Tidak Ada Iman tanpa Amal

Syekh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain (yaitu amal), sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal itu laksana buahnya. Oleh sebab itu, harus mengamalkan agama Islam. Karena orang yang memiliki ilmu, namun tidak beramal itu lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (Lihat Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hal. 12)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya (ibadah) apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu, namun tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan (ikrar), bukan semata-mata pembenaran (tashdiq). Di dalam ikrar (pengakuan) itu telah terkandung ucapan hati (qaul qalbi), yaitu berupa tashdiq (pembenaran), dan juga amalan hati (‘amalul qalbi), yaitu berupa inqiyad (kepatuhan).” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syekh Shalih Ahmad Asy-Syami, hal. 92)

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Dikutip melalui Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

Amal paling agung

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Amal manakah yang lebih utama?”

Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu, beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

Lalu, beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (Lihat Sahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 97)

Keterangan hadis:

Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, berdasarkan hadis di atas bisa disimpulkan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amalan/perbuatan. Hal ini didukung oleh jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang amal yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Syarh Sahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 78)

Ibnu Baththal rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya beliau (Imam Bukhari) ingin memberikan bantahan kepada sekte Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan ucapan tanpa amalan/perbuatan. Beliau ingin menjelaskan sisi kekeliruan dan keburukan keyakinan/akidah serta penyimpangan mereka dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta mazhab para imam/ulama.” (Lihat Syarh Sahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 79)

Akidah salaf tentang iman

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah sebuah perkara yang telah disepakati di kalangan para sahabat dan tabi’in serta para ulama setelah mereka yang kami temui. Mereka menyatakan bahwa iman itu mencakup ucapan, amalan, dan niat. Salah satu di antara ketiganya tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1122)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan. Akan tetapi, iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1124)

Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah/tuntunan. (Lihat Ushul As-Sunnah, hal. 143)

Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani rahimahullah (wafat 386 H) dalam Muqaddimah Risalah-nya mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan diamalkan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan bertambahnya amal dan berkurang dengan berkurangnya amal. (Lihat ‘Aqidatu As-Salaf Muqaddimah Ibni Abi Zaid, hal. 60)

Isma’il bin Yahya Al-Muzanni rahimahullah (wafat 264 H) dalam risalahnya Syarhus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan disertai keyakinan di dalam hati, serta ucapan dengan lisan dibarengi amalan dengan anggota badan. Kedua hal ini (iman dan amal) adalah dua hal yang berdampingan. Tidak ada iman tanpa amal dan tidak ada amal tanpa iman. (Lihat Isma’il ibn Yahya Al-Muzanni wa Risalatuhu Syarhus Sunnah, hal. 77-78)

Demikian sedikit kumpulan catatan faedah yang Allah Ta’ala berikan kemudahan bagi kami untuk menyusunnya kembali. Semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88370-tidak-ada-iman-tanpa-amal.html

Bentuk Meminta-minta yang Diperbolehkan

Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Sesungguhnya perbuatan meminta-minta (mengemis) itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis ini menunjukkan tercelanya perbuatan mengemis atau meminta-minta. Perbuatan meminta-minta itu bagaikan seseorang yang mencakar wajahnya sendiri ketika meminta-minta di hadapan manusia. Sehingga hal itu akan menyebabkan hilangnya kemuliaan, kehormatan, dan nama baik dari si peminta-minta (pengemis).

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1639) dengan lafaz,

الْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ، أَوْ فِي أَمْرٍ لَا يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا

Meminta-minta itu perbuatan buruk, dengannya seseorang mencoreng (mencakar) wajahnya. Barangsiapa yang mau, maka ia biarkan cakaran itu di wajahnya. Dan barangsiapa yang mau, maka ia tinggalkan. Kecuali jika seseorang meminta kepada pemimpin atau meminta sesuatu yang harus ia dapatkan.

Sedangkan dalam riwayat An-Nasa’i (no. 2599) dengan lafaz,

فَمَنْ شَاءَ كَدَحَ وَجْهَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ

Barangsiapa yang mau, maka ia cakar wajahnya. Dan barangsiapa yang mau, maka ia tinggalkan.”

