Di Balik Rahasia Istimewa Puasa Ramadan : Kecerdasan Spiritual Mendorong Kecerdasan Moral dan Sosial

Puasa merupakan salah satu rukun Islam dan ibadah istimewa yang dilakukan oleh umat Muslim pada bulan Ramadan. Puasa Ramadan memiliki makna yang mendalam dan istimewa bagi umat Islam. Ramadan bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga sebagai ibadah yang mencakup dimensi spiritual, moral, dan sosial.

Secara spiritual, puasa Ramadan adalah waktu di mana umat Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan ibadah, introspeksi diri, dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Puasa Ramadan adalah bentuk ibadah yang menguatkan hubungan individu dengan Allah SWT.

Hakikat puasa itu adalah ibadah bukan yang lain. Ibadah puasa adalah ibadah paling spesial. Dalam sebuah hadist qudsi dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW., bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman -dalam hadits qudsi: “Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya.

Puasa menjadi salah satu sarana keintiman manusia dengan Tuhan. Ibadah ini hanya untuk Tuhan karena semua orang tidak bisa mengetahui apakah ia berpuasa atau tidak. Puasa adalah komitmen antara hamba dengan Tuhannya.

Menahan diri dari makan, minum, dan perilaku yang dapat membatalkan puasa menjadi sarana meningkatkan ketakwaan dan kesadaran spiritualnya. Puasa memungkinkan seseorang untuk lebih fokus pada ibadah, introspeksi diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Itulah esensi puasa sebenarnya.

Persoalan aspek lain seperti moral dan sosial adalah dampak dari dimensi spiritual. Namun, sejatinya puasa adalah dimensi spiritual hubungan Tuhan dengan manusia. Dengan mengajarkan kontrol diri terhadap hawa nafsu, puasa memperkuat aspek moral dan etika. Selama puasa, seorang Muslim diharapkan menjauhi perilaku buruk seperti berdusta, berkata kasar, atau terlibat dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Puasa menjadi pelatihan untuk mengembangkan akhlak yang baik dan bermartabat.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan yang buruk dan perbuatan yang sia-sia, Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.”

Inilah menunjukkan bahwa sejatinya aspek spiritual akan melahirkan manusia yang bermoral. Kecerdasan spiritual akan melahirkan manusia dengan kecerdasan moral yang kuat.

Tidak hanya aspek moral, ibadah Puasa membawa konsep empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Dengan merasakan lapar dan dahaga, seorang Muslim diingatkan tentang kewajibannya untuk membantu sesama, memberikan sedekah, dan berpartisipasi dalam kegiatan amal. Ini memperkuat nilai-nilai sosial dan keprihatinan terhadap kaum yang membutuhkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memberi makanan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (dalam hadis riwayat Bukhari)

Dengan menjalankan ibadah puasa, umat Islam sejatinya dilatih pembersihan diri secara kaffah dari proses spiritual melahirkan kecerdasan moral dan kepedulian sosial. Puasa adalah sebuah ibadah yang sangat istimewa sebagai tempaan umat Islam menjadi pribadi yang mulia. Inilah membuktikan bahwa orang dengan spiritualitas tinggi akan menjadi pribadi dengan etika-moral yang kuat dan kepedulian sosial yang tinggi.

ISLAMKAFFAH

Berikut Bacaan Niat Witir 3 Rakaat 1 Salam

Nah berikut ini niat witir 3 rakaat 1 salam. Shalat witir adalah shalat sunnah yang dikerjakan di akhir malam setelah shalat Isya dan sebelum shalat Subuh. Shalat ini memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah sebagai penyempurna ibadah shalat malam.

Dalam mazhab Syafi’i, hukum melaksanakan shalat witir adalah sunnah muakkad. Dengan demikian, shalat ini termasuk pada shalat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan makna anjuran, serta perkataan para sahabat Nabi SAW yang tidak mewajibkan shalat witir.

Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bersabda tentang keutamaan dan anjuran melaksanakan shalat witir. Pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi berwasiat untuk senantiasa melaksanakan shalat witir sebelum tidur.

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

Kekasihku (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Bukhari dan Muslim).

