Pemerintah Tetapkan 1 Ramadan 1445 H Selasa 12 Maret, Menag: Jaga Toleransi dan Kekhusyukan Beribadah

Pemerintah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Ketetapan awal Ramadan itu disampaikan setelah Kementerian Agama (Kemenag) menggelar sidang isbat.

Sidang isbat digelar secara langsung di kantor Kemenag, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (10/3/2024). Hasil sidang isbat diumumkan terbuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.

“Sidang Isbat secara mufakat menetapkan bahwa 1 Ramadan 1445 H jatuh hari Selasa 12 Maret 2024 Masehi,” kata Menag Yaqut.

Sidang isbat penentuan awal Ramadan 2024 ini melibatkan Tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama serta dihadiri para duta besar negara sahabat serta perwakilan ormas Islam.

Sidang isbat ini dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, pemaparan posisi hilal awal Ramadan 1445 H berdasarkan hasil hisab (perhitungan astronomi) oleh Tim Hisab dan Rukyat Kemenag mulai pukul 17.00 WIB. Sesi ini terbuka untuk umum dan disiarkan secara live di channel YouTube Bimas Islam.

Kedua, sidang isbat penetapan awal Ramadan 1445 Hijriah yang digelar secara tertutup setelah salat Magrib. Selain data hisab (informasi), sidang isbat juga akan merujuk pada hasil rukyatulhilal (konfirmasi) yang dilakukan Tim Kemenag pada 134 lokasi di seluruh Indonesia.

Ketiga, konferensi pers hasil sidang Isbat penetapan awal Ramadan 1445 Hijriah yang juga disiarkan melalui media sosial Kemenag RI.

Dalam seminar dari perhitungan astronomi, tim Kemenag melaporkan posisi hilal awal Ramadan 1445 H di Indonesia. Hasilnya, posisi hilal masih rendah di Indonesia.

Menag Yaqut berharap umat Islam di Tanah Air dapat beribadah puasa dengan khusyuk.

“Dan tentu kita berharap, mudah-mudahan dengan hasil sidang isbat ini seluruh umat Islam di Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa dengan kekhusyukan,” kata Gus Yaqut.

Menag menyadari adanya perbedaan mengenai awal Ramadan 1445 H. Menag mengingatkan untuk tetap menjaga toleransi dalam menjalani bulan puasa.

“Saat ini kita ketahui ada beberapa perbedaan, dan itu lumrah saja. Namun, kita harus tetap saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, sehingga tercipta suasana yang kondusif,” imbuhnya.

Sebelumnya, PP Muhammadiyah menyampaikan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H. PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan pada 11 Maret dan Idul Fitri jatuh pada 10 April 2024.

Hal tersebut sesuai dengan Maklumat Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H dibacakan oleh Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti dalam konferensi pers Sabtu (20/1).

ISLAMKAFFAH

Hasil Sidang Isbat: Hilal Tidak Terlihat, Bulan Sya’ban Digenapkan 30 Hari  

Kementerian Agama menggelar Sidang Isbat (Penetapan) Awal Ramadhan  1445 Hijriyah, di Auditorium HM Rasjidi Kantor Kementerian Agama Jakarta, Ahad (10/3/2024).

Sidang yang diikuti oleh perwakilan ormas Islam, perwakilan duta besar negara sahabat, serta jajaran Kemenag ini diawali dengan Seminar Posisi Hilal yang disampaikan  anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag H. Cecep Nurwendaya, M.Si.

Dalam paparannya, Cecep mengungkapkan, secara astronomis, posisi hilal di Indonesia pada saat Maghrib di tanggal 10 Maret 2024 atau 29 Sya’ban 1445 H  masih berada di bawah kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei Indonesia Malaysia Singapura), yang ditetapkan pada 2021, sehingga kemungkinan tidak dapat teramati.

“Di seluruh  wilayah Indonesia, posisi hilal pada 29 Sya’ban 1445 H sudah berada di atas ufuk. Namun demikian, masih berada di bawah kriteria imkanur rukyat MABIMS,” ungkap Cecep.

Kriteria baru MABIMS menetapkan bahwa secara astronomis, hilal dapat teramati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat.

Sementara menurut Cecep, pada saat Magrib 10 Maret 2024, tinggi hilal di seluruh wilayah Indonesia berada antara: – 0° 20‘ 01“ (-0,33°)  s.d. 0° 50‘ 01“ (0,83°) dan  elongasi  antara: 2° 15‘ 53“ (2,26°)  s.d. 2° 35‘ 15“ (2,59°).

“Bila melihat angka tersebut, hilal menjelang awal  Ramadhan 1445 H pada hari rukyat ini secara teoritis dapat diprediksi tidak akan terukyat, karena posisinya berada di bawah kriteria Imkan Rukyat tersebut,” jelas Cecep.

Maka, lanjut Cecep, jika data tersebut dikaitkan dengan potensi rukyatul hilal, secara astronomis atau hisab, dimungkinkan awal bulan Ramadhan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024.

Hasil hisab ini, lanjut cecep selanjutnya akan dikonfirmasi melalui pengamatan hilal (rukyatulhilal).

Rukyatulhilal itu sifatnya konfirmasi. Jika nanti ada yang bisa mengamati hilal, maka Ramadhan jatuh esok hari. Tapi bila tidak bisa teramati, maka bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari, sehingga 1 Ramadhan jatuh pada 12 Maret 2024,” ujar Cecep.

Hari ini, Kemenag  menggelar pemantauan hilal (rukyatulhilal) awal Ramadhan di 134 titik di seluruh Indonesia. Rukyatulhilal dilaksanakan Kanwil Kementerian Agama dan Kemenag Kabupaten/Kota, bekerja sama dengan Pengadilan Agama, Ormas Islam serta instansi lain di daerah setempat.

Sidang Isbat penentuan awal Ramadhan 1445 H dilakukan dengan mempertimbangkan informasi awal berdasarkan hasil perhitungan secara astronomis atau hisab, serta hasil konfirmasi lapangan melalui mekanisme pemantauan hilal.*

HIDAYATULLAH

Doa Setelah Salat Tarawih

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memperbanyak ibadah dan beramal saleh. Kita juga dianjurkan banyak-banyak berdoa sebab hampir sebagian waktu di bulan Ramadan adalah mustajab untuk berdoa. Terutama setelah shalat tarawih. Berikut ini adalah doa setelah salat Tarawih yang sunah dilantunkan usai shalat tarawih

اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْاِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لَوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَاِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَمِنْ حُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِاَكْوَابٍ وَّاَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ اُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلاَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه اَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn.

Wa ‘alâ sariirl karâmati qâ’idîn. Wa bi hûrun ‘in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman.

Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn

Artinya: Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, sanggup menjalankan semua kewajiban, mampu menjaga shalat,bisa mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan dan berpegang teguh pada petunjuk-Mu juga dipalingkan dari segala permainan/tipu daya,tergolong menjadi orang-orang yang zuhud di dunia dan mencintai kehidupan akherat,

 ridha akan qadha’ yang sudah digariskan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan sabar atas segala musibah, termasuk orang-orang yang beralan di bawah panji-panji junjungan kami Nabi Muhammad, pada hari kiamat sekaligus bisa mendatangi telaga kautsar, yang masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka menjadi orang-orang yang bisa duduk di atas dipan kemuliaan, mempersunting bidadari,

yang berpakaian sutra,yang bisa menikmati hidangan surga, minum air susu dan madu yang murni dengan gelas dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat yaitu dari golongan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Kesemuanya itu adalah anugerah dari Allah dan cukuplah Dia sebagai Zat yang Maha Mengetahui.

Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk golongan orang-orang yang beruntung yang diterima segala permohonannya dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang celaka yang tidak diperkenankan amalnya. Shalawat beserta salam Allah semoga tetap terlimpahkan atas pemimpin kami Nabi Muhammad Saw, keluarga dan semua sahabatnya dengan rahmat-Mu wahai Zat yang paling Pengasih di antara para pengasih. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Doa setelah salat tarawih ini dikutip dari kitab Al-Azdkar karya Imam Nawawi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Bilal Tarawih 23 Rakaat

Bilal memegang peranan penting dalam mengatur jalannya shalat tarawih. Seruan yang dilantunkannya membantu jamaah mengetahui dimulainya shalat, pergantian rakaat, dan saat-saat tertentu lainnya. Berikut bacaan bilal tarawih 23 rakaat beserta jawaban jamaah.

