Seperti Inilah, Islam Mengajarkan Toleransi Beragama

Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim.

Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka.

Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus

Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil.

Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya:

Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46)

Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya.

Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman,

ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.”

Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam

Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti.

Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah:

Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar.

Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri.

Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052)

Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka.

Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga.

Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Keempat: Jaminan keamanan pada harta.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan,

“Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85)

Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah.

Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256)

Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya,

“Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105)

Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal?

Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya.

Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang.

Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja.

Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka.

Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90287-seperti-inilah-islam-mengajarkan-toleransi-beragama.html

Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta?

Teks hadis

Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, beliau berkata,

سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ، فَأَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا، فَقُلْتُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

“Saya mendengar Umar bin Al-Khattab berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi sesuatu kepadaku, namun aku berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’ Hingga suatu hari beliau memberikan harta kepadaku lagi, maka aku pun berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih fakir dariku.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ‘Ambillah. Apabila kamu diberikan sesuatu, sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah kamu memperturutkan hawa nafsumu.’” (HR. Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1045)

Kandungan hadis

Pertama, hadis ini adalah dalil bolehnya menerima pemberian sesuatu berupa harta, jika memang diberikan kepadanya, selama dia tidak berambisi (mengidam-idamkan) untuk mendapatkan harta tersebut, dan tidak pula meminta-minta agar diberi harta tersebut. Artinya, selama dia mendapatkan pemberian tersebut sesuai dengan aturan syariat. Misalnya, dia mendapatkan sebagai bentuk hadiah, atau sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dia lakukan, atau semacam itu, meskipun orang yang diberi itu kaya atau berkecukupan. Orang tersebut boleh menerima pemberian tersebut dan membelanjakannya di jalan-jalan kebaikan, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau disedekahkan kembali kepada orang lain.

Kedua, hadis ini menunjukkan keistimewaan sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menunjukkan sikap zuhud terhdap dunia, tidak memperturutkan hawa nafsunya, dan juga lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.

Ketiga, ada kemungkinan bahwa pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berasal dari harta selain zakat, seperti kharraj (semacam pajak tanah yang dikenakan kepada ahlul kitab yang menggarap lahan milik negara Islam), atau jizyah (harta yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya), atau sedekah sunah. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta-harta tersebut kepada sebagian sahabatnya, termasuk memberikannya kepada Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Akan tetapi, ada juga kemungkinan bahwa harta tersebut sebagai upah atas suatu pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebagai amil zakat. Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu As Sa’idi Al-Maliki, beliau berkata,

اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا، وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ، أَمَرَ لِي بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ، فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيتَ، فَإِنِّي عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أُعْطِيتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ

“Umar bin Al­-Khattab pernah menugaskanku sebagai amil zakat. Setelah tugas itu selesai kulaksanakan, dan hasil zakat yang aku kumpulkan itu telah aku serahkan kepadanya, maka Umar menyuruhku mengambil bagian amil untukku. Lalu aku menjawab, ‘Aku bekerja karena Allah, karena itu upahku pun aku serahkan kepada Allah.’ Umar berkata, ‘Ambillah apa yang diberikan kepadamu itu. Sesungguhnya aku pernah pula bertugas pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai amil zakat. Aku menolak pemberian itu seraya menjawab seperti jawabanmu. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Apabila kamu diberi orang suatu pemberian tanpa kamu minta, makanlah atau sedekahkanlah.’” (HR. Muslim no. 1045)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89980-bagaimana-sikap-seharusnya-ketika-kita-diberi-harta.html

Umat Islam Wajib Pilih Pemimpin yang Beriman, Bertakwa, Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah

Umat Islam wajib memilih pemimpin yang bertanggungjawab juga ideal dalam menjaga agama serta mampu mengurus urusan kemaslahatan publik. Yaitu pemimpin yang beriman, bertakwa, shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Ini penting agar kepemimpinan Indonesia pada lima tahun mendatang amanah dalam membawa memnjadi bangsa unggul dan maju.

“Setiap muslim yang memiliki hak pilih wajib menggunakannya secara bertanggung jawab. Dengan memilih pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif yang memenuhi syarat ideal kepemimpinan sehingga dapat mengemban tugas kepemimpinan dengan amanah,” kata Ketua Majels Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/12/2023).

Deputi Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga ini mengungkapkan kewajiban Islam adalah berpartisipasi menggunakan haknya untuk memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah).

Hal ini sebagaimana telah ditetapkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2009. Keputusan tersebut secara lengkap sebagai berikut:

Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum

  1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
  2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama.
  3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
  4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
  5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Rekomendasi

  1. Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
  2. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

ISLAMKAFFAH

Sofyan Ats-Tsauri: Menolak Setiap Pemberian dari Penguasa

Karena nasihat-nasihat ulama besar Sofyan Ats-Tsauri, Khalifah Harun ar Rasyid tetap di jalan kebenaran

SOFYAN Ats-Tsauri dikenal sebagai ulama besar pada jamannya. Beliau seorang mujtahid mutlak,  al-hafidh adl dhabith (penghapal yang cermat),  yang memiliki sifat warak dan zahid.

Beliau dikenal cermat dalam periwayatan hadist sehingga Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Yahya bin Ma’in menjulukinya sebagai “Amirul Mu’minin fi al-Hadits” (Tahdzibul-Kamal 11/164).

Beliau meriwayatakan 30 ribu hadits dari Al-A’masi, Abdullah bin Dinar, Ashim al-Ahwal, Ibn al-Munkadir dan lainnya. Demikian pula banyak ulama yang mengambil Hadits darinya.

Yahya bin Ma’in menukil darinya sekitar 20 ribu hadits. Abdullah bin Mubarak mengaku telah mencatat hadits dari 1.100 orang guru dan tidak pernah mencatat dari seseorang yang keutamaanya melebihi Sofyan Ats-Tsauri.

Dalam berfatwa dan meriwayatkan hadits, Ats-Tsauri dikenal sangat hati-hati. Tak jarang seseorang menunggu fatwanya selama berhari-hari.

Ini karena jika ragu-ragu terhadap hafalan haditsnya, beliau akan kembali mempelajari catatan haditsnya, termasuk juga memeriksa catatan murid-muridnya.

Di antara fatwanya yang cukup mashur yaitu mengenai kedudukan Sahabat, khususnya khulafaurrasidin. Ketika itu ada sekelompok orang yang sangat fanatik terhadap Imam Ali sehingga mereka berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah meninggalnya Rasulullah ﷺ dalah Imam Ali.

Berkaitan dengan hal ini, beliau mengatakan, ”Siapa yang menyangka bahwa Ali radhiyallaahu ‘anhu lebih berhak atas kekhalifahan dibanding Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu dan Umar radhiyallaahu ‘anhu, maka sungguh dia telah menyalahi Abu Bakar, Umar, kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Dan aku melihat orang dengan keyakinannya yang salah itu, maka amal baiknya tidak akan naik ke langit.” (Riwayat  Abu Dawud).

Keahliannya dalam bidang ilmu hadits dan fiqih membuatnya termasyhur, sehingga para sejarawan mensejajarkan kedudukannya dengan Ibnu Abbas, tokoh di masa Sahabat Nabi  dan Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi, tokoh di masa ulama tabi’in.

Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menyebutnya sebagai faqih (pakar ilmu fiqih) dan muhaddits (ahli hadits).

Al-Khatib al Baghdadi mengatakan bahwa Sofyan Ats-Tsauri adalah salah seorang di antara para imam kaum muslimin dan salah seorang dari pemimpin agama. Kepemimpinannya disepakati oleh para ulama, sehingga tidak perlu lagi pengukuhan terhadap ketelitian dan hafalannya.

Abbas ad-Dauri mengatakan, Yahya bin Ma’in tidak mendahulukan seorangpun darinya dalam masalah fiqih, hadits, zuhud, dan dalam setiap perkara. (Tahdzibul-Kamal 11/166).

Para ulama mengakui  Ats-Tsauri sebagai salah seorang perawi hadits yang dipercaya (tsiqah) oleh beberapa ulama hadits pada abad ke 2 dan ke 3 Hijriah, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Imam An-Nasai, Ali bin Abdullah bin Ja’far Al-Madini.

Sebagaimana Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki dianggap sebagai tokoh Madinah dan Abdurrahman Al-‘Auzai sebagai tokoh Syam, maka Sofyan Ats-tsauri dicatat sebagai tokoh Kuffah.

Sekalipun lebih dikenal sebagai ahli hadits, namun beliau juga mengungguli rekan-rekannya dalam ilmu fiqih dan qiyas. Para ulama menilai pengetahuan fiqihnya  lebih mendalam ketimbang Imam Abu Hanifah, sementara penguasaan haditsnya lebih banyak daripada Imam Malik.

Sayangnya, karya tulis Ats-Tsauri dalam ilmu fiqih tak ada yang dibukukan, namun pemikirannya dapat dijumpai dalam kitab fiqih Mazhab Hanafi, Syafi’i dan lainnya. Selain itu, beliau juga terkenal dengan pandangan rasionalnya dalam hal berijtihad.

Ada pemikiran Ats-Tsauri yang tercatat dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid yang sangat terkenal dan menjadi pegangan dalam ilmu fiqih hingga kini, yaitu air yang tergenang tanpa perubahan pada salah satu sifatnya (rasa, bau dan warna ) hukumnya suci dan menyucikan.

Dalam keadaan dingin, berwudhu dengan mengusap sepatu sebagai ganti membasuh kaki, adalah sah. Beliau juga berpendapat, tertib dalam berwudhu sebagaimana tertera dalam ayat Al-Quran adalah sunah, bukan wajib.

Selain itu, beliau juga berpendapat, mengqadha puasa tidak wajib bagi mereka yang makan dan minum karena lupa dan dipaksa. Jika terdapat seorang faqih dan qari’ dalam sebuah jamaah, yang berwenang menjadi imam ialah qari’.

Soal zakat harta hamba sahaya, beliau berpendapat, ia menjadi tanggungan tuannya.

Pendapat Ats-Tsauri yang juga mashur dan diikuti oleh ulama lain adalah soal membaca qunut saat shalat Subuh. Menurutnya, orang yang membaca qunut itu baik dan yang tidak membaca juga bagus.

Pendapatnya ini diikuti oleh Ibnu Hajm, Ibnu Qoyyim Al Jauzi dan ahli Hadits lainnya.

Menasehati Khalifah Harun Al Rasyid

Ulama yang memiliki nama asli Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id bin Masruq al Kufi ini lahir di Kufah pada tahun 97 H. Ayahnya salah seorang ulama Kufah, yang menjadi guru Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.

Sofyan mulai belajar pada usia yang masih muda, dibawah bimbingan orang tuanya. Kemudian menuntut ilmu fiqih kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq. Sedang dalam ilmu Hadits belajar kepada ulama tabi’in terkenal seperti Amr bin Dinar, Salamah bin Kuhail, Abu Shakrah, dll.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia berdagang demi menghindari pemberian orang, sekalipun dari teman sendiri, lebih-lebih dari para pejabat. Sebab, menurutnya, harta pejabat adalah harta negara, yang tentu saja juga merupakan harta rakyat, dan pemberian itu merupakan syubhat, meragukan, belum jelas.

