologi berkembang pulalah macam kebutuhan manusia, semua ini Sunnatulloh yang tidak bisa dihindari. Itulah mengapa para Ulama menyusun sebuah kaidah tentang hukum asal urusan muamalah dunia atau non ibadah adalah halal

الأصل في المعاملات الحل والإباحة

“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”

Berkebalikan dengan hukum asal urusan ibadah yang Harom

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah harom (sampai adanya dalil)”

Kenapa demikian? Karena zaman terus berubah, teknologi semakin maju, dan kebutuhan pun semakin bermacam-macam. Dahulu kakek buyut kita belanja pakai uang logam, sekarang banyak macam e-money. Dulu kita pergi ke pasar harus keluar rumah, sekarang diatas tempat tidur pun bisa. Para pedagang yang biasanya membawa barang dagangannya ke Pasar, sekarang modal foto dan kata-kata pun sudah bisa untung. Semua sarana prasarana, fasilitas dan teknologi ini hukum asalnya mubah, berbeda dengan urusan Ibadah yang telah dipatenkan Alloh dan RosulNya.

3 Poin Berjualan Beli Online dan Offline

Maka transaksi jual beli atau pemenuhan kebutuhan manusia melalui marketplace tentu saja termasuk urusan muamalah dunia yang halal, namun tetap saja ada catatan yang perlu diperhatikan, dan diantara catatan yang tidak boleh dilupakan adalah 3 poin utama berikut ini

1) Poin tentang barang dagangan, termasuk barang harom atau tidak, termasuk komoditi riba atau tidak. Jika barangnya harom maka jelas tinggalkan. Jika barangnya komoditi riba, apalagi ‘illah nya sama (kesamaan sebab sebagai nilai atau mata uang) seperti emas, perak, atau mata uang maka harus tunai atau offline. Nabi kita yang mulia sholallohu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti kita

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلًا بِمِثْلٍ … ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى، بِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْتُمْ يَدًا بِيَدٍ

“Emas (ditukar) dengan emas jika sama ukuran berat timbanganya, perak (ditukar) dengan perak jika sama berat timbangannya… Barangsiapa menambah atau meminta tambahan sungguh ia telah melakukan riba. Jual lah emas dengan perak bagaimana pun kalian suka namun secara tunai”
[HR Tirmidzi 1161]

2) Poin tentang pelaku transaksi, termasuk penjual sudah yang memiliki barang dagangan, penjual yang belum memiliki barang dagangan, atau sebagai pembeli.
Jika penjual yang memiliki barang dagangan, jangan sampai salah atau ada kecurangan dalam menuliskan keterangan, ingatlah sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami”
[HR Muslim 146]

Jika penjual yang belum memiliki barang, jangan lupa perjelas dulu akad dengan pemilik barang dan juga pembeli, entah itu sebagai agen atau distributor, jangan sampai ketika akad terjadi status kepemilikan barang masih belum jelas, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda Hakim bin Hizam

لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu”
[HR Abu Daud 3503]

Jika sebagai pembeli, silahkan cek dulu rating atau tingkat Amanah dari sang penjual, sebab crosscheck atau tabayyun dalam rangka kehati-hatian memang dibolehkan selama tetap menjaga adab, sebagaimana penjelasan dari Salman Al-Farisi

إِنِّي لَأَعُدُّ العُرَّاقَ عَلَى خَادِمِي مَخَافَةَ الظنِّ

“Saya menghitung jumlah tulang kering (al-Urraq) yang dikirim oleh pembantuku, untuk mencegah dugaan yang tidak diinginkan”
(Al-Adab Al-Mufrad 168)

3) Poin adab, yakni kejujuran dan komitmen terhadap akad. Entah itu sebagai penjual atau pembeli jangan lupakan 2 adab penting ini. Jujur dalam menjelaskan kondisi barang dan tidak menutup-nutupi kekurangan yang ada, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga”
[HR Muslim 2607]

Juga komitmen terhadap akad, baik itu dalam pembayaran cash atau kredit, entah itu nominal besar atau kecil

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ

“Kaum Muslimin itu harus memenuhi persyaratan yang telah mereka sepakati”
[HR Abu Daud 3120]

Dan masih banyak hal lainnya yang bisa diperdalam lagi seputar jual beli online, Insya Alloh akan lebih mudah dipahami jika penjelasannya per kasus, bukan global seperti ini.BACA JUGA

Kesimpulan Hukum COD

Lalu bagaimana jika mencari barangnya online di marketplace tapi transaksinya offline alias COD? Jelas boleh, sebab COD adalah cara paling aman untuk menghilangkan kekhawatiran dan bebas pengecualian. Dengan COD kita bisa beli segala macam barang termasuk komoditi riba seperti emas dan perak, dengan COD kita bisa mengecek keaslian barang, dengan COD kita bisa memperjelas komitmen akad, dan semisalnya.