Sebagaimana dilansir dari NU Online, berikut bacaan bilal Tarawih untuk shalat yang 23 rakaat. Berikut teks bacaannya;

 bilal Tarawih untuk shalat yang 23 rakaat. Berikut teks bacaannya;

NoBacaan BilalJawaban Jamaah
1صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ


Shallū sunnatat tarāwīhi, ājarakumullāh.  
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Lā ilāha illallāhu Muhammadun rasūlullāhi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahuma Shalli wa sallim ‘alaih
2فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
Fadhlan minallāhi wa ni‘mah
وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً
Wa maghfiratan wa rahmah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahuma Shalli wa sallim ‘alaih
3اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
al-Khalifatu al-Ula’ sayyiduna Abu Bakrin ash-Shiddiq radiyallahu anhu
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ

Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
4فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ Fadlan minallahi ta’ala wa ni’mahوَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
wa magfiratan wa ini’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
allahumma shalli wa sallim a’laih
5اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
al-khalifatu as-saniyatu sayyiduna Umar bin Khattab
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 
Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
6فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
Fadlan minallahi Ta’la wa ni’mah
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
wa ma’firatan wa ni’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
7اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

al-khalifatu as-salisata sayyiduna Ustman bin Affan
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 

Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli ala sayyidina Muhammadin
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
8فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ


Fadlan minallahi Ta’ala wa ni’mah
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ


wama’firatan wa ni’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
9اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

al-khalifatu rabi’atan  sayyiduna Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu
كَرَمَ اللَّهُ وَجْهَهُ



Karamaallahu wajhahu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
10اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ

Akhiru tarawih ajarakumullah
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Amin rabbil a’lamin
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahuma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ

Allahumma shalli wa sallim a’laih


Bacaan Bilal Shalat Witir

سُبْحَانَ المَلِكِ المَوْجُوْدِ، سُبْحَانَ المَلِكِ المَعْبُوْدِ، سُبْحَانَ المَلِكِ
الحَيِّ الَّذِي لَا يَنَامُ وَلَا يَمُوْتُ وَلَا يَفُوْتُ أَبَدًا


Subhānal malikil mawjūd, subhānal malikil ma‘būd, subhānal malikil hayyil ladzī lā yanāmu wa lā yamūtu wa lā yafūtu abadā.
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ المَلآئِكَةِ وَالرُّوْحِ


Subbūhun, quddūsun, rabbunā, wa rabbul malā’ikati war rūh.  
 سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ للهِ وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Subhānallāhi, wal hamdu lillāhi, wa lā ilāha illallāhu, wallāhu akbar.
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

Lā hawla wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azhīm.  
1صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
Shallu sunnatal witri Jamiatan rahimakumullah
رَحِمَكُمُ اللهُ
Rahimakumullah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
 صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ

Shallu sunnata rak’atal witri Jami’atan rahimakumullah
رَحِمَكُمُ اللهُ

rahamimakumullah
   

Demikian penjelasan terkait bacaan bilal tarawih 23 rakaat beserta jawaban jamaah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Niat Sholat Tarawih Lengkap

Berikut bacaan niat sholat Tarawih. Pada dasarnya menurut ulama fikih, hukum shalat tarawih adalah sunnah muakkad. Hal ini disebabkan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangatkan shalat tarawih dan mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.

Selanjutnya, shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam di bulan Ramadhan. Jika seseorang tidak mengerjakan shalat tarawih, ia tidak akan mendapat dosa, tetapi ia tidak akan mendapat pahala yang diberikan kepada orang yang mengerjakan shalat tarawih dengan iman dan mengharapkan ridha dari Allah.

Pada sisi lain, shalat tarawih merupakan ibadah yang bisa menyempurnakan rangkaian ibadah lain selama menjalani puasa Ramadhan. Dalam hadits Nabi menjelaskan orang yang mengerjakan shalat Tarawih, maka akan mendapatkan ampunan dari dosa yang telah diperbuatnnya.

Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad SAW;

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya; Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Sementara itu, Syekh Imam Al-Kharsyi, dalam kitab Syarh Mukhtashar Khalil Li Al-Kharsyi, Jilid II, halaman 7 mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah salat sunnah muakkad, yang berarti sangat dianjurkan untuk dikerjakan.

