Belasan Warga Payakumbuh Gagal Berangkat Umroh, Laporkan Travel ke Polisi

Sebanyak 11 warga Sumatra Barat melaporkan Biro Perjalanan Umroh PT MKW cabang Kota Payakumbuh ke Mapolda Sumatra Barat karena mereka gagal diberangkatkan ke tanah suci di bulan Ramadhan 1444 Hijriah.

Penasehat Hukum korban, Abdullah Faqih di Padang, Minggu mengatakan pihaknya telah membuat laporan polisi pada Sabtu (8/4/2023) dengan Nomor: STTLP/76.a/IV/2023/SPKT/POLDA SUMATERA BARAT terhadap PT MKW yang diduga melakukan tindakan pidana penipuan atau penggelapan.

Ia mengatakan biro perjalanan umroh ini menjanjikan 11 orangitu akan diberangkatkan umroh selama 30 hari di bulan suci Ramadan 1444 Hijriah pada tahun ini namun kenyataannya seluruh jamaah gagal berangkat.

“Para korban membuat laporan polisi ke Subdit IV Unit 3 Ditreskrimum Polda Sumbar setelah tidak mendapat kepastian keberangkatan dari biro perjalanan ibadah umroh,” kata dia.

Menurut dia atas kejadian ini kerugian yang dialami sejumlah calon jamaah ibadah umroh mencapai Rp 401.500.000. dan uang tersebut diserahkan secara bertahap kepada Biro Perjalanan Umroh PT MKW.

Ia mengatakan 11 jamaah telah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian dan dilakukan pengembangan berkemungkinan terdapat unsur Pasal 55 KUHP.

“Kami akan terus mengupayakan sebaik mungkin agar pihak biro perjalanan umrah memenuhi kewajibannya sehingga para korban yang terlanjur kecewa dapat menemukan solusi terbaik,” kata dia.

Sementara itu Kabid Humas Polda Sumbar mengatakan kejadian tersebut terjadi sekitar bulan September 2022 dan jamaah ini dibujuk dan diiming-imingi melaksanakan umrah melalui travel MKW dengan biaya Rp 25 juta per orang selama satu bulan di Tanah Suci.

Pihak travel berjanji akan memberangkatkan jamaah ini pada hari ketiga bulan Ramadan 1444 Hijriah dan menjelang waktu itu, pihak travel meminta uang tambahan Rp11.500.000 kepada seluruh jamaah dengan alasan kenaikan biaya operasional dan semua langsung mengirimkan kepada pihak travel melalui transfer antarbank.

“Menjelang hari keberangkatan pihak travel selalu menunda-nunda keberangkatan dan hingga pembuatan laporan ini 11 korban ini belum juga diberangkatkan,” kata dia.

Ia mengatakan Polda Sumbar akan menindaklanjuti laporan ini yang sedang dalam proses penyelidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumbar.

“Untuk kelanjutan proses penyelidikan nanti akan kami informasikan lebih lanjut,” kata dia.

sumber : Anhttps://ihram.republika.co.id/berita/rsvawo430/belasan-warga-payakumbuh-gagal-berangkat-umroh-laporkan-travel-ke-polisitara

Kultum Nuzulul Quran: Hikmah Al-Quran Diturunkan pada Bulan Ramadhan

Mari pada kesempatan kali ini kita gali hikmah-hikmah yang terkandung di balik adanya peristiwa diturunkannya Al-Quran, atau yang kita kenal dengan istilah Nuzulul Quran. Karenanya, pada kesempatan ini kami akan menulis kultum Ramadhan dengan teman, “Kultum Nuzulul Quran: Sejarah Diturunkannya Al-Quran.”

Pembaca yang budiman!

Bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk membahas sejarah tentang waktu diturunkannya Al-Quran. Sebab, Allah menurunkan mukjizat yang satu ini pada Nabi Muhammad bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Artinya, “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Al-Quran merupakan mu’jizat paling sempurna yang Allah Swt turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan Al-Quran, kita semua bisa tahu hakikat hidup yang benar, dan dengan Al-Quran pula kita bisa menjadi hamba yang selamat di dunia dan akhirat.

Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam salah satu karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Munir fil Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj, mengatakan alasan di balik peristiwa nuzulul quran terjadi pada bulan Ramadhan. Ia menyebutkan bahwa hikmah dari semua itu adalah untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan Al-Quran.

Al-Quran merupakan kitab yang sangat agung melebihi kitab suci lainnya. Karenanya, kitab suci ini diturunkan kepada rasul-Nya bertepatan dengan bulan yang sangat agung juga, yaitu bulan Ramadhan, di malam yang sangat mulia, yaitu malam lailatul qadar.

Pembaca yang budiman!

Proses diturunkannya Al-Quran tidak sama dengan kitab suci yang lainnya, seperti Taurat, Zabur, dan Injil. Allah menurunkan tiga kitab suci tersebut secara langsung dan menyeluruh, berbeda dengan Al-Quran, Allah menurunkannya dengan cara bertahap, sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat itu, dan proses diturunkannya Al-Quran dari awal hingga selesai terjadi selama 13 tahun.

