Doa Agar Diberikan Kesehatan Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad

Berikut ini adalah doa agar diberikan kesehatan dari Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Nama lengkap beliau ada Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad yang lahir di kota Tarim Hadramaut Yaman pada tahun 1044 Hijriyah atau tahun 1624 Masehi. 

Beliau adalah seorang ulama dan wali yang kharismatik. Imam Abdullah Al-Haddad memiliki keluasan ilmu khususnya fan ilmu Fikih dan Akidah. Saking alimnya beliau mendapat gelar Syaikhul Islam Quthbid Da`wah wal Irsyad artinya beliau adalah salah satu poros dakwah Islam.

 Beliau memiliki banyak karya yang dikaji di bumi nusantara ini seperti kitab Nashaihud Diniyah dan yang paling masyhur adalah karya Ratibul Haddad yang selalu dibaca oleh para pecintanya di seluruh dunia, tak terkecuali negeri kita Indonesia.

Doa Agar Diberikan Kesehatan 

Telah lazim diketahui bahwa doa merupakan senjata bagi setiap mukmin. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Saw.

الدعاء سلاح المؤمن، وعماد الدين، ونور السماوات والأرض.

Artinya; “ Doa adalah senjata bagi orang yang beriman, tiang bagi agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Al-Hakim)

Selain itu Allah Swt juga memotivasi hambanya untuk terus berdoa kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam surat Ghafir ayat 60;

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ.

Artinya; “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Maka dari itu untuk mendapatkan Kesehatan, tak cukup hanya dengan olahraga, tapi juga perlu adanya olahjiwa sebagai upaya kita mendapatkan karunia sehat dari Allah Swt dan salah satu caranya adalah berdoa Kesehatan. Berikut ini adalah doa Kesehatan dari Habib Abdullah Al Haddad.

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ اْلعَافِيَّةَ فِي الدُّنْيَا وَالْأخِرَةِ، اللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ اْلعَفْوَ وَالُعَافِيَّةَ وَالْمُعَافَةَ الدَّائِمَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ.

Allāhumma innī asalukal āfiyyata fid dunyā wal akhirati, Allāhumma innī asalukalafwa wal āfiyyata wal muāfatad dāimata fi dīnī wa dunyāya wa ahlī wa mālī.

Artinya; “Ya Allah aku memohon Kesehatan di dalam urusan dunia dan akhirat, Ya Allah aku memohon kepada-Mu ampunan, Kesehatan serta Kesehatan yang langgeng di dalam agamaku, duniaku, keluarga serta hartaku.”

Demikian doa Kesehatan dari Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Mencegah Kemungkaran dengan Iman dan Takwa

Hidup di zaman yang penuh dengan fitnah ini seringkali diwarnai dengan fenomena praktik kemungkaran khususnya kriminalitas yang mengancam keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat. Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, kriminalitas merupakan masalah yang kompleks, seperti pembegalan, pembunuhan, dan berbagai bentuk penganiayaan yang baru-baru ini terjadi. Wal ‘iyadzu billah.

Permasalahan kriminalitas ini seringkali dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang cenderung menghalalkan segala cara untuk memuaskan keinginan materi sebanyak-banyaknya. Pengangguran dan urbanisasi juga dapat menjadi faktor yang menguntungkan bagi munculnya kejahatan.[1]

Namun, penting untuk diingat bahwa masalah ekonomi juga melibatkan iman dan takwa. Karena iman dan takwa dapat memberikan landasan etis yang kokoh untuk menjawab tantangan sosial. Ini merupakan janji Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰۤ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوۡا۟ لَفَتَحۡنَا عَلَیۡهِم بَرَكَـٰتࣲ مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذۡنَـٰهُم بِمَا كَانُوا۟ یَكۡسِبُونَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)

Huruf “alif lam” dalam kalimat [وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ] menunjukkan kepada penduduk negeri, seperti yang diindikasikan dalam ayat [وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّبِيٍّ].

Seakan-akan Dia (Allah) berfirman, “Dan kalau saja penduduk negeri yang telah disebutkan tadi, yang telah mendustakan, dan menghancurkan (nabi-nabi), [آمنوا] mereka beriman, menggantikan kekufuran mereka, [واتقوا] dan bertakwa, menggantikan perilaku syirik yang mereka lakukan, [لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم] pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka. Sesungguhnya Kami akan membuka bagi mereka, [بركات مّنَ السماء والأرض] berkah dari langit dan bumi, yaitu hujan dan tumbuh-tumbuhan, atau Kami akan memberikan kepada mereka kebaikan dari berbagai sisi, [ولكن كَذَّبُواْ] tetapi mereka mendustakan (para nabi). [فأخذناهم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ] Maka, Kami siksa mereka karena kekufuran mereka dan keburukan perbuatan mereka.”[2]

Ayat ini menegaskan bahwa keimanan dan ketakwaan merupakan faktor kunci dalam mendapatkan berkah dan keberlimpahan dari Allah Ta’ala. Sebuah jawaban yang telak atas alasan ekonomi atau kemiskinan yang menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kriminalitas di negara kita.

