Dalam tulisan ini kata “musuh” sengaja menggunakan tanda petik, karena pada dasarnya Nabi Muhammad tidak pernah berharap memiliki atau berjumpa dengan musuh dalam arti “person/ orang” atau dalam bahasa Arab disebut “syakhsh”. Nabi membenci atau memusuhi seseorang bukan karena personnya, tapi karena tindakannya yang jahat atau zalim.
Nabi bermusuhan dengan orang-orang Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan yang lainnya bukan karena “Abu Jahal”, “Abu Lahab” atau “Abu Sufyannya”, tapi karena tindakannya yang memonopoli kekuasaan dan ekonomi Makkah, serta melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika Nabi Muhammad dimusuhi, dicaci maki, diusir, bahkan hendak dibunuh oleh orang-orang Quraisy, sementara para sahabat atau pengikut Nabi sudah tidak sabar untuk mengambil tindakan dengan melakukan perlawanan dan perang, Nabi justru memerintahkan sebaliknya, yakni bersabar. Kepada para sahabatnya, Nabi bersabda: “Janganlah kalian berharap bertemu musuh, apabila kalian bertemu dengannya maka bersabarlah (Lâ tatamannau liqâ`a al-‘aduw, wa idzâ laqîtumûhum fa-shbirû).” (Abû Zahrah, Khâtam an-Nabiyyîn, 1425 H: II, 515).
Ketika kondisi sudah tidak bisa dikompromi, yakni para “musuh” melakukan penyerangan fisik terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya, Nabi menghadapinya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan tidak merendahkannya sama sekali. Hal ini tercermin dalam doa yang dipanjatkan Nabi ketika hendak berperang. Doa itu berbunyi:
اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّهُمْ نَحْنُ عِبَادُكَ وَهُمْ عِبَادُكَ وَنَوَاصِيْنَا وَنَوَاصِيْهِمْ بِيَدِكَ اِهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ
“Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan mereka (para musuh), kami adalah hamba-Mu dan mereka juga hamba-Mu, kemenangan kami dan kemenangan mereka ada di tangan-Mu. Kalahkanlah mereka dan berilah kami pertolongan untuk mengalahkan mereka.” (Ath-Thabrânî, Ad-Du’â` li ath-Thabrânî, 1413 H: 327).
Dari doa ini setidaknya ada dua kata penting yang mencerminkan laku bijak atau al-akhlâq al-karîmah Nabi Muhammad Saw.
Pertama; kata “Rabbahum (Tuhan mereka para musuh)”. Nabi menyebutkan bahwa orang-orang yang memusuhinya adalah orang-orang yang memiliki Tuhan sebagaimana Nabi sendiri. Bagi Nabi, semua orang yang berperilaku baik maupun buruk sama-sama memiliki Tuhan, dan Tuhannya pun sama, hanya pemahaman atas ketuhanannya yang berbeda. Di sini Nabi tidak mengatakan para musuhnya sebagai orang yang tak bertuhan atau sebutan lain yang bernada merendahkan agama lawan.
Kedua; kata “ibâduka (hamba-hamba-Mu)”. Nabi menyebut para musuhnya yang mencaci maki, mengusir, dan hendak membunuh dengan sebutan sebagaimana untuk dirinya sendiri dan para sahabatnya, yakni “hamba Tuhan” (Kami adalah “hamba-hamba-Mu” dan mereka juga “hamba-hamba-Mu”/ Nahnu ‘ibâduka wa hum ‘ibâduka). Nabi tidak menamai musuh-musuhnya dengan sebutan-sebutan yang menista seperti “hamba setan” atau istilah yang mengandung makna merendahkan lainnya.
Menamai “musuh” dengan sebutan sebagaimana untuk Nabi sendiri dan sahabatnya tidak hanya di dalam doa hendak perang, dalam doa yang dipanjatkan dalam shalat malam (tahajud) juga Nabi menyebutkan bahwa semua umat manusia adalah bersaudara. Doa itu berbunyi:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ الْعِبَادَ كُلَّهُمْ إِخْوَةٌ
“Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bawa Engkau adalah Tuhan yang tiada Tuhan selain Engkau, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya semua hamba bersaudara.” (Huwaidi, Muwâthinûn Lâ Dzimmiyyûn, 1999: 84-85).
Doa ini disampaikan dari relung hati terdalam dengan penuh ketulusan dan kekhusyukan. Nabi bersaksi bahwa semua hamba, semua umat manusia dengan segenap perbedaan di dalamnya, baik perbedaan agama, suku, orang-orang yang memusuhi maupun yang mengikuti, semuanya adalah bersaudara.
Sikap Nabi terhadap “musuh-musuhnya” yang tidak pernah merendahkan bagian dari akhlaknya yang sangat terpuji sebagaimana sabdanya yang menyatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak (Innamâ bu’itstu li utammima makârima al-akhlâq). Sikap Nabi demikian diperintahkan oleh Allah dalam al-Quran supaya diteladani umatnya. Karena itu meski sejatinya manusia tidak boleh mengadakan permusuhan, namun jika terpaksa memiliki “musuh” maka tidak boleh diperlakukan secara kasar dengan menista martabatnya sebagai manusia seperti menyebutnya dengan “kotoran anjing” atau “kutil babi”.
Khoirul Anwar
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang