Keppres Biaya Haji 1444 H Terbit, Cek Besarannya yang Harus Anda Bayar Sesuai Embarkasi

Keputusan Presiden (Keppres) tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1444 Hijriah/2023 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat sudah terbit. Keppres Nomor 7 tahun 2023 ini ditandatangani Presiden pada Kamis (6/4/2023) lalu.

Keppres ini mengatur Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) per embarkasi. Ketentuan ini berlaku bagi jamaah haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan lbadah Haji dan Umrah (KBIHU).

Berikut besaran Bipih jamaah haji:

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 44.364.357,26

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 45.2O1.652,26

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 47.429.308,26

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 46.044.85O,26

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 48.005.008,26

f. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede) sebesar Rp 51.338.008,26

g. Embarkasi Jakarta (Bekasi) sebesar Rp 51.338.008,26

h. Embarkasi Solo sebesar Rp 49.893.98I,26

i. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 55.928.458,26

j. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 50.792 .20I,26

k. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 50.753.057,26

l. Embarkasi Makassar sebesar Rp 52.182.703,26

m.Embarkasi Lombok sebesar Rp 51.268.349,26

n. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 52.837.858,26

Dalam keterangan yang didapat Republika, Sabtu (8/4/2023), besaran Bipih jamaah haji ini dipergunakan untuk sejumlah biaya. Di antaranya penerbangan haji, biaya hidup (living cost), serta sebagian biaya layanan Arafah, Mudzalifah dan Mina (Armuzna).

Selain itu, Keppres ini mengatur besaran Bipih PHD dan Pembimbing KBIHU. Biaya yang ditetapkan adalah:

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 84.602.294,26

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 85.439.589,26

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 87.667.245,26

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 86.282.787,26

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 88.242.945,26

f. Embarkasi Jakarta sebesar Rp 91.575.945,26 (Pondok Gede)

g. Embarkasi Jakarta sebesar Rp 91.575.945,26 (Bekasi)

h. Embarkasi Solo sebesar Rp 90.131.918,26

i. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 96.166.395,26

j. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 91.030.138,26

k. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 90.990 .994,26

l. Embarkasi Makassar sebesar Rp 92.420.640,26

m. Embarkasi Lombok sebesar Rp 91.506.286,26

n. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 93.075.795,26

Bipih PHD dan KBIHU ini dipergunakan untuk biaya penerbangan, akomodasi, konsumsi, transportasi, pelayanan di Arafah, Mudzalifah dan Mina, perlindungan, pelayanan di embarkasi atau debarkasi dan pelayanan keimigrasian.

Tidak hanya itu, biaya ini juga mencakup premi asuransi dan perlindungan lainnya, dokumen perjalanan, biaya hidup (living cost), pembinaan jamaah haji di Tanah Air dan Arab Saudi, pelayanan umum di dalam negeri dan Arab Saudi, serta pengelolaan BPIH.

Di sisi lain, Keppres tersebut juga mengatur tentang Besaran BPIH Tahun 1444 H/2023 M yang bersumber dari Nilai Manfaat. Nilai Manfaat ini digunakan untuk membayar selisih BPIH, dengan besaran Bipih sebesar Rp 8.090.360.327.2I3,67.

Sementara itu, besaran BPIH Tahun 1444 H/2023 M yang bersumber dari Nilai Manfaat untuk jamaah haji reguler lunas tunda sebesar Rp 845.708.000.000,00.

Diatur juga dalam hal terjadi perubahan besaran BPIH yang bersumber dari Nilai Manfaat untuk jamaah Haji reguler lunas tunda. Hal tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama. 

IHRAM

Menggemaskan! Kucing Ini Melompat di Pundak Syeikh Walid Saat jadi Imam Tarawih, Baru Turun setelah Cium Pipi

Dalam sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan seekor kucing melompat ke dada Syeikh Walid Mehsas yang tengah menjadi imam tarawih di  Aljazair. Hewan peliharaan ini baru turun setelah mencium pipi sang imam.

Peristiwa ini terjadi di Masjid Abu Bakar al-Siddiq di Bordj Bou Arreridj, Provinsi Aljazair, Afrika, pada Selasa, 3 April 2023. Ketika sang imam, Syeikh Walid Mehsas sedang membacakan ayat al-Quran, tiba-tiba kucing berekor cokelat itu melompat ke dada sang imam.

Tidak terpengaruh, Syeikh Mehsas menepuk lembut kucing itu dan tetap melanjutkan bacaan Al-Quran saat shalat tarawih malam Ramadhan.

Syeikh Mehsas tidak merasa terganggung sedikitpun, bahkan dengan tenang memeluk, mengelus kucing itu.

Entah karena merasa nyaman, hewan itu melompat ke bahu sang imam. Setelah dua kali mencium pipi imam, hewan lucu ini kemudian melompat ke lantai.

Video 38 detik akhirnya viral di seluruh dunia bahkan telah diambil beberapa kantor berita asing. Video ini banyak menuai pujian dari warganet.

“Semuanya indah dalam momen ini: bacaannya, ketenangannya, kucing berterima kasih padanya dengan sebuah ciuman,” komentar @tayyabawrites.

“Saya suka fakta bahwa dia begitu dalam dan khusu’ sampai matanya tertutup dan dia bahkan tidak diganggu oleh kucing … mashaallah ❤️, “ tulis @Mims_djiddo.

