orang kaya

Kaya

ISTILAH Istilah “ghoniyyun” (غَنِيٌّ) atau “ghinaa” (غِنَى) biasanya diterjemahkan “kaya”. Terjemah ini tidak persis tepat, karena “kaya” dalam bahasa Indonesia berarti mempunyai banyak harta, sementara dalam Bahasa Arab berbeda.

Makna asli “ghoniyyun” atau “ghina” adalah cukup dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan kepada selainnya. Ini sebetulnya lebih bersifat psikis atau sikap mental, bukan fenomena fisik-material. Wanita yang sangat cantik disebut “ghoniyah” (غانية), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak memerlukan perhiasan. Suara nyanyian yang sangat merdu disebut “ghinaa’” (غناء), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak butuh apa-apa lagi untuk memperindahnya.

Alhasil, makna “ghinaa” dan “ghoniyyun” bukan kaya sebagaimana dimengerti dalam bahasa Indonesia. Makna yang lebih tepat adalah mandiri, tidak menjadi beban dan kerepotan orang lain, merdeka.

Orang yang “ghoniy” bisa jadi tidak berharta banyak, tapi ia tidak membebani siapa pun bahkan bisa berkontribusi untuk orang lain. Sebaliknya, ada orang berharta banyak namun sebenarnya tidak “ghoniy”, sehingga pelit dan tidak memiliki sumbangsih bagi umat.

Maka, di antara nama-nama Allah adalah “al-ghoniyyu” (الغني), yakni Dzat yang mandiri, cukup dengan diri-Nya, tidak butuh kepada selain-Nya. Bahkan, Dia bisa mencukupi yang lain. Sebaliknya, ketika manusia “merasa tidak butuh kepada Allah”, ia menjadi tercela. Perasaan ini akan mengantarkannya kepada tindakan-tindakan liar, tak terkendali, melampaui batas kewajaran.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ . أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ

Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas; karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Qs al-‘Alaq: 6-7)

Dalam surah ‘Abasa: 5, istilah serupa juga digunakan dan merujuk kepada sikap sombong, tidak membutuhkan hidayah, atau merasa sudah benar. Meski banyaknya harta juga bisa berkontribusi pada munculnya sikap tertipu (ghurur) tsb, namun kata ini — dalam ayat-ayat ini — sesungguhnya lebih menunjuk kepada sikap mental ketika berhadapan dengan bimbingan agama.

Untuk itu pula, ketika Rasulullah dan para ulama memperingatkan kita dari bahaya “al-maal” (المال), titik tekannya ada pada potensi ketertipuan itu, bukan pada manfaat harta yang sudah dimaklumi. Sebenarnya, jiwa kita memang teramat rapuh ketika berhadapan dengan pesona harta, wanita, dan tahta.

Lawan dari “ghoniy” adalah “faqir” (فقير), artinya membutuhkan. Oleh karena itu, dalam Al-Quran dinyatakan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Artinya: “Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Qs Fathir: 15)

Kekayaan berupa banyaknya harta memang bisa menjadikan seseorang merasa cukup dengan dirinya sendiri. Namun, banyaknya harta yang diiringi ketamakan, sebenarnya adalah hakikat kefakiran itu sendiri.

Faktanya, harta itu tidak bisa menutupi rasa butuhnya yang terus menganga, tidak terpuaskan, sehingga terus-menerus mengejar tambahan. Demikianlah, karena makna dasar “faqir” sesungguhnya adalah “adanya celah terbuka yang membutuhkan penambal”.

Maka, jangan meminta dan berharap menjadi “orang kaya”, sebab ini hanya tampilan fisik-material. Jadilah “ghoniyyun“, orang-orang mandiri, bisa mencukupi diri sendiri, tidak menjadi beban orang lain, dan bahkan berkontribusi untuk umat. Betapa banyak orang kaya, tapi hatinya faqir, tidak ghoniy. Ia terus-menerus haus dan tidak kunjung puas. Jiwanya dikepung hasrat tak terperi, sementara tubuhnya lelah mengejar angan-angan kosong. Tangannya rapat menggenggam, tidak mau berinfak, sebab hatinya masih merasa kurang.

Umat Islam harus “ghoniy”, ini ucapan yang benar. Tapi, kalau “umat Islam harus kaya”, ini hanya tipu daya syetan yang sangat halus dan menggelincirkan; apalagi jika “istaghna”, merasa tidak butuh kepada Allah dan cukup dengan kekuatannya sendiri. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar, pengasuh Pesantren Hidayatullah Arrahmah Malang

HIDAYATULLAH