Khaulah binti Tsalabah tercatat sebagai perempuan pemberani. Tak tanggung-tanggung, dia pernah menasihati Umar bin Khattab, khalifah kedua kaum Muslimin yang membuat takut jin dan setan.
Imam Al Qurthubi menceritakan pada suatu hari, Amirul Mukminin pernah berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda. Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti.
Dinasihatilah Umar oleh perempuan itu. Ia berkata, “Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa.”
Umar yang terkenal karena ketegasannya menyimak nasihat wanita itu sambil berdiri. Setelah beberapa waktu, ada seorang yang bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau mau berdiri seperti itu untuk mendengarkan wanita tua renta ini?” Umar pun menjawab, “Demi Allah, kalau sekiranya beliau menahanku dari permulaan siang hingga akhir siang, aku tidak akan bergeser kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan renta ini?”
“Dia adalah Khaulah binti Tsalabah. Allah mendengar perkataannya dari atas tujuh langit. Apakah Tuhan seluruh alam mendengarkan ucapannya, tetapi lantas Umar tidak mendengarkannya?”
Suara Perempuan pun Didengar dalam Islam
Khaulah binti Tsa’labah berasal dari kalangan perempuan Anshar. Doa dan gugatannya didengar oleh Allah hingga menjadi sebab turunnya surah Mujadalah ayat 1-4. Kisah ini bukan hanya menunjukkan kemuliaan Khaulah, melainkan juga keindahan adab Umar, sang khalifah.
Kisah Khaulah menjadi satu dalil penguat bahwa tidak benar perempuan dilarang bersuara di dalam Islam. Kelantangan Khaulah yang menasihati Umar menjadi justifikasi bahwa perempuan pun bisa berkontribusi di dalam kehidupan sosial dengan mengingatkan seorang presiden.
Yusuf Qardhawi dalam Fikih Kontemporer menjelaskan, sebagai manusia, perempuan juga diwajibkan melakukan ibadah kepada Allah dan menegakkan agamaNya. Menunaikan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang diharamkanNya.
Semua firman Allah dalam Alquran juga ditunjukkan bagi kaum perempuan. Terkecuali ada dalil-dalil tertentu yang mengkhususkannya untuk lakilaki.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, yakni mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah serta RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah…“. (QS atTaubah: 71).
Lantas, bagaimana dengan demonstrasi? Apakah Muslimah dibolehkan untuk ikut serta menyampaikan pendapat di muka umum? Termasuk dalam aksi unjuk rasa Bela Alquran pada 4 November yang digelar di Jakarta.
Para ulama memang berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya berunjuk rasa. Ada golongan yang mengharamkan karena cara-cara ini tak sesuai dengan etika saling menasihati yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sementara golongan lainnya, membolehkan karena bagian dari menegakkan kebenaran dan keadilan.
Harus Menutup Aurat
Lepas dari masalah khilafiyah tersebut, batas-batas para Muslimah keluar rumah dan tampil di publik diatur oleh Islam. Aturan ini diterapkan tiada lain demi menjaga kehormatan Muslimah itu sendiri.
Penulis buku-buku fikih asal Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada beberapa kriteria seorang Muslimah untuk ikut demonstrasi. Pertama, menutup aurat dengan sempurna sesuai apa yang diwajibkan dalam Alquran.
Aurat muslimah yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Muslimah pun tetap menjaga agar tidak terjadi ikhtilath atau tidak bercampur baur dengan kelompok lelaki.
Sebagaimana wanita dibolehkan keluar rumah pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dengan lakilaki. Namun, di dalam masjid barisan mereka dipisahkan. Tidak boleh laki-laki dan wanita berada di dalam saf yang sama.
Muslimah juga harus mendapat izin dari orang tua atau suami sebelum melakukan demonstrasi. Jangan sampai aktivitas demo yang tujuannya untuk menegakkan Islam, tetapi para wanita yang ikut demo keluar rumah tanpa izin dari orang tua atau suaminya. Tentu saja hal ini malah terbalik dan justru melecehkan adab Islam.
Tugas dan amanah utama Muslimah pun jangan sampai telantar. Buat para istri, misalnya, tugas utama mereka adalah mendampingi dan mengasuh anak.
Tugas ini sangat mulia dan sangat manusiawi. Akan menjadi pertanyaan besar bila ibu-ibu asyik berdemo di jalanan, sementara anak-anak mereka telantar ditinggal bersama pembantu.