Shalat witir memiliki beberapa tata cara yang berbeda, salah satunya adalah witir 3 rakaat dengan satu salam. Berikut adalah niat untuk melaksanakan shalat witir 3 rakaat dengan satu salam. Nah, ini niat shalat witir 3 rakaat 1 salam sebagai berikut:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal witri tsalatsa roka’atin lillahi ta’ala

Artinya; “Saya niat shalat sunah witir tiga rakaat karena Allah Ta’ala”

Dengan membaca niat tersebut, seseorang meneguhkan niatnya untuk melaksanakan ibadah shalat witir yang dianjurkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalat witir merupakan salah satu ibadah yang memiliki keutamaan tersendiri di dalam agama Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menekankan pentingnya melaksanakan shalat witir kepada umatnya.

Shalat witir dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, di antaranya 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, atau lebih, dengan dua salam pada rakaat terakhir atau satu salam setelah rakaat terakhir. Witir 3 rakaat dengan satu salam adalah salah satu bentuk pelaksanaan shalat witir yang dianjurkan.

BNCANG SYARIAH

Kultum Ramadhan; Tetap Produktif Bekerja Saat Berpuasa

Berikut ini Kultum Ramadhan; tetap produktif bekerja saat berpuasa.  Menjaga produktivitas saat berpuasa memanglah sebuah tantangan. Namun, dengan persiapan dan strategi yang tepat, tetap bisa menjalankan pekerjaan dengan optimal di bulan Ramadhan. Berikut beberapa tips yang bisa membantu agar senantiasa tetap produktif.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ الْوَفَا أَمَّا بَعْدُ

Jamaah Kultum Ramadhan yang Dirahmati Allah

Puasa Ramadan bukan penghalang untuk bekerja produktif. Justru, dengan niat yang tulus dan perencanaan yang baik, ibadah puasa bisa menjadi pendorong semangat kerja. Disiplin dan pengendalian diri yang diperoleh saat berpuasa dapat diterapkan dalam mengatur waktu dan menyelesaikan tugas secara efisien.

Lantas mengapa Puasa Tidak Menghambat Produktivitas? Pertama, puasa melatih disiplin dan kontrol diri.  Selama berpuasa, kita dituntut untuk menahan lapar dan haus.  Disiplin ini terbawa ke dalam dunia kerja.  Kita jadi lebih bisa mengatur waktu, fokus pada pekerjaan, dan menghindari hal-hal yang bisa mengganggu konsentrasi.

Jamaah Kultum Ramadhan yang Dirahmati Allah

Kedua, puasa  menyehatkan tubuh dan pikiran.  Dengan pola makan teratur saat sahur dan berbuka, asupan nutrisi menjadi lebih terjaga.  Hal ini berdampak positif pada kesehatan secara keseluruhan, sehingga kita tetap berenergi dan bisa bekerja secara optimal.  Selain itu, puasa juga diyakini dapat meningkatkan kejernihan pikiran dan ketenangan batin, yang tentunya akan mendukung produktivitas.

Ketiga, puasa  menumbuhkan semangat berbagi dan kepedulian. Suasana Ramadan yang penuh kebersamaan dan kedermawanan bisa memotivasi kita untuk bekerja lebih giat.  Dengan niat beribadah, kita akan merasa bahwa pekerjaan yang kita lakukan tidak hanya mendatangkan keuntungan finansial, tetapi juga pahala.

Jamaah yang Berbahagia

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia bahwa bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga termasuk kewajiban. Pada surah at-Taubah ayat 105 Allah mengingatkan pentingnya bekerja serta larangan untuk bermalas-malasan. 

  وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ   

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Jamaah yang Berbahagia

Pada sisi lain, dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun dengan pekerjaan yang kasar, lebih mulia daripada meminta-minta kepada orang lain. Hal ini berlaku meskipun orang yang dimintai memberi atau menolak permintaan tersebut.

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya. [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengomentari hadits tersebut Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini juga menganjurkan umat Islam untuk memakan hasil kerja sendiri, bukan hasil mencuri atau menipu.  Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras dengan sungguh-sungguh dalam mencari nafkah, karena hal ini dianggap sebagai bentuk ibadah. Rasulullah Muhammad SAW sendiri memberikan contoh dengan berusaha dan bekerja keras untuk menyediakan kebutuhan dirinya serta keluarganya.

Jamaah yang Berbahagia

Pun dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga mengingatkan umatnya agar tidak hanya berdoa, namun juga melakukan usaha nyata dalam mencari rezeki. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang kerja keras sebagai salah satu cara untuk mencapai keberkahan dan mendapatkan ridha Allah SWT.