وتأكد تراويح قيام رمضان، سمي بذلك لأنهم كانوا يطيلون القيام فيقرأ القارئ بالمئين يصلون بتسليمتين ثم يجلس الإمام والمأموم للاستراحة ويقضي من سبقه الإمام، ووقتها وقت الوتر على المعتمد، والجماعة فيها مستحبة لاستمرار العمل على الجمع من زمن عمر رضي الله عنه

Artinya; “Sunnah muakkad hukumnya mengerjakan shalat tarawih di Bulan Ramadhan. Disebut demikian karena mereka (para sahabat Nabi) dahulu memperpanjang waktu berdiri (dalam shalat). Pembaca (Al-Quran) membaca (surat-surat panjang) hingga mencapai seratus ayat. Mereka shalat dengan dua salam.

Kemudian imam dan makmum duduk untuk beristirahat. Dan orang yang tertinggal dari imam menyelesaikan (rakaat yang tertinggal). Waktunya adalah waktu shalat witir menurut pendapat yang lebih kuat. Shalat berjamaah dalam shalat tarawih disunnahkan karena amalan ini telah berlangsung sejak zaman Umar bin Khattab,”.

Niat Sholat Tarawih

Nah berikut ini bacaan niat sholat tarawih, untuk Imam, Makmum, dan shalat sendirian. Ini bacaannya;

Berikut niat Tarawih sebagai imam shalat, secara berjamaah;

‎ أُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً إِمَامًا للهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarāwīhi rak‘atayni mustaqbilal qiblati adā’an imāman lillāhi ta‘ālā.

Artinya; Aku shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat, sebagai imam, karena Allah Ta’ala.

Sementara itu, niat sebagai makmum adalah berikut;

‎أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatat tarâwîhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya; Aku mendirikan shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.

Adapun niat shalat tarawih ketika shalat sendiri adalah berikut;

‎ اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى 

Ushalli sunnatat tarāwīhi rak‘atayni mustaqbilal qiblati adā’an lillāhi ta‘ālā.

Artinya; Aku sholat sunnah tarawih dua rakaat menghadap kiblat, karena Allah Ta’ala.

Demikian niat sholat tarawih. Semoga bermanfaat. Pun kita rutin menjalankan ibadah ini selama bulan Ramadhan.

BINCANG SYARIAH

Anjuran Berjalan Kaki untuk Bertafakur

Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7)

Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan.

Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya,

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106)

Kewajiban tafakur

Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)

“Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44)

Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya.

Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran: 190-191)

Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh.

Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur

Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ

“Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46)

Allah Ta’ala juga befirman,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)

Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan,

وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ

“Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140)

Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)

Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4)

Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا

“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429)

Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Artikel: Muslim.or id

Referensi:

A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah

Sumber: https://muslim.or.id/91780-anjuran-berjalan-kaki-untuk-bertafakur.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

“Beragama Itu yang Biasa-Biasa Saja”

Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya.

Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini.

Apa maksud dari konsep beragama secara biasa?

Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa?

Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?”

Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat.

Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”

Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat.

Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat.

Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.

Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam.

Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini

Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini:

Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat

Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam.

Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa

Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.”

Sebab kemunculan ucapan semacam ini

Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan,

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116)

Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran.

Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan,

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ

Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).[1]

Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah

الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه.

Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.[2]

Kesimpulan

Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan,

أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ

Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38)

Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah:

Pertama: Berusaha menjadi sepertinya

Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya

Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.

Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah,

أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه

Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.[3]

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.

Catatan kaki:

[1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513

[2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله

[3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html

Sumber: https://muslim.or.id/92189-beragama-itu-yang-biasa-biasa-saja.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Niat Puasa Ramadhan

Berikut ini niat puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Muslim yang memenuhi syarat. Puasa Ramadhan adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Niat adalah salah satu syarat sah puasa Ramadhan. Niat puasa Ramadhan harus dilakukan dengan ikhlas dan murni karena Allah SWT. Niat puasa Ramadhan bisa dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar atau di pagi hari sebelum matahari terbit.

Nah berikut niat puasa Ramadhan;

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Selanjutnya, jika khawatir lupa niat puasa, maka Imam Malik memberikan solusi dengan sekali niat selama Ramadhan. Niat ini bermanfaat bagi orang yang kahwatir tidak bisa berniat tiap malam atau ketika sahur. Ini niatnya;

‎نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma jami’i syahri Ramadhana hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya: “Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah Taala”

Keutamaan Puasa Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan, telah tiba di ambang pintu. Umat muslim di seluruh dunia bersiap-siap menyambut kedatangannya dengan hati berdebar dan jiwa yang dipenuhi harapan. Puasa Ramadhan, inti dari bulan suci ini, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan menuntun kita pada perjalanan spiritual yang mendalam.

Dalam fikih, ulama mewajibkan puasa bagi orang yang beriman. Inti dari puasa Ramadhan adalah taqwa, kesadaran diri yang berakar kuat dalam takut dan patuh kepada Allah SWT. Puasa bukan sekadar menahan diri dari konsumsi makanan dan minuman, namun juga mengekang hawa nafsu, amarah, dan segala sesuatu yang menjauhkan kita dari nilai-nilai Islam.

Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya; Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Lebih lanjut, puasa juga melatih kesabaran, melatih empati kepada kaum yang kurang mampu, dan melatih disiplin diri. Menahan lapar dan haus sepanjang hari membangkitkan kesadaran atas nikmat yang selama ini seringkali kita anggap remeh.

Pada sisi lain, orang yang melakukan puasa akan di angkat derajatnya oleh Allah swt. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam;

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ

Artinya; “Ketika bulan Ramadhan telah datang, maka pintu-pintu syurga di buka, pintu-pintu neraka di tutup, dan setan-setan di belenggu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

BINCANG SYARIAH

“Kamu Mama Masukkan Ke Sekolah Katolik, Jadinya Kok Malah Masuk Islam”

Didiamkan ibu selama 4 bulan, bagaimana rasanya? Pastilah sangat tidak enak. Itulah yang dirasakan Hilarius Arya Budi Pradana. Gara-garanya Arya masuk Islam. Ibunya sangat kecewa. Karena itulah dia tak menyapa putra sulungnya ini.

“Kamu Mama masukkan ke sekolah Katolik agar tidak menyimpang, kok jadinya malah masuk Islam,” begitu kata ibunya, dikutip Arya saat ditemui di Better Youth Surabaya beberapa waktu lalu.

Arya berasal dari keluarga Katolik taat. “Bahkan boleh dibilang orangtua saya aktivis gereja,” tambah Arya. Tak heran bila sejak kecil hingga kuliah Arya selalu dimasukkan ke sekolah Katolik. Setelah lulus SMA malah ditawari masuk sekolah teologi. “Cuma saya tidak mau,” ujar Arya.

Meski selalu di sekolah Katolik, alih-alih menjadi umat yang taat. Justru muncul banyak pertanyaan di benak Arya, menyangkut ajaran agamanya. Hingga sampai pada satu titik tak percaya lagi pada Tuhan. “Saya athies. Pokoknya hidup ya hidup, gitu saja” ujarnya. Soal bagaimana kehidupan setelah mati, Arya mengaku masa bodoh.

Perkenalannya dengan Islam dimulai Ketika Arya bikin skripsi di sebuah universitas Katolik di Surabaya jurusan komunikasi. Tentang apakah skripsinya? Mengapa ia kemudian pindah agama? Setelah bersyahadat, bagaima pula ia menaklukan hati mamanya?

Maaf, silakan klik di sini jika ingin tahu jawabannya

HIDAYATULLAH

Fikih Wakaf (Bag. 5): Bolehkah Wakaf Sementara dan Tidak Selamanya?

Terdapat sebuah fenomena di mana sebagian orang ingin mewakafkan hartanya dan berkontribusi dalam kegiatan keagamaan, dakwah, pendidikan, kemanusiaan, sosial, dan ekonomi dengan membolehkan hartanya dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan wakaf. Namun, di sisi lain ia tidak ingin kepemilikan harta tersebut lepas selamanya dari dirinya atau membatasi waktu diperbolehkannya harta tersebut untuk digunakan. Setelah habis masa waktunya, harta wakaf tersebut kembali kepada dirinya.

Apakah hal semacam ini diperbolehkan? Dengan kata lain, bolehkah seseorang mewakafkan hartanya sementara saja dan tidak selamanya?

