Tips Ramadan yang Berkualitas (1): Kurangi Rebahan, Perbanyak Amalan!

Sepertinya sudah menjadi pemandangan dan pemahaman umum bahwa bulan Ramadan, oleh sebagian orang, dijadikan alasan untuk bermalas-malasan dan lebih banyak rebahan. Bahkan tak tanggung-tanggung, kelompok ini menjustifikasi lakunya dengan beberapa dalil, salah satunya adalah tidur orang puasa bernilai ibadah.

Hadits yang dimaksud adalah dari Abdullah bin Amr dan Abdullah bin Abi Aufa, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidurnya orang puasa adalah ibadah.” Padahal, jika ditelisik lebih dalam, maksud hadits tersebut sesungguhnya hendak mengatakan bahwa daripada melek tetapi ghibah dan sejenisnya, maka lebih baik tidur.

Jadi, supaya Ramadan dan puasa kita berkualitas, salah satu kunci utamanya adalah kurangi rebahan dan malas – malasan, kemudian perbanyak amalan-amalan di bulan Ramadan. Lantas, apa saja amalan-amalan yang dapat dilakukan di bulan Ramadan?

Pertama, membaca al-Qur’an.

Sebenarnya, membaca al-Quran sangat dianjurkan bagi setiap muslim dimana saja dan kapan pun itu. Karena salah satu keutamaannya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah, bahwa bacalah al-Qur’an karena ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat. (HR. Muslim).

Namun pada saat bulan Ramadan, intensitas dan ‘keintiman’ terhadap al-Qur’an harus ditingkatkan. Hal inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits dari Aisyah, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah membaca al-Qur’an semuanya, sembahyang sepanjang malam dan puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadan.” (HR. Ahmad).

Kedua, menghidupkan malam-malam Ramadan dengan shalat tarawih berjamaah.

Shalat sunnah Tarawih adalah shalat sunnah yang ada pada saat bulan Ramadan saja. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa shalat Tarawih pahalanya seperti shalat semalam. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang ikut melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai maka baginya akan dicatat seperti shalat semalam penuh.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi).

Bahkan dalam hadits lain, disebutkan bahwa shalat Tarawih dapat menghapus dosa yang telah lalu. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melakukan ibadah puasa Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Ketiga, I’tikaf.

I’tikaf berarti berdiam di masjid untuk beribadah kepada Allah dengan cara tertentu sebagaimana telah diatur oleh syari’at. I’tikaf merupakan salah satu sunnah yang tidak pernah ditinggal oleh Rasulullah, seperti yang diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Sesungguhnya Nabi r selalu i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah beliau.” Muttafaqun ‘alaih.

Keempat, memperbanyak sedekah.

Rasulullah adalah orang yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan Ramadan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, ia berkata:

“Rasulullah adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril menemui beliau (Ramadan), …HR. al-Bukhari.

Ramadan adalah kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas taqwa dan memperbanyak amalan-amalan shaleh. Karena itulah, orang-orang shalih selalu berdoa dengan khusuk agar dipertemukan bulan Ramadan terus. Jika kita saat ini sudah dipertemukan oleh bulan Ramadan, maka gunakan kesempatan ini untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan suci, dan kurangi rebahan.

ISLAMKAFFAH

Kenapa Pengeluaran Tiap Ramadan Malah Boros? Simak Tips Ini Agar Tidak Boncos!

Sebagian besar umat Islam tentu merasakan bahkan juga mengalami kalau setiap bulan Ramadan, pengeluaran suka lebih besar dari bulan-bulan lain. Padahal. kalau dipikir-pikir, seharusnya bulan Ramadan justru menjadikan pengeluaran bisa lebih ditekan.

Bagaimana tidak. Toh dengan hadirnya bulan puasa, maka secara praktis, alokasi belanja bisa lebih sedikit mengingat volume makan dan jajan yang mungkin dihari-hari biasa sehari bisa tiga kali, ketika bulan Ramadan hanya Sahur dan buka puasa saja.

Namun itu hanya sebatas teori, yang tentu saja prakteknya banyak berbeda. Namun demikian, pengeluaran yang besar itu faktor penyebabnya tidak hanya pada diri sendiri, melainkan terdapat banyak faktor.

Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kali menjelang dan pada saat bulan puasa, kebutuhan pangan atau kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Bahkan sebelum bulan puasa, harga beras mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni sempat naik hingga Rp 18.000 per kg. Belum lagi harga-harga makanan lain seperti daging, telor, cabai dan lain sebagainya.

Faktor selanjutnya adalah berasal dari internal, seperti ada tambahan anggaran ini dan itu. Misal, sedekah, mudik, buka bersama, alokasi THR,  membeli atau memasak makanan yang khas seperti opor, dan lain sebagainya.

Nah, supaya tidak boncos atau tekor saat Ramadan, kamu perlu menyimak beberapa tips berikut ini:

Pertama, susun semua rencana pengeluaran. Buatlah anggaran yang jelas untuk pengeluaran selama bulan Ramadan. Mulai dari makan harian mau seperti apa, kemudian apakah punya program khusus di bulan ramadan sampai urusan mudik. Semuanya harus disusun dan ditentukan berapa banyak uang yang akan akan alokasikan untuk hal tersebut. Tentu sesuaikan dengan kondisi keuangan kamu.

Perencanaan keuangan tersebut sesuai dengan peritah Allah sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqon ayat 67 :

Dan orang-orang yang apabila dalam membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian itu”.

Kedua, buat skala prioritas. Jika sudah disusun rencana pengeluaran selama bulan Ramadan dan dikelompokkan pengeluaran tersebut sesuai dengan jenis income, maka buatlah skala prioritas. Artinya, apabila dari pengeluaran yang sudah disusun dilihat dari kecukupan dananya.