Sementara akun instagram @aliya_k_pasha menamabahkan sebuah hadits Nabi ﷺ tentang kucing dalam bentuk terjemahan. “Dari Kabsyah anak perempuan Ka’b bin Malik, ia berkata: Kabsyah binti Ka’b sendiri ada dalam pangkuan anak laki-laki Abu Qatadah. Suatu saat, Abu Qatadah masuk ke rumahnya dan Kabsyah menyiapkan air untuk wudlu untuk Abu Qatadah. Tak berselang lama, datang seekor kucing yang lalu meminum air wudlu tersebut.  Kemudian oleh Abu Qatadah, wadah air itu dijulurkan pada kucing tersebut sehingga memudahkannya minum. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihat heran pada saya. Abu Qatadah berkata: Wahai anak perempuan saudaraku, apa kamu heran? Aku berkata: ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berkata: sesungguhnya kucing itu bukan benda najis. Kucing termasuk hewan yang senang mengelilingi kalian.” (Diriwayatkan Imam empat dan Tirmidzi).*

HIDAYATULLAH

Ramadhan: Khatamkan, dan Raih Kedasyatan Al-Quran

Tadabbur al-Qur`an adalah sumber kebaikan, menghatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan salah satu upaya meraih amal sholeh yang dasyat

BERAGAM kekhasan akan ditemukan di bulan Ramadhan. Bukan saja pada fadhilah amalan di dalamnya yang berlipat ganda, juga karena menyimpan kekhasan diturunkannya al-Qur`an.

Allah SWT tentu sengaja memilih Ramadhan sebagai bulan diturunkan kitab-Nya dengan hikmah yang besar. Ramadhan dan al-Qur`an memang berkaitan sangat erat.

Itulah sebabnya menjelang Ramadhan, yang terbayang bukan saja ibadah puasa, namun juga terencana untuk lebih dekat kepada al-Qur`an.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن جبريل كان يعْرضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعرضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فيه

“Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan al-Qur`an kepada Nabi setiap tahun sekali (pada bulan Ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah , Jibril mendatangi dan mengajarkan al-Qur`an kepada beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya).” (Riwayat Imam Bukhari).

Perhatian Khusus

Allah SWT menghadirkan Ramadhan bukan sekadar untuk berpuasa. Tujuan yang juga sangat penting yaitu mempelajari al-Qur`an. Suasana ibadah sangat kondusif untuk mempelajari Kitabullah.

Dalam hadits di atas dikisahkan bahwa Jibril menemui Nabi ﷺ  setiap bulan Ramadhan. Bukan cuma sekali dua kali, tapi setiap malam. Tujuannya yaitu mudarasah (mempelajari) al-Qur`an.

Ibnu Hajar menjelaskan, “Zhahir dari Hadits ini menunjukkan jika keduanya saling bergantian membaca al-Qur`an. (Fathul-Bari’, Bab: Kanannabi Ya’ridhul-Qur`an ala Jibril).

Imam Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat beberapa fawaid (faedah) antara lain disunnahkannya mudarasah al-Qur`an (di bulan Ramadhan).” (Syarah Shahih Muslim, Bab: Kanannabiyu Ajwadunnas bil-Khair minarrih).

Itulah sebabnya para ulama salafush-shalih memberikan perhatian khusus pada al-Qur`an di bulan Ramadhan. Mereka bahkan meliburkan majelis-majelis ilmunya dan fokus pada masalah ini.

Memang mempelajari al-Qur`an tidak terbatas di bulan Ramadhan saja. Tapi mempelajari di bulan suci ini memiliki beragam kelebihan.

Salah satunya adalah kemudahan, baik dalam mempelajari maupun mengamalkan.

Mempelajari al-Qur`an berbeda dengan ilmu lain.

Jika ilmu yang lain hanya bermodal otak, maka al-Qur`an tidak cukup itu. Kecerdasan otak belum cukup untuk mengambil manfaat darinya.

Allah SWT berfirman

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan Dia menyaksikannya.” (Al-Al-Qaaf [50]: 37).

 Kata Ibnul Qayyim, “Ini adalah wadah yang menerima al-Qur`an, yaitu hati yang hidup. (al-Fawaid).

Ramadhan dengan seluruh rangkaian ibadah di dalamnya adalah wasilah (alat) pensucian jiwa. Sehingga saat hendak mempelajari al-Qur`an, hati sudah tersiapkan sebagai wadah bertakhtanya nilai-nilai Qur`ani.

Khatam dan Tadabbur

Salah satu ciri khas para salaf di bulan Ramadan adalah mengkhatamkan al-Qur`an. Bukan sebatas khatam bacaan, tapi juga khatam tadabbur (memikirkan, merenungi, dan menghayati).

Tadabbur merupakan wasilah untuk mengambil manfaat dari kedahsyatan al-Qur`an. Dengan tadabbur, seseorang mengetahui apa yang diinginkan dari suatu makna. (Husain al-Harbi dalam Qawaiduttadabbur wa Dhawabithuhu wa Tathbiqatuhu hal 5).

 Jika tanpa melakukan tadabbur, maka itu termasuk keburukan. Allah SWT berfirman;

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَ اَمۡ عَلٰى قُلُوۡبٍ اَ قۡفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad [47]: 24).

Tadabbur al-Qur`an adalah sumber kebaikan. Ibnul Qayyim menjelaskan pula tentang manfaatnya, “Secara global, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi qalbu daripada membaca al-Qur`an dengan penuh tadabbur dan tafakur.” (Miftah Daris-Sa’adah hal 204).

Kita semua dituntut mengamalkan al-Qur`an. Namun bagaimana mungkin mengamalkan jika tidak memahaminya? Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah ﷺ .