Catatannya adalah, COD bukanlah suatu tanda kesepakatan transaksi, melainkan salah satu cara dalam transaksi. Sehingga ketika ada yang tidak cocok dalam COD, entah itu barang yang berbeda dengan deskripsi, atau di luar ekspektasi, lalu tidak cocok dan batal transaksi ya sah-sah saja.

Wallohu A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Kamis, 05 Rabiul Awwal 1442 H/ 22 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Dakwah Nabi SAW ke Mancanegara, Negara Mana Saja?

Nabi SAW menyebarkan pesan damai Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Kisah mengenai Nabi Muhammad SAW tidak selalu diwarnai dengan kisah-kisah peperangan semata. Nabi justru lebih memiliki banyak kesempatan memikirkan dakwah yang sebenarnya menjadi misi dakwah beliau guna menyebarkan pesan damai sebagai agama yang rahmatan lil alamin.

Sejak itulah Nabi mulai berkonsentrasi memikirkan penyebaran dakwah ke seluruh penjuru dunia. Dakwahnya pun tidak hanya terkonsentrasi di Makkah saja. Dalam buku Islam Agama Perdamaian karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, setidaknya terdapat delapan naskah surat yang Nabi SAW kirimkan kepada para raja dan penguasa dunia yang berisi ajakan masuk Islam.

Nabi mengirim surat kepada Kaisar Heraklius di Romawi, Raja Muqauqis di Mesir, Kisra di Persia, Raja Naasyi di Habasyah, Al-Mundzir bin Sawi sebagai penguasa di Bahrain, Haudzah bin Ali yang menjadi penguasa Yamamah, Al-Haris bin Abi Syamr yakni penguasa Damaskus, serta Jayfar yang merupakan Raja Oman.

Dari semua surat itu, yang menerima ajakan dakwah Nabi hingga masuk Islam hanya satu, yaitu Raja An-Najasyi yang berkuasa di Habasyah. Sedangkan yang lain, menerima ajakan dengan baik, namun tidak atau belum siap masuk Islam.

Bukti bahwa surat Nabi Muhammad SAW diterima dengan baik adalah adanya balasan surat yang mereka kirimkan balik kepada Nabi disertai dengan hadiah-hadiah. Salah satunya hadiah dari Raja Muqawqis di Mesir, berupa dua orang budak wanita yang mahal harganya di Mesir sebagai hadiah persahabatan, yang bernama Maria Al-Qibthiyah dan Sirin.

KHAZANAH REPUBLIKA

Islam Ala Nabi Muhammad, Bagaimana Caranya?

Beragama, berislam, dan meniru Nabi pun ada caranya dan ada ilmunya.

Mencontoh Nabi SAW memang diharuskan dalam syariat, sebab beliau adalah sebaik-baiknya teladan. Namun demikian, berislam dengan Islamnya Nabi juga harus dijalankan dengan dasar ilmu, jangan sampai dimaknai dengan tidak perlunya seorang Muslim untuk bermadzhab.

Apalagi jika ada yang berdalih di zaman Nabi tidak ada madzhab. Justru melalui madzhablah umat Islam dapat mengenal bagaimana sebenarnya Islam ala Nabi Muhammad SAW itu.

Dalam buku Mazhabmu Rasulullah? karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, para ulama merumuskan konsep ‘Islam ala Nabi’ yang diklasifikasikannya berdasarkan sumber utamanya langsung, yakni Nabi Muhammad SAW. Dan semua itu tidak dapat ditemukan kecuali dari karya para ulama madzhab.

Misalnya, ada bagian yang memang wajib bagi Rasulullah akan tetapi tidak wajib bagi umatnya. Sholat witir, dhuha, dan berkurban adalah beberapa contoh yang dikenal sebagai ibadah sunah bagi umat Islam. Padahal dalam konsep Islamnya Nabi, ibadah tersebut adalah ibadah wajib bagi beliau.