Mungkin ada yang berkata bahwa bagaimana bisa tindakan kriminal dapat diatasi apabila kondisi perekonomian masyarakat tidak terlebih dahulu diperbaiki. Maka, kami akan menjawab bahwa bagaimana pula perekonomian masyarakat dapat diperbaiki apabila masih mengesampingkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala Sang Pemilik rezeki. Padahal, Allah Ta’ala menegaskan bahwa sumber kekayaan dan keberkahan adalah iman dan takwa.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara menumbuhkan iman dan takwa dalam masyarakat, terutama dalam konteks mengatasi fenomena kriminalitas? Apakah tanggung jawab pemerintah atau individu itu sendiri?

Tentu saja, jawabannya adalah keduanya memiliki peran penting.

Peran pemerintah

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pertumbuhan iman dan kesalehan. Hal itu dapat dicapai melalui berbagai kebijakan dan program yang mendorong kesejahteraan ekonomi, pendidikan agama yang berkualitas, serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” (QS. Al-Hadid: 25)

Dalam Tafsir As-Sa’di dikatakan bahwa Allah berfirman, [لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ] “Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata,” berupa dalil, bukti, dan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran risalah yang mereka bawa, [وَأَنزلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ] “dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab.” [اَلْكِتَابُ] di sini adalah kata benda umum (isim jenis) yang mencakup seluruh kitab yang diturunkan Allah sebagai petunjuk untuk makhluk dan mengarahkan mereka pada apa-apa yang berguna bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. [وَالْمِيزَانَ] “Dan neraca,” yakni timbangan keadilan terhadap perkataan dan perbuatan. Dan agama yang dibawa oleh para rasul seluruhnya adil dalam hal perintah dan larangan dan juga dalam interaksi manusia dari segi pidana, qishash, hukum had, hukum waris, dan lainnya. Hal itu [لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ] “supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Menegakkan agama Allah ﷻ dan mewujudkan kemaslahatan mereka yang tidak mungkin bisa dihitung.[3]

Pemerintah juga perlu berupaya menghadirkan keadilan dan perlindungan hukum bagi seluruh warga negara, sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman. Selain itu, pemerintah juga perlu memprioritaskan penyediaan dan memaksimalkan fasilitas bagi masyarakat agar lebih mudah dalam mengaplikasikan iman dan takwa baik melalui sarana ibadah, lembaga pendidikan, serta berbagai penunjang kualitas sarana dan prasarana serta sumber daya manusia lainnya.

Peran individu

Di sisi lain, individu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan keimanan dan ketakwaan. Mereka harus mengutamakan pendalaman agama dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan ajaran Islam, laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing.

Bagi laki-laki, mereka dapat menggali keterampilan dan pengetahuan untuk memperoleh pendapatan dengan cara yang halal dan beretika. Mereka harus tetap berpegang teguh pada ajaran agama dalam setiap tindakan ekonomi mereka. Ini akan membantu mengurangi godaan untuk terlibat dalam aktivitas kriminal yang diakibatkan oleh tekanan ekonomi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

“Dan katakanlah, “Bekerjalah (beramallah) kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu (amalmu), begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Sementara itu, perempuan memiliki peran penting dalam membesarkan anak-anak menjadi orang yang beriman dan berbakti. Pendidikan agama dan moral dalam keluarga akan membentuk karakter anak agar memiliki kesadaran moral yang kuat dan terhindar dari perilaku kriminal.

 فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَ ٰ⁠تِۖ فَسَوۡفَ یَلۡقَوۡنَ غَیًّا

“Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59)

Untuk mengatasi fenomena kejahatan yang berakar pada masalah ekonomi, maka solusi ekonomi hanyalah bagian dari solusi. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menumbuhkan iman dan takwa di dalam masyarakat sebagai kunci utama untuk menciptakan lingkungan yang aman, berkeadilan, dan sejahtera.

Sebagaimana disampaikan dalam doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, beliau biasa berdoa,

‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan, dan kekayaan.’[4]

Dengan tumbuhnya iman dan takwa, masyarakat akan lebih mampu menghadapi tantangan zaman ini dan menjauhkan diri dari perilaku maksiat khususnya tindakan kriminal. Bahkan, dengan iman dan takwa, keberkahan dari Allah akan dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya. Ingat! Melakukan amalan saleh dengan senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwa adalah bentuk ikhtiar diri untuk mengubah nasib dari yang tadinya berada pada kondisi perekonomian yang terpuruk menjadi hamba Allah yang mendapatkan limpahan rezeki dari Allah Ta’ala. Karena Allah berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86909-mencegah-kemungkaran-dengan-iman-dan-takwa.html

Berdiam Diri dengan Tawakal? Tirulah Burung dengan Cara Tawakal Terbaiknya

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS Ath Thalaq: 3)

Inilah petikan ayat yang mendorong seorang untuk mengikatkan diri dalam sikap tawakal. Ketika tawakal dilakukan, Allah tidak akan pernah ingkar memenuhi janjinya dalam mencukupi kebutuhan hambanya.

Namun, jangan salah tafsir dan pengertian tentang tawakal. Tawakal bukan menyerah. Tawakal juga bukan bermalas-malasan. Tawakal adalah senjata membangun optimisme dan menghapus kekhawatiran dari usaha yang dilakukan.