Kata Nabi ﷺ

يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لا يَبْقَى مِنَ الإِسْلامِ إِلا اسْمُهُ , وَلا يَبْقَى مِنَ الْقُرْآنِ إِلا رَسْمُهُ , مَسَاجِدُهُمْ يَوْمَئِذٍ عَامِرَةٌ , وَهِيَ خَرَابٌ مِنَ الْهُدَى , عُلَمَاؤُهُمْ شَرُّ مَنْ تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ , مِنْ عِنْدِهِمْ تَخْرُجُ الْفِتْنَةُ , وَفِيهِمْ تَعُودُ

Artinya: “Akan datang suatu Zaman pada manusia, di mana pada waktu itu tidak tinggal Islam kecuali namanya saja, Dan tidak tinggal Al-Quran melainkan tulisannya saja, Masjid-masjid dibangun megah namun kosong dari petunjuk, Dan ulama mereka adalah makhluk yang terjelek yang berada di kolong langit, dari mulut-mulut mereka keluar fitnah dan (sungguh, fitnah) itu akan kembali kepada mereka.” (HR: Al-Baihaqi)

Penyebabnya tidak lain karena al-Qur`an terabaikan dan tidak ditadabburi sehingga tidak diamalkan. Secara fisik masih ada, dicetak bahkan dipelajari cara baca dan dihafalkan, tapi pemahaman yang benar terhadapnya langka.

Sekadar membaca dan menghafal belum jaminan al-Qur`an akan menyelamatkan kita dari penyimpangan. Bukankah orang Khawarij di zaman Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang sangat menakjubkan bacaan dan hafalan al-Qur`annya? Tapi Rasulullah ﷺ  mengatakan bahwa pada orang semacam itu al-Qur`an yang mereka baca hanya sampai di tenggorokan.

Kenapa itu bisa terjadi? Karena mereka tidak memahaminya dengan benar. Pemahamannya tidak merujuk pada pemahaman para Sahabat.

Akibatnya, kesimpulan hukum yang mereka hasilkan meleset jauh dari pemahaman para Sahabat.

Menyebarnya pemahaman yang salah terhadap al-Qur`an adalah sebab hilangnya ilmu di dalamnya. Dan pemahaman yang salah tidak mungkin melahirkan pengamalan yang benar.

Suatu ketika Nabi ﷺ  pernah menyampaikan jika ilmu akan hilang. Lalu seorang sahabat bernama Ziyad bin Labid bertanya, “Bagaimana ilmu itu hilang sedangkan kami membaca al-Qur`an dan membacakannya kepada anak-anak kami dan anak-anak kami membacakannya kepada anak-anak mereka hingga hari kiamat?”

Rasulullah ﷺ  berkata, “Celakalah engkau wahai Ziyad, sesungguhnya aku menganggapmu termasuk di antara orang paling faqih di Madinah. Bukankah orang Yahudi dan Nasrani membacakan Taurat dan Injil tapi mereka sedikitpun tidak mengamalkan apa yang ada di dalamnya?” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam mentadabburkan al-Qur`an butuh kehati-hatian. Apalagi dengan kapasitas ilmu alat yang terbatas. Kita sangat perlu merujuk pada tafsir.

Dari tafsir itulah kita akan mendapati penjelasan al-Qur`an dari Rasulullah ﷺ , para Sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama setelahnya. Makna dari tafsir tersebut akan membantu kita dalam mentadabburi ayat al-Qur`an.*/Ahmad Rifai, pengajar di Pesantren Hidayatullah Balikapapan

HIDAYATULLAH

Cara Nabi Mendapatkan Lailatul Qadar

Berikut ini penjelasan terkait cara nabi mendapat fadhilah lailatul qadar. Dalam literatur kitab klasik, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan kesunnahan mencari malam lailatul qadar. Hal ini karena seseorang yang bangun pada lailatul qadar dalam keadaan beriman dan ikhlas karena Allah maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. 

Sebagaimana dalam kitab Fiqhul ‘Ibadat, halaman 566 berikut,

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَطْلُبِهَا لِمَا رَوَى أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيِ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ” مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “

Artinya : “Disunahkan mencari lailatul qadar berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah Ra dari Nabi Muhammad Saw Beliau bersabda: Barang siapa yang bangun pada lailatul qadr dalam keadaan beriman dan Ikhlas karena Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Keutamaan beribadah pada malam lailatul qadar sebanding dengan beribadah dalam kurun waktu seribu bulan, dan barangsiapa yang bangun malam pada lailatul qadar maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Sebagaimana dalam kitab An Nawadir Wa Ziyadat, juz 2, halaman 102 berikut, 

قَالَ إُبْنُ حُبَيْب : رُوِيَ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ هِيَ اللَيْلَةُ الْمُبَارَكَةُ – اِلَى اَنْ قَالَ- … وَجَعَلَهَا اللهُ خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ فِيْ تَفْضِيْلِ الْعَمَلِ فِيْهَا وَأَحْفَاهَا لِيَجْتَهِدَ فِيْ إِصَابَتِهَا لِيَكُوْنَ أَكْثَرَ لِأَجْرِهِمْ 

Artinya : “Ibnu Hubaib berkata: diriwayatkan bahwa sesungguhnya lailatul qadr adalah malam yang penuh berkah…dan Allah menjadikannya lebih baik daripada seribu bulan dari segi-segi keutamaan perbuatan. Lailatul qadr disamarkan tidak seperti malam lainnya agar umat muslim lebih serius untuk mendapatkannya sehingga pahala yang didapatkan lebih banyak.”