Di sisi lain, ada bagian yang boleh bagi Nabi, tapi haram bagi umatnya. Contohnya adalah menikah lebih dari empat. Sebagai umat Islam, umat Islam dilarang melakukan hal itu. Sedangkan dalam konsep Islamnya Nabi, maka hal itu termasuk yang dibolehkan.

Dan ada sekian jumlah hal-hal personal dan lokal lainnya yang sudah dipetakan dengan sangat amat jelas oleh para ulama madzhab terkait mana yang syariat dan mana yang bukan. Hal itu semua dirumuskan agar tidak ada yang mengklaim itu sunnah Nabi, itu Islam Nabi, itu syariat Nabi yang wajib diikuti, atau bahasa sederhananya: dikit-dikit sunnah Nabi.

Padahal realitanya dapat dihukumi sunnah atau hanya perkara mubah. Malah bisa jadi merupakan perkara yang Islam haramkan, walaupun dalam Islamnya Nabi hal itu dibolehkan. Oleh karena itu, sebagian sahabat dahulu, pada saat ada hal-hal yang agaknya kurang tepat dari Nabi menurut pandangan mereka, dengan nada santun mereka akan bertanya terlebih dahulu: ‘apakah itu berasal dari wahyu?’.

Karena kalau itu wahyu, maka sejanggal apa pun menurut pandangan mereka, para sahabat akan dengar dan taat. Itulah syariat, dan itulah agama. Beragama, berislam, dan meniru Nabi pun ada caranya dan ada ilmunya.

KHAZANAH REPUBLIKA


Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW Lengkap dengan Dalilnya

Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal. Tanggal tersebut pun ditetapkan sebagai hari Maulid Nabi. Namun, bagaimana sejarah Maulid Nabi yang lengkap?

Rasulullah sendiri lahir di kota Mekkah saat tahun Gajah dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Namun, sang ayah meninggal dunia sebelum Nabi Muhammad lahir dan ibunya menghembuskan napas terakhir saat Nabi berusia 6 tahun.

Berikut sejarah Maulid Nabi Muhammad:

Dikutip dari buku ‘Pro dan Kontra Maulid Nabi’ karya AM Waskito, dalam sejarah Islam perayaan Maulid Nabi sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Ada tiga teori asal usul perayaan tersebut.

Pertama, perayaan Maulid diadakan oleh kalangan Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah (Rafidhah). Mereka berkuasa di Mesir pada tahun 362-567 hijriyah. Perayaan dilakukan sebagai salah satu perayaan saja. Selain itu, mereka juga mengadakan perayaan hari Asyura, perayaan Maulid Ali, Maulid Hasan, Maulid Husain, Maulid Fatimah, dan lainnya.

Teori kedua, Maulid Nabi berasal dari kalangan ahlus sunnah oleh Gubernur Irbil di wilayah Irak, Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri. Dikisahkan, saat perayaan Maulid Nabi dilakukan Muzhaffar mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Ia juga memberikan hidangan, hadiah, hingga sedekah kepada fakir-miskin.

Teori yang terakhir, perayaan Maulid Nabi diadakan pertama kali oleh Sultan Shalahuddin Al Ayyubi atau Muhammad Al Fatih. Tujuannya untuk meningkatkan semangat jihad kaum Muslimin, dalam rangka menghadapi Perang salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yarusalem.

Sementara itu, di Indonesia sendiri sejarah Maulid Nabi Muhammad berkembang di tangan Wali Songo atau sekitar tahun 1404 masehi. Perayaan tersebut dilakukan demi menarik hati masyarakat memeluk agama Islam.

Maka dari itu, Maulid Nabi juga dikenal dengan nama perayaan Syahadatin. Selain itu, perayaan ini juga dikenal dengan Gerebeg Mulud karena cara masyarakat merayakan Maulid Nabi dengan menggelar upacara nasi gunungan.

Makna Maulid Nabi

Berdasarkan buku ’37 Masalah Populer: Untuk Ukhuwah Islamiyah’ karya H Abdul Bomad, yang bisa dipetik dalam perayaan Maulid Nabi adalah mengingatkan manusia tentang risalah dan sirah dari Rasulullah SAW. Dengan begitu, umat Islam akan memahami bahwa satu-satunya tauladan adalah Rasulullah SAW.