Kata kunci tawakal adalah usaha. Rasulullah memberikan perumpaan terbaik dalam sikap tawakal. “Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab).

Tawakal bukan menyerah dan menampakan sikap pasif. Rasulullah memberikan ibarat seekor burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. Seekor burung pun berusaha, tetapi Tuhan telah menetapkan hukum dan porsi segalanya bagi makhluk hidup yang berusaha.

Burung bertawakal tidak dengan berdiam diri di dalam sarangnya. Tetapi seekor burung yakin di luar sana Tuhan telah menyiapkan makanan untuk ia cari.  Sekali lagi tawakal bukan menyerah, tetapi berserah diri terhadap usaha yang sudah dilakukan.

Tawakal menyadari diri ada keterbatasan dalam meraih hasil. Tetapi bukan keterbatasan diri untuk berusaha. Semua orang harus menggerakkan diri dengan usaha. Bukan menerima apa adanya tanpa berusaha.

Rasulullah ketika dikejar dalam perjalanan hijrah Madinah tidak menyerahkan diri. Beliau dengan Abu Bakar sedang berserah diri, bertawakal. Namun, tawakal yang dilakukan Rasulullah setelah bersembunyi masuk ke gua tsur dalam kejaran orang kafir Quraisy. Saat itulah, Nabi berkata : jangan bersedih Tuhan bersama kita.

Ada kisah lain tentang konsep tawakal yang sebenarnya. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui melepaskan untanya di depan pintu masjid, kemudian ia masuk ke dalamnya sambil berkata: “Aku bertawakal kepada Allah.”

Nabi menegornya dan bersabda: “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.” (HR at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Tawakal bukan sikap setelah kejadian dengan menerima apa adanya. Tawakal justru senjata di awal yang diperlukan untuk melenyapkan kekhawatiran dan kecemasan yang dapat menggangu kita meraih hasil yang diinginkan.

Kenapa manusia sulit tawakal. Mari kita kasih perumpaan. Jika kamu menaiki kereta, kamu akan merasa yakin dan tenang karena masinis akan menghantarkanmu ke tempat tujuan. Keyakinanmu karena sistem kesadaran yang bekerja bahwa kereta berjalan semestinya dan tidak ada kendala. Pernahkah anda terpikir kereta akan jatuh, macet atau gangguan lainnya?

Hampir perasaan itu tidak muncul. Pertanyaannya, kenapa kepada manusia kita begitu yakin, lalu kepada Tuhan ketika susah untuk bertawakal? Padahal semua urusan dunia ada dalam genggaman hukum Tuhan. Dia yang mengatur segalanya dari proses hingga hasil.

Tawakal adalah percaya kepada hasil terbaik dari usaha terbaik yang sudah dilakukan. Biarkan tangan Tuhan bekerja, setelah tangan kita digerakkan melalui usaha.

ISLAMKAFFAH

Agar Tidak Mudah Kecewa, Pesan Rasulullah Cintailah dan Bencilah Sewajarnya

Allah senang melihat orang saling memberikan cinta dan kasih sayang. Artinya, rasa cinta di antara manusia adalah fitrah kemanusiaan. Bahkan, mencintai saudaramu dan sesama manusia adalah bagian dari iman.

Dari Anas dari Nabi Saw bersabda: Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”(HR. Bukhari).

Keimanan yang sempurna ketika seseorang mencintai yang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Orang yang saling mencintai tidak mungkin saling menyakiti, memusuhi, apalagi saling mengkhianati.

Itulah manfaat saling mencintai. Allah memberikan keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah termasuk 7 golongan yang akan mendapatkan naungan dan perlindungan dariNya di hari kiamat.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda: Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (yaitu) pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Rabb-Nya, seseorang yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah”. (HR Bukhari).

Cinta membawa berkah. Dengan saling mencintai akan tercipta kerukunan dan harmoni dalam kehidupan sosial. Orang jauh dari kebencian. Dan suasana mengasihi akan tercipta.

Namun, cinta juga ada batasannya. Mencintai seseorang harus berada dalam taraf yang sewajarnya. Jangan berlebihan dalam mencintai seseorang karena bisa jadi ia akan menjadi yang kamu benci di kemudian hari. Begitu pula sebaliknya dengan membenci.

Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ memberikan panduan dalam mencintai: “Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta” (HR Tirmidzi).

Sifat dan karakter dunia dan seluruh ciptaan Allah itu selalu berubah dan tidak abadi. Yang Tetap dan abadi hanyalah Sang Pencipta. Karena perubahan itulah, kita tidak boleh menambatkan sesuatu secara berlebihan kepada hal yang bisa berubah.

Termasuk hati. Ia memiliki dinamika yang cepat. Seseorang dalam suatu waktu bisa gembira, sedih, berduka dan bersuka ria. Ia kadang pula bisa mencintai sesuatu, tetapi tidak lama berubah menjadi benci. Sifat yang mudah berubah itulah yang menyebabkan kita untuk sekedarnya dalam mencintai dan membenci.

Terkadang kita terlalu mencintai, menokohkan dan membela seseorang yang dicintai. Namun, ketika ia berubah dan tidak sesuai dengan ekspektasi, kita menjadi membencinya. Karena itulah, cintailah dan bencilah sewajarnya.