Fadhilah lailatul qadr bisa didapat dengan beberapa cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi Saw. Semasa hidupnya, Nabi selalu berusaha mendapatkan fadlilah lailatul qadr dengan cara beriktikaf di masjid pada malam hari dan sang hari. 

Sebagaimana dalam kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatil Madzhab, juz 4, halaman 77 berikut,

صَدَّرَ الشَّافِعِيُّ كِتَابَ الْاِعْتِكَافَ بِالْقَوْلِ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ كَانَ يَلْتَمِسُهَا فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ» ويعتكف فيها ليلا ونهاراً.

Artinya : “Imam al-Syafi’i memulai bab tentang Iktikaf dengan pembahasan tentang lailatul qadar, sesungguhnya Rasulullah Saw mencari keutamaan lailatul qadr pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan beriktikaf pada malam hari dan siang hari.”

Imam Kamaluddin menambahkan bahwa orang mukmin dianjurkan menghidupkan malam lailatul qadar dengan cara melaksanakan shalat, membaca al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Sebagaimana dalam kitab Najmul Wahhaj, juz 3, halaman 370 berikut,

 (ِلطَلَبِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ) فَيُحْيِيْهَا بِالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ وَكَثْرَةِ الدُّعَاءِ؛ فَإِنَّهُ ‏ أَفْضَلُ لَيَالِي السَّنَةِ,  وَخَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ لَيْسَ فِيْهَا لَيْلَةُ الْقَدرِ.  

Artinya : “(untuk mencari lailatul qadar) maka hidupkanlah lailatul qadar dengan shalat, membaca al-Qur’an, dan memperbanyak doa karena itu adalah malam-malam yang paling utama dan lebih baik dibandingkan seribu bulan yang tidak ada lailatul qadr-nya.”

Demikian penjelasan mengenai cara nabi mendapat fadhilah lailatul qadar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat? 

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Lebih dari Sekedar Puasa yang Sia-Sia

Puasa Ramadan merupakan ibadah yang agung dan mulia. Ia adalah salah satu dari rukun Islam. Allah Ta’ala menyiapkan berbagai keutamaan bagi yang berpuasa di bulan Ramadan, diantaranya

Pertama: Ampunan dosa yang telah lalu. (HR. Bukhari No. 2014, Muslim 760)

Kedua: Balasan pahala yang tidak terhingga. (HR. Ibnu Majah No. 1638, Bukhari 1904 dan Muslim 1151)

Ketiga: Ada 2 kebahagiaan. (HR. Ibnu Majah No. 1638, Bukhari No. 1904 dan Muslim No. 1151)

Keempat: Pintu surga Ar-Rayyan. (HR. Bukhari No. 1896, Muslim No. 1152)

Kelima: Perisai dari Neraka. (HR. Ahmad No. 14669)

Keenam: Syafa’at puasa di akhirat. (HR. Ahmad, 1429)

Betapa besar harapan setiap orang yang masuk bulan Ramadan untuk mendapatkan seluruh fadhilah puasa tersebut. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pula telah mengabarkan bahwa ada di antara kaum muslimin yang mereka berpuasa menahan makan, minum, serta syahwatnya di siang hari, namun tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus.

رُبّ صائم حَظُّهُ من صيامه الجوع والعطش

Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar dan haus.” (HR. Ahmad No. 8693, Shahih Ibnu Hibban 257/8, Albani dalam Shahih At-Targhib 262/1)

Di antara alasan yang membuat mereka tidak mendapatkan keutamaan tersebut adalah tidak mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam berpuasa.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah justru mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari No. 1903, Abu Daud No. 2362, Ahmad No. 10562)

Mereka tidak makan dan minum, namun tidak menjaga lisan dari perkataan sia-sia, dusta, keji, dan jorok. Bahkan, melakukan dosa besar dengan melakukan gibah alias gosip. Padahal, sejatinya puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus, namun juga menjaga lisan.

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi puasa adalah menahan diri dari berkata sia-sia dan jorok.” (HR. Ibnu Hibban No. 3479 dan Hakim No. 1570, Albani dalam Shahih At-Targhib No. 1082) 

Amalan puasa yang begitu besar di sisi Allah ta’ala, yang dilaksanakan penuh selama bulan Ramadan, berletih-letih bangun sahur di waktu subuh, dan haus di siang hari, semua menjadi sia-sia dan tidak ada hasilnya oleh sebab lisan yang tidak dijaga saat berpuasa. Walau pun letih badan berpuasa, namun tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala. Letih tinggallah letih, penyesalan tidak ada artinya.

Kesyirikan lebih daripada itu semua

Jika perkataan dusta dan sia-sia menjadi sebab puasa menjadi sia-sia, maka kesyirikan adalah sebab seluruh amal ibadah menjadi sia-sia. Seluruh ibadah yang telah dilakukan seorang hamba, dari amalan salat, puasa, zakat, haji, sedekah, berbakti kepada orang tua, umrah dan ibadah agung lainnya, akan sirna dan menjadi debu yang berterbangan ketika seseorang melakukan dosa kesyirikan.

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para rasul) sebelummu, ‘Jika engkau berbuat kesyirikan, niscaya akan (benar-benar) terhapus (seluruh) amalmu dan tentu Anda termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Konteks ayat ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam Tafsir At-Thabari, “Jika engkau melakukan kesyirikan wahai Muhammad, benar-benar akan batal seluruh amalmu, tidak akan meraih pahala dan ganjaran, kecuali ganjaran sebagaimana pelaku kesyirikan kepada Allah Ta’ala.”