Kata “كُدُوحٌ” adalah bentuk jamak dari kata كدح, yaitu semua bekas dari garukan atau cakaran. Maksudnya adalah sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa perbuatan mengemis (meminta-minta) itu akan merusak harga diri dan kehormatan seseorang. Mengemis bagaikan aib atau cacat pada kehormatannya, sebagaimana cacat pada wajah akibat cakaran atau garukan. Hal ini karena pengemis itu akan menampakkan tanda-tanda kehinaan dan kerendahan.

Kandungan kedua, hadis tersebut mengecualikan dua bentuk meminta-minta. Terdapat dua kondisi ketika meminta-minta tersebut diperbolehkan, yaitu:

Pertama, meminta kepada penguasa (pemerintah), sehingga diperbolehkan meminta-minta kepada penguasa. Hal ini karena pada hakikatnya, orang itu meminta haknya yang terdapat di baitul mal, bukan semata-mata atau murni pemberian dari penguasa kepada si peminta. Karena penguasa itu hanyalah sebagai wakil. Sehingga, sama seperti ketika seseorang meminta kepada wakilnya untuk mendapatkan haknya sendiri yang ada pada wakilnya.

Kedua, meminta-minta dalam kondisi darurat atau benar-benar sedang dalam kondisi kesulitan. Yaitu, dia membutuhkan sesuatu yang harus dia penuhi, baik karena suatu beban (hajat atau kebutuhan) yang harus dia tanggung, atau ada bahaya yang menimpa pada hartanya, atau dia tiba-tiba tertimpa kefakiran (misalnya, hartanya ludes terkena kebakaran).

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 491-492).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89058-bentuk-meminta-minta-yang-diperbolehkan.html

Bolehkah Memakai Wewangian Sebelum Ihram?

السؤال

بعض الناس إذا أراد أن يحرم يطيب جسمه ورأسه ، ويطيب ملابس الإحرام ، ثم يلبسها ويحرم ، ما حكم ذلك؟

Pertanyaan:

Sebagian orang, jika ingin berihram menggunakan parfum di badan dan kepalanya serta pakaian ihramnya, lalu mengenakan pakaian ihramnya, kemudian melakukan ihram, bagaimana hukumnya?

الجواب

الحمد لله.

أما تطييب الرأس والبدن فهو سنة عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وقد سبق بيانه في جواب السؤال رقم (106550) .

وأما تطيب ملابس الإحرام فلا يجوز ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المحرم عن لبس ثوب مسه طيب ، وقد سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله عن تطييب ملابس الإحرام فقال :

“لا يجوز ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (لا تلبسوا ثوباً مسه الزعفران ولا الورس)” انتهى.

“مجموع الفتاوى” لابن عثيمين (22/9) .

Jawaban:

Alhamdulillah. 

Adapun menggunakan wewangian kepala dan badan, maka itu adalah sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban pertanyaan nomor (106550). 

Adapun menggunakan wewangian pada pakaian ihram, maka hukumnya tidak boleh, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang orang yang ihram mengenakan kain yang telah terkena wewangian. 

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang wewangian pakaian ihram, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda, ‘Jangan pula memakai apapun yang telah terkena safron atau Wars (keduanya adalah jenis wewangian, pent.).’” Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (22/135-136).

Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/109335/لا-يجوز-تطييب-ثياب-الاحرام
PDF sumber artikel.

Akankah Sejarah Berulang Menimpa Kaum Yahudi?

Bangsa Yahudi hanya datang bertamu di Palestina, sang tamu kemudian mengusir tuan rumah, sekaligus mengklaim bahwa rumah yang mereka rampas tersebut miliknya, itulah sejarahnya

HASAN KLEIB, pemateri sentral dalam acara jumpa pers yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) tujuh tahun lalu, tepatnya pada Kamis, 3 Maret 2016 siang di Jakarta, datang terlambat. Laki-laki tegap dengan rambut tipis itu berjalan cepat menuju kursi tengah di barisan meja pemateri.