Wakaf yang disepakati ulama akadnya adalah akad lazim [1]

Para ulama sepakat bahwa sebuah akad wakaf menjadi akad yang lazim pada beberapa kondisi berikut ini:

Pertama: Objek yang diwakafkan berupa masjid atau tanah yang akan dibangun di atasnya masjid. Dalam kasus ini pihak waqif tidak diperkenankan untuk membatalkan akad yang telah dilakukannya tersebut dan objek tersebut selamanya menjadi harta wakaf (sudah tidak berada di bawah kepemilikan waqif).

Kedua: Wakaf yang muncul dalam bentuk wasiat, yaitu tatkala seseorang mengaitkan wakafnya dengan kematiannya. Contohnya adalah ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, aku jadikan rumahku wakaf untuk rumah tahfiz.” Pada kasus semacam ini, wakafnya menjadi akad lazim dan berlaku di dalamnya hukum-hukum wasiat.

Ketiga: Apabila pemerintah memutuskan dan menetapkan bahwa wakafnya tersebut menjadi wakaf lazim. Hal ini seringkali terjadi ketika terjadi sebuah sengketa antara pihak keluarga waqif dengan pihak pengelola wakaf tersebut. Keputusan pemerintah dalam perkara ijtihad diperbolehkan dan harus dilaksanakan. Keputusan tersebut juga akan menyelesaikan perseteruan dan persengketaan yang terjadi. Sebagaimana keputusan pemerintah dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan lainnya.

Keempat: Apabila waqif bertekad kuat menyerahkan objek wakafnya tersebut untuk Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang mengucapkan, “Wakafku ini tidak boleh diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, ataupun diwariskan.” Sebagaimana hal ini juga diucapkan oleh Umar bin Khattab di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan ucapannya tersebut, wakaf yang dilakukannya menjadi wakaf lazim berdasarkan syarat yang diajukan pihak waqif tatkala melangsungkan akadnya. Hal ini sejalan dengan kaidah,

شرط الواقف كنصِّ الشارع

“Syarat yang diajukan oleh pewakaf layaknya dalil nash dari syariat.”

Wakaf yang tidak disepakati oleh ulama

Adapun yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama adalah kondisi-kondisi selain yang telah kita sebutkan di atas. Apakah dihukumi wakaf dengan akad lazim di mana harta yang diwakafkan otomatis keluar dari kepemilikannya, ataukah wakaf boleh dan sah jika diniatkan untuk dilakukan hanya sementara saja?

Berikut ini adalah penjelasan permasalahan tersebut.

Pendapat ulama perihal adakah wakaf sementara

Pendapat pertama

Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Hal ini bahkan dijadikan syarat sahnya wakaf. Karena itulah yang sesuai dengan makna wakaf. Inilah pendapat yang diambil oleh Imam Syafi’i, begitu pula dengan Imam Ahmad. Bahkan, mereka menyaratkan bahwa wakaf harus selamanya secara mutlak tanpa dibatasi waktu.

Pendapat mayoritas ulama ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Pertama, hadis yang menjelaskan wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu di mana anak beliau, Ibnu Umar, mengisahkan,

أَنْ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أصابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فيها، فقالَ: يا رسولَ اللَّهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مالًا قَطُّ أنْفَسَ عِندِي منه، فَما تَأْمُرُ بهِ؟ قالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلَها، وتَصَدَّقْتَ بها قالَ: فَتَصَدَّقَ بها عُمَرُ، أنَّه لا يُباعُ ولا يُوهَبُ ولا يُورَثُ، وتَصَدَّقَ بها في الفُقَراءِ، وفي القُرْبَى وفي الرِّقابِ، وفي سَبيلِ اللَّهِ، وابْنِ السَّبِيلِ، والضَّيْفِ لا جُناحَ علَى مَن ولِيَها أنْ يَأْكُلَ مِنْها بالمَعروفِ، ويُطْعِمَ غيرَ مُتَمَوِّلٍ

”Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau bersabda, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Maka, ‘Umar menyedekahkan, di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan, namun dia menyedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang makruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain, bukan bermaksud menimbunnya.” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632)

Hadis tersebut menggunakan kalimat “habs al-ashli” (kamu tahan (pelihara) pepohonannya) dan “la yuba’u wala yuhabu wala yurasu” (tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan). Penggunaan kalimat habs al-ashli menunjukkan tempo selamanya. Jika harta wakaf boleh kembali menjadi milik waqif, maka ini tidak bisa disebut dengan wakaf, sebab hakikat wakaf meniadakan pembatasan waktu. Begitu pula, kalimat la yuba’u wala yuhabu wala yurasu jelas menunjukkan bahwa akad wakaf adalah akad lazim, karena waqif tidak boleh menjualnya, menghibahkannya, dan mewariskannya.

