TADI siang setelah shalat Jum’at saya diundang Pemprop Jawa Timur untuk berbicara di hadapan para atasan agar supaya bersedia dan mampu mengajak bawahannya untuk memiliki karakter shalih ritual dan shalih sosial. Ada kesadaran memuncak di kalangan pejabat teras bahwa mengubah perilaku yang kurang aktif dan produktif menjadi aktif dan produktif tak akan berhasil sempurna tanpa perbaikan modal dasar bernama potensi spiritual.
Sudah banyak kajian ilmiah yang menyimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan spiritual merupakan sarana paling cepat memulihkan segala jenis penyimpangan prilaku baik secara personal ataupun komunal dalam sebuah institusi, organisasi atau apapun namanya. Sayangnya, selama ini, urusan spiritual seringkali dipinggirkan. Kebanyakan orang adalah menuhankan kemampuan non-spiritual saja.
Mengawali presentasi saya, saya sampaikan bahwa tak perlu sombong, arogan, merasa jumawa karena menjadi atasan. Toh sesungguhnya atasan itu adalah bawahan dari yang lebih atas. Bersikaplah ramah dengan bawahan karena tanpa bawahan maka tak akan ada atasan. Menariknya, orang yang hanya memakai baju atasan tanpa bawahan akan dianggap porno dan saru. Sementara orang yang memakai pakaian bawagan tanpa atasan masih bisa dianggap normal.
Lalu, apa yang membenarkan atasan merasa lebih hebat dari bawahan? Apalagi jika semua bawahan melakukan class action ptotes dan menolak kebijakan atasan. Apa yang bisa dilakukan? Memecat? Ah, itu bukan cara bijak dan jantan. Cara terbijak dan terjantan adalah mampu menemukan solusi damai menyejukkan semua pihak.
Ini tentu saja membutuhkan seni memimpin, the art of leadership. Itu yang saya sampaikan tadi dengan merujuk pada penelitian dari Harvard, Cambridge, Chicago dan Sydney. Panjang sekali jika harus diposting di sini. Copy slide tersedia.
Seorang Bapak di pelosok Madura kaget ditelpon anaknya yang sudah lama tinggal di Jakarta tanpa kabar. Si anak berkata dengan bangga: “Bapak, maaf lama tidak telpon. Memang saya niat tak akan telpon sebelum menjadi siapa-siapa. Sekarang saya tak lagi menjadi bawahan. Sekarang sudah jadi atasan.” Dengan nada sedih lesu si Bapak menjawab: “Jangan bangga jadi atasan. Kamu tak tahukah bahwa harga bawahan lebih mahal ketimbang atasan?” Salam, AIM. [*]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2368362/sikap-atasan-pada-bawahan#sthash.ZWW36Hsv.dpuf