Hikmah yang bisa kira raih dari adanya penurunan Al-Quran secara bertahap adalah agar kita bisa belajar Islam dengan cara sedikit demi sedikit dan hari demi hari (little by little and day by day). Sebab, seandainya Al-Quran itu diturunkan secara langsung semuanya, maka kita akan kesulitan dan merasa terbebani dengan semua aturan yang ada di dalamnya.

Karena itu, diturunkannya Al-Quran dengan cara yang bertahap ini harus benar-benar kita syukuri bersama, karena telah menjadikan umat Islam terdahulu bisa menerima Islam dengan lapang dada dan senang hati.

Berkaitan dengan hal ini, Sulthanul Auliya’ Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, dalam karyanya, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq berpendapat bahwa yang lebih baik adalah Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap daripada kitab sebelumnya yang diturunkan secara spontan:

أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ جُمْلَةً وَاحِدَةً وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ مُتَفَرِّقًا. فَقِيْلَ أَيُّهُمَا أَحْسَنُ نُزُوْلًا؟ اَلْقُرْأَنُ أَحْسَنُ

Artinya, “Sungguh, Allah menurunkan Kitab (sebelum Al-Qur’an) satu kali secara keseluruhan, dan menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) secara terpisah. Maka, jika ditanyakan: di mana yang lebih baik turunnya? (Maka jawabannya) Al-Qur’an lebih baik.

Pembaca yang budiman!

Hal ini harus menjadi perhatian dan contoh bagi kita semua dalam mengajak orang lain yang baru mengenal Islam, agar tidak memaksa dan membebani mereka dengan semua aturan-aturan yang ada dalam Islam itu sendiri.

Mengajak pada kebaikan harus dengan cara bertahap sebagaimana proses nuzulul quran. Ini menjadi lebih membekas kepada orang lain, karena jika secara langsung dan memaksa, bisa dipastikan orang lain akan menilai Islam dengan penuh kebencian.

Demikian kultum Nuzulul Quran pada bulan Ramadhan ini. Semoga dengan adanya kultum ini bisa menumbuhkan cinta kita kepada Al-Quran, dan bisa lebih istiqamah lagi dalam membaca dan berpegang teguh pada ajaran di dalamnya. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Khutbah Jumat: Kiat Agar Harta Bisa Berkah di Bulan Ramadhan

Bagaimana agar harta bisa berkah di bulan Ramadhan? Beberapa tujuan harta dikeluarkan di bulan Ramadhan adalah untuk fidyah, zakat fitrah, zakat maal, sedekah buka puasa, dan sedekah secara umum.

Khutbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِّعْمَةَ، وَجَعَلَ أُمَّتَنَا وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ خَيْرَ أُمَّةٍ، وَبَعَثَ فِيْنَا رَسُوْلًا مِّنَّا يَتْلُوْ عَلَيْنَا اٰيَاتِهِ وَيُزَكِّيْنَا وَيُعَلِّمُنَا الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمِهِ الْجَمَّةِ،

وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْــــكَ لَهُ شَهَادَةً تَكُوْنُ لـِمَنِ اعْتَصَمَ بِـهَا خَيْرَ عِصْمَةٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ لِلْعَالـَمِيْنَ رَحْمَةً، وَفَرَضَ عَلَيْهِ بَيَانَ مَا أَنْزَلَ إِلَيْنَا فَأَوْضَحَ لَنَا كُلَّ الْأُمُوْرِ الـْمُهِمَّةِ، فَأَدَّى الْأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ،

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُوْلِي الْفَضْلِ وَالْهِمَّةِ  أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْـمُسْلِمُوْنَ،

أُوْصِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَظِيْمِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Amma ba’du.

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Segala puji bagi Allah, pemberi segala macam nikmat kepada kita sekalian yang memerintahkan kita untuk bersyukur kepada-Nya dengan bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurah pada suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Agar harta kita berkah, maka caranya adalah dikeluarkan untuk jalan kebaikan.

Allah telah menyifati humazah dan lumazah sebagai orang yang mencela yang lain dengan perbuatan atau isyarat dan dengan ucapan, lalu disebutkan tentang orang yang hanya mengumpulkan harta tanpa mau diinfakkan pada jalan kebaikan atau untuk bantu kerabatnya sehingga terjalin silaturahim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3)

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1-3)

Agar harta penuh berkah, hendaklah dibayar zakatnya atau disedekahkan. Renungkan ayat berikut ini.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ

Sedekah itu dapat memadamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek.”  (HR. Tirmidzi, no. 664. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib)

Agar harta kita diberkahi di bulan Ramadhan, bisa disalurkan untuk beberapa hal berikut jika memang dituntut sesuai syaratnya.

Pertama: Membayar Fidyah

Fidyah diambil dari kata “fadaa” artinya mengganti atau menebus. Bagi beberapa orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, diperbolehkan tidak berpuasa serta tidak harus menggantinya di lain waktu. Namun, sebagai gantinya diwajibkan untuk membayar fidyah.

Ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ 

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Mereka yang membayar fidyah adalah yang tidak berpuasa secara permanen atau tidak berpuasa karena sebab orang lain, seperti:

  1. Orang sepuh,
  2. Yang sakit tak kunjung sembuh,
  3. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa karena khawatir pada bayinya, maka hendaklah ia membayar qadha’ dan fidyah.

Fidyah ditujukan kepada siapa?

Fidyah ditujukan kepada orang miskin, yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokok.