Tidak usah terlalu fanatic buta apalagi cinta buta terhadap seseorang. Kecuali cinta kepada Allah dan Rasulnya. Orang boleh mencintai berlebihan kepada Allah dan kepada Nabinya. Karena Allah adalah AL-Haq yang tidak berubah. Dan utusannya Muhammad adalah yang diberikan keistimewaan oleh yang Maha Kekal.

ISLAMKAFFAH

Kebiasaan Menunda-nunda Itu Berdampak Buruk, Ini Cara Mengatasinya

Salah satu aspek yang sering kali diabaikan oleh kebanyakan orang yakni menunda-nunda. Ia bisa menjadi masalah serius dalam kehidupan seseorang. Ada beberapa ayat dari Al-Quran dan Hadits yang memiliki kandungan tentang pentingnya menghindari tindakan menunda-nunda. Salah satu contohnya ialah sebagaimana dalam hadits berikut:

Ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni salat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Hadits di atas memberikan pemahaman yang mendalam tentang urgensi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang Muslim dalam menjalani kehidupannya. Menunda-nunda dalam Islam tidak hanya dilihat sebagai perilaku yang kurang produktif, tetapi juga memiliki dampak negatif bagi kehidupan individu dan masyarakat.

Pertama, menunda-nunda dalam kewajiban agama seperti shalat, puasa, atau bersedekah dapat mengganggu hubungan seseorang dengan Allah SWT. Ketika seseorang terbiasa menunda-nunda ibadah, ia dapat mengabaikan panggilan spiritual dan membiarkan dirinya terjerumus dalam dosa dan kesalahan.

Selain itu, kebiasaan ini yang dalam tindakan-tindakan duniawi seperti pekerjaan, pendidikan, atau tanggung jawab sosial juga memiliki dampak yang merugikan. Sebab dapat menghambat kemajuan individu dalam mencapai tujuan hidupnya, menjadi tekanan dan stres yang tidak perlu, serta mengganggu keseimbangan dalam kehidupan seseorang.

Al-Quran memberikan pandangan yang tegas mengenai akibat dari menunda-nunda.

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman ayat 34).

Tidak ada yang menjamin apa yang akan terjadi dalam hidup kita besok. Karena itulah penting untuk hidup dengan penuh kesadaran dan membuat keputusan yang tepat saat ini. Menunda-nunda bisa menghambat kemajuan dan mengurangi peluang kita untuk mencapai tujuan seseorang.

Di Ayat lain, yakni surah Al-Munafiqun ayat 9, Allah menegaskan akan pentingnya tidak membiarkan urusan dunia mengganggu prioritas spiritual. Sebab menunda-nunda ibadah dan kewajiban agama dapat mengaburkan prioritas utama dalam hidup seorang Muslim.

“Wahai orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu mengalihkanmu dari mengingat Allah. Dan barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”

Untuk mengatasi kebiasaan menunda-nunda, Islam memberikan beberapa pedoman yang berharga.

Pertama, kesadaran akan waktu dan urgensi adalah kunci utama. Seorang Muslim harus selalu ingat bahwa waktu adalah salah satu karunia Allah yang paling berharga, dan itu harus dimanfaatkan dengan bijak. Kedua, memiliki niat yang kuat dan tekad untuk melakukan tugas-tugas dengan segera dapat membantu mengatasi kebiasaan menunda-nunda. Selalu ingat bahwa ketaatan kepada Allah SWT adalah prioritas utama.

Selain itu, menjalani hidup dengan disiplin dan pengaturan waktu yang baik dapat membantu menghindari menunda-nunda. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh yang baik dalam hal ini; beliau selalu menjalani hari dengan rencana yang baik dan berdisiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Menghindari menunda-nunda memiliki banyak manfaat positif dalam kehidupan seorang Muslim. Pertama, itu membantu meningkatkan kualitas ibadah. Dengan melaksanakan shalat tepat waktu dan dengan penuh khusyu, seorang Muslim dapat merasakan kedekatan spiritual yang lebih besar dengan Allah SWT. Kedua, menghindari menunda-nunda dalam tindakan-tindakan duniaiah membantu mencapai kesuksesan dalam hidup.

Dengan bekerja keras dan bertanggung jawab, seseorang dapat mencapai tujuan-tujuannya dengan lebih cepat dan efisien. Ketika seseorang dapat diandalkan dan tepat waktu dalam memenuhi komitmen sosialnya, ini akan menciptakan rasa saling percaya dan menghormati di antara individu-individu dalam masyarakat.

Oleh karena itu, setiap Muslim diingatkan untuk selalu menghargai waktu dan bertindak dengan segera dalam menjalani tugas-tugasnya, baik yang bersifat agama maupun dunia, dengan niat yang tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kesuksesan dalam kehidupan. wallahu a’lam.

ISLAMKAFFAH

3 Perbedaan Ujian Orang Kaya dan Miskin Menurut Shaqiq Al-Balkhi

Berikut ini adakah tiga perbedaan ujian orang kaya dan miskin menurut Shaqiq Al-Balkhi. Seorang hamba yang dianugerahi kekayaan oleh Allah, bukan berarti ia disayangi oleh Allah. Kekayaan yang ia miliki tidak serta-merta menunjukkan bahwa Allah lebih sayang kepada dirinya dibandingkan dengan orang lain. 