Sikap teguh itu ia pertahankan secara konsisten.  Ia tidak takut mengemukakan pendapat, termasuk juga kritik terhadap penguasa.

Suatu hari, beliau mengkritik Khalifah Al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abasyiah. Tapi, gara-gara kritik itu beliau dikejar polisi kerajaan.

Beliau pernah ditangkap oleh Muhammad bin Ibrahim, Gubernur Makkah, tapi dibebaskan tanpa sepengetahuan khalifah.

Untuk membungkam sikap kritisnya, Ats-Tsauri  pernah ditawari jabatan sebagai gubernur oleh Khalifah Al-Mahdi. Surat pengangkatannya sudah disiapkan, hari pelantikan juga sudah ditetapkan.

Beliau juga sudah menerima surat pengangkatan, tapi segera dibuangnya ke Sungai Dajlah. Beliau tidak gila pangkat, namun senang pada kebenaran.

Saat Harun ar Rasyid secara resmi diangkat sebagai khalifah, beliau tidak mau menampakkan dirinya di istana. Padahal para ulama lain menghadiri pengangkatan Khalifah Harun Al Rasyid untuk mengucapkan selamat.

Melihat hal itu, khalifah mengirim surat kepada ulama besar ini dan menanyakan kenapa beliau tidak hadir padahal sebelumnya mereka berdua memiliki hubungan yang dekat.

Mendapat surat dari khalifah, beliau dengan tegas menjawab bahwa dirinya telah memutuskan hubungan persaudaraan setelah tahu Harun Al Rasyid mulai berani memakai uang Baitul Mal untuk memberi hadiah kepada tamunya.

Dalam suratnya itu beliau menasehati Khalifah Harun Al Rasyid sebagai berikut, “Ya Harun Al Rasyid! Ketahuilah bahwa setiap manusia itu akan menemui ajalnya. Di antara mereka ada yang beruntung dengan membawa amal, dan ada pula yang merugi di dunia dan di akhirat. Engkaupun tentu akan mendapat giliran kematian itu. Ya Harun Al Rasyid! Berhati-hatilah dalam kehidupan di dunia ini. Ujian dan cobaan selalu mengintaimu. Dan nasehat yang paling baik adalah nasihat dari dirimu sendiri.”

Mendapat surat tersebut, Harun kemudian mengubah sikapnya. Karena sikap tegas dan teguh itulah, penguasa seperti Harun ar Rasyid tetap di jalan kebenaran.

Imam Sofyan Ats-Tsauri wafat di Basrah pada tahun 161 H.*/Bahrul Ulum, ditulis di Suara Hidayatullah  

HIDAYATULLAH

4 Ayat Siksa Neraka yang Sangat Kejam

Api neraka adalah tempat siksaan bagi orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT. Siksa api neraka merupakan tempat yang sangat mengerikan, di mana para penghuninya akan merasakan berbagai macam siksaan yang tidak dapat dibayangkan oleh manusia.

Lebih lanjut, api neraka telah merusak ketenangan hidup seluruh makhluk di dunia. Hal ini dikarenakan api neraka merupakan simbol dari kehancuran dan kebinasaan. Api juga merupakan simbol dari hukuman dan pembalasan. Oleh karena itu, api neraka dapat menjadi peringatan bagi manusia untuk menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.

Allah SWT menerangkan gambaran dari siksa neraka dalam beberapa ayat di Al-Qur’an. Pertama, dalam Q.S Al-Ghasiyah ayat 2-7, bahwa penghuninya akan diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas dan makanan dari pohon berduri yang tidak mampu menghilangkan rasa lapar.

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ خَاشِعَةٌ ٢عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ٣تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةً ٤تُسْقٰى مِنْ عَيْنٍ اٰنِيَةٍ ٥لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍۙ ٦لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍۗ ٧

Artinya: “(2) Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (3) (karena) berusaha keras (menghindari azab neraka) lagi kepayahan karena dibelenggu). (4) Mereka memasuki api neraka yang sangat panas. (5) Mereka diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas. (6) Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri, (7) yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS Al-Ghasiyah: 2-7).

Kedua, dalam Q.S Al-Waqi’ah ayat 51-56, Allah menggambarkan siksa neraka bagi para penghuniny. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa hidangan penghuni neraka adalah buah zaqqum. Zaqqum adalah pohon berduri dengan buah yang pahit dan beracun.

ثُمَّ اِنَّكُمْ اَيُّهَا الضَّاۤ لُّوْنَ الْمُكَذِّبُوْنَۙ ٥١لَاٰكِلُوْنَ مِنْ شَجَرٍ مِّنْ زَقُّوْمٍۙ ٥٢فَمَالِـُٔوْنَ مِنْهَا الْبُطُوْنَۚ ٥٣فَشٰرِبُوْنَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيْمِۚ ٥٤فَشٰرِبُوْنَ شُرْبَ الْهِيْمِۗ ٥٥هٰذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِۗ ٥٦

Artinya: “(51) Kemudian, sesungguhnya kamu, wahai orang-orang sesat lagi pendusta, (52) pasti akan memakan pohon zaqqum. (53) Lalu, kamu akan memenuhi perut-perutmu dengannya. (54) Setelah itu, untuk penawarnya (zaqqum) kamu akan meminum air yang sangat panas. (55) Maka, kamu minum bagaikan unta yang sangat haus. (56) Inilah hidangan (untuk) mereka pada hari Pembalasan.” (QS Waqi’ah: 51-56).