Bagaimana cara bayar fidyah? Ada dua cara yang bisa dipilih. 

1. BAHAN MAKANAN POKOK

Yaitu sebesar 1 mud (6 ons) beras untuk setiap hari yang ditinggalkan diberikan kepada orang miskin.

• Ukuran fidyah dengan 1 mud adalah pendapat dari ulama Malikiyah dan Syafiiyah, juga dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats-Tsauri dan Al-Auza’i. Juga kata Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.

Misalnya, tidak berpuasa untuk 7 hari, maka memberi 7 mud beras (7 x 6 ons = 42 ons beras) diberikan kepada 7 orang miskin.

2. MAKANAN SIAP SANTAP

Yaitu 1 porsi makanan sudah cukup untuk hari puasa yang ditinggalkan.

• Anas bin Malik ketika sudah lansia, ia membuatkan makanan dan mengundang orang miskin. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih.

Misalnya, memberi makanan siap santap kepada 7 orang miskin masing-masing 1 porsi makanan sebagai fidyah 7 hari tidak puasa.

Kapan bayar fidyah?

  1. Yang jelas fidyah tidak boleh dibayar secara total sebelum dapat kewajiban berpuasa Ramadhan. Sehingga fidyah tidak sah dibayarkan sebelum Ramadhan.
  2. Fidyah bisa dibayarkan setiap harinya setiap kali tidak berpuasa, paling cepat adalah malamnya.
  3. Fidyah bisa digabungkan untuk dibayarkan pada akhir Ramadhan atau nanti ketika memiliki kelapangan rezeki.

Kedua: Membayar Zakat Fitrah pada Akhir Ramadhan

Zakat fithri termasuk zakat badan. Nama lain zakat fithri adalah zakat fitrah. Zakat fitrah ini berupa satu sha’ makanan pokok yang ada di masyarakat, sekitar 2,5 kg beras (atau antara 2,1 – 3,0 kg). Zakat fitrah diwajibkan pada orang yang memenuhi tiga syarat berikut:

  1. Islam
  2. Mendapati tenggelam matahari terakhir di hari Ramadhan
  3. Mendapati kelebihan makanan untuk dirinya dan yang ia tanggung nafkahnya pada malam dan hari Id, dan dari pakaian yang layak baginya, serta dari tempat tinggal dan pembantu yang dibutuhkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kapan waktu bayar zakat fitrah?

  • Waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.
  • Waktu yang disunnahkan untuk membayar zakat fitrah adalah sebelum shalat Id sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, “Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.”
  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Idulfitri secara keseluruhan. Jika zakat fitrah diakhirkan dari hari Idulfitri, hukumnya diharamkan dan wajib diqadha.
  • Zakat fitrah masih boleh disegerakan sejak awal Ramadhan. Dalam madzhab Syafii, zakat fitrah itu wajib karena dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) mendapati waktu berbuka dari berpuasa pada hari raya.

Ketiga: Membayar Zakat Maal

Zakat maal adalah zakat terkait dengan harta.

Inilah hukuman bagi orang yang enggan mengeluarkan zakat maal, begitu mengerikan, ia akan disiksa dengan harta zakatnya sendiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan dibuatkan untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan dipanaskan lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia mengetahui tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim, no. 987)

Empat langkah membayar zakat maal, yaitu:

  1. Melihat apakah harta sudah mencapai nishab (kadar minimal suatu harta kena zakat). Nishab emas adalah 85 gram, nishab perak adalah 595 gram, nishab mata uang dan stok barang dagangan adalah 6,5 juta rupiah (antara nishab emas atau perak, manakah yang tercapai terlebih dahulu).
  2. Melihat harta tersebut apakah sudah bertahan selama haul (satu tahun hijriyah).
  3. Menghitung total harta/ stok barang dagangan dengan harga jual.
  4. Menghitung besar zakat yaitu 2,5% atau dibagi 40 dari total harta.

Keempat: Membahagiakan orang lain dengan hadiah (parsel dan bingkisan lebaran)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16. Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan)

Kelima: Membahagiakan orang miskin (misalnya: memberi makan berbuka puasa, memberikan bingkisan lebaran)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.

Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus.” (HR. Muslim no. 2982).

Baca juga: Kriteria Disebut Fakir dan Miskin

Jangan khawatir miskin dengan sedekah!

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah menyemangati Bilal untuk bersedekah,

أَنْفِقْ بِلاَل ! وَ لاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً

Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut hartamu itu berkurang karena ada Allah yang memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 1512)

Semoga Allah memberkahi setiap harta kita di bulan Ramadhan ini dan pada waktu lainnya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Jumat siang, 16 Ramadhan 1444 H, 7 April 2023

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/36513-khutbah-jumat-kiat-agar-harta-bisa-berkah-di-bulan-ramadhan.html

Hukum Memakamkan Dua Jenazah atau Lebih di Satu Lubang Kubur

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ القِيَامَةِ ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggabungkan dalam satu kubur dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud dan dalam satu kain, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara mereka yang lebih banyak mempunyai hafalan Al-Qur’an?’