Kalau dari semua pengeluaran dan disesuaikan dengan sumber pemasukan tidak cukup, maka pilah-pilah lagi mana yang top priority. Untuk bisa memilih yang prioritas, maka kita harus mengendalikan hawa nafsu. Dan inilah makna hakiki puasa, yakni menahan hawa nafsur.

Ketiga, ubah mindset bahwa berbuka puasa adalah ajang ‘balas dendam’ selama menahan lapar seharian. Inilah mindset yang menjangkiti hampir seluruh umat Islam pada umumnya, sehingga sajian makanan saat buka puasa secara porsi lebih banyak dan terdapat beraneka ragam makanan yang pada hari biasa jarang tersaji.

Oleh karena itu, mindset tersebut harus dirubah. Buka puasa bukanlah ‘ajang balas dendam’ menahan lapar seharian. Tetapi puasa adalah momentum untuk mengatur diri agar fokus beribadah secara maksimal.

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa terlepas dari faktor eksternal seperti terjadinya kenaikan bahan pokok saat Ramadan, sejatinya yang bikin boncor dan boros itu bukan puasa, melainkan gaya dan bagaimana kita mengelola pengeluaran dengan cermat dan sederhana.

ISLAMKAFFAH

Hakikat Puasa dan ‘Madrasah’ Fikiran

Oleh: Kholili Hasib

Sering disebut-sebut, puasa Ramadhan merupakan “madrasah”. Sebenarnya lebih tepatnya “madrasah hati” dan “madrasah fikiran”. Sebab, hakikat puasa bukan hanya menahan anggota badan. Dari perkara yang membatalkan. Tetapi, sebenarnya juga menahan hati dan pikiran. Sebab, syahwat tidak hanya mengendalikan mulut, telinga dan alat kelamin. Namun, hati dan fikiran memiliki syahwat, yang jika tidak ditahan berubah menjadi hawa nafsu.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa puasa yang sampai pada tingkat menahan hati dari keinginan-keinginan hina dan pemikiran duniawi merupakan puasanya para Nabi, shiddiqun dan muqarrabun. Mereka tidak berfikir dari perkara-perkara selain Allah Swt secara totalitas. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 109). Peringkat puasa paling tinggi. Puasa hakiki pada tingkat ini.

Fikiran jika tidak dikendalikan, akan menjadi fikiran yang liar. Pemikiran liar yang paling mendasar adalah memikiran sesuatu dengan melepaskan dari Allah Swt. Faham sekularisme merupakan keyakinan yang sangat nyata tentang pemikiran yang liar pada zaman modern. Sekularisme merupakan faham yang memisahkan antara kehidupan duniawi dengan agama, dan hal-hal yang terakait dengan agama. Termasuk konsep Tuhan.

Dalam konsep ilmiah Barat sekular, yang dimaksud realitas hanya pada dunia yang terindera saja. Realitas yang tidak terindera diyakini tidak ada. Berbeda dengan pandangan Islam, aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat. Segala sesuatu didasarkan fokusnya pada aspek akhirat (Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 1).

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa memikirkan sesuatu selain Allah Swt dalam hati dan fikiran termasuk tidak berpuasa. Boleh jadi berfikir dunia, namun dunia yang dipandang dalam agama sebagai bekal akhirat. Maka berfikir dengan cara demikian bukan termasuk duniawi (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 110).

Fikiran yang meyakini bahwa perkara-perkara dunia tidak ada kaitan dengan agama. Ilmu pengetahuan tidak ada relasinya dengan keimanan kepada Allah Swt, dan lain-lain merupakan contoh fikiran yang liar di zaman modern.

Di zaman Nabi Muhammad Saw, reduksi konsep Allah SWT dilakukan kaum musyrik dengan cara menvisualisasi Allah Swt melalui bentuk patung. Nabi Saw meluruskan bahwa Allah Swt tidak boleh dan tidak bisa direduksi dengan digambarkan dengan bentuk berhala. Di zaman modern reduksi kekuasaan Allah Swt dengan berbagai bentuk. Misalnya, menyamakan Allah dengan Tuhan agama-agama lain yang sejatinya bukan Tuhan melalu paham kesatuan Transenden Unity of Religion. Mereduksi kuasa Allah dalam sains melalui hukum positivisme.

Misi Nabi Saw adalah mencegah pemikiran-pemikiran liar tentang Allah Swt. Meletakkan konsep Allah Swt sebagai konsep paling tinggi dalam keyakinan manusia. Oleh sebab itu, tarbiyah Nabi Muhammad Saw tentang konsep Tuhan melalui dua tahap.

Pertama, membersihkan hati dan fikiran dari i’tiqad yang mencampur (asyraka) antara kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan benda-benda. Agar mereka menjadi Muslim, bukan Musyrik. Kedua, mencegah masuknya perkara dunia, selain Allah Swt, ke dalam hati dan fikiran. Sehingga isi hati dan fikiran hanya Allah Swt. Tidak melihat dan memikirkan sesuatu kecuali dihubungkan dengan Allah Swt. Agar mereka menjadi Muslim yang hakiki.

Dalam pandangan Islam, Allah Swt harus “hadir” dalam setiap perkara hidup manusia. “Hadirnya” Allah Swt bukan saja di saat shalat atau ibadah-ibadah lain. Namun, dalam setiap aktifitas. Termasuk aktifitas berfikir.

Oleh sebab itu, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dapat disebut juga proses tazkiyatu al-fikr (pembersihan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Dengan demikian, langkah mengislamkan pemikiran yang pertama-tama perlu dilakukan adalah dengan mengikuti petunjuk riyadlah al-nafs (melatih jiwa melawan hawa nafsu) seperti yang dijelaskan oleh imam al-Ghazali dalam kita Ihya’ Ulumuddin. Keyakinan-keyakinan materialistik dalam hati harus dibersihkan. Sebab, hati dan pikiran itu mengontrol dan membentuk perilaku. Beradab atau bi-adabnya perilaku dipengaruhi oleh bersih dan kotornya jiwa.