Gambaran zaqqum sebagai makanan para penghuni neraka menggambarkan betapa pedih dan tidak nikmatnya siksa neraka. Rasa pahit dan beracun zaqqum menandakan penderitaan fisik yang akan mereka rasakan. Pun buah zaqqum juga dianggap sebagai simbol dari amal buruk dan dosa mereka yang tidak pernah membuahkan kebaikan, melainkan hanya kepahitan dan kehancuran.

Selain buah Zaqqum, penghuni neraka juga akan menerima minuman air yang sangat panas. Ayat 54 menyebutkan bahwa “Dan untuk orang-orang yang berpaling (dari Allah), disediakan minuman dari air yang sangat panas, dan siksa yang pedih, karena mereka dahulu gembira ria.”

Minuman air yang sangat panas ini sering disebut dengan “hamim” atau “athaman”. Ini melambangkan siksa batin dan kehausan yang akan dirasakan para penghuni neraka. Penderitaan ini merupakan balasan atas kegembiraan dan kesenangan mereka di dunia atas perbuatan maksiat dan kufur yang mereka lakukan.

Ketiga, dalam Q.S an-Nisa [4] ayat 56 dijelaskan bahwa orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah akan dimasukkan ke dalam neraka. Di neraka, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih. Setiap kali kulit mereka terbakar, Allah akan menggantinya dengan kulit yang lain agar mereka terus merasakan azab tersebut.

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا سَوْفَ نُصْلِيْهِمْ نَارًاۗ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Artinya; Sesungguhnya orang-orang yang kufur pada ayat-ayat Kami kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain agar mereka merasakan (kepedihan) azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Gambaran siksa neraka ini sangatlah mengerikan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah sangat murka kepada orang-orang yang kafir kepada-Nya. Allah juga ingin agar orang-orang kafir merasakan azab yang pedih agar mereka bertobat dan kembali kepada-Nya.

Ayat ini juga mengandung makna bahwa Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. Allah Mahaperkasa karena Dia mampu menciptakan neraka dan menyiksa orang-orang kafir di dalamnya. Allah juga Mahabijaksana karena Dia memberikan siksa neraka kepada orang-orang kafir sebagai balasan atas kekufuran mereka.

Keempat dalam Al-Hajj [22] ayat 19-22 menjelaskan tentang siksaan neraka yang akan dialami oleh orang-orang kafir. Ayat pertama menjelaskan bahwa orang-orang kafir dan mukmin adalah dua golongan yang berbeda. Orang-orang kafir adalah orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Sedangkan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan ajaran-ajaran-Nya.

هٰذَانِ خَصْمٰنِ اخْتَصَمُوْا فِيْ رَبِّهِمْ فَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِّنْ نَّارٍۗ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوْسِهِمُ الْحَمِيْمُ ۚ ١٩يُصْهَرُ بِهٖ مَا فِيْ بُطُوْنِهِمْ وَالْجُلُوْدُ ۗ ٢٠وَلَهُمْ مَّقَامِعُ مِنْ حَدِيْدٍ ٢١كُلَّمَآ اَرَادُوْٓا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ اُعِيْدُوْا فِيْهَا وَذُوْقُوْا عَذَابَ الْحَرِيْقِ ࣖ ٢٢

Artinya: “(19) Inilah dua golongan (mukmin dan kafir) yang bertengkar. Mereka bertengkar tentang Tuhan mereka. Bagi orang-orang yang kufur dibuatkan pakaian dari api neraka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih.

(20) Dengan (air mendidih) itu akan diluluhlantakkan apa yang ada dalam perut mereka dan (juga) kulit (mereka). (21) Untuk mereka (azab berupa) palu (godam) dari besi. (22) Setiap kali hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan,) “Rasakanlah azab (neraka) yang membakar ini!” (Al-Hajj: 19-22).

Dalam ayat menjelaskan bahwa kepala orang-orang kafir akan disiram dengan air mendidih. Air ini akan melelehkan isi perut dan kulit mereka. Selanjutnya, penghuni pun akan disiksa dengan palu besi. Palu ini akan digunakan untuk memukul dan menghancurkan tubuh mereka.

Sementara pada ayat 22 menjelaskan bahwa orang-orang kafir akan terus-menerus disiksa di neraka. Mereka tidak akan pernah bisa keluar dari neraka. Sejatinya, ayat ini menegaskan bahwa siksaan neraka adalah hal yang nyata dan akan dialami oleh orang-orang kafir.

Siksa neraka ini sangatlah pedih dan menyiksa. Oleh karena itu, setiap orang harus berusaha untuk menghindari siksaan neraka dengan cara beriman kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya.

BINCANG SYARIAH

Pelaku Bunuh Diri Kekal di Neraka?

Islam melarang praktik bunuh diri.

Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi yang lebih dikenal sebagai Imam Muslim meriwayatkan hadits bahwa orang yang bunuh diri akan kekal di dalam neraka. Di dalam neraka, orang yang bunuh diri dengan suatu alat atau suatu cara, akan dibunuh oleh alat atau cara tersebut berulang kali.