“Walau konteksnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah umatnya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berbuat kesyirikan dan tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut.” (Tafsir Qurthubi)

Pelajaran yang utama dari ayat ini adalah jika seorang Nabi dan Rasul yang mulia saja, yang dijamin masuk surga, tidak pernah berbuat dan jatuh ke dalam kesyirikan, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat kesyirikan, maka akan terhapus seluruh amalnya.

Ayat ini ancaman untuk kita umatnya, yang memiliki amal pas-pasan, yang masih malas beramal saleh, bekal amalnya masih sedikit. Jika kita berbuat kesyirikan kepada Allah Ta’ala kemudian meninggal dalam keadaan belum bertobat dari dosa tersebut, maka akan terhapus semua amal kita (yang sedikit itu), dan Allah Ta’ala tidak mengampuni dosa syirik.

انَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah Ta’ala mengampuni dosa selainnya (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah Ta’ala, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)

Sebagaimana perkataan dusta, sia-sia, dan keji orang yang berpuasa akan melenyapkan pahala puasa, kesyirikan bukan hanya menghapus amalan puasa, namun seluruh amal ibadah yang pernah dilakukan selama hidup, terhapus dan menjadi debu yang berterbangan.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karena itu, kesyirikan lebih mengerikan dibanding perkataan sia-sia orang yang berpuasa. Masih banyak kaum muslimin yang justru kuat dan semangat menjaga puasanya dengan baik, namun di saat yang sama juga melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala dengan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, menyembelih hewan untuk selain Allah Ta’ala dan meyakini ada yang mengetahui hal gaib selain Allah Ta’ala dan bentuk kesyirikan lainnya. Oleh karena itu, tegakkan tauhid dan jauhilah kesyirikan,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlanlh Allah dan jangan engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa 36)

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Ditulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84202-lebih-dari-sekedar-puasa-yang-sia-sia.html

Hadis Tiga Larangan terkait Kubur

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur makam (memberi semen pada makam), duduk, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)

Terdapat beberapa faedah yang terkandung dalam hadis ini, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis tersebut merupakan dalil terlarangnya perbuatan mengapur makam, yaitu memberi semen pada pusara makam. Dalam bahasa Arab, kata الجص adalah suatu bahan berwarna putih yang digunakan untuk menghiasi bangunan. Larangan ini berkonsekuensi hukum haram karena tidak ada dalil yang bisa memalingkan dari keharaman tersebut.

Faedah kedua

Hadis tersebut berisi larangan duduk di atas makam, karena di dalam perbuatan tersebut terdapat unsur perendahan, penghinaan, dan sikap tidak peduli. Terdapat satu hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya, itu lebih baik baginya daripada dia harus duduk di atas makam.” (HR. Muslim no. 971)

Hadis di atas menunjukkan bahwa duduk di atas makam merupakan salah satu dosa besar karena terdapat ancaman khusus yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Faedah ketiga

Dalam hadis di atas terdapat larangan membuat bangunan di atas makam, karena dalam perbuatan tersebut terdapat berbagai kerusakan (mafsadah) yang mungkin timbul, di antaranya:

Pertama, membuat bangunan di atas makam merupakan sarana terbesar menuju peribadatan kepada makam tersebut. Karena membuat bangunan di atas makam itu didorong oleh motivasi pengagungan kepada orang yang dimakamkan tersebut, dan juga berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam memujinya. Ini di antara sebab dan sarana menuju kemusyrikan.

Kedua, membuat bangunan di atas makam itu menyerupai (tasyabbuh) terhadap peribadatan kepada berhala dan juga mirip dengan perbuatan para penyembah kubur dari golongan Syi’ah Rafidah yang membuat kubah-kubah di atas makam para wali dan orang-orang saleh.

Ketiga, perbuatan tersebut menyelisihi misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul ‘alaihimus shalatu wassalam, yaitu menyebarkan tauhid, memerangi kemusyrikan, dan sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik.

Terdapat satu hadis dari Abul Hayyaj Al-Asadi, beliau menceritakan,

قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Ali bin Abu Thalib berkata, “Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan patung-patung, kecuali kamu hancurkan. Dan jangan pula kamu meninggalkan makam yang ditinggikan, kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Keempat, perbuatan tersebut berarti menghambur-hamburkan harta dan menyia-nyiakan harta tanpa ada manfaat. Perbuatan menghambur-hamburkan harta ini terlarang dalam syariat.

Kelima, membuat bangunan di atas makam bisa mempersempit lahan makam, dan juga mengubah fungsi makam dari yang semestinya.

***

@Rumah Kasongan, 11 Ramadan 1444/ 2 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 344-346).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84156-hadis-tiga-larangan-terkait-kubur.html

Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal?

Ada sebuah ungkapan (yang mungkin) tidak asing kita dengar,

الثَّوَابُ عَلَى قَدْرِ المَشَقَّة

“Pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan (yang dihadapi).”

Benarkah seperti itu? Benarkah Allah Ta’ala akan memberikan pahala lebih atas sebuah amal yang sulit untuk dikerjakan? Apakah ungkapan tersebut berlaku pada semua jenis ibadah?