Ramadlan adalah ‘madrasah’ untuk mengislamkan jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran yang Islami, yaitu yang bersih, selalu patuh dan tunduk kepada Allah, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk anti agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai ketuhanan.

Ramadan sengaja menjadi tempat untuk mencetak jiwa-jiwa Islami, bukan jiwa yang sekular. Perbanyaklah ibadah, sering-seringlah mematikan hawa nafsu. Sekali-kali jangan beri kesempatan nafsu untuk menguasai jiwa selama bulan puasa. Jika seusai Ramadlan jiwa kita tetap sekular, maka kita gagal beribadah puasa Ramadlan. Maka, siapkanlah diri sejak sekarang. Puasa tetapi masih sekular, berarti hati dan fikirannya tidak berpuasa.

Jika hati dan fikiran berpuasa, maka itulah hakikat puasa yang sebenarnya. Totalitas mencegarh potensi-potensi negatif. Hati dipagari agar tidak memikirkan duniawi atau memikirkan sesuatu yang tercela. Hatinya secara total berisi Allah. Puasa ini merupakan tingkatan para wali muqarrabīn. Memikirkan perkara makruh saja, dianggap telah membatalkan puasa. Apalagi memikirkan perkara yang haram.

Memikirkan perkara duniawi dianggap batal kecuali perkara tersebut mendorong ke arah pemahaman agama, karena dunia yang demikian merupakan bekal akhirat dan tidak termasuk bagian duniawi. Puasa tingkat ketiga ini merupakan puasa total, seluruh bagian tubuh dan jiwa lahir dan batin ikut berpuasa.

Cara puasa demikianlah yang mendatangkan takwa. Banyak orang yang menjalankan puasa, tapi kata Nabi hanya memperoleh lapar dan dahaga saja. Sebabnya, karena dia hanya puasa tidak makan dan tidak minum saja. Sedangkan hati dan fikiran tetap liar, tidak dicegah dan dikendalikan.

Penulis adalah dosen pascasarjana UII Dalwa

Sumber Kebahagiaan Abadi

Semua manusia pasti mengharapkan kebahagiaan. Berbagai cara mereka upayakan untuk mewujudkan kebahagiaannya. Ada yang bekerja siang dan malam untuk meraih kekayaan yang dianggapnya sebagai kebahagian. Ada juga yang menempuh segala cara untuk mendapatkan jabatan yang diinginkannya. Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka impikan dan mereka usahakan sejatinya hanyalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan yang apabila tidak diiringi dengan rasa syukur dan diperoleh dengan cara yang tidak Allah ridai, seringkali justru akan menimbulkan malapetaka bagi dirinya.

Harta yang mereka kumpulkan dengan cara yang tidak berkah. Jabatan yang mereka raih dengan susah payah. Ketenaran yang mereka bangun dengan begitu banyak pengorbanan. Kesemuanya itu adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan yang akan hilang dan tak akan dibawa mati oleh pemiliknya. Allah Ta’ala berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Tak jarang hal-hal yang seringkali dianggap sebagai sumber kebahagiaan oleh seseorang, di akhirat nanti justru akan menjadi sebab seseorang mendapatkan azab Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan nasihat kepada salah satu sahabatnya,

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi no. 614)

Mengenal Allah Ta’ala adalah sumber kebahagiaan abadi

Ketahuilah, wahai saudaraku, kebahagiaan sejati ada pada sejauh mana pengenalan kita kepada Allah Ta’ala, Rabb Yang Mahamampu atas segala sesuatu, Rabb Yang Mahakaya. Rabb Yang Menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan bagi seorang hamba.

Mengenal Allah Ta’ala adalah pintu menuju ilmu dan pengetahuan lainnya. Siapa saja yang mengenal Allah Ta’ala, maka ia akan mengenal selainnya, memahami apapun yang ingin ia ketahui, dan apa yang perlu ia ketahui. Adapun mereka yang tidak peduli dan bodoh tentang Rabbnya, niscaya dia akan lebih bodoh lagi terhadap yang lainnya.

Mengenal Allah akan menjadikan seseorang memprioritaskan kehidupan akhiratnya dari kehidupan dunianya. Sehingga, ia akan lebih dekat dengan kebahagiaan hakiki. Karena fokus dan prioritasnya adalah surga Allah Ta’ala yang abadi lagi penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah seorang yang beribadah kepada Allah dengan semua nama dan sifat-sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Yang jelas, bahwa ilmu tentang Allah adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftah Daris Sa’adah)

Mengenal Allah Ta’ala maksudnya adalah mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Sehingga, kita yakin bahwa diri-Nya adalah satu-satunya Tuhan yang berhak kita sembah, kepada-Nya semua doa dan ibadah kita berikan, dan kepada-Nyalah juga kita meminta dan memohon. Karena Dialah Tuhan Yang memelihara seluruh alam ini. Allah Ta’ala berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1)

Dengan apa, kita mengenal Allah Ta’ala?

Jika ada yang bertanya, bagaimana caranya mengenal Allah Ta’ala?

Maka kita jawab, “Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Lihatlah bagaimana siang dan malam datang silih berganti. Lihatlah bagaimana bulan dan matahari dapat menerangi kita. Lihatlah pula tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala makhluk yang ada di dalamnya.”

Sebagaimana hal ini telah Allah Ta’ala perintahkan dan Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an. Ia berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam dan siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” (QS. Fushshilat: 37)

Ia juga berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat. Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan serta bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, hanya hak Allah mencipta dan memerintah itu. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raf: 54)

Dan tentunya, semuanya harus dengan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Tidaklah kita berusaha mengenal Allah Ta’ala, kecuali dengan cara-cara yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bukan dengan menyendiri, bertapa, atau dengan cara-cara lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tidak akan merugi bagi siapa pun yang mengenal Allah Ta’ala dengan benar

Mengenal Allah Ta’ala akan membuahkan banyak sekali keutamaan dan manfaat bagi seorang hamba. Yang paling utama adalah mengenal Allah akan memberikan kekuatan dan keteguhan pada akidah dan keyakinan kita. Seorang hamba yang mengenal Allah Ta’ala tidak akan pernah bergantung kepada selain-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak khawatir akan rezekinya dan tidak memasrahkan urusannya, kecuali kepada-Nya.