صحيح مسلم ١٥٨: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ شَرِبَ سَمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الْأَشْعَثِيُّ حَدَّثَنَا عَبْثَرٌ ح و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كُلُّهُمْ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَفِي رِوَايَةِ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ

Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka dengan besi yang tergenggam di tangannya itulah dia akan menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam neraka. Barangsiapa membunuh dirinya dengan meminum racun maka dia akan merasai racun itu dalam neraka jahanam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam neraka tersebut untuk selama-lamanya. Begitu juga, barangsiapa membunuh dirinya dengan terjun dari puncak gunung, maka dia akan terjun ke dalam neraka jahanam secara terus-terusan untuk membunuh dirinya dan dia akan dikekalkan dalam neraka tersebut untuk selama-lamanya.” (HR Imam Muslim)

Merujuk pada hadits tersebut, dapat dibayangkan, jika seseorang bunuh diri dengan menusuk atau menyayat dirinya dengan pisau. Maka di neraka pisau itu akan menusuk atau menyayat pelaku bunuh diri hingga mati, kemudian dihidupkan kembali dan dibunuh kembali, terus berulang-ulang. 

Begitu juga jika bunuh diri dilakukan dengan cara terjun dari atas ke bawah, maka di neraka akan dihukum dengan cara tersebut berulang kali. Dihidupkan kemudian diterjunkan lagi, dihidupkan kemudian diterjunkan lagi.

Tidak hanya Nabi Muhammad SAW yang memberikan ancaman keras kepada pelaku bunuh diri. Allah SWT yang mengajari Rasulullah SAW juga melarang keras bunuh diri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisa’ Ayat 29)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ عُدْوَانًا وَّظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا 

Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS An-Nisa’ Ayat 30)

Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang bunuh diri diancam dimasukan ke dalam neraka.

IHRAM

Hukum Cadaver dalam Islam

Belum lama ini media sosial tengah dihebohkan dengan video penemuan mayat di Kampus Universitas Prima Indonesia atau Unpri Medan.  Dalam unggahan tersebut nampak seperti ada tubuh manusia yang terendam di dalam air layaknya korban pembunuhan. Namun faktanya, mayat yang ada di kampus tersebut adalah cadaver yakni mayat yang selama ini dijadikan bahan penelitian buat mahasiswa Fakultas Kedokteran Unpri. Lantas bagaimanakah hukum penggunaan cadaver dalam Islam?

Penggunaan Cadaver dalam Dunia Praktik Kedokteran

Penggunaan kadaver (cadaver) atau jenazah yang sudah diawetkan untuk penelitian sudah lazim sebagai objek belajar mahasiswa fakultas kedokteran. Mereka akan mendapatkan kadaver untuk mengenal anatomi manusia dan bagaimana mengobati manusia hidup. 

Cadaver biasa digunakan dalam praktikum. Selain relawan yang memang berwasiat untuk menjadi cadaver setelah wafat, cadaver juga menggunakan jasad orang tanpa identitas.

Hukum Cadaver dalam Islam 

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum penggunaan jenazah untuk penelitian. Untuk ulama yang melarang, mereka menggunakan dalil jikalau Allah SWT memuliakan manusia daripada makhluk lainnya.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut me reka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra:70).

Menurut salah satu mufti Mesir Muhammad Bakhiet al- Mith-‘i berpendapat kalau jenazah hanya boleh untuk dua keperluan. Pertama, mengambil harta orang; seperti permata yang tersimpan dalam perut jenazah. Berikutnya, untuk menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Jika untuk penelitian, tidak dibolehkan. 

Sementara itu, mufti Mesir lainnya, Syekh Yusuf ad-Dawi, menyatakan, hukum menjadikan jenazah sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa di fakultas kedokteran adalah mubah, dengan dalil qiyas aulawi dan kaidah darurat.

Penggunaan mayat ini dianalogikan dengan kebolehan melakukan pembedahan terhadap perut jenazah perempuan hamil untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dan berada di dalam kandungannya.

Ahmad Munif mengungkapkan, perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud.

Kemudian ada pula pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan, alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti operasi menyelamatkan janin dan mengambil harta dari dalam tubuh mayat. 

Operasi bedah mayat dengan operasi pembedahan perut wanita hamil yang sudah meninggal untuk menyelamatkan janin sama-sama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang. Meski dari satu sisi hal tersebut merusak kemuliaan mayat, kebermanfaatan bagi orang yang hidup lebih utama.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam Al- Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, termasuk pengecualian.

Fatwa MUI Terkait Penggunaan Cadaver

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian melansir kaidah fiqhiyyah yang harus diperhatikan dalam masalah ini. 

Pertama, mencegah ke mafsadatan (keburukan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Penelitian jenazah dimaksudkan untuk mengasah keterampilan para calon dokter agar mengenali anatomi tubuh. Ilmu yang didapatkan para dokter ini pun akan mencegah mereka melakukan kekeliruan manakala sudah mendapatkan lisensi praktik. 

Tak hanya itu, kehormatan seseorang yang hidup lebih agung daripada kehormatan seseorang yang mati.

MUI pun mempertimbangkan fatwa Syekh Yusuf ad-Dawi dalam memutuskan masalah ini. Karena itu, MUI lantas memutus kan jika penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian dibolehkan dengan beberapa ketentuan.

Seperti harus benar-benar mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar atau memberikan perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata. Kemudian media penelitian memang hanya bisa dilakukan dengan media manusia saja, namun harus dilakukan seperlunya saja. Jika penelitiannya sudah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat. 

Peneliti juga harus mendapatkan izin dari jenazah yang akan dijadikan objek penelitiannya ketika hidup. Izin tersebut dapat diperoleh melalui wasiat, izin ahli waris, dan atau izin dari pemerintah. Tak hanya itu, sebelum jenazah digunakan sebagai objek penelitian, hak-hak jenazah harus dipenuhi. Almarhum atau almarhumah harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. 