Dalil Maulid Nabi

Berdasarkan Quran surat Al A’raf ayat 157, Allah SWT berfirman mengenai keutamaan memuliakan dan mencintai Nabi Muhammad SAW sebagai berikut

Arab: اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Latin: allażīna yattabi’ụnar-rasụlan-nabiyyal-ummiyyallażī yajidụnahụ maktụban ‘indahum fit-taurāti wal-injīli ya`muruhum bil-ma’rụfi wa yan-hāhum ‘anil-mungkari wa yuḥillu lahumuṭ-ṭayyibāti wa yuḥarrimu ‘alaihimul-khabā`iṡa wa yaḍa’u ‘an-hum iṣrahum wal-aglālallatī kānat ‘alaihim, fallażīna āmanụ bihī wa ‘azzarụhu wa naṣarụhu wattaba’un-nụrallażī unzila ma’ahū ulā`ika humul-mufliḥụn

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.

Selain itu, dikutip dari buku ‘Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi’ karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani berdasarkan hadist riwayat Muslim, dari Abu Qatadah ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah ditanya mengenai puasa di hari Senin. Lalu, beliau bersabda, “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan.”

Dalil tersebut menjadi salah satu acuan bahwa pentingnya memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan bentuk peribadatan.

DETIK Hikmah

Membaca Al Fatihah Di Awal Dan Akhir Doa

Soal:

Apakah disyariatkan memulai doa atau mengakhirinya dengan membaca Al Fatihah? Ataukah ini termasuk kebid’ahan?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

قراءة الفاتحة بين يدي الدعاء ، أو في خاتمة الدعاء من البدع ؛ لأنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يفتتح دعاءه بقراءة الفاتحة ، أو يختم دعاءه بالفاتحة ، وكل أمر تعبدي لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم ، فإن إحداثه بدعة

“Membaca Al Fatihah ketika hendak berdoa atau ketika selesai berdoa itu merupakan kebid’ahan. Karena tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membuka doa dengan Al Fatihah atau menutup doa dengan Al Fatihah. Setiap amalan ibadah yang tidak terdapat dalilnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka membuat-buat amalan tersebut adalah kebid’ahan” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 14/159).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ juga menjawab:

لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يقرأ الفاتحة بعد الدعاء فيما نعلم ، فقراءتها بعد الدعاء بدعة ، وبالله التوفيق

“Tidak terdapat dalil shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membaca Al Fatihah setelah berdoa, sejauh yang kami ketahui. Maka membaca Al Fatihah setelah berdoa adalah kebid’ahan” (Fatawa Al Lajnah, 2/628).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga mengatakan:

قراءة الفاتحة عند ختم الدعاء بدعة لا أصل لها من كتاب ، ولا سنة ، ولا من فعل الصحابة ، ولا من تبعهم بإحسان ، فلا يجوز تحري ذلك ، فإن تخصيص الذكر أو القراءة في وقت ، أو حال ، أو مكان لا يجوز إلا بدليل

“Membaca Al Fatihah di akhir doa termasuk kebid’ahan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Tidak ada dari Al Qur’an, tidak ada dari sunnah, atau pun dari perbuatan sahabat atau pun para tabi’in. Maka tidak boleh mengamalkannya. Karena mengkhususkan suatu dzikir atau bacaan Qur’an di suatu waktu, atau dikhususkan di suatu tempat, tidak diperbolehlan kecuali dengan dalil” (dari http://ar.islamway.net/fatwa/8416).

Wallahu a’lam.

MUSLIM or.id

Ragu-ragu Air Kencing Menetes Saat Shalat, Batal Tidak?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang ragu-ragu air kencing menetes saat shalat, batal tidak?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ustadz bagaimana mengenai ragu-ragu akan air kencing/air madzi yang menetes waktu shalat. Sempat saya periksa kadang itu hanya perasaan saja karena tidak nampak bekas tetesan (kebiasaan), tapi ada kalanya najis tersebut memang nampak.
Bagaimana jika saya lupa mengecek dan ternyata baru sadar pada waktu shalat lainnya. Apakah perlu diqadha shalat dalam kondisi terkena najis tersebut?

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Semoga Allah ta`ala senantiasa memberikan kebahagiaan kepada anda dan kita semua.