Dengan begitu, ia akan menjadi hamba yang paling bahagia. Hamba yang tidak tertekan karena hal-hal yang seharusnya tidak perlu ia takutkan ataupun ia khawatirkan. Allah Ta’ala juga mengabarkan kepada kita bahwa pintu dari akidah yang kuat, akidah yang membuahkan rasa takut kepada-Nya adalah dengan mengenal-Nya. Ia berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)

Tidaklah seseorang mencapai derajat ulama, kecuali ia pasti telah mengenal Allah Ta’ala terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai hamba-hamba Allah yang paling takut kepada-Nya.

Saudaraku, tidak akan merugi seseorang yang bertauhid dan mengenal Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya. Karena ia akan mendapatkan jaminan kebahagiaan, baik di dunia ini maupun di alam akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 26)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟

“Setelah penghuni surga masuk ke surga, dan penghuni neraka masuk ke neraka, maka setelah itu Allah ‘Azza Wajalla pun berfirman, ‘Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi keimanan!’ Maka, mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja, tubuh mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu, mereka dimasukkan ke sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah) sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di pinggiran sungai. Tidakkah engkau perhatikan bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?” (HR. Bukhari no. 6560 dan Muslim no. 184)

Mereka yang memiliki keimanan sekecil biji sawi saja akan Allah Ta’ala selamatkan dari neraka karena keimanannya tersebut. Lalu, bagaimana lagi dengan mereka yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan beriman kepada Allah dengan sepenuh jiwa dan raganya? Tentu mereka akan mendapatkan balasan yang lebih besar dan lebih utama.

Saudaraku, luangkanlah dan korbankanlah sebagian waktumu untuk lebih mengenal Tuhanmu, Allah Ta’ala. Milikilah waktu khusus untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tadaburilah semua keajaiban ciptaan-Nya, niscaya akan engkau dapati kebahagiaan abadi mengikutimu. Semoga kita semua dimampukan oleh Allah Ta’ala untuk lebih mengenal diri-Nya.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/92193-sumber-kebahagiaan-abadi.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Kebaikan-kebaikan Menyegerakan Berbuka Puasa

Berbuka puasa merupakan salah satu amalan penting bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa. Rasulullah SAW menekankan pentingnya untuk menyegerakan waktu berbuka, karena dalam hal ini terdapat kebaikan bagi manusia. Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis riwayat Sahl bin Sa’ad, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”

Hadist ini memberikan pelajaran pentingnya menyegerakan (takjil) berbuka puasa karena adanya kebaikan-kebaikan. Takjil atau bersegera berbuka yang dalam istilah Indonesia lebih dikenal sebagai barangnya sejatinya memiliki nilai-nilai kebaikan.

Kebaikan pertama tentu karena ittiba’ atau mengikuti sunnah Nabi yang menyegerakan berbuka. Kebaikan berikutnya adalah untuk membedakan diri dari umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani ketika berpuasa mengkahirkan berbuka. Sebagaimana hadits Nabi :

“Agama (Islam) senantiasa mendapatkan kejayaan selama manusia menyegerakan berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan yang lainnya)”

Kebaikan berikutnya tentu saja persoalan kesehatan. Menyegerakan puasa berarti menyegerakan tubuh mendapat asupan nutrisi dan cairan setelah seharian berpuasa. Tentu saja ini akan menghindarkan tubuh kekurangan kadar gula darah dan mengalami dehidrasi.

Kebaikan lainnya adalah menjamin ibadah yang khusuk dan fokus setelah berbuka. Pikiran tidak lagi memikirkan tentang makanan karena sudah tercukupi. Hal ini juga menjamin kekuatan badan untuk melaksakanakan shalat sunnah tarawih.

Jangan Salah Waktu Berdoa Buka Puasa

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga waktu berbuka sebagai bagian dari ibadah puasa yang dianjurkan. Hal yang seringkali terjadi kebingungan terkait kapan seharusnya membaca doa berbuka puasa.

Sebagian dari kita keliru dengan membaca doa tersebut sebelum memulai makan atau minum ketika masuk waktu Magrib. Namun, sesungguhnya doa berbuka yang paling tepat adalah dibaca sesaat setelah selesai berbuka puasa. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin yang menyatakan bahwa maksud dari “setelah berbuka” adalah selesainya berbuka puasa, bukan sebelumnya atau pada saat berbuka.

Pemahaman yang benar terkait penempatan membaca doa berbuka setelah berbuka puasa dapat dipertegas dengan melihat makna yang terkandung dalam doa tersebut. Doa berbuka puasa, “Allahumma laka sumtu wa ‘ala rizqika aftartu, dhahaba alzzama’u wabtallatil ‘uruqu, wa thabata al-ajru in sha Allahi ta’ala,”.

Dalam doa tersebut mengandung ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat rezeki-Nya yang memungkinkan seseorang untuk berbuka puasa. Selain itu, doa ini juga mencerminkan rasa lega dan syukur atas hilangnya rasa haus setelah berbuka, serta keyakinan akan keberkahan dan pahala yang tetap teguh jika Allah menghendaki.

Dalam praktiknya, menyegerakan waktu berbuka dan membaca doa berbuka puasa sesaat setelah selesai berbuka menjadi bagian penting dalam menjalankan ibadah puasa dengan baik.