Ketika beliau telah diberi tahu kepada salah satu di antara keduanya, beliau pun mendahulukannya di dalam lahad, lalu bersabda, ‘Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.’ Maka, beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak disalatkan.” (HR. Bukhari no. 1343)

Terdapat beberapa faedah yang terkandung dalam hadis ini, di antaranya:

Faedah pertama

Dalam hadis tersebut terkandung dalil bolehnya memakamkan dua orang di satu liang lahad ketika terdapat hajat (kebutuhan) untuk melakukannya. Misalnya, banyaknya jenazah yang perlu dimakamkan dan sedikitnya jumlah orang yang memakamkannya. Atau bisa jadi karena keterbatasan fisik orang yang memakamkan, misalnya karena sedang sakit, atau terluka (karena peperangan), atau semacamnya. Adapun jika tidak terdapat hajat, maka hukum asalnya adakah memakamkan setiap jenazah di satu liang lahad tersendiri. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan makruhnya memakamkan dua orang atau lebih di satu liang lahad. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. (Lihat Al-Ikhtiyarat, hal. 89)

Pada saat perang Uhud, gugurlah 70 orang sahabat dalam satu hari, ini merupakan jumlah yang besar. Para sahabat pun mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau memerintahkan untuk menggabungkan dua atau tiga jenazah dalam satu liang kubur, karena adanya kesulitan (kesusahan) tersebut.

Sehingga dalam kondisi darurat yang sangat menyusahkan jika setiap jenazah dimakamkan di satu liang kubur tersendiri, diperbolehkan memakamkan dua jenazah di satu liang kubur, misalnya karena adanya peperangan, wabah (epidemi), atau karena bencana alam yang menghilangkan nyawa banyak orang sekaligus dalam waktu singkat. Dalam kondisi tersebut, diperbolehkan membuat kuburan massal untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut. (Lihat Tashilul Ilmam, 3: 34)

Faedah kedua

Hadis ini adalah dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah dalam satu kain kafan jika ada hajat (kebutuhan). Ini merupakan salah satu kemungkinan makna hadis tersebut di atas. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

فَكُفِّنَ أَبِي وَعَمِّي فِي نَمِرَةٍ وَاحِدَةٍ

Maka, bapakku dan pamanku dikafankan dalam satu kain namirah (kain selimut bergaris terbuat dari wol).” (HR. Bukhari no. 1348)

Jika kain kafan yang tersedia sedikit, diperbolehkan menggunakan satu kain kafan untuk dua orang jenazah. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah di satu kain (kafan) yang sama, ketika memang terdapat kebutuhan untuk melakukannya.” (Tashilul Ilmam, 3: 34)

Adapun kemungkinan makna yang kedua adalah kain tersebut dipotong (dibagi) menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bagian dipakai untuk membungkus jenazah. Hal ini dinilai lebih bisa menutup aurat dan juga tidak menyebabkan saling menempelnya kulit dua jenazah.

Faedah ketiga

Hadis tersebut merupakan dalil dianjurkannya mendahulukan jenazah yang memiliki keutamaan (keistimewaan) dibandingkan dengan jenazah yang lainnya ketika dimakamkan di satu liang lahad yang sama. Jenazah yang didahulukan ini diletakkan di arah kiblat. Dalam hadis di atas, penghafal Al-Qur’an itu lebih didahulukan atas jenazah yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tersebut meninggikan derajat dan kedudukan seseorang ketika dia menghafal dan mempelajari Al-Qur’an dilandasi rasa ikhlas karena Allah Ta’ala. Akan tetapi, hal itu tidaklah berarti bahwa keutamaan tersebut juga berlaku di alam akhirat. Karena bisa jadi yang dinomorduakan tersebut lebih utama di sisi Allah Ta’ala dibandingkan dengan yang pertama. Urutan ini hanyalah berdasarkan kedudukan di dunia.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil untuk mengutamakan para penghafal Al-Qur’an dan mendahulukannya di sisi arah kiblat. Hal ini untuk menampakkan keutamaan dan kemuliaannya. Inilah di antara keutamaan para penghafal Al-Qur’an.” (Tashilul Ilmam, 3: 34)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 272-273) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram (3: 34).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84258-hukum-memakamkan-dua-jenazah-atau-lebih-di-satu-lubang-kubur.html

Petugas Haji Diminta Antisipasi Cuaca Panas dan Layani Jamaah Lansia

Muslim haji tahun 1444 Hijriyah atau 2023 bertepatan dengan musim panas di Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius. Sehubungan dengan itu, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) diminta untuk mengantisipasi cuaca panas dan melayani jamaah haji lansia.

Direktur Bina Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Arsyad Hidayat, mengatakan, para petugas haji agar mewaspadai cuaca panas di Arab Saudi yang suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius. Pada musim haji tahun ini diperkirakan cuaca sangat panas, sehingga jangan sampai para jamaah, terutama jamaah lansia mengalami kendala seperti hilang sandal.

“Dulu sempat kejadian ada jamaah haji Indonesia yang kehilangan sandal usai sholat di masjid, ia terpaksa berjalan kaki tanpa sandal, begitu menginjak aspal maka kakinya melepuh,” kata Arsyad saat Apel Pagi dalam Bimbingan Teknis Tugas dan Fungsi PPIH Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (8/4/2023).

Berangkat dari pengalaman tersebut, Arsyad berpesan pada tim penanganan krisis dan pertolongan pertama pada jamaah haji (P3JH) agar menyiapkan banyak sandal untuk membantu para jamaah yang mengalami kehilangan sandal.