Sebaliknya, jika seorang hamba tertimpa kefakiran atau kemiskinan, maka hendaklah ia bersabar dan rela dengan takdir Allah, tidaklah Allah menganugerahi kekayaan atau kefakiran melainkan hanya untuk menguji hambanya. 

Syekh Husain bin Nasir Ibnu Khamis dalam karyanya Munakib Al-Abrar Wa Muhasini Al-Ahyar Fi Tabaqat As-Sufiyyah, Juz 1, halaman 90, mengutip ungkapan ulama sufi, yaitu, Syekh Shaqiq Al-Balkhi terkait perbedaan ujian orang kaya dan orang fakir. Adapun kutipannya sebagai berikut;

الفقير تقارنه ثلاثة أشياء: فراغ القلب، وخفة الحساب، وراحة النفس، والغني تُقارنه ثلاثة أشياء: تَعَبُ النَّفْسِ، وشغل القلب، وشدَّةُ الحساب

Artinya: Ada tiga perkara yang menyertai orang fakir, yaitu, kosongnya hati, ringannya hisab, dan santainya jiwa. Dan ada tiga perkara yang menyertai orang kaya, yaitu, payahnya jiwa, sibuknya hati dan beratnya hisab.

Menurut penuturan Syekh Shaqiq Al-Balkhi di atas, bahwa kekayaan dan kemiskinan itu adalah ujian. Namun keduanya berbeda dalam mengalami ujiannya, ada tiga perkara yang membedakannya. Pertama, orang fakir kosong hatinya, dalam artian ia lebih tenang hatinya dibandingkan orang yang kaya, dan lebih fokus untuk melakukan ibadah atau pengabdian kepada Allah, karena ia tidak direpotkan dengan masalah harta. 

Kedua, hisabnya lebih ringan dari pada orang kaya, karena ia tidak memiliki harta, dan tidak terlalu banyak pertanyaan yang diajukan malaikat kepadanya. Bahkan ia lebih didahulukan dari orang kaya untuk memasuki surga. Ketiga, jiwanya lebih tenang dan santai, karena ia tidak disibukkan dengan memikirkan atau menjaga harta.

Sedangkan orang kaya juga diuji dengan tiga perkara. Pertama, ia disibukkan untuk menjaga hartanya, bahkan ia menyewa orang untuk menjaganya, supaya hartanya tidak di curi oleh orang lain. Disamping itu, orang kaya lebih sibuk mengatur waktunya, karena baginya waktu adalah uang. 

Kedua, hatinya tidak akan tenang dan selalu gelisah. Terkadang ia sampai melalaikan kewajibannya untuk menginfakkan dan mengeluarkan zakat dari hartanya.

Ketiga, hisabnya lama sekali, karena banyak pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Dari mana harta yang didapatkan, dan dibelanjakan atau dikeluarkan untuk keperluan apa saja. Dengan banyaknya pertanyaan, sehingga orang kaya lama atau terakhir untuk dimasukkan ke surga.

Demikian penjelasan terkait 3 perbedaan ujian orang kaya dan miskin menurut Shaqiq Al-Balkhi. Semoga bemanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Inilah Tiga Orang yang Selamat dari Laknat Dunia Menurut Rasulullah

Dalam sebuah hadis Rasulullah menyatakan ada tiga golongan orang yang selamat dari laknat dunia. Tentu hal ini menjadi hal yang sangat baik dan membahagiakan. Sebab mempersiapkan diri untuk bekal menuju kebahagiaan yang hakiki kelak di akhirat.

Di dunialah kita banyak diuji dengan fitnah dunia itu sendiri, dan kita akan bisa menjadi orang yang beruntung ketika berhasil lulus dari setiap ujian fitnah dunia. Karena kesenangan di dunia hanyalah tipu daya belaka sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 185;

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Artinya; “Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran ayat 185).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dunia juga bisa melaknat para penduduknya dengan kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara dan penuh tipu daya. Maka dari itu mari simak pesan Baginda Nabi Muhammad Saw tentang orang-orang yang terbebas dari laknat dunia.

Inilah Tiga Orang yang Terbebas dari Laknat Dunia Menurut Rasulullah

Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah tentu memiliki tugas besar untuk senantiasa mengingatkan dan mengajak para umat manusia menuju jalan Allah Swt. Sebagaiman firman Allah Swt kepada Rasulullah Saw di dalam Al-Qur`an surat Al-Ghasyiyah ayat 21;

فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ

Artinya; “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.”. (QS. Al-Ghasyiyah ayat 21).

Maka dari itu Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita melalui sabdanya tentang tiga orang yang selamat dari laknat dunia.

عن أبي هُريرةَ، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – قال: “‌ألا ‌إنَّ ‌الدُّنيا ‌مَلْعونَةٌ، مَلْعونٌ ما فيها، إلا ذكرَ الله وما وَالَاهُ، وعالِمًا أو مُتَعلِّمًا”.