Berikut ini akan kita paparkan beberapa penjelasan mengenai ucapan tersebut.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, Perkataan ini tidak sepenuhnya lurus dan benar. Sebagaimana sebagian kelompok memanfaatkannya (ucapan tersebut) untuk dijadikan dalil (bolehnya) berbagai macam bentuk praktik keagamaan berupa tindakan menjauhi segala hasrat keduniawian dan ibadah-ibadah lainnya yang mengandung unsur ke-bid’ah-an, seperti yang dilakukan kaum musyrikin dan yang selainnya dari perbuatan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan dari hal-hal yang baik. Juga seperti sikap terlalu mendalami sebuah urusan ataupun terlalu ketat dan berlebih-lebihan dalam perkara yang tidak seharusnya. Keduanya itu sangatlah dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

هَلَكَ المُتَنَطِّعُونَ. قالَها ثَلاثًا

“Celakalah orang yang berlebih-lebihan (dalam agama). Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670)

Adapun ucapan, “Pahala itu sesuai dengan kadar ketaatan.”, maka terkadang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bisa terjadi pada sebuah amal yang mudah untuk dilakukan. Sebagaimana Allah Ta’ala berikan kemudahan untuk pemeluk agama Islam dengan dua kalimat yang bisa menjadi seutama-utamanya amalan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتانِ خَفِيفَتانِ علَى اللِّسانِ، ثَقِيلَتانِ في المِيزانِ، حَبِيبَتانِ إلى الرَّحْمَنِ، سُبْحانَ اللَّهِ وبِحَمْدِهِ، سُبْحانَ اللَّهِ العَظِيمِ.

“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan (mizan), dan dicintai oleh Ar-Rahman (Allah Ta’ala), Subhanallah wabihamdihi, Subhanallahil ‘azhiim.” (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Bisa jadi sebuah amalan terasa berat untuk dilakukan, maka keutamaannya itu bukan berdasarkan arti dan makna dari rasa beratnya tersebut. Kesabaran di dalam melaksanakannya serta adanya rasa letihlah yang akan menambah pahala. Sebagaimana seseorang yang datang dari tempat yang jauh untuk berhaji ataupun umrah, maka ia mendapatkan pahala yang lebih besar dari mereka yang datang dari tempat yang dekat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, ganjaran (sebuah amalan) itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu.” (HR. Bukhari no. 1787 dan Muslim no. 1211)

Karena sejatinya, balasan pahala itu sesuai dengan kadar amal perbuatan yang terwujud karena jauhnya jarak. Dan jauhnya jarak akan memperbanyak usaha yang harus dikerahkan oleh seseorang sehingga -insyaAllah- akan memperbanyak pahala yang diperolehnya. Hal ini berlaku juga dalam perkara peperangan. (Al-Fatawa karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, 10: 620-622)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

مَثَلُ الذي يَقْرَأُ القُرْآنَ وهو حافِظٌ له، مع السَّفَرَةِ الكِرامِ البَرَرَةِ، ومَثَلُ الذي يَقْرَأُ وهو يَتَعاهَدُهُ، وهو عَلَيْه شَدِيدٌ؛ فَلَهُ أجْرانِ.

“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran dan ia menghafalnya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia dan baik. Sedangkan perumpamaan orang yang membaca (Al-Quran) dengan tekun, dan ia mengalami kesulitan di dalamnya, maka dia akan mendapat ganjaran dua pahala.” (HR. Bukhari no. 4937)

Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang orang yang membaca Al-Qur’an dengan serius dan teliti, perhatian ketika membacanya, mengulang-ulang di dalam membacanya agar tidak lupa, hingga kemudian membuahkan rasa sulit dan berat karena lemahnya kemampuan di dalam menghafal. Nabi hallallahu ‘alaihi wasallam katakan bahwa orang semacam ini akan mendapatkan dua pahala: 1) pahala karena membaca Al-Qur’an; dan 2) pahala atas kesulitan dan rasa berat yang dirasakannya ketikan menghafalkannya.

Lalu, rasa sulit seperti apa yang dapat mempengaruhi pahala sebuah amal?

Harus dipahami, banyak sekali amalan yang menghasilkan banyaknya pahala ketika melaksanakannya berdasarkan rasa berat dan lelah di dalamnya. Hanya saja, rasa berat dan lelah ini bukanlah fokus dan tujuan amalan tersebut. Akan tetapi, keduanya merupakan konsekuensi yang timbul ketika seorang hamba melakukannya.

Pada asalnya, syariat Islam adalah agama yang memudahkan, syariat yang menghapuskan belenggu-belenggu rasa sulit dan berat. Syariat Islam tidak menginginkan adanya rasa berat dan sulit bagi seorang hamba ketika menjalankan amalan-amalan di dalamnya.

Al-Imam Al-Izz bin Abdi As-Salam rahimahullah dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anaam mengatakan,

Jika ada dua perbuatan yang sama dan setingkat dalam hal kemuliaan dan kedudukan, sama juga dalam hal terpenuhinya syarat, sunah dan rukunnya, sedang salah satunya itu berat untuk dilakukan, maka keduanya sama-sama mendapatkan pahala karena kesamaannya dalam semua perbuatan. Akan tetapi, salah satunya memiliki perbedaan khusus atas apa yang dihadapinya dari rasa berat yang ditanggung karena Allah Ta’ala. Maka ia diberi balasan atas kesabaran terhadap rasa berat yang ditanggungnya dan bukan karena rasa berat itu sendiri. Karena, tidak dibenarkan melakukan sebuah pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu kesulitan. Sebuah taqarrub (pendekatan diri kepada Allah Ta’ala) sejatinya merupakan bentuk pengagungan kepada Rabb Subhanahu Wa Ta’ala sedangkan sebuah kesulitan bukanlah bentuk pengagungan dan penghormatan (kepada-Nya).(Qawaid Al-Ahkam Fii Mashalih Al-Anaam, 1: 36)

Oleh karenanya, apabila seorang muslim melaksanakan sebuah amal, kemudian amal tersebut menyebabkan rasa berat dan susah yang tanpa dibuat-buat dan tanpa ia sangka-sangka, atau tidak ada jalan bagi orang tersebut untuk melaksanakan amal, kecuali harus menerjang sebuah kesulitan dan rasa berat, maka Allah Ta’ala dengan kemuliaan dan keutamaan-Nya tidak akan menghalanginya dari pahala karena adanya rasa berat yang timbul bukan karena pilihannya tersebut. Contohnya adalah seseorang yang ingin menuju masjid atau ingin pergi berhaji namun tidak ada jalan lain, kecuali ia harus melewati jalan yang memberatkan dan menyusahkan, maka insyaAllah pahalanya akan tetap ia dapatkan.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)

Sejalan dengan kaidah ini adalah apa yang akan didapatkan seorang hamba berupa ampunan karena adanya musibah yang menimpanya, sedangkan ia tidak memiliki pilihan akan terjadinya musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah, baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)

Agama ini mudah dan tidak menyusahkan

Mahasuci Allah Ta’ala yang telah menjadikan agama ini mudah secara fitrah. Mahasuci Allah Ta’ala yang tidak menjadikan rasa berat dan susah dalam agama ini, tidak membebani kita dengan sesuatu yang tidak kita mampu, karena pada hal tersebut terdapat pemaksaan kepada jiwa dan perlawanan terhadap rasa keadilan.

Pernah suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, sedangkan di sisinya ada seorang wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,

مَن هذِه؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ، تَذْكُرُ مِن صَلَاتِهَا، قَالَ: مَهْ، علَيْكُم بما تُطِيقُونَ، فَوَاللَّهِ لا يَمَلُّ اللَّهُ حتَّى تَمَلُّوا وكانَ أحَبَّ الدِّينِ إلَيْهِ مَادَامَ عليه صَاحِبُهُ

“Siapakah ini?” Aisyah menjawab, “Ini adalah si Fulanah.” Aisyah menyebutkan perihal salat wanita tadi (yang sangat luar biasa banyaknya dan tekunnya). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukup, jangan demikian, hendaklah engkau semua berbuat sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan. Dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin dan kontinyu.” (HR. Bukhari no. 43)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk beramal sesuai dengan kemampuan kita, bersikap pertengahan dan tidak berlebihan, sehingga kita tidak mudah merasa bosan dan malas untuk mengerjakan amal kebaikan tersebut.

Ketahuilah bahwa di antara kaidah fikih pokok dalam agama ini ada yang berbunyi,

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Adanya kesulitan akan memunculkan adanya kemudahan.”

Dan kaidah lainnya berbunyi,

إذا ضَاقَ الأمرُ إتَّسَع  

“Apabila sesuatu itu sempit, hukumnya menjadi luas.”

Kedua kaidah tersebut menunjukkan bahwa maksud dan tujuan ketaatan dan amal ibadah dalam agama Islam adalah tegaknya kemaslahatan bagi mereka yang dikenai kewajiban syariat dan bukan untuk menyusahkan dan memberatkan mereka. Semua itu agar seorang hamba menjalani ketaatan tersebut dengan lapang dada dan bersemangat.

Seorang hamba tidak boleh menyengaja bersusah-susah dalam beramal, menganggap bahwa pahalanya akan menjadi besar karena rasa susah yang dirasakannya. Dan boleh baginya untuk melakukan sebuah amal yang menjadi besar pahalanya karena memang adanya rasa susah di dalam melaksanakannya serta rasa susah tersebut memang bagian dari amal tersebut.

Sebagaimana rasa malas dan bermudah-mudahan menjadi pintu masuk setan untuk menggoda kita, maka sikap ghuluw, ekstrim, dan berlebih-lebihan pun menjadi salah satu pintu setan untuk memberikan rasa was-was ke dalam diri seorang hamba. Sebagian salaf mengatakan,

مَا أَمَر الله بِأَمرٍ إلا وَلِلشَّيْطَانِ فِيه نَزْغَتَانِ إما إلى تَفرِيطٍ وإما إلى مُجَاوَزَة وهي الإِفراط، ولا يُبَالِي بِأَيِّها ظَفر زيادة أو نقص

“Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sebuah perintah kecuali setan memiliki dua tipuan dan gangguan di dalamnya, baik itu mengarahkan kepada sikap meremehkan dan melalaikan ataupun mengarahkan kepada sikap melampaui batas dan berlebihan, dan dia tidak peduli mana yang sukses, (membawa seorang hamba ke sikap) berlebihan ataupun meremehkan.” (Tahdzib Madariju As-Saalikiin, hal. 333).

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari artikel berbahasa Arab dengan judul “Ats-Tsawab Alaa Qadri Al-Masyaqqah.” Yang ditulis oleh Khaulah Darwisy. Dengan beberapa penyesuaian bahasa dan penambahan.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84148-pahala-sebuah-amal.html

Bahaya Menghujat, dan Mengapa Islam Melarangnya

BETAPA bahaya menghujat ternyata bisa mematikan hidup seseorang.

Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dialami dan dirasakan seseorang. Karena itu jangan sembarangan berkomentar, menghujat dan mencemooh orang lain. Sebab bisa saja komentar dan hujatan tersebut semakin memperkeruh kehidupan seseorang yang sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan sebagainya?