Seperti diketahui, tahun ini merupakan kali pertama Indonesia kembali memberangkatkan jamaah dalam kuota normal setelah pandemi Covid-19. Totalnya ada 221.000 jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci. Terdiri dari 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus.

Sebanyak 67.000 jamaah haji reguler dari 203.320 adalah jamaah haji lansia. Untuk itu, Kemenag meminta agar PPIH benar-benar melayani jamaah haji lansia.

“Tiga tahun jamaah dominan lansia tidak berangkat (karena aturan dan pandemi) sehingga tahun ini jumlah jamaah lansia menumpuk, maka di tahun ini kita bentuk organisasi khusus penanganan disabilitas dan lansia,” ujar Arsyad.

IHRAM

Ramadhan dan Kemerdekaan Indonesia

Dan pada Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan Agustus 1945, negeri ini pun merdeka!

BAGI bangsa Indonesia, Ramadhan adalah bulan sangat bersejarah. Di bulan Ramadhan inilah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Lapar, haus, dahaga saat Ramadhan tak menghalangi perjuangan umat Islam dari masa ke masa memperoleh kemenangan. Dari Badar, Fathul Makkah, hingga kemenangan Ain Jalut terlakon pada bulan Ramadhan.

Dan pada Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan Agustus 1945, negeri ini pun merdeka! Pada bulan Ramadhan saat itu, berita menyerahnya Jepang memang simpang siur di Indonesia.

Bagi kaum yang memercayainya, khususnya para pemuda yang gejolak semangatnya sangat tinggi, menuntut segera para tokoh nasional seperti Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan.

Namun, Soekarno-Hatta masih ingin memastikannya pada Jepang, berharap PPKI dapat berjalan sebaik-baiknya. Tentara Nasional PETA dan para pemuda seperti: Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni mendesak Bung Karno untuk bersua dengan masyarakat, memproklamasikan segera Republik Indonesia.

Para tokoh PETA dan pemuda ini sempat bersua dengan perwakilan ulama K.H. Abdul Mukti. Kiai Abdul Mukti merupakan Konsul Muhammadiyah yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Harian Masyumi di Jakarta.

‘Sebaik-baiknya memilih tanggal dengan segera ialah 9 Ramadhan, bertepatan dengan 17 Aqustus 1945/ kata, “ K.H. Abdul Mukti yang pernah mendekam satu sel dengan para pemuda seperti Soekarni dan Chaerul Saleh saat masa kolonialisme. (Ahmad Mansur Suryanegara  (dalam Api Sejarah).

Darah kaum muda yang bergejolak memang tak sabaran. Rakyat di mana-mana sudah turun ke jalan meneriakkan Indonesia Merdeka.

Soekarno dan Hatta masih  saja menanti petunjuk Jepang. Hingga akhirnya mereka ‘diculik’ ke Rengasdengklok, hingga kembali ke rumah Laksamana Maeda, 9 Ramadhan 1364 H, atau 16 Agustus 1945 malam hari. Di sana sudah berkumpul ratusan pemuda, puluhan anggota Tjoou Sang In yang berada di Jakarta juga anggota PPKI.

Saat itu, Hatta mengaku tak membawa pernyataan proklamasi yang sudah dibuat tanggal 22 Juni 1945.  “Kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang pun di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, “ kenang Hatta.

Setelah mencapai kebulatan tekad, semua bersepakat bahwa Soekarno-Hatta didaulat mengatasnamakan rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada pagi harinya, jam 10.00 di halaman rumah Bung Karno. Dalam suasana haru di bulan Ramadhan, mereka pun bersantap sahur bersama.

Laksamana Maeda tak menyediakan nasi. Hanya ada beberapa butir telur, roti, dan ikan sarden. Dengan lahap, mereka pun makan.

Mereka kemudian kembali ke rumahnya masing-masing. Usai shalat, Bung Hatta tertidur sejenak di rumahnya. Semburat pagi menyapa jalanan padat ibu kota.

Tentara Jepang mencium gelagat tak beres. Ratusan tentara PETA berdatangan ke Pegangsaan Timur.

Dalam buku Sekitar Proklamasi (1981) Bung Hatta mengatakan bahwa dirinya sempat diberi makan sahur di kediaman Laksana Maeda.

“Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang saya masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda,” kenang Hatta.

Makanan itu telah disiapkan oleh Satsuki Mishina, selaku asisten rumah tangga Maeda dan satu-satunya perempuan yang ada dalam rumah tersebut. Dia membuat dan menyiapkan nasi goreng, telur dan ikan sarden.

Setelah selesai masak, jamuan segera dihidangkan kepada para tokoh perumus proklamasi. Tanggal 9 Ramadhan, pagi-pagi ada suasana yang begitu aneh. Suasana yang dinanti-nanti.

Berbilang abad, negeri impian itu kian dekat, jelas sekali depan mata. Piagam Jakarta yang tersimpan rapi selama 52 hari akan mulai di jalanan.

Kesepakatan Bapak-Bapak Bangsa akan syariat dapat segera mewujud. Darah para syuhada membanjir di penjuru negeri.

Api yang terus berkobar di pelosok negeri. Cahaya yang menyelusup anak-anak bangsa. Kini, negeri impian itu semakin dekat. Bangsa ini menyatakan kemerdekaannya!