Ini merupakan bentuk ketaatan kepada ajaran Islam dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Dengan demikian, setiap individu yang menjalankan ibadah puasa diharapkan dapat mengikuti tuntunan yang benar dalam berbuka puasa, baik dalam hal waktu maupun doa yang dibacakan.

ISLAMKAFFAH

Salah Kaprah Masyarakat Indonesia Mengenai Takjil di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan adalah bulan suci umat Islam, umut Muslim di dunia pastinya menanti dan merindukan bulan istimewa ini dan akan merasa sedih dan kehilangan apabila bulan ini telah pergi.

Mengapa demikian? Sebab di bulan ini sangat banyak keutamaannya dan semua ibadah yang dilakukan akan bernilai pahala dan akan dilipatgandakan serta dihapuskan dosa-dosanya.

Ketika bulan Ramadan umat Islam tidak hanya melakukan ibadah-ibadah yang umumnya dilakukan di bulan selain Ramadan, tetapi biasanya umat Muslim melakukan tradisi yang tidak akan didapatkan di selain bulan Ramadan, diantaranya melakukan ngabuburit, buka Bersama, tadarus, tarawih, serta bagi-bagi makanan untuk berbuka puasa.

Ada satu yang menarik dari tradisi-tradisi yang dilakukan umat Muslim yaitu bagi-bagi makanan untuk berbuka, biasanya kegiatan ini di Indonesia dinamakan bagi-bagi takjil.

Sebenarnya penamakan takjil ini salah untuk menamakan makanan untuk berbuka jika dilihat dari akar katanya.

Jika lebih teliti lagi kata takjil berasal dari Bahasa Arab yaitu عَجَّلَ – يُعَجِّلُ dengan mashdar berupa تعجيل yang berarti menyegerakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil memiliki arti mempercepat dalam berbuka puasa. Berarti dalam konteks ini menyegerakan untuk berbuka puasa.

Akan tetapi, masyarakat Indonesia salah kaprah menamakan takjil sebagai sebutan makanan untuk berbuka puasa, dan hal ini sudah sangat melekat dalam tradisi Masyarakat Indonesia. Sebab, penamaan takjil sebagai sebutan makanan untuk berbuka bermula ketika agama Islam mulai tersebar di tanah Jawa oleh Walisongo.

Pada saat itu, Walisongo kerap menghidangkan kolak dari bahan dasar pisang, ubi jalar, dan gula merah. Seiring berjalannya waktu makanan tersebut divariaskan dengan berbagai macam makanan, seperti kolang kaling, ubi kayu, tapai, sampai Nangka. Sehingga kebiasaan dalam menyebut menu untuk berbuka puasa dengan yang manis-manis dengan sebutan takjil sampai saat ini.

Jadi, perlu diingat oleh semua masyarakat bahwa takjil merupakan ungkapan untuk menyegerkan berbuka puasa dengan sesuatu, bukan makanan yang manis-manis untuk berbuka puasa seperti kolak, kurma, dan sebagainya. Sehingga, jika asa pernyataan “Orang Arab bertakjil dengan kurma”, maka pengertiannya adalah mereka menyegerakan berbuka puasa dengan memakan kurma, bukan makanan untuk berbuka puasa itu kurma.

ISLAMKAFFAH

Perbanyaklah Berdoa di Bulan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan doa di mana saat ini doa begitu diperkenankan. Jadi perbanyaklah doa memohon setiap hajat kita, baik hajat dunia maupun akhirat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Ibnu Katsir menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan akan anjuran memperbanyak doa ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak doa tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 66).

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya doa. Namun doa itu mudah diijabahi jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya doa itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ” dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa, 14: 33-34).

Ramadhan adalah waktu terkabulnya doa dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10: 14) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jaami’ul Ahadits, 9: 224)

Tiga waktu yang bisa digunakan untuk memperbanyak doa:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758). Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur adalah  diijabahi (dikabulkan).” (Fathul Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Kata Imam Nawawi, “Disunnahkan orang yang berpuasa berdoa saat berpuasa dalam urusan akhirat dan dunianya, juga doa yang ia sukai, begitu pula doa kebaikan untuk kaum muslimin.”(Al Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16: 396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena saat itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194)

Semoga bermanfaat. Semoga Allah memperkenankan doa-doa kita di bulan Ramadhan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/21966-kajian-ramadhan-28-ramadhan-bulan-untuk-memperbanyak-doa.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Mensyukuri Karunia Allah Dalam Berpuasa

Dalam melakukan suatu amal ibadah, hendaknya seorang hamba menyadari akan besarnya karunia Allah terhadap dirinya. Sebab hanya dengan pertolongan dan taufik dari Allah, ia dapat melaksanakan ketaatan tersebut. Sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا۟ ۖ قُل لَّا تَمُنُّوا۟ عَلَىَّ إِسْلَٰمَكُم ۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ لِلْإِيمَٰنِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)

Di sisi lain, hendaknya ia juga menyadari betapa kurangnya ia dalam menghadirkan hati dan kekurangannya dalam menegakkan hak-hak Allah. Maka hanya karena kemurahan dan kebaikan dari Allah, ia mendapatkan ganjaran atas ibadahnya. Kecintaannya kepada Allah pun bertambah dan timbul rasa syukur yang terbalut dalam zikir dan pujian kepadaNya.