Kedua, semua wakaf yang dilakukan sahabat dan tabiin adalah wakaf selamanya (tidak ada yang bersifat sementara).

Ketiga, wakaf sementara menyelisihi makna sebenarnya dari ibadah wakaf.

Pendapat kedua

Imam Malik berpendapat bahwa wakaf tidak harus selamanya, dibolehkan juga wakaf sementara. Menurut Imam Malik wakaf sementara hukumnya sah, baik dibatasi dengan tahun atau dibatasi dengan selain tahun, tetapi memiliki batas akhir.

Pendapat ini berdasarkan beberapa dalil:

Pertama, wakaf termasuk sedekah, sedangkan sedekah boleh untuk selamanya dan boleh juga bersifat sementara. Tidak boleh membedakan wakaf dengan jenis sedekah lainnya hanya karena tidak ada dalilnya. Baik wakaf selamanya maupun wakaf sementara, keduanya merupakan bentuk sedekah di jalan kebaikan sehingga keduanya diperbolehkan.

Kedua, hadis yang menjelaskan wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu (sebagaimana telah kita sebutkan di atas), menggunakan kalimat yang menunjukkan selamanya. Hanya saja bukan berarti bahwa yang bukan selamanya, tidak boleh. Karena di dalam hadis tersebut, juga terdapat lafaz yang berbunyi, “in syi’ta” (jika engkau menghendaki). Lafaz tersebut menunjukkan bahwa perbuatan wakaf diserahkan pilihannya kepada waqif, tidak ada ketentuan wakaf itu dalam satu bentuk atau cara tertentu. Sehingga boleh diniati selamanya ataupun sementara.

Manakah pendapat yang lebih kuat?

Pertama-tama, harus kita ketahui bersama bahwa hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu a’lam bisshawab inilah pendapat yang insyaAllah lebih mendekati kebenaran.

Dengan penyebutan batas waktu tersebut, kepemilikan objek wakaf nantinya akan kembali kepada pemiliknya/waqif setelah habis batas waktunya.

Di dalam Kitab Fikih Muyassar, juga disebutkan,

“Hukum asal wakaf adalah permanen dan selamanya. Akan tetapi, boleh bersifat sementara dengan memberikan batas waktu tertentu. Dan di dalam penetapan bolehnya wakaf sementara bukanlah termasuk bentuk pembebanan sesuatu yang tidak ada sumbernya dari syariat. Karena wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah dan kebaikan, sedangkan sedekah sangat ditekankan untuk dilakukan dalam ajaran Islam ini. Di sebagian riwayat (yang menganjurkan sedekah) berbunyi dengan lafaz, ‘Tashaddaq’ (bersedekahlah), lafaz ini umum, mencakup sedekah yang bersifat permanen/ selamanya dan juga yang bersifat sementara. (Mengambil pendapat ini) juga mengandung motivasi untuk terus berbuat kebaikan, sedangkan pendapat yang melarang wakaf sementara, maka ini termasuk bentuk menutup pintu kebaikan dan kedermawanan. Karena tidak semua orang menghendaki wakaf secara permanen dan selamanya, sedangkan syariat senantiasa mengajak umatnya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Wakaf sementara merupakan bentuk kebaikan dan kedermawanan, maka hal itu tidaklah terlarang.” (Fikih Muyassar, 6: 245)

Bagaimana dengan sistem Undang-Undang di negeri kita?

Di dalam pasal 1 Undang-Undang no. 41 tahun 2004 disebutkan,

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”

Kalimat jangka waktu tertentu dalam pengertian wakaf tersebut maksudnya adalah wakaf sementara. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa hukum di negeri kita mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus dalam objek harta benda bergerak seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Wallahu A’lam bisshawab.

Kembali ke bagian 4: Status Kepemilikan Harta Wakaf

Lanjut ke bagian 6: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki: 

[1] Akad lazim adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad, kecuali dengan kerelaan pihak yang lain.

Sumber: https://muslim.or.id/92324-fikih-wakaf-bag-5-bolehkah-wakaf-sementara-dan-tidak-selamanya.html
Copyright © 2024 muslim.or.id