Selain menekankan pentingnya usaha dan kerja keras, Islam juga menganjurkan agar setiap orang bekerja dengan cara yang halal. Konsep ini mengacu pada prinsip bahwa segala sesuatu yang diperoleh haruslah melalui cara yang sah dan tidak melanggar aturan agama.

Dalam Islam, kehalalan dalam mencari nafkah dianggap sebagai bagian penting dari ibadah dan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk menghindari segala bentuk pekerjaan atau praktik yang melibatkan penipuan, korupsi, atau eksploitasi terhadap orang lain.

Jamaah yang dirahmati Allah

Imam Nawawi berkata dalam kitab Shahih Muslim;

إنَّ فِي الْحَدِيثِ حَثًّا عَلَى الصَّدَقَةِ وَالأَكْلِ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَالِاكْتِسَابِ بِالْمَبَاحَاتِ.

Sesungguhnya dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk bersedekah, makan dari hasil kerja tangan sendiri, dan mencari penghasilan dengan cara yang halal.

Dengan demikian, puasa bukan alasan untuk menjadi tidak produktif dalam bekerja. Justru sebaliknya, puasa melatih setiap orang untuk bisa lebih disiplin dan mandiri dalam kehidupannya.

BINCANG SYARIAH

Belum Bayar Puasa tapi Sudah Masuk Ramadan Berikutnya, Bagaimana Solusinya?

Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi,

كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ.

“Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini,

وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ

“Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191)

Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut.

Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:

Pertama: Memiliki uzur

Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut.

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya.

Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab,

Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa.

Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi)

Kedua: Tidak memiliki uzur

Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut.

Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan.

Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan?

Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya,

قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.’” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan,

“Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451)

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik.

Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/92511-belum-bayar-puasa-tapi-sudah-masuk-ramadan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama

Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan.

Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini?

أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)

Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah.

Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه

Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau)

Gibah

Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya).

Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama.

Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ.

“Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589)

Akibat gibah

Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya?

Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu?

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120)

Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah.

Renungan bagi ahli gibah

Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah.

Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid.

Allah Ta’ala berfirman,

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi.

Agar terhindar dari gibah

Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah:

Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala.

Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah.

Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah.

Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu.

Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia.

Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Catatan kaki:

[1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187.

Sumber: https://muslim.or.id/92187-menjauhi-gibah-menjaga-aib-sesama.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Aktivis Pembela Palestina Shaun King dan Istrinya Memeluk Islam di Bulan Ramadhan

Penulis yang juga dan aktivis pembela Palestina ternama Amerika Serikat (AS) Jeffery Shaun King (44) dan istrinya Dr Rai King telah menyatakan diri masuk Islam di hari pertama bulan Ramadhan 1445 H-2024.

Dalam siaran langsung di akun Instagram hari Senin, yang dibagikan oleh Profesor Khaled Beydoun, menunjukkan Shaun King dan istrinya, Dr Rai mengucapkan dua kalimat syahadat, sebuah wasiat iman, dengan bantuan cendekiawan dan aktivis Muslim AS, Dr Omar Suleiman, tulis laman laman Siasat.

Keduanya mengikrarkan kalimat syahadat dalam bahasa Arab. “Ashadu an la ilaha illa llahu, wa-ashadu anna muḥammadan rasulu –llah, saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan.”

Video Shaun King mengucapkan syahadat viral di media sosial.

Shaun, terkenal karena advokasinya terhadap gerakan yang terkait dengan Partai Demokrat seperti Black Lives Matter.

Pada tanggal 25 Desember, dia mengklaim bahwa Instagram telah memblokir akunnya karena dukungannya terhadap perjuangan Palestina melawan penjajah Israel dalam agresi yang sedang berlangsung lebih dari 5 bulan.

Shaun, dengan lebih dari enam juta pengikut, mengungkapkan rasa frustrasinya atas larangan Instagram terhadap dirinya karena mengadvokasi hak-hak dan martabat bangsa Palestina.

Shaun telah berbagi banyak postingan pro-Palestina sejak 7 Oktober, menyoroti kehancuran di Jalur Gaza dan menyerukan diakhirinya perang brutal Israel di wilayah tersebut.

Sambutan Masyarakat

“MashaAllah Shaun King dan istrinya, Rai, mengucapkan syahadat bersama Syekh Omar Suleiman di Valley Ranch Islamic Center malam ini, di malam pertama Ramadhan,” tulis Zahra Billoo.

“Kita semua melihat ini terjadi 🥰❤ wajah mereka bersinar dan dia terlihat sangat cantik. Ini membuat hatiku begitu bangga 🙏🏽❤️,” tulis Ariba_Pervaiz.