Begitu duduk, Hasan langsung dipersilahkan oleh sang moderator untuk memulai pemaparannya. Hampir seratus wartawan dari dalam dan luar negeri yang diundang oleh kantor Kemenkominfo siang itu telah lama menanti kehadiran Direktur Jenderal Multilateral Kementrian Luar Negeri RI  tersebut, termasuk saya.

Sedang sang tuan rumah, Ismail Cawidu, Kepala Humas Kemenkominfo, telah lebih dulu duduk di kursi di sebelah kanan Hasan. Namun, dia belum mendapat kesempatan berbicara. Ia sempat mengangkat tangan kepada saya sebelum acara dimulai. Kami berdua saling kenal setelah diundang mengisi acara di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu sebelumnya. Dialah yang mengundang saya ke acara ini.

Rencananya, tiga hari setelah jumpa  pers tersebut, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bakal menggelar sebuah konferensi di Gedung Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, selama dua hari, yakni pada 6 dan 7 Maret 2016. Jumpa pers hari itu  dilaksanakan sebagai bagian dari puncak persiapan penyelenggaraan konferensi tersebut.

“Konferensi ini bukan konferensi biasa. Ini konferensi luar biasa,” kata Hasan memulai pemaparannya.

Hasan benar! Konferensi ini memang dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI. Ia disebut luar biasa karena diselenggarakan di luar jadwal rutin, yakni setiap tiga tahun sekali.

KTT rutin baru akan dilaksanakan bulan berikutnya, yakni tanggal 15 dan 16 April 2016, di Istambul, Turki.

Yang juga menarik, KTT Luar Biasa ini sedianya akan digelar di Maroko. Namun, Maroko menyatakan tidak sanggup. Presiden Palestina dan Sekjen OKI meminta Indonesia menggantikan Maroko menjadi tuan rumah. Lampu hijau dinyalakan oleh pemerintah Indonesia. Jadilah negeri dengan jumlah kaum Muslim terbesar di dunia ini sebagai tuan rumah hajatan tersebut.

Ada 10 hingga 12 pemimpin setingkat kepala Negara yang menghadiri KTT ini, serta utusan dari Amerika Serikat, Rusia, PBB, dan Uni Eropa, serta 4 negara peninjau, yakni Bosnia Herzegovina, Afrika, Rusia, dan Thailand.

Namun, yang paling istimewa dari konferensi ini adalah tema yang diusung –yang menjadi tema tunggal– yakni solusi mengatasi persoalan yang melanda Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Ya, tema ini pula yang menarik perhatian saya untuk memenuhi undangan media briefing siang itu. Israel, satu seperempat abad silam, lewat David Ben Gurion, telah mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak.

Berdirinya “negara” Israel ini menjadi babak baru persoalan yang melanda Palestina dan menyita perhatian masyarakat dunia, terutama kaum Muslim.

Saya sengaja menaruh tanda kutip pada kata “negara” karena pada dasarnya Israel berdiri di atas penindasan dan perampasa yang mereka lakukan atas bangsa dan negara Palestina. Coba perhatikan sebuah peta yang dirilis oleh National Geographic tahun 1947, atau setahun sebelum peristiwa Nakba. 

Peta itu memperlihatkan hanya ada Palestina di wilayah yang diapit oleh Trans-Jordan, Mesir, Suriah, dan Laut Mediterania. Tidak ada Israel.

Jadi, bangsa Yahudi hanya datang bertamu. Namun, sang tamu kemudian mengusir tuan rumah, sekaligus mengklaim bahwa rumah yang mereka rampas tersebut miliknya.

Tidak semua wilayah Palestina berhasil mereka rampas, melainkan menyisakan dua bagian kecil, yakni Tepi Barat dan Gaza, yang terus bergejolak hingga kini. KTT Luar Biasa OKI, yang khusus membahas persoalan Palestina, hanyalah satu di antara banyak upaya untuk menghentikan upaya penindasan yang dilakukan ‘Israel’.