Demikian hukum cadaver dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kewajiban Zakat dari Harta Anak Yatim

Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di hadapan manusia, seraya bersabda,

أَلَا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ

Siapa saja yang mengurus anak yatim sedangkan anak tersebut memiliki harta, hendaknya dia gunakan untuk berdagang dan tidak membiarkannya habis untuk membayar zakatnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 641 dan Ad-Daruquthni, 2: 109-110)

Hadis ini diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadisnya lemah, dan dilemahkan oleh banyak ulama ahli hadis.” (Tahdzib At-Tahdzib, 10: 32)

Hadis ini juga dinilai lemah (dha’if) oleh Syekh Al-Albani rahimahullah.

Kandungan hadis

Pertama, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mengembangkan harta anak yatim dengan dibisniskan atau yang lainnya. Dengan pertimbangan dari si wali bahwa hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan sehingga harta anak yatim tersebut semakin bertambah dan berkembang.

Hadis ini, meskipun sanadnya lemah (dha’if), akan tetapi maknanya sahih (benar). Mengembangkan harta anak yatim ini termasuk kebaikan yang diperintahkan terhadap harta anak yatim. Allah Ta’ala berfirman,

وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An-Nisa’: 2)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menjaga harta anak yatim dengan baik. Karena puncak dari ‘memberikan harta’ adalah dengan menjaga harta tersebut, dan melakukan hal-hal yang bertujuan untuk kebaikan dan pengembangan harta tersebut. Serta tidak menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang berisiko dan berbahaya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 163)

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakalah, ‘Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.’” (QS. Al-Baqarah: 220)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa sebelum mencapai usia balig, anak yatim tidak boleh mengelola hartanya sendiri. Akan tetapi, menjadi kewajiban wali untuk mengelola harta tersebut dengan hati-hati. Pelarangan tersebut berakhir ketika anak yatim tersebut mencapai usia balig.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 280)

Kedua, hadis ini merupakan dalil atas wajibnya zakat terhadap harta anak yatim ketika telah mencapai nishab. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini juga ditunjukkan oleh cakupan makna umum dari dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban zakat bagi orang kaya secara mutlak, tanpa pengecualian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Terdapat keterangan yang valid dari sahabat Umar, Ali, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka berpendapat wajibnya zakat dari harta anak yatim. Kewajiban zakat ini juga dapat ditangkap dari maksud atau hikmah disyariatkannya zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dengan harta yang berasal dari orang-orang kaya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan untuk membersihkan harta mereka. Sedangkan harta anak yatim tentu termasuk dalam maksud dan hikmah tersebut. Yang bertanggung jawab mengeluarkan zakatnya adalah wali yang mengurus harta anak yatim tersebut.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89986-kewajiban-zakat-dari-harta-anak-yatim.html

Sunatullah: Balasan Sesuai Perbuatan

Ketika Allah menciptakan alam semesta ini, maka Allah juga membuat ketetapan-ketetapan yang berlaku di alam semesta tersebut agar segala sesuatu di dalamnya berjalan dengan baik. Ketetapan-ketetapan Allah tersebut tidak akan berubah sampai kapan pun. Hal ini yang disebut sebagai sunatullah.

Allah Ta’ala berfirman,

سُنَّةَ ٱللَّهِ فِى ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا

“Sebagai sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.” (QS. Al-Ahzab: 62)

Ada banyak sunatullah. Misalnya ‘setiap yang bernyawa pasti mati’ (QS. Al-Imran: 185), ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ (QS. An-Najm: 31), ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 5- 6), dan sebagainya. Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu sunatullah, yaitu الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ (al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan perbuatan).

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ لِيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔوا۟ بِمَا عَمِلُوا۟ وَيَجْزِىَ ٱلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ بِٱلْحُسْنَى

“Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31)

Dalam firman-Nya yang lain,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Kalimat ‘balasan sesuai dengan perbuatan’ mencakup balasan atas kebaikan yang dilakukan dan keburukan yang dilakukan, baik balasan di dunia maupun di akhirat. Berikut penjelasannya.

Pertama, balasan perbuatan baik di dunia

Allah Ta’ala sudah menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan baik, akan mendapatkan balasan atas kebaikannya di dunia sebelum di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ

“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

Ketika seseorang menjalankan ibadah zikir dan salat, maka Allah balas dengan memberikan ketenangan jiwa bagi orang-orang yang rajin berzikir dan menegakkan salat sebelum di akhirat dibalas dengan kebaikan yang banyak.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Ra’du: 28)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ.

Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah salat.(HR. An-Nasa’i dan Ahmad)

Demikian juga, dengan perbuatan baik lainnya, semisal silaturahim. Di dunia, Allah balas orang yang senantiasa bersilaturahim dengan rezeki yang lapang dan umur yang panjang serta diberkahi.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahimnya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari)

Kedua, balasan perbuatan baik di akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Dari ayat di atas, balasan yang akan Allah berikan di akhirat nanti jauh lebih istimewa daripada amal yang dikerjakan di dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya satukebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10 kali sampai 700 kali kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis satu keburukan. (HR. Muslim)

Maksud hadis “baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan. Karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat.

