ADA yang bertanya soal ide agar tokoh agama tidak menyalatkan koruptor. Menurut saya, sebagaimana di bawah ini.
Koruptor yang belum bertobat dan tidak mengembalikan hasil korupsinya sampai meninggal dunia, berarti mati dalam keadaan membawa dosa besar. Meskipun dosa besar, namun tindak korupsi tidak menyebabkan pelakunya jadi kafir. Artinya, jenazahnya tetap disikapi sebagai jenazah muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Selama dia muslim, dia mendapat hak untuk dihargai sebagai muslim.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpesan,
“Kewajiban seorang muslim kepada muslim yang lain, ada enam.”Para sahabat bertanya, Apa saja itu, Ya Rasulullah?
Beliau sebutkan dengan rinci, diantaranya,
“Apabila sakit, mereka menjenguknya dan apabila meninggal, harus diantarkan jenazahnya. (HR. Ahmad 9080 dan Muslim 5778).
Tokoh agama tak ikut menyalatkan
Meskipun demikian, bukan berarti setiap orang dianjurkan menyalatkan jenazahnya. Karena koruptor yang mati dan belum bertobat, dia berhak mendapatkan hukuman sosial. Hukuman dalam bentuk jenazahnya tidak disalati oleh tokoh agama dan setiap orang yang diharapkan doanya.
Bukan karena mereka kafir, namun sebagai peringatan bagi masyarakat lainnya, bahwa orang semacam ini tidak dishalatkanoleh mereka yang diharapkan doanya.
Imam an-Nawawi menukil riwayat dari Imam Malik,
“Dari Imam Malik dan yang lainnya, bahwa pemuka masyarakat selayaknya menghindari shalat jenazah yang mati karena hukuman had. Dan tokoh agama, tidak boleh menshalati orang fasik, sebagai peringatan bagi mereka. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 7/47)
Hukuman sosial semacam ini, pernah diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada koruptor di masa beliau.
Sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu anhu menceritakan,
Ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang meninggal pada peristiwa Khaibar.
Merekapun berharap agar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mensalati jenazahnya. Namun beliau tidak berkenan mensalatkannya. Beliau justru menyuruh kami, “Salatkan teman kalian.”
Wajah para sahabat spontan berubah karena sikap beliau.Di tengah kesedihan yang menyelimuti mereka, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan alasannya,
“Teman kalian ini melakukan korupsi saat jihad fi sabilillah.”
Kami pun memeriksa barang bawaannya, ternyata dia mengambil manik-manik milik orang Yahudi (hasil perang Khaibar), yang nilainya kurang dari dua dirham. (HR. an-Nasai 1959, Abu Daud 2710, Ibnu Majah 2848, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Ada beberapa pelajaran dari hadis ini. Pertama, orang yang mati dalam kondisi suul khatimah, disarankan agar tokoh agama tidak turut mensalati jenazahnya. Sebagai hukuman sosial baginya, dan memberikan efek jera bagi masyarakat lainnya. Betapa sedih pihak keluarga, ketika jenazah sang ayah tidak disalati tokoh agama dan orang saleh yang diharapkan doanya.
Kedua, orang yang mati suul khotimah statusnya masih muslim. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap menyuruh para sahabat untuk mensalati jenazah orang ini. Sekalipun beliau tidak mau mensalatkannya.
Ketiga, sekecil apapun korupsi, tetap korupsi. Manik-manik seharga dua dirham, nilai yang sangat murah. Apa yang bisa kita bayangkan, ketika dia korupsi raturan juta?
Keempat, pahala jihad, tidak memadamkan dosa korupsi. Orang itu, meninggal di medan jihad.
Namun sebelum meninggal, dia korupsi. Korupsi di negara kita, apa ada yang punya pahala jihad?
Semua ancaman di atas, menunjukkan betapa buruknya tindak korupsi di mata agama dan masyarakat. Semoga Allah melindungi diri kita dan masyarkat kita dari penyakit berbahaya ini.