KTT tersebut membuahkan beberapa keputusan. Salah satunya, Deklarasi Jakarta (Jakarta Declaration) yang berisi rencana aksi konkret para pemimpin OKI untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Hasil lainnya adalah meningkatkan tekanan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberikan perlindungan internasional bagi warga Palestina, dan penetapan batas waktu pendudukan Israel atas negara di Bumi Syam tersebut.

Namun, ‘Israel’ keras kepala, sebagaimana nenek moyang mereka dahulu. Mereka tetap saja menjajah Palestina dan menyerang kaum Muslim yang beribadah di Masjid al-Aqsha.

Bahkan, di penghujung 2023 ini, mereka membombardir Gaza. Ribuan warga sipil Palestina, termasuk bayi dan anak-anak, meninggal.

Tak ada negara yang sanggup dan mau menghentikan aksi biadab ini, termasuk PBB. Di banyak negara, yang bergerak menentang justru penduduknya, bukan negaranya.

Namun, gelombang ketidaksukaan kepada sikap sombong dan keras kepala bangsa Yahudi ini kian lama kian membesar. Mungkinkah sikap keras kepala kaum Yahudi ini kelak akan berbalik menimpa mereka sendiri sebagaimana sejarah pernah mencatatnya berulang kali? Wallahu a’lam. *

Oleh: Mahladi Murni, Penulis adalah wartawan

HIDAYATULLAH

BPKH Kampanyekan Haji Usia Muda

Pendaftaran haji usia muda dikampanyekan BPKH.

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengkampanyekan pentingnya melakukan perencanaan keuangan dalam merencanakan haji sejak usia muda.

Anggota Badan Pelaksana BPKH Harry Alexander di Batusangkar, Sabtu, mengatakan sosialisasi itu dinilai penting karena tahun 2023 adalah tahun yang berat bagi jamaah haji Indonesia. Lebih dari 830 orang meninggal dunia dan mayoritas adalah lanjut usia (lansia).

“Sementara tahun ini 61 ribu lebih jamaah haji lansia di atas 65 tahun, sehingga pendaftaran haji harus lebih cepat untuk melakukan finansial planning merencanakan haji sejak muda. Apalagi kalau bisa haji muda bersama keluarga,” kata anggota BPKH Harry Alexander.

Harry mengatakan, saat ini ada sekitar 17 juta calon jamaah haji potensial di Indonesia yang ekonominya mampu dan kesehatannya juga mampu.

“Kita berharap 17 juta orang ini bisa mendaftar haji selagi masih muda, dan kita harapkan ke depan Kerajaan Arab Saudi akan menggandakan kuota untuk Indonesia bisa mencapai 1 juta orang,” kata Harry.

Sementara untuk data jamaah haji yang sedang menunggu, kata dia, ada sebanyak 5,3 juta orang, jumlah itu cukup besar tapi tidak sebesar warga Indonesia yang beragam Islam yang berjumlah 230 juta orang.

Dia menyebut, Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang animo masyarakatnya menunaikan ibadah haji cukup tinggi, ada 1.000 calon haji berangkat dari Sumbar setiap tahunnya.

Kemudian dalam sosialisasi haji muda di Sumatera Barat, kata dia, BPKH menggandeng Diniyyah Putri Padang Panjang dengan hadir pada perayaan satu abad Diniyyah.

“Kita menjadikan momen bahwa “young muslimah strong muslimah” bisa merencanakan agar bisa membeli masa depan termasuk bisa berangkat haji dari sejak muda,” katanya. 

sumber : Antara

Tips Sukses Berdagang ala Rasulullah yang Patut Diketahui Para Pedagang

Sebagaimana yang sudah diketahui, selain sebagai pendakwah Rasulullah saw merupakan seorang pedagang. Bahkan beliau sudah berdagang sejak usianya masih belia.