Dalam suasana haru dan sangat sederhana, negeri ini diproklamasikan. Atas berkat rahmat Allah, negeri ini merdeka!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Kemerdekaan yang sudah sepatutnya kita syukuri, terjadi pada tanggal 9 Ramadhan. Di bulan suci nan mulia ini, rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Bulan Ramadhan nan mulia benar-benar menjadi bulan kemenangan. Semoga Ramadhan kali ini, menjadi bulan kemenangan bagi kita, keluarga, masyarakat dan bangsa ini. Marhaban Ya Ramadhan!*/Rizki Lesus, wartawan, peminat sejarah)

HIDAYatULLaH

Lakukan 3 Hal Ini Untuk Mendapatkan Kemuliaan Malam Nuzulul Quran!

Salah satu peristiwa penting dalam Islam yang terjadi di bulan Ramadhan adalah peristiwa Nuzulul Qur’an.  Di mana umat muslim memperingatinya di setiap 17 Ramadhan atau yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 8 April 2023. Berikut lakukan 3 hal ini untuk mendapatkan kemuliaan malam Nuzulul Quran!

Nuzulul Quran sendiri merupakan malam istimewa, yakni Allah SWT pertama kalinya menurunkan wahyu ayat suci Al-Qur’an pada Rasulullah Muhamad SAW di Gua Hira.

Mengetahui keistimewaan daripada malam tersebut oleh karenanya, umat Islam dianjurkan untuk mengisi malam Nuzulul Quran dengan beribadah dan berdoa. Berikut 3 cara yang bisa dilakukan untuk mengisi malam Nuzulul Qur’an:

Istiqamoh Membaca Al-Qur’an

Sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama salah satunya oleh Ketua PCNU Sumedang, H. Sa’dullah berpesan bahwa cara terbaik mengisi malam Nuzulul Qur’an yakni dengan istiqomah membaca Al Qur’an

“Cara-cara yang baik untuk mengisi malam Nuzulul Qur’an yaitu, pertama istioamah membaca Al-Qur’an. Minimal harus khatam satu kali selama bulan Ramadhan,” terang beliau.

Bahkan keutamaan membaca Alquran telah disebutkan secara rinci, salah satunya melalui hadist dari Riwayat Abdullah Ibnu Mas‘ud yang menjelaskan, setiap satu huruf yang dibaca akan diberi balasan satu kebaikan.

Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran) maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” (HR At-Tirmidzi).

Memperbanyak I’tikaf

Jika kita menginginkan keutamaan malam Nuzulul Qur’an para ulama menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak i’tikaf di masjid.  Memperbanyak i’tikaf,yang dimaksudkan yakni diisi dengan memperbanyak bacaan Al-Qur’an atau dzikir lainnya.

Sebagaimana pendapat Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Ta’lim Syubbanul Muttaqin Jayagiri, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat dalam Tata Cara I’tikaf dan Keutamaannya di Bulan Ramadhan dijelaskan bahwa meski termasuk amalan sunnah yang bisa dilakukan kapan saja, namun di i’tikaf di bulan Ramadhan lebih dianjurkan karena banyak memuat keistimewaan.

Adapun untuk niat beri’tikaf sebagai berikut:

 ‎نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى

Artinya:  “Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.”

Melaksanakan Shalat Malam dan Khusyuk Berdoa

Yang terakhir memperbanyak shalat malam dan berdoa. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.

“Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari.”

Dari hadis di atas Ustadz Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah Semarang, Ahmad Mundzir pernah menjelaskan pula terkait keistimewaan-keistimewaan shalat malam diantaranya ada 5 keistimewaan yang dapat diraih bila mengerjakannnya.

Sebagaimana yang kita ketahui shalat malam merupakan shalat yang paling utama setelah shalat maktubah (lima waktu). Memiliki keutamaan layaknya sedekah yang dilakukan secara sirr (rahasia). Menjadi ciri khas orang-orang shalih.

Allah membanggakan hambanya yang melakukan shalat tahajud kepada para malaikat. Semua doa kebaikan yang dipanjatkan pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT. Demikian semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Alasan Membaca Qunut Witir di Separuh Terakhir Bulan Ramadhan

Pada separuh terakhir bulan Ramadan, biasanya imam sholat tarawih akan membaca doa qunut di rakaat terakhir shalat witir. Hal ini membuat sebagian orang bertanya terkait alasan membaca qunut Witir di separuh terakhir bulan Ramadhan.

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan kesunnahan membaca doa witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana dalam kitab Al-Wasith, Juz 2, Halaman 213 berikut,

الخامس القنوت مستحب في الوتر في النصف الأخير من رمضان بعد رفع الرأس من الركوع وقال أبو حنيفة يقنت قبل الركوع في الوتر جميع السنة وقال مالك بعد الركوع في جميع شهر رمضان وفي الجهر بالقنوت خلاف

Artinya : “Pasal yang ke lima disunnahkan membaca qunut pada shalat witir di separuh terakhir bulan Ramadhan setelah mengangkat kepala dari ruku. Imam Abu Hanifah berpendapat sunnah melakukan qunut sebelum melakukan rukuk pada sholat witir di sepanjang tahun.

Imam malik berpendapat qunut setelah rukuk pada sholat witir hukumnya sunnah di bulan Ramadan secara keseluruhan. Adapun tentang hukum membaca nyaring pada qunut, masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama.”