Ketiga, balasan perbuatan buruk di dunia

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barangsiapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya. (HR. Ahmad no. 15755, Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940, dan Ibnu Majah no. 2342)

Beliau juga bersabda,

يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته

“Wahai orang-orang yang beriman sebatas di lisannya, namun belum sampai menyentuh kalbunya! Jangan kalian membicarakan kekurangan seorang muslim! Jangan pula mengorek-ngorek aib mereka! Barangsiapa yang berupaya mencari-cari aib saudaranya muslim, Allah pasti akan membalas dengan mengorek aibnya. Siapa saja yang Allah korek aibnya, maka Allah akan sebarkan segala aibnya walaupun berada di dalam lobang atau kamar rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Tidak hanya perbuatan buruk yang berhubungan dengan manusia saja yang akan dibalas. Seseorang yang malas beribadah dan jauh dari mengingat Allah, maka akan diberikan rasa sempit dalam dadanya, depresi, pendendam, suka emosi, dan lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Taha: 124)

Terkadang, Allah juga mengirimkan berbagai musibah dan bencana sebagai balasan atas keburukan yang manusia kerjakan. Musibah-musibah yang terjadi adalah akibat dosa-dosa yang diperbuat anak Adam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy-Syura: 30)

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, tobat).” (QS. Ar-Rum: 41)

Bahkan, kaum-kaum terdahulu Allah balas di dunia dengan azab yang mengerikan seperti kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet (QS. Al-Baqarah: 65), kisah kaum Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Luth, Nabi Nuh yang Allah azab dengan badai sepekan, sambaran halilintar, gempa, banjir bandang sehingga tidak tersisa kaumnya, kecuali yang beriman saja.

Keempat, balasan perbuatan buruk di akhirat

Seseorang yang melakukan perbuatan buruk di dunia, maka balasan keburukan yang akan didapatkan tidak hanya di dunia, tetapi akan dibalas di akhirat. Jika balasan di dunia saja itu mengerikan, apalagi balasan di akhirat kelak! Keburukan yang paling buruk dan puncak dari segala keburukan adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang pelakunya akan diazab kekal selamanya di neraka.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS. Al-Maidah: 72)

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)

Begitu pula, ada maksiat dan dosa tertentu yang akan diazab khusus di akhirat sebelum masuk ke dalam neraka, sebagaimana pelaku riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila (QS. Al-Baqarah: 275), orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk kecil, seperti semut yang akan terinjak-injak oleh manusia dan hewan saat itu (HR. Bukhari no. 557), orang kafir yang akan berjalan di padang mahsyar dengan wajahnya (HR. Bukhari no. 4760), dan sebagainya.

Di antara azab yang mengerikan di akhirat kelak adalah akan diberikan makanan dan minuman dari dhari’ (pohon berduri) (QS. Al-Ghasyiyah: 6), zaqqum (cairan tembaga yang mendidih) (QS. Ad-Dukhan: 42-46), gislindan gassaq (cairan yang keluar dari tubuh seperti darah dan nanah) (HR. Abu Dawud no. 3680). Pakaian mereka di neraka dari cairan aspal (QS. Ibrahim: 50), cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal (HR. Muslim no. 934).

Allah Ta’ala akan menghanguskan kulit mereka dan diganti kulit baru untuk dibakar kembali (QS. An-Nisa’: 56), wajah mereka akan tersungkur dan menghitam (QS. Ali Imran : 106), serta usus mereka akan berburai (HR. Bukhari no. 3267).

Penduduk neraka akan dirantai dan tangan-tangan mereka akan dibelenggu (QS. Al-Insan : 4) dan tiada kematian di dalam neraka (QS. Ibrahim 17).

Bahkan, tak hanya siksaan fisik, bahkan penduduk neraka akan mengalami siksaan batin sebagaimana Allah akan tampakkan berbagai kenikmatan penduduk di surga (QS. Al-A’raf: 50). Mereka dicela malaikat dan saling mencela sesama (QS. Shad: 55-64), ditertawakan penghuni surga (QS. Al-Muthaffifin: 34), dan sebagainya.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89990-sunatullah-balasan-sesuai-perbuatan.html

Kisah Utsman bin Affan Dilantik Sebagai Khalifah

Kisah Utsman bin Affan adalah kisah tentang salah satu sosok penting dalam sejarah Islam. Beliau adalah sahabat Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin ketiga, dan dikenal dengan kedermawanannya serta kontribusinya yang besar terhadap perkembangan Islam.

Menjelang kewafatan Umar bin Khattab, sekelompok sahabat meminta Umar agar menunjuk seorang pemimpin yang akan menggantikannya setelah dia wafat. Alih-alih mengabulkan permohonan tersebut, Umar lebih memilih untuk menunjuk enam orang sahabat yang nantinya bertugas mengurusi suksesi kepemimpinan sepeninggalnya.

Keenam tokoh itu ialah: Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Thalhah bin Ubaidillah r.a., Zubair bin Awwam r.a., Sa’d bin Abi Waqqash r.a., dan Abdurrahman bin Auf r.a.

Selain itu, Sayyidina Umar berpesan kepada putranya, Abdullah bin Umar, agar turut berkecimpung dalam majelis yang nantinya akan digelar oleh Dewan Syura tersebut. Namun hanya sebagai pemberi saran dan masukan, bukan sebagai kandidat khalifah.

Dilihat dari sisi manapun, Sayyidina Umar memang sengaja tidak memilih salah satu dari keenam tokoh itu sebagai khalifah penggantinya. Beliau berkata:

“Aku tidak akan mencampuri urusan mereka, baik ketika aku masih hidup ataupun setelah aku mati. Jika memang Allah menginginkan kebaikan untuk kalian, pastilah Dia akan mengarahkan kalian kepada (pemimpin) terbaik di antara mereka sebagaimana Dia telah mengarahkan kalian kepada (pemimpin) yang terbaik setelah Rasulullah Saw. wafat.”