Dalam permasalahan yang di tanyakan, ada dua kemungkinan yang terjadi, bahwa air yang keluar adalah sisa air seni yang belum benar benar selesai keluar dari kemaluannya atau ia adalah perasaan was was yang datang dari setan. sehingga, ada beberapa langkah yang hendaknya dilakukan oleh orang yang mendapatkan permasalahan tersebut:

1. Setelah menyelesaikan buang air kecilnya, hendaknya ia mencoba menunggu dan meyakinkan diri dengan gerakan atau posisi tertentu bahwa air seni sudah tidak tersisa lagi. Kemudian ia membersihkan kemaluannya dengan menggunakan air atau benda lain yang di perbolehkan untuk bersuci.

2. Bila hanya sesekali perasaan ini muncul, maka hendaknya ia meyakinkan diri dengan melihat di sekitar celana atau kemaluannya, bila benar air itu muncul dari sisa air seni, maka ia harus membersihkan celana dan sekitar kemaluannya dengan air.

Karenanya kenali ciri dan keadaan, yang dirasa bahwa air itu benar benar keluar. Bila jauh dari kebiasaan, maka abaikan saja karena hal tersebut adalah was was setan.

3. Bila ternyata perasaan itu sering muncul, sehingga ia merasakan keraguan, seolah olah ada air seni yang keluar setelah buang air. Bila setelah di cek sesekali, ternyata tidak dapatkan air apapun di celananya, maka ketahuilah bahwa itu adalah was was yang dihembuskan setan untuk menggoda dan merusak sholatnya.

4. Diantara cara untuk menghilangkan rasa was wasnya, maka setelah buang air dan bersuci hendaknya ia mencipratkan (air ke celananya).
Sehingga nantinya ia tidak akan tergoda dengan rasa was was yang sering muncul. Dari cara tersebut maka ia meyakinkan dirinya bahwa ia dalam keadaan suci, sebagai bentuk untuk memerangi/menghilangkan godaan setan.

Karenanya, ketika Nabi Muhammad sallahu alaihi wasallam ketika ditanya sahabatnya, ”wahai Rasulullah, ada seseorang yang yang merasa bahwa ia mendapatkan sesuatu ( yang membatalkan) di dalam sholat?,”.
Maka Rasulullah bersabda, ”Agar ia tidak berpaling (membatalkan sholatnya) sampai ia mendengar suara atau ia mendapatkan bau (kentut)“
Sehingga Nabi menyuruh supaya tidak berpaling dari sholatnya hanya karena ilusi /keraguan belaka, sampai ia yakin telah mendengar suara atau mendapatkan bau.

Langkah diatas, sebagaimana yang telah di fatwakan oleh syekh bin baz di dalam salah satu fatwanya pada no : 3737 , Nur ala darb pada kaset no 107 , majmu Fatawa wa maqoolat syekh bin Baz : 10/122.

Apakah harus mengulang sholatnya?

Sholat yang di hasilkan dari wudhu yang sah, walaupun ada najis di badan atau baju yang tidak diketahuinya kecuali setelah selesai sholat, maka sholat yang di lakukannya adalah sah dan tidak perlu di ulang. Karena syarat dan rukun sholat telah di lakukan.

Namun, bila ia teringat di tengah sholat, bahwa ada najis yang belum dibersihkan dari baju atau badannya maka ia batalkan sholatnya dan membersihkan badan atau bajunya terlebih dahulu.

Bila barang itu bisa di lepas ketika sholat, seperti sandal, peci maka seketika itu juga ia bisa melepas barang najis tersebut dan tetap meneruskan sholatnya.
Sebagaimana yang di lakukan oleh nabi ketika di tengah sholat ia mengetahui bahwa sandal yang di pakainya adalah najis, maka Rasulullah melepasnya dan tetap meneruskan sholatnya. Sebagaimana hadist dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu,

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى فخَلعَ نَعليهِ فخلعَ النَّاسُ نعالَهُم فلمَّا انصرَف قالَ: لمَ خَلعتُمْ نعالَكُم ؟ قالوا: يا رسولَ اللَّهِ، رأيناكَ خلَعتَ فخَلَعنا قالَ: إنَّ جَبرئيلَ أتاني فأخبرَني أنَّ بِهِما خَبثًا فإذا جاءَ أحدُكُمُ المسجِدَ فليقلِب نعليهِ فلينظُر فيهما خبثٌ؟، فإن وجدَ فيهما خبثًا فليمسَحهما بالأرضِ، ثمَّ ليصلِّ فيهما

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika sedang shalat beliau melepas sandalnya. Maka para makmum pun melepas sandal mereka. Ketika selesai shalat Nabi bertanya, ‘mengapa kalian melepas sandal-sandal kalian?’
Para sahabat menjawab, ‘wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun mengikuti engkau.’
‘(Adapun aku,) sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua pasang sandalku terdapat najis. Maka jika salah seorang dari kalian mendatangi masjid, hendaknya ia lihat bagian bawahnya apakah terdapat najis Jika ada maka usapkan sandalnya ke tanah, lalu shalatnya menggunakan keduanya’”

(HR. Al-Hakim 1/541, Abu Daud no. 650, Al-Albani dalam Shahih Abu Daud menyatakan Shahih).