Keadaan inilah yang kebanyakan manusia terlupakan darinya, terutama di saat berpuasa dalam bulan Ramadan. Mereka terlalaikan dari syukur terhadap karunia Allah, padahal mereka bergelimang di atasnya. Dan di antara karunia tersebut ialah:

Nikmat Berjumpa Dengan Ramadan

Ramadan adalah bulan yang mulia nan penuh keberkahan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Salat lima waktu, salat Jumat ke salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa di antara keduanya jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Kemudahan Dalam Ibadah Puasa

Kemudahan ini meliputi tiga hal:

Pertama, berbilangnya hari-hari Ramadan yang kita diwajibkan berpuasa di dalamnya. Allah ta’ala berfirman,

‎أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Kedua, kemudahan dalam pelaksanaan puasa: waktunya singkat yaitu dari terbitnya fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari. Sebagaimana firman Allah,

وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Disunahkan juga bagi kita untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu aku dan keluargaku makan sahur menjelang masuk waktu subuh, sehingga begitu selesai sahur aku segera salat subuh berjamaah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari, no. 1920)

Dari Sahl bin Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Seseorang senantiasa dalam kebaikan apabila menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari, no. 1957)

Ketiga, diperbolehkannya kita untuk tidak berpuasa dalam keadaan-keadaan tertentu. Sebagaimana firman Allah,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ  فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Syaikh As Sa’di mengatakan, “Oleh karena itu, segala perkara yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hambaNya pada dasarnya adalah sangat mudah sekali, namun bila terjadi suatu rintangan yang menimbulkan kesulitan, maka Allah akan memudahkannya dengan kemudahan lain, yaitu dengan menggugurkannya atau menguranginya dengan segala bentuk pengurangan, dan hal ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dibahas perinciannya, karena perinciannya merupakan keseluruhan syariat dan termasuk di dalamnya segala macam keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan)

Anugerah Ilmu Tentang Tata Cara Berpuasa

Betapa banyak manusia yang beribadah namun ibadahnya tersebut tertolak atau malah mendatangkan kemurkaan Allah. Karena terluputnya mereka dari tata cara yang benar dalam melakukan ibadah tersebut. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَٰشِعَةٌ • عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ • تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً

“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyyah: 2-4)

Maka ketika kita dapat berpuasa di atas bashirah (pengetahuan) tentangnya, dengan tata cara yang benar dan tidak menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kita memuji Allah.

Pertolongan Allah Dalam Melaksanakan Puasa

Seandainya bukan karena pertolongan Allah, tentu kita tidak dapat melaksanakan ibadah kepadaNya. Dialah yang menggerakkan hati-hati kita untuk berpuasa dan memudahkan kita dalam menjalankannya. Menanamkan iman pada diri kita, pengharapan atas rahmatNya serta takut pada kemurkaanNya. Memberikan kita rezeki berupa kesehatan, kesempatan dan kelapangan untuk dapat sahur dan berbuka.

Salah satu doa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan,

‎اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah tolonglah diriku untuk selalu mengingatMu, bersyukur kepadaMu dan memperbagus ibadah kepadaMu.”

Pahala yang Dilipatgandakan

Di antara amalan yang agung adalah puasa; padanya terdapat keutamaan dan bagi seorang yang mengerjakannya pahala yang tak terbatas, di mana hanya Allah yang mengetahuinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, maka orang yang sedang berpuasa janganlah berkata-kata keji dan berbuat seperti orang yang tidak tahu (agama). Jika seseorang mengajaknya berkelahi atau orang itu memaki-makinya, maka hendaklah ia mengucapkan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ sebanyak dua kali. Demi Allah, yang diriku berada dalam genggamanNya! Sungguh mulut orang yang berpuasa itu disisi Allah lebih harum dari minyak kasturi. Allah berfirman, ‘Ia (orang yang berpuasa itu) sengaja tidak makan, minum dan melepaskan syahwatnya semata-mata karenaKu. Puasa itu adalah untukKu, dan Akulah yang (langsung) membalasnya.’ Sedangkan setiap kebaikan itu balasannya adalah sepuluh kali lipat.” (HR. Bukhari, no. 1894)

Terlebih lagi di bulan Ramadan, pahala dan keutamaan berpuasa di dalamnya lebih agung dan lebih besar. Sebab terkumpul padanya dua kemuliaan: kemuliaan ibadah puasa dan kemuliaan bulan Ramadan itu sendiri.

Maka segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin.

Penulis: Annisa Auraliansa

Sumber: https://muslimah.or.id/17664-mensyukuri-karunia-allah-dalam-berpuasa.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Menilik Kembali Kata “Semesta”

Belakangan ini, kata semesta kerap kali digunakan untuk sebuah kutipan mutiara. Sebagai pemanis, digunakanlah kata semesta agar tulisan dan kutipan tersebut terlihat indah, serta memiliki makna yang tersirat. Tentunya, kita harus mengetahui tentang makna yang tersirat pada penggunaan kata semesta, agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memahami. Hanya karena terlihat untaian tersebut bagus dan dilontarkan oleh orang yang masyhur akan kata-kata mutiaranya.

“Semesta mengetahui tentang apa yang saya rasa selama ini.”

“Biarlah semesta yang mengatur segalanya, sesuai kehendaknya.”

“Semesta sebetulnya sama saja seperti hati manusia, tidak dapat kita kira.”

Ini di antara bentuk contoh kalimatnya, dan masih banyak lagi contoh-contoh untaian kata yang lainnya. Dengan kata semesta, seolah kutipan ataupun rangkaian kalimat itu terdapat cita rasa yang spesial. Sehingga, kutipan tersebut seolah memiliki makna yang kuat ketika disandarkan kepada semesta. Oleh karena itu, kata semesta yang dijadikan sebagai sandaran dalam sebuah untaian kata mutiara ini, perlu ditinjau kembali penggunaannya. Bagaimana tinjauan dari segi syariat? Apakah bisa kita menggunakannya? Atau justru kalimat tersebut harus kita hindari?

Tinjauan dari segi bahasa Indonesia (KBBI)

Kalau kita melihat KBBI, kata semesta diartikan dengan: seluruh; segenap; semuanya. Ini merupakan asal arti yang sebenarnya dari kata semesta, yaitu menunjukkan akan keseluruhan, segenap, dan semuanya. Adapun contoh dari asal arti semesta, “Hidupku adalah petualangan yang mengembara melintasi semesta waktu.”