Enam sahabat tersebut kemudian disebut dengan Ahl al-Syura yaitu sekelompok orang yang berhak mengurusi suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Sayyidina Umar dan dewan tersebut menempati posisi tertinggi dalam hirarki pemerintahan. Dengan demikian, Sayyidina Umar adalah pencetus Ahl al-Syura (tim formatur suksesi kepemimpinan).

Setelah Khalifah Umar wafat, untuk pertama kalinya keenam tokoh Ahl al-Syûrâ itu berkumpul di salah satu rumah untuk bermusyawarah ihwal suksesi kepemimpinan Islam. Konon ketika musyawarah berlangsung, Thalhah bin Ubaidillah R.a. berdiri di pintu untuk mencegah orang lain masuk.

Musyawarah pertama ini menghasilkan keputusan bahwa tiga orang dari Ahl al-Syûrâ menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada tiga yang lain. Dengan rincian; Zubair bin Awwam r.a. menyerahkan kepemimpinan kepada Ali bin Abi Thalib r.a.; Sa’d bin Abi Waqqash r.a. menyerahkan kepemimpinan kepada Abdurrahman bin Auf r.a.; dan Thalhah bin Ubaidillah menyerahkan kepemimpinan kepada Utsman bin Affan r.a.

Dengan demikian, pada tahap ini terpilih tiga kandidat yang akan menduduki kursi kepemimpinan Islam. Namun, belum sempat beralih pada tahap berikutnya, Abdurrahman bin Auf memilih mengundurkan diri sehingga hanya tersisa dua kandidat, yakni Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali. Kepada mereka berdua Abdurrahman bin Auf berkata;

“Sesungguhnya aku menanggalkan hakku dari perkara ini. Sungguh Allah dan Islam mendorongku untuk berijtihad dan menyerahkan kepemimpinan kepada salah satu yang paling utama dari kalian.”

Musyawarah pertama itu kemudian ditutup dengan pemaparan keutamaan kedua kandidat oleh Abdurrahman bin Auf dan pengambilan sumpah bahwa siapapun yang terpilih menjadi khalifah, dia akan berlaku adil dan yang tidak terpilih akan mendengarkan dan mematuhi yang terpilih. Kedua calon pun dengan lapang hati menyetujuinya.

Setelah musyawarah tersebut, Abdurrahman bin Auf berembuk kepada umat Islam ihwal siapa menurut mereka yang paling pantas menjadi khalifah. Beliau juga secara khusus menemui sejumlah tokoh dan pemuka kaum muslimin baik secara bersama-sama maupun lewat pertemuan pribadi, baik secara terang-terangan maupun rahasia.

Bahkan Abdurrahman bin Auf selama tiga hari tiga malam itu, menemui kaum perempuan, anak-anak, para musafir dan orang-orang Badui yang tengah singgah di Madinah.

Polling pendapat yang dilakukan Abdurrahman bin Auf memperoleh kesimpulan bahwa kalangan masyarakat saat itu rata-rata menginginkan Utsman bin Affan untuk menjadi khalifah. Konon, hanya Ammar bin Yasir r.a. dan Miqdad r.a. saja yang meminta agar Ali r.a. yang menjadi khalifah. Namun, kedua tokoh ini pun akhirnya mengikuti pendapat yang dipegang suara terbanyak.

Pada hari keempat, setelah mengatakan kepada Utsman dan Ali bahwa dirinya telah melakukan polling pendapat kepada seluruh lapisan masyarakat, Abdurrahman bin Auf bersama kedua calon tersebut bergegas menuju Masjid Nabawi dan meminta seluruh tokoh Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk segera datang ke masjid. 

Di hadapan khalayak ramai, secara bergiliran Abdurrahman mengajukan pertanyaan kepada Sayyidina Ali dan Sayyidina Utsman. Pertanyaannya sama, yaitu; “Apakah kau berbaiat kepadaku untuk selalu berpegang kepada Kitab Allah dan Sunah Rasulullah serta semua tindakan Abu Bakar dan Umar?” Sayyidina Ali menjawab; “Allahuma, tidak. Namun, sebatas kemampuan dan usahaku dari semua itu.” Sementara Sayyidina Utsman menjawab; “Allahuma, ya!”.

Mendengar jawaban tegas dari Utsman tersebut, Abdurrahman langsung menengadah ke langit dan berkata;

“Wahai Allah, dengar dan saksikanlah! Wahai Allah, dengar dan saksikanlah! Wahai Allah, sesungguhnya aku telah menanggalkan beban dari pundakku untuk kemudian beban itu kuserahkan kepada Utsman.”

Setelah Abdurrahman mengucapkan kalimatnya, orang-orang pun ramai membaiat Utsman ra. di bawah mimbar Rasulullah Saw. Saat itu, Ali merupakan orang pertama yang membaiat Utsman ra. sebagai khalifah. Namun, ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Ali adalah orang terakhir yang membaiat Utsman ra.

Kisah Utsman bin Affan dilantik sebagai Khalifah ini disarikan dari kitab Fiqh al-Sirah Al-Nabawi karya Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Al-Bidayah Wa Al-Nihayah karya Syekh Ismail bin Umar, Tsabit Dalail Al-Nubuwah karya Syeh Abu Husain al-Mu’tazili, Subul al-Huda Wa al-Rasyad karya Syekh Muhammad Yusuf al-Syamiy, dan Al-Asas Fi Al-Sunnah Wa Fiqhiha: Al-Sirah Al-Nabawiyah karya Syekh Hawwa.

BINCANG SYARIAH