Kesuksesan Rasulullah saw dalam berdagang tak cuma dari sisi materi saja, lebih dari itu Rasulullah saw mementingkan keberkahan serta memupuk tali persaudaraan dalam berdagang.

Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam. Selain mengikuti Rasulullah saw, berdagang juga mempunyai banyak manfaat untuk orang lain.

Selain bisa memenuhi kebutuhan orang lain, dengan berdagang juga bisa menguntungkan dan berbagi rezeki pada pedagang yang lainnya.

Meski berdagang merupakan profesi yang dianjurkan dalam Islam, namun Islam juga melarang perbuatan-perbuatan culas saat berdagang.

Selain itu, Islam juga menjadikan Rasulullah saw sebagai role model dalam berdagang. Berikut ini tips sukses berdagang ala Rasulullah saw yang patut diketahui para pedagang.

  1. Diniatkan karena Allah SWT

Dasar utama Rasulullah saw dalam berdagang yakni atas niat karena Allah SWT. Dasar berdagang beliau bukan untuk memupuk harta, mencari uang sebanyak-banyaknya ataupun  untuk memikat wanita.

Rasulullah saw selalu menjadikan berdagang untuk ibadah kepada Allah SWT dan mendapatkan keberkahan serta ridho dari Allah SWT.

  1. Jujur dalam Berdagang

Sebagaimana yang sudah diketahui, jika Rasulullah saw dikenal sebagai seorang yang jujur maka beliau pun mendapat gelar al-amin atau yang terpercaya.

Kejujuran Rasulullah saw juga diterapkan dalam berdagang. Saat memasarkan dagangannya, Rasulullah saw selalu menjelaskan keunggulan atau kerusakan barang yang dijualnya.

Bagi Rasulullah saw, kejujuran dalam berdagang adalah brandnya. Tak heran jika Rasulullah saw dikenal sebagai pedagang yang sukses.

  1. Saling Menguntungkan Kedua Belah Pihak

Dalam berdagang, Rasulullah saw mengutamakan prinsip saling suka sama suka antara pembeli dan penjual.

Selain itu dalam berdagang, Rasulullah saw tidak ada yang ditutup tutupi dari dagangannya dan harus mencapai kesepatakan bersama baik itu dalam harga, jenis barang, maupun dari cara memberikan barang kepada pembeli.

  1. Melarang Menimbun Barang Dagangan

Rasulullah saw melarang pedagang menimbun barang dagangan dengan maksud agar dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi saat orang-orang sedang mencari barang tersebut.

Dalam syariat Islam, menimbung barang merupakan hal yang dilarang dan tidak dibenarkan.

  1. Jangan Memberikan Sumpah Berlebihan

Dalam dunia berdagang, tidak sedikit para pedagang yang memberikan sumpah untuk melariskan dagangannya bahkan melakukan sumpah palsu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:

“Sumpah itu melariskan barang dagangan akan tetapi menghapuskan keberkahan.”

  1. Menghargai Pelanggan

Rasulullah saw sangat menghargai pelanggan, bagi beliau semua pelanggan adalah saudara. Sehingga beliau tidak pernah membeda-bedakan pelanggan.

Dalam berdagang, Rasulullah selalu melayani setiap pembeli dengan senyuman dan penuh sopan santun.

  1. Tidak Mudah Putus Asa

Tips sukses berdagang Rasulullah saw yang terakhir adalah tidak mudah putus asa. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Yusuf ayat 87.

“ Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT, sesungguhnya tidak ada berputus asa dari Rahmat Allah melainkan dari orang yang kafir.” (QS. Yusuf ayat 87)

Itulah tips sukses berdagang ala Rasulullah saw yang patut diketahui para pedagang. Wallahu ‘alam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Mengamalkan Hadits Dhoif : Apakah Berarti Berdusta Atas Nama Nabi Saw?