Dalam contoh di atas, tidak terlihat adanya permasalahan secara makna. Karena kata semesta di atas tidak dijadikan sebagai subjek (pelaku). Kata semesta pada kalimat di atas justru menjadi objek yang tidak berdiri sendiri karena disandarkan dengan waktu. Untuk yang seperti ini, maka tidak ada masalah.

Yang dikritisi pada tulisan ini adalah tentang kata semesta yang menjadi subjek (pelaku) dan kata semesta yang dijadikan sebagai majas metafora [1] untuk menjadikan semesta yang seolah melakukan suatu hal. Seperti ketiga contoh yang telah disebutkan di awal.

Tinjauan dari segi arti atau makna

Sekali lagi, pembahasan di sini adalah dari segi makna pada kata semesta, yaitu ketika kata tersebut menjadi subjek (pelaku) ataupun yang berupa majas metafora dan bukan sebagai objek. Karena inilah yang menjadi sorotan pembahasan pada tulisan ini.

Kata semesta digunakan sebagai penafian dari Tuhan/Allah

Jika maksud dari kata semesta digunakan untuk menafikan Tuhan, tentu ini adalah keyakinan yang sangat batil dan keliru. Sebagai contoh, “Begitu indahnya semesta menciptakan segalanya.” Dalam kalimat ini, semesta menjadi subjek. Jika ini yang dimaksud secara zahirnya, maka tentu ini keyakinan yang batil. Karena segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakan, dan yang menciptakan adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Berikut ini, di antara dalil-dalil bahwasanya segala yang ada, Allah yang menciptakannya dan Allahlah sesembahan yang Maha Esa. Allah Ta’ala berfirman,

أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَىۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ

Apakah mereka diciptakan tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).” (QS. Ath-Thur: 35)

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ۖ قَالُواْ بَلَىٰ‌ۛ شَهِدۡنَآ‌ۛ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-‘Araf: 172)

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ۬ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ’Arsy.” (QS. As-Sajdah: 3)

Inilah di antara dalil-dalil akan adanya pencipta, yaitu Allah Ta’ala. Bahkan, secara akal pun, fitrah manusia menuntun akan adanya pencipta alam semesta ini. Dalam sebuah syair dikatakan,

فَيَا عَجَباَ كَيْـــفَ يُعْصَى الإِلَــــــ         ـهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الجَاحِدُ

وَفِي كُــــــــــــلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَـــةٌ         تَدُلُّ عَلَـــــى أَنـَّــهُ وَاحِـــــدٌ

Sungguh menakjubkan, bagaimana Allah dimaksiati

Atau mengapa bisa orang kafir mengingkari (adanya) Allah?

Sedangkan pada segala sesuatu terdapat bukti (yang nyata)

Yang menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Esa.[2]

Maka, tidak mungkin ada makhluk yang dapat menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi, kecuali Allah. Sehingga, kata semesta yang disandarkan kepada penciptaan harus dihindari.

Kata semesta digunakan sebagai alias dari Tuhan/Allah

Seperti contohnya “Biarlah semesta yang mengatur segalanya, sesuai kehendaknya.” Sungguh, kalimat ini dapat dinilai secara zahirnya bahwa ini keliru. Karena yang mengatur alam semesta adalah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يَعۡرُجُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ۬ كَانَ مِقۡدَارُهُ ۥۤ أَلۡفَ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah: 4)

Menggantikan nama Allah dengan makhluk

Perlu diketahui, bahwa mengaliaskan atau menggantikan nama Allah pada sebuah kalimat dengan kata semesta sama saja menyamakan Allah dengan makhluk. Karena semesta adalah makhluk Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (wafat th. 1206 H) menyebutkan kaidah yang sangat bagus dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah,

كُلُّ مَا سِوَى اللهِ عَالَمٌ

Segala sesuatu selain dari Allah Ta’ala adalah alam (makhluk).[3]

Dari kaidah ini, dapat kita tentukan bahwa apapun selain dari Allah Ta’ala adalah makhluk. Termasuk semesta, sehingga tidak bisa menggantikan kedudukan Allah Ta’ala walau hanya untuk kata hiasan semata.

Menamakan Allah dengan semesta

Penggunaan kata semesta pada hal ini pun keliru. Karena seolah-olah menamakan Allah dengan kata semesta. Dan tidak boleh bagi seorang pun untuk menamakan Allah, selain dengan nama-nama-Nya. Karena nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah tauqifiyyah (terlarang sampai datangnya dalil).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (wafat th.1421 H) meletakkan kaidah dalam kitabnya Al-Qawa’idul Mutsla,

أَسْمَاءُ اللهِ تَعَالى تَوْقِيْفِيَّةٌ لاَ مَجَالَ لِلْعَقْلِ فِيْهَا

Nama-nama Allah Ta’ala sifatnya tauqifiyyah tidak ada ruang bagi akal untuk membuat-buatnya.” [4]

Menyandarkan perbuatan yang khusus bagi Allah kepada makhluk

Menyandarkan perbuatan kekhususan bagi Allah kepada makhluk termasuk perkara yang dilarang dalam agama kita, bahkan termasuk dari kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pada suatu hari mendirikan salat di Hudaibiyah bersama para sahabat selepas hujan pada malam tersebut. Setelah selesai salat, beliau menghadap kepada para sahabat seraya berkata,

هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Tahukah kamu apa yang telah difirmankan oleh Rabbmu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu, beliau bersabda, “Allah berfirman, ‘Di antara hamba-hamba-Ku, ada yang menjadi orang yang beriman dan ada yang kafir. Maka, barangsiapa yang mengatakan, ‘Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah’, maka orang itu beriman kepada-Ku dan tidak beriman terhadap bintang-bintang. Sebaliknya, orang yang berkata, ‘Kita diberi hujan oleh bintang ini atau bintang itu, maka orang tersebut kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’[5]

Pada hadis di atas, Allah menyebutkan bahwa ada orang-orang yang mereka menyandarkan hujan kepada suatu bintang. Padahal, hujan diturunkan oleh Allah Ta’ala. Sehingga Allah menyebutkan bahwa orang tersebut kafir terhadap Allah Ta’ala. Adapun orang beriman, mereka menyandarkan hanya kepada Allah saja.