“Shaun selalu menggunakan platformnya untuk mengadvokasi kelompok minoritas yang tertindas dan berbicara menentang ketidakadilan, yang terbaru dia bersuara bagi warga Palestina. Pria ini pantas dihormati di dunia dan menjadi Muslim adalah hal yang paling membanggakan. Alhamdulillah,” tulis Samisuploads.

“Bangga telah menjadi bagian dari keluarga ini,” tulis Profesor Khaled Beydoun, yang dikenal penulis buku dan pakar tentang penindasan terhadap minoritas Muslim ini.*  

HIDAYATULLAH

Menu Nabi Saat Berbuka Puasa

Berbuka puasa atau iftar adalah momen yang sangat penting selama bulan Ramadhan, di mana umat Islam di seluruh dunia berbuka puasa mereka setelah matahari terbenam. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh yang baik tentang bagaimana berbuka puasa dengan cara yang sederhana namun penuh manfaat. 

Berhadirkan hadits Nabi, setidaknya ada dua menu yang dikonsumsi, yaitu kurma dan air. Nabi SAW bersabda:

إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر، فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور 

Artinya, “Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci,” (HR At-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW biasanya berbuka puasa dengan kurma karena kurma merupakan sumber energi yang cepat diserap oleh tubuh. Jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air, menunjukkan pentingnya hidrasi.

Setelah mengonsumsi kurma, Nabi Muhammad SAW akan mengikuti dengan meminum air, yang membantu hidrasi dan persiapan untuk sholat Maghrib.

Dalam kitab Mir’atul Mafatih, Al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi saat berbuka. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata, setelah puasa seharian. Sesangkan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.

Penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengutamakan kesederhanaan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berbuka puasa. Beliau mengajarkan untuk tidak berlebihan atau boros dalam makan dan selalu bersyukur atas apa yang tersedia.

Sebelum berbuka puasa, jangan lupa juga untuk selalu membaca doa buka puasa sebagai berikut:

 اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa`ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-MU aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada juga doa buka puasa seperti diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah ketika berbuka puasa mengucapkan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله

“Dzahabaz zhama`u wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah”.

Artinya: “Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti ganjaran, dengan kehendak Allah Ta`ala.” (HR Abu Dawud, Daruquthni, Hakim, dan Nasai). 

RAMADHAN

Inilah Pembatal-Pembatal Puasa

Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]

2. Muntah dengan sengaja.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[8]

3. Haidh dan nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.[12]

4. Keluarnya mani dengan sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[14]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya[17]

5. Berniat membatalkan puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,  bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[23]

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[26]

Semoga sajian ini bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1]Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267.

[2] Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148.

[3] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48.

[4] HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.

[5] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105.

[8] HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.

[10] HR. Bukhari no. 304.

[11] HR. Muslim no. 335.

[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9917.

[13] HR. Bukhari no. 1894.

[14] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.

[15] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54.

[16] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/54.

[17] HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah.

[18] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob.

[19] Al Muhalla, 6/174.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106.

[21] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/68.

[22] HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111.

[23] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 2/9957 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2/108 .

[24] Satu mud sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg.

[25] Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya.

[26] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224.

Sumber: https://muslim.or.id/336-pembatal-puasa.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Minuman dan Makanan yang Dikonsumsi Rasulullah saat Buka Puasa

Berbuka puasa atau iftar adalah momen yang sangat penting selama bulan Ramadhan, di mana umat Islam di seluruh dunia berbuka puasa mereka setelah matahari terbenam. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh yang baik tentang bagaimana berbuka puasa dengan cara yang sederhana namun penuh manfaat. 

Berhadirkan hadits Nabi, setidaknya ada dua menu yang dikonsumsi, yaitu kurma dan air. Nabi SAW bersabda:

إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر، فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور 

Artinya, “Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci,” (HR At-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW biasanya berbuka puasa dengan kurma karena kurma merupakan sumber energi yang cepat diserap oleh tubuh. Jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air, menunjukkan pentingnya hidrasi.

Setelah mengonsumsi kurma, Nabi Muhammad SAW akan mengikuti dengan meminum air, yang membantu hidrasi dan persiapan untuk sholat Maghrib.

Dalam kitab Mir’atul Mafatih, Al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi saat berbuka. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata, setelah puasa seharian. Sesangkan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.

Penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengutamakan kesederhanaan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berbuka puasa. Beliau mengajarkan untuk tidak berlebihan atau boros dalam makan dan selalu bersyukur atas apa yang tersedia.

Sebelum berbuka puasa, jangan lupa juga untuk selalu membaca doa buka puasa sebagai berikut:

 اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa`ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-MU aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada juga doa buka puasa seperti diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah ketika berbuka puasa mengucapkan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله

“Dzahabaz zhama`u wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah”.

Artinya: “Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti ganjaran, dengan kehendak Allah Ta`ala.” (HR Abu Dawud, Daruquthni, Hakim, dan Nasai). 

IHRAM

Kunci Agar Mengingat Kematian

Artikel berikut tentang kunci agar mengingat Kematian. Sejatinya, mengingat kematian adalah sebuah cara untuk mengingatkan diri kita tentang kehidupan sesudah mati dan mengingatkan kita tentang kepentingan dari menjalankan amalan baik dan berdoa. Berikut adalah cara mengingat kematian.

Menurut Greenberg (2002) manusia selalu berusaha untuk menghindari kematiannya dan kematian yang pasti akan datang kapanpun membuat manusia dengan akalnya mencari cara agar tetap bisa melangsungkan kehidupannya. Sehingga menimbulkan gejolak kecemasan (anxiety buffer), yaitu perasaan yang muncul pada saat individu menyadari bahwa dirinya akan meninggal.

Akan tetapi di sisi lain manusia juga bisa memandang penting kematian, dengan kata lain kematian memiliki arti penting (mortality of salience), misalnya bagi orang beriman kematian merupakan sebuah kebahagiaan karena pulang kepada Allah dan dengan kematian kesusahan di dunia akan berganti dengan kebahagiaan.

Mortality of salience merupakan istilah yang menggambarkan kesadaran bahwa pada akhirnya seseorang itu pasti akan mati. Berawal dari mengingat (remember) akan mati, kemudian membuat kesadaran (awareness) akan mati (Putra, dkk, 2016). Sementara itu menurut Pyzcnki, dkk (dalam Greenberg, 2002) mortality of salience adalah proses kognisi untuk mengakses atau mengingat kematian.

Perlu diketahui bahwa mortality of salience merupakan pengembangan dari Terror Management Theory (TMT) yang menjelaskan bahwa manusia memiliki kecemasan akan kematian, dan manusia akan menghindari kematian (Solomon, Greenberg, dan Pyszczynski, dalam Greenberg, 2002).

Mortality of salience sendirisangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu harga diri (self-estem) dan pandangan budaya atau kepercayaan (cultural world view) di mana seseorang itu berada (Pyszczynski dalam Greenberg, 2002).

Menurut Feist (2010) pandangan budaya atau kepercayaan bisa berupa agama, politik, norma sosial. Budaya mempromosikan norma untuk membantu membedakan manusia dengan binatang, hal ini membedakan fungsi psikologis yang sangat penting dengan memberikan perlindungan melawan perhatian yang mendalam atas kematian (Goldenberg, dkk, 2001). Nah, kemudian dengan self-estem yang setiap manusia pasti memilikinya akan memperkuat keyakinan dalam menjalankan pandangan budaya (Putra, dkk, 2016).

Islam menjelaskan bahwa kematian merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, dengan kata lain pasti akan terjadi. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 185 juga dikatakan bahwa setiap jiwa pasti merasakan mati. Akan tetapi banyak dari kita yang melupakan hal itu.

Semetara itu Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Ihya Ulumuddin bahwa ada dua penyebab lupa dengan kematian yaitu cinta dunia, dan kebodohan.

Cinta dunia membuat manusia merasa berat untuk berpisah dengan dunia, dan mencegah manusia berpikir tentang kematian. Begitu juga dengan kebodohan (kelalaian), membuat manusia merasa bisa hidup sesuai dengan kemauannya. Padahal kematian bisa datang kapanpun, dan dimanapun.

Maka setiap manusia harus sadar bahwa kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi, dan sadar akan kematian juga merupakan solusi agar terbebas dari cinta terhadap dunia.

Kita harus punya kesadaran bahwa kematian itu pasti akan terjadi, dan kunci mengingat kematian adalah tidak menjadi orang yang hubbud dunya. Kita juga harus menyadari bahwa keberhasilan seorang insan itu terletak pada sejauh mana dalam mengingat kematian, serta meninggal dalam keadaan khusnul khotimah dengan membawa iman dan Islam.

BINCANG SYARIAH