Seperti suatu kali, pernah da Sulli seorang aktris asal korea dikabarkan bunuh diri setelah beberapa tahun terakhir dirinya berjuang melawan depresi akibat dihujat netizen. Meski menyayangkan tindakan Sulli tersebut, namun publik juga mengecam hujatan-hujatan netizen yang secara tidak langsung dinilai membunuh Sulli secara mental sehingga akhirnya mendorong artis tersebut bunuh diri.

Terlepas dari benar atau tidak nya kabar tersebut namun, tidak sedikit kasus di Indonesia mengenai bullying yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Betapa mirisnya hal itu dilakukan di negara yang mayoritas memeluk agama islam ini. Hal ini menandakan bahwa memang penting adanya edukasi mengenai perbuatan menghujat sesama manusia, khususnya sesama saudara semuslim.

Dalam Islam sendiri, perbuatan menghujat orang lain sangat tidak diperbolehkan. Jika melihat dalam QS al-Humazah ayat 1, menghujat lewat media sosial dapat digolongkan dalam hujatan al-lamz yaitu hujatan melalui perkataan. Tindakan seperti ini sangat dikecam dan tidak dibenarkan.  Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut ini,

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS Al-Humazah: 1)

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dalam ayat ini diterangkan bahwa mencela ada dua macam. Yaitu mencela dengan perbuatan (al-hamz) dan mencela melalui perkataan (al-lamz). Hujatan yang sering dilancarkan dalam kolom komentar di dunia maya termasuk dalam golongan al-lamz yang meski tidak menyakiti secara fisik tapi perkataan tersebut memberikan bekas yang menyakitkan dalam hati.

Teguran yang disampaikan dalam firman Allah di atas sebagai peringatan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela dan melampaui batas. Sebab orang yang mencela dan mengumpat biasanya melakukan perbuatan melampaui batas dengan menghamburkan fitnah di manapun dan kapan pun. Hal ini dijelaskan dalam ayat lainnya yang menjelaskan tentang kriteria pencela atau pengumpat,

“Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al-Qalam: 11)

Dikutip dari buku ‘Kesempurnaan Ibadah Puasa’ Abdul Manan bin Hajji Muhammad Sobari, ada 10 siksaan yang Allah janjikan untuk golongan ini. Abu Hurairah RA berkata bahwa Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

“Barang siapa selama hidupnya mengumpat satu kali, maka Allah menyiksanya dengan 10 macam siksaan, yaitu: ia jauh dari rahmat Allah, para malaikat tidak mau mendekat, saat sakaratul maut yang menyakitkan, dekat dengan neraka, semakin jauh dari surga, dahsyat siksa kuburnya, amal baik dihapus, ruh Nabi Muhammad sakit karena dia, Allah SWT murka, dan ia akan jadi orang pailit ketika ditimbang amal di hari kiamat.”

Abu Umamah Al Baahily juga pernah berkata bahwa: besok pada hari kiamat ada seorang hamba diberi catatan amal dan ia melihat beberapa kebaikan yang tidak ia kerjakan. Ia kemudian bertanya pada Allah: Wahai Tuhanku! dari mana kebaikan ini. Allah menjawab ‘ini amal baik orang yang pernah mengumpatmu sementara kamu tidak tahu dan tidak merasa’.

Sayyidina Ali RA pun pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jauhilah olehmu sekalian dari mengumpat, karena sesungguhnya dalam mengumpat ada tiga bencana: yakni doa tidak dikabulkan, kebaikan tidak diterima, dan kejelekan bertambah.”

Alasan lain Islam melarang umatnya saling meremehkan, menghujat dan menghina sesama adalah sebab belum tentu yang meremehkan lebih baik dari pada yang diremehkan. Karena, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik di sisi Allah dari mereka yang mengolok-olok. Sebagaimana Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al-Hujurat; 11)

Berdasarkan ayat tersebut, menurut Ibnu Katsir meremehkan dan mengolok-olok orang lain termasuk ciri-ciri sifat sombong. Sebab dengan melakukan itu berarti kita telah merendahkan orang lain dan merasa lebih baik darinya.

Karenanya, jangan pernah kita meremehkan perkataan yang terucap dari lisan. Sungguh perkataan itu bisa menghidupkan sekaligus membunuh. Mari kita membiasakan diri untuk berpikir sebelum berucap, karena setiap perkataan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Bahkan, hal yang kita anggap remeh ini akan menjadi besar dihadapan Allah swt.

“(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS An-Nur 15). []

ISLAMPOS

10,3 Juta Jamaah Sholat di Masjid Nabawi Selama Ramadhan

Masjid Nabawi di Madinah didatangi sekitar 10,3 juta jamaah selama Ramadhan. Madinah menyambut para  jamaah di tengah sistem pelayanan yang diawasi oleh pemerintah kota Madinah.

Selain itu, sekitar 2,3 juta makanan buka puasa telah didistribusikan kepada orang-orang yang berpuasa, dengan menyediakan 1 juta botol air Zamzam.

Badan Pengelola Masjid Nabawi menerima pengunjung dan jamaah 24 jam sehari, selain memperhitungkan pembukaan atap Masjid Nabawi bersamaan dengan kepadatan pengunjung dan jamaah.

Badan tersebut melengkapi karpet di dalam Masjid Nabawi sebesar 100 persen, termasuk juga halaman dan atap, sesuai dengan kepadatan pengunjung dan jamaah.

Sumber:

https://saudigazette.com.sa/article/631335/SAUDI-ARABIA/103-million-worshippers-prayed-at-Prophets-Mosque-during-first-3rd-of-Ramadan