KETIKA safari dakwah di Australia bulan lalu, ada banyak pertanyaan tentang bagaimana cara tepat mendidik anak agar tauhid, ibadah dan akhlaknya benar, baik dan indah. Sebagian dari orang tua benar-benar khawatir anaknya tidak paham pola kehidupan Islam. Ini adalah sebuah kekhawatiran yang positif. Lembaga apa yang kira-kira paling tepat untuk mewadahi anak kita dalam menemukan identitas keislamannya?
Kekhatiran orang tua di Australia itu sesungguhnya dirasakan pula oleh orang tua di Indonesia, saat keprihatinan akan memudarnya nilai agama dan budaya mulai tampak berproses di kalangan generasi muda. Lembaga apa yang kira-kira paling tepat dan dianggap paling aman dalam mengantarkan anak pada gerbang tradisi Islami itu. Banyak orang tua, termasuk saya, yang menjatuhkan pilihan pada lembaga pesantren, yakni pesantren yang mengajarkan nilai-nilai progresif, kesantunan dan moderasi.
Lalu muncul pertanyaan sejak usia berapa anak kita perlu dimasukkan pesantren. Jawabannya bisa beragam sesuai dengan pola pandang dan beberapa faktor lainnya. Yang paling menentukan adalah nuansa psikologis keluarga. Ada keharuan, kerisauan dan keengganan untuk berpisah dengan buah hati, anak kita. Keluarga yang tak biasa mengalami hubungan berjarak antar anggota keluarga biasanya sulit sekali untuk berpisah jarak.
Saya saja sebagai orang yang sering bepergian jauh dari keluarga merasa berat sekali untuk melepas anak ketiga saya yang hari ini akan berangkat mondok. Selepas subuh tadi anakku itu memelukku dan menangis di pundakku. Kutegarkan di hadapannya, namun setelah saya masuk kamar, air mata tak bisa ditahan lagi. Haru, sayang, dan rindu selalu bahkan sebelum berpisah.
Meskipun demikian, dia harus berangkat mondok, mendulang ilmu agama, menghafalkan firman Allah dan membentuk kepribadian Islami. Berangkatlah anakku, boleh engkau jauh dari sisi jarak denganku. Namun dirimu, jiwamu, ada dekat di dalam hatiku selalu. Salam, AIM.