Menurut sebagian ulama, salah satu hikmah disunnahkan membaca qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan adalah sebagai harapan hikmah sirnanya siksaan dan kekejian orang kafir, sebagaimana terpilihnya separuh akhir dalam setiap bulan untuk melakukan bekam, sebagai harapan keluarnya penyakit dan sirnanya hama.

Sebagaimana dalam kitab Mirqotul Mafatih Syarhu Misykatul Mashobih berikut,

ﺃﻱ : ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﻭﻟﻌﻠﻪ ﻣﻘﻴﺪ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻟﻤﺎ ﻣﺮ ﺑﺴﻨﺪ ﺹﺣﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ، ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ، ﺃﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ، ﺛﻢ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﻔﺎﺅﻻ ﺑﺰﻭﺍﻟﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﺤﺎﻟﻠﻬﻢ ﻭﺍﻧﺘﻘﺎﺻﻬﻢ ، ﻛﻤﺎ ﺍﺧﺘﻴﺮ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﻟﻠﺤﺠﺎﻣﺔ ﻭﺍﻟﻔﺼﺪ ﻣﻦ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﺨﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭﺯﻭﺍﻝ ﺍﻟﻌﺎﻫﺔ .

Artinya : “Maksudnya dalam shalat witir dan barangkali hal itu teruntuk mendo’akan orang-orang kafir sesuai hadits yang telah lewat dengan sanad yang shahih atau hasan dari Umar Ra, bahwa apabila ramadhan sudah dapat separuh terakhir, maka hendaknya melaknat orang-orang kafir dalam shalat witir .

Kemudian wajah hikmah terpilihnya separuh akhir itu sebagai sikap pengharapan dengan sirnanya mereka, berpindahnya mereka dari perkemahannya, dan berkurangnya jumlah mereka, sebagaimana terpilihnya separuh akhir dalam setiap bulan untuk melakukan bekam, sebagai harapan keluarnya penyakit dan sirnanya hama.”

Demikian penjelasan mengenai alasan membaca qunut shalat witir di separuh terakhir bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Amalan Baik dan Buruk Dilipatgandakan di Bulan Ramadhan

Pertanyaan:

Benarkah bahwa amalan-amalan shalih itu dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan? Jika benar, apa dalilnya dan berapa kali lipat? Mohon pencerahannya ustadz.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Benar bahwa amalan kebaikan dan amalan keburukan dilipatgandakan di waktu-waktu yang mulia, termasuk di bulan Ramadhan. Dasar dari hal ini adalah riwayat dari sebagian sahabat Nabi. Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (6/251-252) disebutkan,

وتضاعف الحسنة والسيئة بمكان فاضل كمكة والمدينة، وبيت المقدس وفي المساجد. وبزمان فاضل كيوم الجمعة, والأشهر الحرم ورمضان.أما مضاعفة الحسنة; فهذا مما لا خلاف فيه. وأما مضاعفة السيئة; فقال بها جماعة تبعا لابن عباس وابن مسعود

“Ada pelipatgandaan amalan kebaikan dan amalan keburukan di tempat yang utama seperti Mekah, Madinah, Baitul Maqdis, dan di masjid secara umum, demikian juga di waktu yang utama seperti hari Jum’at, bulan-bulan haram, dan bulan Ramadhan. Adapun pelipatgandaan pahala amalan kebaikan, ini perkara yang tidak ada perselisihan di dalamnya. Adapun pelipatgandaan dosa amalan keburukan, ini merupakan pendapat sejumlah ulama berdasarkan pendapat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud”.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga menjelaskan tentang masalah ini:

السيئات تضاعف من جهة الكيفية، السيئات تُضاعف من جهة الكيفية لا من جهة العدد، أما الحسنات تضاعف كيفية وعددًا

”Amalan keburukan (di bulan Ramadhan) dilipatgandakan dari segi ukuran dosanya, namun tidak dari segi bilangan pengalinya. Adapun amalan shalih (di bulan Ramadhan) dilipatgandakan dari segi ukuran dan bilangan pengalinya” (Fatawa ad-Durus, no.36890).

Dilipatgandakan dari segi ukuran, artinya satu amalan di dalam Ramadhan lebih besar ukuran satu amalan di luar Ramadhan. 

Dilipatgandakan dari segi bilangan pengalinya, artinya satu amalan di dalam Ramadhan sama dengan n kali lipat dari amalan di luar bulan Ramadhan. 

Berapa n tersebut? Tidak ada hadits yang shahih yang menetapkan berapa pelipatgandaan pahala amalan shalih di bulan Ramadhan. Semua haditsnya berkisar antara lemah atau palsu. Namun terdapat beberapa riwayat pendapat para salaf yang menyebutkannya, di antaranya Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah mengatakan:

صوم يوم من رمضان أفضل من ألف يوم ، وتسبيحة فيه أفضل من ألف تسبيحة ، وركعة فيه أفضل من ألف ركعة

“Puasa di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 puasa. Tasbih di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 tasbih. Satu rakaat di bulan Ramadhan lebih utama dari 1000 rakaat” (Lathaiful Ma’arif, hal 151).