Di sebuah pengajian umum, salah satu tokoh Wahhabi Indonesia secara lantang mengatakan bahwa mengamalkan hadits dhoif berarti telah berdusta terhadap Nabi saw. sebab hadits dhoif merupakan hadits yang kebenarannya masih ragu-ragu, antara “ya” dan “tidak”. Mengamalkan kebenaran yang ragu-ragu ini berarti telah masuk ke dalam sabda Nabi saw:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Artinya: “Waspadalah bagi kalian dan kepada prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah paling dustanya informasi” (HR. Bukhari dan lainnya)

Namun benarkah hadits tersebut larangan tentang menduga-duga suatu kebenaran ?

Bagi umat yang hidup belakangan seperti saat ini, untuk menguji kebenaran suatu hadits baik dari aspek makna atau kwalitasnya harus menggunakan pendekatan ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran ulama’ hadits. Sebab umat-umat yang hidup belakangan ini tidak pernah bertemu langsung kepada Nabi saw atau pun murid-muridnya, sahabat Nabi saw. Sehingga sangat tertutup untuk mengetahui hakikat makna dari sebuah hadits yang benar-benar sesuai kehendak Nabi saw. Namun dengan menggunakan pendekatan teori ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran dari pakar hadits akan lebih condong kepada kebenaran dari pada menjauh dari teori tersebut.

Tentang hadits di atas, Ibn Hajar al Atsqalani di dalam kitab Fathul Bari menjelaskan ada banyak pemahaman yang ditawarkan dari para ulama’ hadits. Pertama, menurut al Khattabi dan lainnya, bahwa yang dimaksud dzon (dugaan) adalah bukan berarti larangan melakukan suatu perbuatan yang diperoleh dari hasil dugaan. Tetapi hadits tersebut larangan menyatakan (meyakinkan) terhadap sesuatu yang masih praduga. Artinya informasi yang sifatnya praduga tidak boleh dianggap ini adalah informasi yang sudah pasti benar. Karena informasi yang sifatnya praduga bisa benar dan bisa salah. Keduanya masih dalam lingkaran kemungkinan saja. Sebab itu tidak boleh, informasi yang masih praduga dianggap sudah yakin, lebih-lebih hal tersebut berkaitan dengan akidah atau hukum.

Sampai di sini sebenarnya sudah terjawab, mengamalkan hadits dhoif tidak masalah. Tetapi menjadi bermasalah jika menganggap hadits dhoif sebagai hadits shahih atau mutawatir. Sebab itu, Ahlussunnah wal Jama’ah tetap mengamalkan hadits dhoif untuk fadhoilul a’mal (fadhilah-fadhilah suatu perbuatan) saja tidak pada masalah hukum. Karena Ahlussunnah wal Jama’ah tetap meyakini bahwa hadits dhoif adalah hadits yang kebenarannya masih rendah dibanding hadits shahih.

Kedua, penafsiran al Qurtubi bahwa hadits tersebut berbicara tentang larangan berprasangka buruk kepada seseorang tanpa ada sebab atau bukti-bukti, seperti menduga seseorang berbuat zina padahal ia tidak mempunyai bukti kuat untuk menyatakan seseorang tersebut melakukan zina. Maka dari itu tidak boleh menduga seseorang mencuri, merampok, dan mabuk-mabukan serta lainnya, sebelum ada bukti melakukan perbuatan dilarang tersebut. Ini alasan mengapa hadits tentang “dhon” tersebut juga diiringi dengan larangan lainnya seperti mencari-cari kesalahan orang lain, atau menghasud orang lain.

Penafsiran yang dilakukan oleh al Qurtubi ini sangat sesuai dengan firman Allah swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa (QS. al Hujurat: 12)

Penafsiran-penafsiran lainnya tidak jauh berbeda dengan kedua ulama’ di atas. Ini artinya hadits tersebut bukan larangan menduga adanya suatu kebenaran sebagaimana diklaim Wahhabi. Tetapi berbicara larangan berprasangka buruk kepada orang lain. Sebab berprasangka buruk kepada orang menyebabkan kebencian terhadap orang tersebut. Adapun mengamalkan hadits dhoif untuk menambah perbuatan-perbuatan baik yang inklud di dalam keumuman dalil lain sama sekali tidak akan menimbulkan keburukan kepada siapa pun. Justru hal tersebut menambah ibadah dan keimanan serta kecintaan kepada agama Islam sendiri.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Keutamaan Sedekah Sunah

Diriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, dari Abul Khair, bahwa dia mendengar dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ أَوْ قَالَ: حَتَّى يُحْكَمَ بَيْنَ النَّاسِ

Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya, sampai diputuskan di antara manusia (pada hari kiamat).’