Artinya; “Dari Abu Hurairah Ra dari Nabi Saw beliau bersabda; ‘Ingatlah! Sesungguhnya dunia dilaknat dan apa yang ada didalamnya juga dilaknat, kecuali mengingat dan yang membantu untuk mengingat Allah, dan orang yang alim atau pelajar.” (HR. Imam Tirmidzi).

Maka dari sabda Rasulullah Saw tersebut dapat dipahami bahwa orang yang selamat dari laknat dunia adalah orang yang senantisa mengingat Allah Swt hal ini bisa dicapai dengan beribadah dan berzikir, kemudian orang alim, dan yang ketiga adalah orang yang menuntut ilmu atau pelajar. Maka perlulah bagi kita untuk mengupayakan diri menjadi salah satu dari tiga orang tersebut, syukur-syukur apabila bisa menjadi semuanya. 

Demikian penjelasan mengenai tiga orang yang selamat dari laknat dunia menurut Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Mudah Berhutang!

Sebagian kita ada yang senang dengan perilaku hutang, walaupun terkadang dia mampu. Adapula yang memang menjadikan hutang itu sebagai gaya hidupnya.

Padahal yang demikian itu tidak baik, karena hutang termasuk perilaku buruk, yang akan membuat orang berakhlak tidak baik. Maksudnya dapat menimbulkan perilaku yang buruk bagi orang yang suka (hobi) berhutang, seperti suka berdusta dan ingkar janji.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari” (HR. Al-Bukhari).

Lebih dari itu, hutang akan menyebabkan kesedihan di malam hari, dan kehinaan di siang hari.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menolak untuk menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.

Dan dosa orang yang memiliki hutang tidak terhapuskan walaupun dia mati syahid. Dijelaskan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallah ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يغفر للشهيد كل ذنب إلا الدَّين

Akan diampuni seluruh dosa orang yang mati syahid kecuali hutang” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, jangan mudah berhutang jika memang tidak mendesak.

Penulis: Ustadz Fuad Hamzah Baraba, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/29545-jangan-mudah-berhutang.html

Adakah Kebenaran Absolut?

Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mayarakat, kita dapat memperhatikan bahwa era ini memang merupakan masa pasca kebenaran. Pasca kebenaran adalah sebuah frasa populer yang berarti sulitnya mencari dan menemukan kebenaran sejati dari sebuah kejadian. Kita bahkan sering mendengar istilah “tidak ada yang benar atau salah, tergantung sudut pandang”.

Sekilas, ungkapan tersebut terlihat sederhana dan mungkin ada benarnya. Tetapi, apa jadinya jika istilah tersebut kemudian disangkutpautkan dengan persoalan yang menyentuh syariat Islam dan membutuhkan hukum benar atau salah?

Kekeliruan yang dibela

Isu sosial yang viral terjadi pada sebuah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang tokoh dengan pemahaman dan praktik agama yang membuat kami berani berkata bahwa jangankan menilainya dari indikator syariat yang lurus, bahkan dari kelaziman pemahaman dan praktik yang dilaksanakan oleh awam pun sangat bertentangan. Sebut saja ucapan salam yang diganti dengan kalimat-kalimat populer bagi agama yahudi, praktik salat dengan mencampuradukkan saf laki-laki dan perempuan, mengganti kalimat syahadat, menganggap bolehnya melaksanakan ibadah haji di Indramayu, hingga kalimat azan dengan redaksi sendiri. Wal ‘iyadzu billah.

Namun, meskipun demikian, tetap saja ada yang membela, bahkan dari mereka yang mengaku tokoh dan cendekiawan Islam. Pembelaan mereka bahkan memaksakan untuk mengambil pembenaran dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan penafsiran dan pemahaman mereka sendiri.

Saudaraku, bayangkan apa dampaknya pada umat Islam yang awam dengan ilmu agama atau mereka yang sudah mulai condong hatinya untuk memeluk agama Islam. Bagaimana mereka menyikapi hal ini? Terlebih yang membela adalah orang-orang yang dianggap intelektual muslim? Bukankah potensi penyimpangan itu akan semakin merajalela?

Menguak kebenaran absolut

Diskursus ini dimaksudkan untuk membawa kita untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan:

Apakah ada kebenaran yang absolut?”

Kebenaran di mana dengannya kita dapat berpegang teguh dan menjadikannya sebagai rujukan permanen dalam menyikapi segala isu dan problematika kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Jawabannya adalah “Ya! Tentu saja, ada.” Kebenaran absolut itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pemahaman paling dasar sebagai seorang muslim yang beriman. Jelas, dalam rukun iman, sebagai komitmen mukmin kita wajib beriman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (beriman kepada Rasul).

Terhadap persoalan kebenaran absolut ini, sangat jelas. Allah Ta’ala pada awal surah Al-Baqarah menegaskan bahwa tidak ada keraguan yang patut dipersoalkan lagi dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡكِتَـٰبُ لَا رَیۡبَۛ فِیهِۛ هُدࣰى لِّلۡمُتَّقِینَ

“Kitab (Al-Qur`ān) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)

Lebih lanjut, terhadap kebenaran risalah As-Sunnah yang telah sempurna disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala pun menegaskan bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wahyu dari Allah yang wajib kita imani dan laksanakan.

وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ ○ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ

“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`ān itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 – 4)

Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan,

“Allah bersumpah dengan bintang ketika terbenam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyimpang dari jalan hidayah dan kebenaran, tetap istikamah dan berada dalam kebenaran. Ucapannya tidak berasal dari kemauan hawa nafsunya. Al Qur’an dan sunnah itu tiada lain hanyalah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Muyassar)

Oleh karenanya, pemahaman prinsip yang sangat mendasar ini seharusnya terpatri dengan kokoh pada hati dan jiwa seorang muslim. Sehingga, tidak mudah bagi siapapun menggoyahkan keimanannya yang kokoh.

Buah dari iman yang kokoh

Kembali pada persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama di atas, mungkin membingungkan bagi sebagian orang. Tapi, tidak untuk seorang mukmin yang berilmu. Persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama tersebut adalah masalah pokok yang tidak perlu diperbaharui.

Syariat telah dengan jelas dan paripurna menuntun kita untuk urusan ukhrawi, kita hanya tinggal mengikuti saja. Namun, orang-orang jahil tetap saja membuat masalah pokok yang tidak membutuhkan perdebatan itu muncul ke permukaan.

Entah apa maksudnya, apakah memang disengaja untuk mencari jalan memperoleh keuntungan duniawi, atau memang benar-benar tidak mengetahui bagaimana seharusnya memilih jalan yang benar dalam kehidupan beragama.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

العلم نقطة كثرها الجاهلون

“Ilmu syariat dahulu hanya satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang tidak berilmu.” (Lihat Mu’jam A’lamul Jazair karya Adil Nuhaid, hal 98)

Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk dan patuh pada apa yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah dikerjakan, larangan ditinggalkan. Pada prinsipnya, sesederhana itu.

Karena kebinasaan umat terdahulu tidak lain disebabkan oleh banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada nabi-nabi mereka yang berkaitan dengan perkara agama ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apa yang aku larang, hendaklah kalian menghindarinya. Dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)

Jika tidak punya Ilmu agama, bagaimana kita bisa membedakan salah benarnya?

Syarat mutlak pada kebenaran absolut

Saudaraku, memang kebenaran absolut itu tidak ada, kecuali yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Namun, akan sangat berpotensi pada penyimpangan dan salah kaprah dalam pemahaman ketika jalan yang kita ambil dan cara kita memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak berpegang teguh pada sebuah metode (manhaj). Adapun manhaj yang telah dikenalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita adalah manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi dan dia berkata hasan sahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” 

Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita memahami bahwa kebenaran absolut itu adalah hanya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86897-adakah-kebenaran-absolut.html

Menjadi Ayah yang Hadir dalam Pendidikan Anak

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Dalam pendidikan anak, selain keteladanan, anak juga membutuhkan teman dalam melakukan kebaikan dan ketaatan. Orang tua hendaknya melibatkan anak dalam aktivitas ibadah dan aktivitas amal salehnya, yang memang memungkinkan untuk diikuti sang anak. Oleh karena itu, para orang tua dituntut menjadi orang tua yang hadir dalam pendidikan anak, jangan sampai terlalu sibuk sehingga tidak menjadi figur yang hadir dalam mendidik mereka. Terutama para bapak, sibuknya aktivitas mencari nafkah membuat mereka kurang memiliki waktu untuk anak-anaknya.

Menjadi Suami yang Hadir

Bagi para laki-laki, untuk menjadi ayah yang hadir, semestinya dimulai dengan menjadi suami yang hadir bagi keluarganya. Dari Fathimah bintu Qais radhiyallahu’anha, ia berkata:

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”” (HR. Muslim no.1480).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Abul Jahm kepada Fathimah bintu Qais, karena Abul Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.

Ada dua makna dari “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya” sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullah:

قوله صلى الله عليه وسلم : أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه ، فيه تأويلان مشهوران أحدهما أنه كثير الأسفار ، والثاني أنه كثير الضرب للنساء

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam [Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya] ada dua tafsiran yang masyhur dari para ulama: pertama, maknanya ia sering pergi safar. Kedua, ia sering memukul wanita” (Syarah Shahih Muslim, 10/74).

Maka, berdasarkan tafsiran yang pertama dari makna ucapan hadits ini, menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Fathimah bintu Qais untuk menikah dengan lelaki yang akan sering meninggalkannya untuk bersafar. Sehingga yang ideal, hendaknya seorang suami menjadi suami yang hadir untuk keluarganya.

Demikian juga banyak sunnah-sunnah dalam rumah tangga yang hanya dapat diamalkan ketika suami berada di tengah keluarganya:

  • memberi nafkah biologis
  • memberi nasehat
  • memberi pengajaran agama
  • membantu pekerjaan istri
  • bermain-main dengan istri
  • mengajak istri jalan-jalan
  • mengajak istri safar

Oleh karena itu, sebisa mungkin, suami istri itu hendaknya tinggal bersama dan tidak berpisah tempat tinggal. Karena ini yang lebih sesuai dengan perintah Al-Qur’an dan Sunnah, serta lebih melanggengkan rumah tangga juga masing-masing suami dan istri lebih dapat menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya dengan sempurna.

