Darah terus mengalir di Bumi Suriah. Negeri beribukota Damaskus ini sejak Maret 2011, menjadi medan pertempuran.
Harian The New York Times, memperkirakan jumlah korban konflik bersenjata di Suriah sejak Maret 2011, lebih dari 200.000 jiwa. Sedangkan lembaga Syrian Observatory for Human Rights,memperkirakan 10.808 anak-anak dan 7.000 wanita menjadi korban konflik. Jumlah total pengungsi Suriah mencapai 12 juta jiwa. Dan demi meraih rasa aman, 4,2 juta penduduk Suriah, diantara mereka mengungsi hingga ke 42 negara. Mayoritas Rakyat Suriah, mengungsi dengan perahu dan kapal, menuju wilayah Eropa. Sehingga, rakyat Suriah merupakan negara dengan jumlah “manusia perahu” terbesar di Eropa.
United Nations High Comissioner for Refugess (UNHCR) merilis data, dana yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan seluruh pengungsi asal Suriah, mencapai 4,5 juta Dollar Amerika, atau sekitar 58 Trilyun Rupiah.
PBB merilis data, di bulan Maret 2015, 4 dari 5 (80%) rakyat Suriah berada dalam kemiskinan. Dan, semenjak awal perang, total kehancuran ekonomi Suriah mencapai 202 milyar Dollar Amerika Serikat, atau sekitar 2.626 Trilyun rupiah.
Sistem pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial di Suriah telah hancur akibat perang. Secara keseluruhan, 12.2 juta jiwa membutuhkan bantuan sosial, dimana 5.6 juta jiwa diantaranya adalah anak anak. Lebih dari 50% Rakyat Suriah tidak bekerja.
World Health Organization, (WHO) merilis data 57% fasilitas kesehatan Suriah hancur. Suriah kembali harus berjuang mengatasi wabah polio. Aleppo, menjadi salah satu gambaran, krisis kemanusian di Suriah. Sebelum terjadi perang, di kota ini, terdapat lebih dari 2.500 dokter. Namun, di bulan Maret 2015, menurut lembaga kemanusiaan Medisins Sans Frontier, jumlah dokter yang ada kurang dari 100 orang saja.
Di tahun 2010, sebelum perang meletus, Suriah memiliki angka harapan hidup sebesar 75.9 tahun. Namun setelah perang melanda, angka tersebut menurun drastis. Angka harapan hidup di Suriah di saat ini adalah 55.7 tahun. 56% fasilitas pembangkit listrik Suriah hancur, sehingga 83% wilayah Suriah tidak memiliki akses terhadap listrik. Lebih 4.000 sekolah hancur, sehingga hampir 3 juta anak anak Suriah, tidak bersekolah.
Hancurnya fasilitas publik berdampak pada mundurnya proses pembangunan di Suriah. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menyatakan, Suriah mengalami kemunduran pembangunan hingga 40 tahun.
Saat ini, wilayah Suriah mulai memasuki musim dingin. Para pengungsi tidak hanya berlindung dari rentetan tembakan dan dentuman bom. Tapi juga dinginnya suhu, yang menembus tulang. Dalam catatan Syiria Care, sebuah organisasi kemanusian nirlaba, kebutuhan pangan dan penghangat bagi pengungsi per orang selama satu bulan adalah 1.122.000 rupiah.
Sementara itu, di wilayah kedaulatan Palestina, invasi militer Zionis Israel ke Gaza Palestina semenjak bulan Juli 2014 telah menewaskan sekitar 1.880 korban jiwa. Dimana 68% korban jiwa, adalah anak-anak dan wanita. Data ini, sesuai dengan rilis United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA).
Di bulan ini, juga pecah konflik di kawasan suci Masjidil Al Aqsha. Pemerintah Israel melanggar batas damai, dengan cara masuk dan menyerang warga muslim Palestina di dalam kompleks Al Aqsha. Akibatnya, terjadi perlawanan, antara pejuang sipil muslim melawan zionisme Israel yang dikenal dengan sebutan intifada.
Menurut situs infopalestina.com, hingga 31 Oktober 2015, 1.520 pejuang muslim ditangkap pihak keamanaan Israel. Bahkan zionis Israel turut menyerang wanita muslim Palestina. Saat ini, ada 40 muslimah yang mendekam di tahanan Israel. Dan, 4 diantaranya ditawan di rumah sakit, karena perawatan akibat luka tembakan.
Konflik Suriah dan Palestina, sejatinya menjadi duka bagi 1.6 milyar muslim di seluruh dunia. Suriah, dan Palestina, bersama Yordania, Lebanon, serta sebagian wilayah Iraq, menjadi satu kesatuan wilayah yang bernama Syam. Syam merupakan negeri para nabi. Syam menjadi lokasi dakwah Nabi Ibrahim, Ishaq, Yaqub hingga Isa as.
Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda, Syam adalah negeri yang penduduknya terlindung oleh bentangan sayap para malaikat. Lebih lanjut, Rasulullah SAW juga menjamin keshalehan serta kesempurnaan akhlaq penduduk Syam. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tak tersisa kebaikan di tengah kalian. Akan selalu ada satu kelompok dari umatku, yang dimenangkan oleh Allah Tak terpengaruh orang yang menggembosi, dan tidak pula orang yang berseberangan. Hingga datang hari kiamat.”
Bangsa Indonesia, seharusnya tidak berdiam diri atas konflik di wilayah Syam. Karena Syam, juga merupakan tanah suci, sebagaimana Mekkah dan Madinah. Duka dari negeri Syam, bisa dihapus dengan do’a. Dan sumbangsih materiil juga tidak kalah penting. Dalam Islam, perjuangan untuk menegakkan kebenaran, selalu diawali dari sedekah, atau jihad harta. Dan, sasaran jihad harta terbaik dari muslim Indonesia, selain untuk mengatasi kemiskinan dan bencana dalam negeri, adalah warga Syam, khususnya di Suriah dan Palestina.
Kepedulian atas Syam, harus menjadi fokus utama Indonesia, dalam upaya menjaga ketertiban dunia. Inilah salah satu tujuan bernegara, yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 (UUD ’45). Begitupula seluruh rakyat Indonesia, utamanya yang beragama Islam. Duka Syam, seharusnya disikapi sebagai bencana bagi seluruh umat muslim Indonesia. Karena mereka adalah saudara kita.
Peduli Syam menjadi bagian dari sunnah. Karena Nabi SAW mengibaratkan seluruh umat muslim bagaikan satu tubuh. Jika ada satu bagian yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Tidak ada yang lebih berharga dari penduduk Syam, kecuali Do’a dan Cinta dari saudara muslimnya, dari negeri yang bernama, Indonesia. [AW]