قَالَ يَزِيدُ: فَكَانَ أَبُو الْخَيْرِ لَا يُخْطِئُهُ يَوْمٌ لَا يَتَصَدَّقُ فِيهِ بشيء ولو كعكة، ولو بصلة

Yazid berkata, “Abul Khair tidaklah melewatkan suatu hari, kecuali beliau bersedekah, meskipun hanya dengan kue atau bawang.” (HR. Ibnu Hibban 8: 104 dan Al-Hakim 1: 416)

Syekh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Sanadnya sahih sesuai dengan syarat Muslim.”

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis ini menunjukkan keutamaan sedekah sunah. Sedekah sunah adalah di antara sebab mendapatkan naungan dan penjagaan dari panasnya matahari pada hari kiamat. Hal ini karena pada hari kiamat, matahari akan didekatkan. Jika jauh saja sudah terasa sangat panas, bagaimana lagi jika didekatkan?!

Imam Muslim meriwayatkan dari Sulaim bin Amir, Al-Miqdad bin Al Aswad telah menceritakan kepadaku, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ، حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

Pada hari kiamat, matahari didekatkan ke manusia hingga sebatas satu mil.”

Sulaim bin Amir berkata,

فَوَاللهِ مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ؟ أَمَسَافَةَ الْأَرْضِ، أَمِ الْمِيلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ – قَالَ: «فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا»

Demi Allah, aku tidak tahu apakah beliau memaksudkan jarak bumi ataukah mil yang dipakai bercelak mata. Lalu, mereka berada dalam keringat sesuai amal perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang berkeringat hingga tumitnya. Ada yang berkeringat hingga lututnya. Ada yang berkeringat hingga pinggang. Dan ada yang benar-benar tenggelam oleh keringat.” (HR. Muslim no. 2864)

Akan tetapi, Allah Ta’ala akan menjaga kekasih-Nya dan orang-orang yang gemar melakukan ketaatan dari panasnya matahari ketika itu.

Sedekah sunah ini memiliki keutamaan yang agung dan pahala yang besar. Demikian pula, sedekah memiliki faedah dan manfaat yang besar pula. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memotivasi umatnya untuk bersedekah sunah. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Sedekah sunah ini bisa ditujukan kepada kaum muslimin yang membutuhkan (fakir miskin), atau kepada orang yang memiliki utang sehingga dia bisa melunasinya, atau untuk jalan-jalan kebaikan, baik membangun masjid, sekolah, memperbaiki jalan umum, dan yang lainnya.

Kandungan kedua, zahir hadis ini menunjukkan bahwa selain naungan arasy, juga terdapat naungan yang lain pada hari kiamat. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “di bawah naungan sedekahnya.”

Penjelasan atas masalah ini ada dua:

Pertama, pada hari kiamat terdapat berbagai macam naungan yang akan menaungi manusia sesuai dengan jenis amal perbuatan. Akan tetapi, naungan arasy adalah naungan yang paling agung dan paling mulia, yang hanya Allah Ta’ala khususkan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Kedua, bahwa pada hari kiamat, hanya ada naungan arasy yang dijadikan sebagai naungan dan tempat berkumpul bagi orang-orang mukmin. Akan tetapi, karena naungan tersebut tidaklah bisa diraih dengan amal saleh, sedangkan manusia itu berbeda-beda tingkat amal salehnya. Maka, setiap orang akan mendapatkan naungan arasy sesuai dengan kadar amal salehnya.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor Pogung, 9 Rabiul akhir 1445/ 24 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88937-keutamaan-sedekah-sunah.html