Dari sini, terlihat jelas bahwa penggunaan kata semesta tidak bisa menggantikan Allah dan bukan termasuk nama di antara nama-nama Allah, dan tidak bisa disandarkan kepada perbuatan yang menjadi kekhususan bagi Allah semata. Oleh karena itu, kata-kata ini semestinya dihindari, walaupun tidak bermaksud menuju kepada hal tersebut.

Kata semesta digunakan sebagai alias dari kata takdir

Terkadang kata semesta ini bisa diartikan pula sebagai alias dari takdir. Seperti “Semesta ini tidak bisa kita kira akan datangnya. Kita hanya dituntut untuk mengimaninya saja.” Karena takdir pun tidak bisa kita kira akan hadirnya, dan wajib kita untuk mengimani takdir yang baik maupun yang buruk.

Jika kata semesta pada suatu kalimat yang bermakna takdir membawa kepada hal positif, seperti kalimat di atas, maka tidak mengapa. Namun, jika kalimat tersebut membawa kepada hal negatif yang justru dalam bentuk mencela takdir, maka ini tidak diperbolehkan.

Namun, alangkah baiknya kata semesta dalam hal ini pun dihindari. Karena, bisa jadi, hal ini menjadi salah penafsiran bagi pembacanya. Tentu maksud dari kata-kata yang indah adalah agar multitafsir, akan tetapi tentunya multitafsir yang tidak harus melanggar syariat.

Kesimpulan

Pertama: Kata semesta yang harus dihindari dalam sebuah kalimat adalah yang dijadikan sebagai subjek. Sehingga disandarkan padanya perbuatan, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, membuat senang, mengatur waktu, dan lain sebagainya. Tentunya ini adalah kekhususan Allah Ta’ala. Sehingga, semesta yang di mana ia sebagai makhluk, tidak dapat menggantikan seluruh perbuatan yang dikhususkan kepada Allah Ta’ala

Kedua: Pada pembahasan ini terdapat pemurnian tauhid walau hanya dari sebatas kata. Tentunya sebagai seorang muslim, kita harus hati-hati dan menghindarkan segala hal yang dapat mencacati tauhid seorang hamba kepada Rabbnya.

Ketiga: Penggunaan kata semesta dalam bentuk objek tidak mengapa untuk digunakan. Seperti contohnya “Cantikmu bagaikan semesta.”

Keempat: Sebaiknya kata semesta ini dihindari agar tidak terjadi salah paham dalam menafsirkannya kendati untuk menghias sebuah kalimat. Masih banyak kalimat yang bisa digunakan selain kata semesta ini.

Wabillahit Taufiq.

***

Depok, 9 Sya’ban 1445 H / 19 Februari 2024 M

Penulis: Zia Abdurrofi

Sumber: https://muslim.or.id/92191-menilik-kembali-kata-semesta.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Inilah Amalan Ringan Berpahala Besar Saat Berpuasa Menurut Syaikh Ali Jum’ah

Bulan suci Ramadhan menjadi masa yang sangat istimewa bagi umat Islam. Berbagai keutamaan ada dalam bulan suci ini, mulai dari dilipatgandakannya pahala, dibelenggunya setan, dibukanya pintu surga hingga malam yang dinilai lebih baik dari seribu bulan.

Umat Islam pada bulan puasa berupaya untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala dengan melakukan berbagai amalan sunnah dan memperbanyak amal kebaikan seperti sholat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran, hingga bersedekah.

Namun, bagaimana mereka yang tak mampu melakukan semua itu lantaran tidak memiliki waktu atau disibukkan dengan berbagai masalah kehidupan? Syaikh Ali Jum’ah, ulama yang pernah menjadi Mufti Agung Mesir, mengungkapkan satu amalan yang ringan dan mudah dilakukan tetapi berpahala besar saat dilakukan di bulan Ramadhan.

Amalan tersebut disampaikan Syaikh Ali Jum’ah menjawab sebuah pertanyaan seorang pria. Pria tersebut merasa sedih karena setelah memiliki anak ia tak lagi dapat melakukan ibadah sunnah yang sebelumnya rutin ia lakukan setiap Ramadhan dan hanya bisa melakukan ibadah wajib saja.

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, mendidik anak juga merupakan ibadah dan berpahala besar. Lantas amalan apa yang secara khusus dapat dilakukan saat berpuasa? Dzikir, jawab Syaikh Ali Jum’ah.

“Allah telah mengajarkan kita dzikir. Dan mengajarkan kita sepuluh kalimat baik yang perlu kita perbanyak,” kata Syaikh Ali Jum’ah dalam video yang dilihat Hidayatullah.com.

Kalimat atau dzikir tersebut adalah “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaha Illa Allah, Allahu Akbar, Laa Haula wala Quwata ilaa billah.”

Kelima kalimat ini merupakan al-bâqiyat ash-shâlihât yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi ayat ke-46.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh (al-bâqiyat ash-shâlihât) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Selain itu, Syaikh Ali Jumah juga menyebut ada 2 kalimat yang ringan di lisan (diucapkan) namun berpahala besar yakni “Subhanallah wa bihamdihi, subhanallahil adzim.”

Sementara sisanya yakni “Astagfirullah, Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Hasbunallah wa ni’mal wakil, Tawakaltu ‘ala Allah, serta sholawat dan salam pada Rasulullah SAW.”

Inilah sepuluh kalimat baik yang mudah bagi lisan, ringan bagi manusia namun berat di timbangan amal (mizan) menurut Syaikh Ali Jum’ah.*

HIDAYATULLAH