Oleh karena itu, setiap detik di bulan ini begitu berharga. Jangan sia-siakan. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41914-apakah-amalan-baik-dan-buruk-dilipatgandakan-di-bulan-ramadhan.html

Belajar Bersyukur

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, datangnya bulan Ramadan merupakan nikmat besar yang wajib kita syukuri. Pada bulan inilah kewajiban puasa ditunaikan oleh kaum muslimin. Walaupun menahan lapar dan haus sejak pagi hingga terbenam matahari bukanlah perkara yang disukai oleh hawa nafsu.

Hal ini tentu menyimpan pelajaran penting bagi manusia, bahwa seringkali kebaikan itu Allah berikan melalui pintu perkara-perkara yang sekilas tidak enak dan tidak menyenangkan. Sebagaimana telah diingatkan di dalam Al-Qur’an bahwa bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kalian. Begitu pula sebaliknya, kalian menyukai sesuatu, tetapi justru itu buruk untuk kalian.

Hal ini semakin memperkuat keimanan kita tentang betapa sempurna ilmu Allah dan betapa luas hikmah serta rahmat-Nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis sahih bahwa Allah jauh lebih penyayang kepada hamba daripada kasih sayang ibu kepada anaknya.

Bulan Ramadan ini begitu istimewa bagi kaum beriman. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya. Mereka sangat mengharap ampunan Allah atas dosa-dosanya. Mereka pun khawatir dan takut akan azab-Nya. Mereka pun berusaha melakukan apa-apa yang Allah perintahkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mencari pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk meraih ampunan itu, amal puasa harus disertai dengan iman dan ihtisab (niat mencari pahala dari Allah).

Oleh sebab itu, berpuasa bukanlah semata-mata menahan haus dan lapar. Lebih daripada itu, ia membutuhkan kekuatan iman dan pemahaman yang benar dalam beragama. Para ulama menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat diterimanya amal, sebab ilmu itulah yang akan meluruskan niat seseorang di dalam beramal kebaikan.

Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amal tanpa ilmu, maka apa-apa yang dia rusak justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” Artinya, jika kita ingin menunaikan kewajiban ibadah puasa ini dengan benar, maka kita tidak boleh bosan belajar tentang tuntunan berpuasa.

Betapa banyak orang yang mengerjakan suatu amalan dan dia mengira bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, tetapi sesungguhnya menjauhkan dia dari Allah. Di antara sebabnya adalah karena beramal mengikuti hawa nafsu dan tidak mengikuti dalil.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dari situ kita pun mengerti bahwa ibadah kepada Allah tidak boleh hanya berdasarkan perasaan atau logika. Ibadah itu dibangun dengan wahyu.

Seperti itulah cara beragama para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Maka, berbicara tentang keutamaan ibadah puasa, wajibnya puasa Ramadan tidak bisa lepas dari pondasi iman, tauhid, dan manhaj (metode beragama).

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidaklah menjadi mulia dan dicintai Allah, kecuali karena kejujuran iman dan kesetiaan mereka kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, para ulama menegaskan bahwa amal-amal itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat disebabkan apa-apa yang tersimpan di dalam hati berupa iman, keikhlasan, dan tauhid.

Mensyukuri nikmat Allah berupa datangnya bulan Ramadan ini tentu tidak cukup dengan spanduk ucapan “Selamat Ramadan” atau yang semacam itu. Akan tetapi, butuh kesadaran hati tentang agungnya kewajiban ini, memuji Allah, dan berusaha menjaga ibadah puasa dari segala perusaknya.

Ada ibadah-ibadah hati yang perlu kita benahi di dalam ibadah puasa ini. Di antaranya rasa cinta kepada Allah, takut kepada-Nya, berharap kepada Allah, dan bertawakal kepada Allah semata. Karena kita tidak mungkin bisa berpuasa, kecuali dengan pertolongan Allah.

Bahkan, dalam ibadah puasa itu pun pada hakikatnya tersimpan ibadah hati yang sangat penting, yaitu keikhlasan. Ikhlas itulah yang membuat amal yang kecil menjadi besar. Di dalam puasa juga terkandung kesabaran.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145)

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah bersepakat bahwa amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah (keyakinan).” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridai (Allah), maka itu adalah batil (sia-sia).” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 103)

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan, kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan, kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat, kecuali apabila bersesuaian dengan As-Sunnah.” (lihat Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hal. 77 cet. Dar Al-Mujtama’)

Ibadah tidak akan diterima apabila tercampur dengan kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah juga tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan iman. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa yang kufur kepada iman, maka sungguh terhapus semua amalnya, dan di akhirat nanti dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Dan cukuplah seorang disebut tidak beriman (kafir), meskipun dia hanya mengingkari salah satu rukun iman. Sebagaimana yang terjadi di masa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma. Ketika itu ada sebagian orang yang mengingkari takdir. Mereka biasa dikenal dengan sekte Qadariyah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian dia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya dari mereka sampai mereka beriman kepada takdir.”

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 211)

Ketakwaan hati (yaitu yang berporos pada keikhlasan) inilah yang menjadi sebab utama keselamatan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ’anhu)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka, barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah, pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Semoga Allah beri taufik kepada kita untuk mensyukuri nikmat datangnya bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Allah Yang menguasai hal itu dan Al-Qadir/Yang Mahamampu atasnya.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84204-belajar-bersyukur.html