Berharap, Allah ta’ala menerima segala amal ibadah yang kita lakukan untuk mendapatkan ridhoNya.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Utang dalam Pandangan Nabi Muhammad SAW

Islam sangat memperhatikan masalah utang-piutang. Bahkan Rasulullah dalam setiap sembahyangnya sering memohon kepada Allah SWT supaya terhindar dari masalah utang, “Allahumma inni a’uudzu bika min al-ma’tsami wa al-maghram, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan lilitan utang.”  

Karena kebiasaan Nabi SAW berdoa dengan kalimat tersebut, seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Mengapa Engkau banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah?”

Jawab Nabi tegas, “Sesungguhnya seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering mengingkarinya,” (HR Bukhori).

Siapa saja, di antara kita pasti pernah memiliki utang. Utang bisa membuat orang bersedih dan pikiran tidak tenang. Kepada para sahabatnya, Nabi menegaskan, bahwa utang-piutang adalah perkara yang harus disegerakan. Karena pentingnya melunasi utang, Rasulullah pernah mengajarkan doa kepada sahabatnya. 

Abu Umamah, sorang sahabat Nabi SAW pernah merasakan kegelisahan dan kebingungan karena memiliki utang yang tidak bisa dibayar. Suatu ketika ia sedang termenung di Masjid memikirkan utang-utangnya. Melihat sahabatnya gelisah, Rasulullah SAW langsung bersabda dan memberikan doa kepada Abu Umamah untuk diamalkan setiap pagi dan sore.

Doanya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan pemaksaan dari orang lain.” (HR Abu Dawud).

Islam mengajarkan untuk tidak menganggap sepele masalah utang. Jika ada keluarga yang meninggal dunia, para ahli waris berkewajiban membereskan terlebih dahulu masalah utang-piutang, sebelum dikebumikan. Karena sensitifnya masalah utang, sampai Nabi sendiri tidak segera mensholatkan mayit sebelum utang-puitangnya dilunasi. 

Suatu ketika satu jenazah dihadirkan kepada Nabi SAW untuk dishalatkan. Nabi bertanya dulu kepada sahabatnya, apakah mayit tersebut punya utang atau tidak. Setelah ada kepastian, bahwa mayit tersebut tidak memiliki utang, Rasulullah SAW langsung menshalatkannya. 

Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali, “Apakah orang ini punya utang?” Para sahabat menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda: “Shalatilah saudaramu ini”. Berkata, sahabat Abu Qatadah: “Biar nanti aku yang menanggung utangnya”. Maka Beliau SAW mensolatkan jenazah itu. (HR Bukhori).

Utang  adalah penghalang untuk mendapatkan ridha Allah dan masuk ke dalam surga-Nya. Utang juga yang akan menggerogoti segala amal kebajikan yang dilakukan di dunia. Pahala jihad di jalan Allah adalah sebaik-sebaik pahala dan bekal di akhirat nanti. Dalam Islam, pahala jihad dapat menghapus segala macam dosa, tapi bisa terhalang jika punya utang. Sabda Nabi dalam riwayat Imam Muslim, “Seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali utang.”

Jika utang dapat menjadi beban di sisi Allah, bagaimana dengan koruptor yang merampok uang rakyat miliaran rupiah? Pastinya, bahwa korupsi akan menjadi utang di akhirat kelak, yang membuat pelakunya bangkrut.

Hadis Nabi SAW dalam shahih Muslim, menyebut koruptor sebagai manusia bangkrut.  Kelak pada hari kiamat, semua pahala shalat, puasa dan zakat akan diambil Allah SWT hingga tak tersisa, dan diberikan untuk orang lain. Tidak hanya itu, koruptor juga akan membebani dosa setiap orang, yang hartanya saat di dunia, ia curi.  