Para Nabi Membersamai Anak dalam Ibadah

Banyak contoh dari para Nabi ‘alaihimussalam bahwa mereka mengajak anak mereka dalam melakukan ketaatan. Di antaranya, Nabi Ibrahim mengajak anak beliau, yaitu Nabi Ismail, untuk membangun Ka’bah. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“” (QS. Al-Baqarah: 127).

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong cucu beliau ketika sedang berkhutbah. Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل الحسن والحسين رضي الله عنهما عليهما قميصان أحمران يعثران ويقومان، فنزل فأخذهما فصعد بهما المنبر، ثم قال: “صدق الله، إنما أموالكم وأولادكم فتنة، رأيت هذين فلم أصبر”، ثم أخذ في الخطبة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Lalu Hasan dan Husain radhiyallahu ’anhuma datang ke masjid dengan memakai gamis berwarna merah, berjalan dengan sempoyongan jatuh bangun (karena masih kecil). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar masjid dan menggendong kedua cucu tersebut, dan membawanya naik ke mimbar. Lalu beliau bersabda, “Maha Benar Allah, bahwa harta dan anak-anak itu adalah fitnah (ujian), aku melihat kedua cucuku ini aku tidak bisa bersabar”. Lalu Rasulullah kembali melanjutkan khutbahnya” (HR. Abu Daud no. 1109, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمامة بنت العاص -ابنة زينب بنت الرسول صلى الله عليه وسلم- على عاتقه، فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu al-Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali menggendong Umamah” (HR. Bukhari no. 516, Muslim no. 543).

Para Salaf dalam Mengajak Anak dalam Ibadah

Demikian juga para salaf, mereka mengajak anak-anak mereka untuk beribadah dan melibatkan mereka dalam amalan-amalan saleh. Di antara contohnya, Amr bin Salamah didapuk menjadi imam shalat ketika usia beliau 7 tahun. Dari Amr bin Salamah radhiyallahu’anhu, ia berkata:

لَمَّا رَجَعَ قَوْمِي مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا إِنَّهُ قَالَ : لِيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قِرَاءَةً لِلْقُرْآنِ . قَالَ : فَدَعَوْنِي فَعَلَّمُونِي الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ ، فَكُنْتُ أُصَلِّي بِهِمْ

“Ketika kaumku kembali dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyampaikan sabda Nabi: hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalan Qur’annya. Maka mereka pun memanggilku dan mengajarkan aku rukuk dan sujud, kemudian aku mengimami mereka” (HR. Al-Bukhari no. 4302).

Dalam sebuah hadits, seorang shahabiyah di zaman Nabi membawa serta anaknya ketika berhaji. Dari Kuraib pembantu Ibnu Abbas mengatakan:

أنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًّا، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ

“Ada seorang wanita ia mengangkat anaknya lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah haji anak ini sah?. Nabi menjawab, “Ya, dan engkau juga mendapat pahala.” (HR. Muslim no.1336).

Para salaf mereka membersamai anak-anak mereka dalam berpuasa. Dari Ar-Rubayyi’ binti Al-Mu’awwidz radhiyallahu’anha, ia berkata:

أَرْسَلَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إلى قُرَى الأنْصَارِ: مَن أصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَومِهِ ومَن أصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ، قالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، ونُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، ونَجْعَلُ لهمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أحَدُهُمْ علَى الطَّعَامِ أعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حتَّى يَكونَ عِنْدَ الإفْطَارِ

“Bahwa di pagi hari Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa sahabat ke kampung-kampung Anshar (ketika puasa diwajibkan). Untuk menyampaikan: “Siapa yang hari ini sudah sarapan, hendaknya dia puasa di sisa harinya. Dan siapa yang berpuasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya”. Ar-Rubayyi’ berkata, “Kami pun berpuasa setelah itu, dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan untuk mereka boneka dari kapas. Jika mereka menangis karena minta makan, kami berikan boneka tersebut. Demikian terus sampai datang waktu berbuka” (HR. Bukhari no. 1960).

Menjadi Orang Tua yang Hadir 

Dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alahissalam yang diperintahkan untuk menyembelih Nabi Ismail, terdapat pelajaran berharga. Allah ta’ala berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”” (QS. Ash-Shaffat: 102).

Dalam perkataan, “Bagaimana pendapatmu?”, Al-Baghawi dalam Tafsirnya mengatakan bahwa di sini Nabi Ibrahim mengajak musyawarah anaknya. Lihat bagaimana dekatnya hubungan antara ayah dan anak sehingga seorang ayah mengajak anaknya bermusyawarah dalam membahas perkara yang begitu penting.

Di dalam ayat yang lain, 

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (QS. Yusuf: 4).

Lihatlah bagaimana Nabi Yusuf ‘alaihissalam menceritakan masalah yang dihadapinya kepada ayahnya, Nabi Ya’qub. Hubungan seperti ini tidak didapatkan dengan instan, namun dari kehadiran ayah di tengah keluarganya dalam mendidik anaknya. 

Oleh karena itu nasehat kami untuk para orang tua sekalian, terutama para ayah agar menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendidik anak-anak dan menjadi orang tua yang hadir di tengah keluarga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42661-menjadi-ayah-yang-hadir-dalam-pendidikan-anak.html