Oleh: E Kusnandar 

(Alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya)

KHAZANAH REPUBLIKA

Nabi Marah Jika Umatnya Pelihara Kebodohan

Nabi Muhammad SAW pernah marah ketika salah seorang sahabat ‘memelihara’ kebodohannya

Islam menganjurkan agar umatnya tidak tenggelam dalam kebodohan. Mencari ilmu pengetahuan adalah penekanan tegas agama, bahkan Nabi Muhammad SAW pernah marah ketika salah seorang sahabat ‘memelihara’ kebodohannya.

Dalam buku Mazhabmu Rasulullah? karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, suatu ketika para sahabat Nabi melakukan suatu perjalanan. Salah satu di antara mereka mengalami luka di kepalanya. Luka yang cukup parah tersebut membuatnya berpikir untuk bertayamum karena apabila menggunakan air kemungkinan besar akan membahayakan dirinya. Tapi apakah benar sudah boleh untuk bertayamum? Dia pun ragu. Maka ia bertanya kepada para sahabat yang lain tentang apakah sudah boleh ada keringanan untuk bertayamum?

Lalu para sahabat yang ditanya itu dengan tegas memberikan jawaban bahwa dia tetap wajib berwudhu. Belum dibolehkan baginya untuk bertayamum. Namun yang terjadi, sahabat yang terluka tadi malah meninggal dunia.

Saat Rasulullah SAW dikabari peristiwa tersebut, beliau murka luar biasa. Beliau menyebut ketidaktahuan para sahabat ini sebagai penyakit. Obat penyakit tersebut tidak lain adalah dengan bertanya (mencari tahu, mencari ilmu).

Tentu saja, apa yang dilakukan oleh beberapa sahabat tersebut karena keyakinan bahwa Rasulullah akan menjawab yang sama jika ditanya hal serupa. Tapi ternyata pandangan Nabi berbeda. Dalam konteks tema umat saat ini, dari kisah ini setidaknya Nabi menunjukkan pada para sahabat yang hidup di zaman Nabi yang menyaksikan langsung hidup Rasulullah bisa salah dalam mengklaim pandangan Nabi.

Maka sudah jelas sekali argumentasi mengenai Mazhab Rasulullah yang menjadi fenomena umat Islam masa kini keliru. Mazhab dari ulama-ulama merupakan jalur pencarian ilmu yang bersumber dari Rasulullah secara autentik. Walaupun rentang masa hidup para ulama saling berjauhan dengan Nabi, namun ketersambungan guru serta ilmu yang mereka pelajari bukan main-main.

Ketelitian dalam mencari jalur ilmu yang sampai kepada Rasulullah melalui mazhab-mazhab ini sangat bisa diuji. Inilah jalur ilmu yang terbuka untuk umat Islam, dan dari ini pula diharapkan umat Islam dapat terhindar dari kebodohan yang menyengsarakan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Waspada Sikap Riya yang Muncul Saat Haji dan Umroh

 Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan impian setiap Muslim. Namun, salah satu dari rukun Islam itu hanya diwajibkan bagi hamba Allah yang memiliki kemampuan saja. Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 97:

 فِيهِ ءَايَٰتٌۢ بَيِّنَٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Fīhi āyātum bayyinātum maqāmu ibrāhīm, wa man dakhalahụ kāna āminā, wa lillāhi ‘alan-nāsi ḥijjul-baiti manistaṭā’a ilaihi sabīlā, wa mang kafara fa innallāha ganiyyun ‘anil-‘ālamīn

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Namun, Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu’atul Aadaab Islamiyah mengingatkan tentang perlunya meluruskan niat semata-mata karena Allah saat ibadah haji maupun umroh. Menurut Syekh Sayyid Nada, seseorang tidaklah mendapatkan balasan dari amal yang dikerjakannya,  kecuali sesuai dengan yang diniatkan.

Allah sendiri telah mewajibkan haji semata-mata untuk meraih keridhaan-Nya. ‘’Maka dari itu, hendaknya niat seseorang menunaikan haji atau umrah semata-mata karena Allah dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah,’’ tutur ulama terkemuka itu.

Ia mengingatkan janganlah naik haji karena riya supaya dianggap hebat atau hanya ingin mendapatkan gelar haji saja. Menurut Syekh Sayyid Nada, melakukan amal karena manusia  termasuk perbuatan syirik. Allah SWT berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 2, ‘’Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.’’

IHRAM