Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat dengan mentauhidkan dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ a la! Janganlah kufur (mengingkari) nikmat.
Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maaidah [5]: 3)
Ayat ke-3 dari suroh Al-Maaidah adalah ayat istimewa. Istimewa karena ayat ini merupakan ayat pamungkas. Melalui ayat ini Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam, menyempurnakan nikmat-Nya dan meridhoi Islam sebagai agama bagi Nabi Muhammad Saw. beserta umat beliau…
Tafsir ayat
Berkaitan dengan penggalan ayat di atas Al-Jazaairy dalam kitab tafirnya Aysaar At-Tafaasiir mengatakan bahwa ini adalah berita dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman bahwa Allah Ta’ala telah menganugerahkan tiga kenikmatan kepada mereka. Dua di antaranya adalah: Pertama, berupa disempurnakannya agama Islam yang meliputi aqidah, ibadah, hukum, dan adab. Kedua, keridhoan Allah Ta’ala atas Islam sebagai agama bagi mereka dimana Allah Ta’ala mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya yang mengandung aqidah dan syari’ah, menjauhkan mereka dari agama-agama batil seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi, serta mencukupkan bagi mereka atas nikmat itu dengan diridhoi-Nya agama ini bagi mereka, yakni Al-Islam yang berdasarkan pada penyerahan diri kepada Allah Ta’ala secara dhohir dan bathin.
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menulis, “Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, kare¬na Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka.” Lebih lanjut beliau mengatakan, “Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, ber¬arti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya.”
Syari’at penutup
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Al-Maaidah ayat ke-3 menyebutkan bahwa agama Islam – yang salah satu komponennya adalah syari’at – telah sempurna, yang berarti telah sempurnalah nikmat batin (jenis nikmat yang disempurnakan Allah Ta’ala ada dua: dhohir dan batin. Lihat QS. 31: 20) yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Lalu ketentuan syari’at apa yang telah menutup ajaran Islam? Jawabannya terdapat pada penggalan pertama ayat ini.
Penggalan tersebut membahas ketentuan syari’at terkait makanan dan mengundi nasib dengan anak panah. Syari’at terkait makanan yang dibahas adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan nama selain Allah. Selain itu juga hewan yang mati karena tercekik, dipukul/terpukul, jatuh dari tempat tinggi atau terperosok ke dalam sumur, ditanduk oleh hewan lainnya, dan diterkam binatang buas – kecuali yang sempat disembelih sebelum mati -, serta hewan yang disembelih untuk dikorbankan kepada berhala.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah kefasikan.” (QS. Al-Maaidah [5]: 3)
Tanasub ayat
Selain pada ayat di atas, informasi bahwa Allah Ta’ala menyempurnakan nikmat-Nya yang berkaitan dengan ketentuan syari’at juga terdapat pada Al-Baqoroh: 150 yang menjelaskan syari’at bergantinya arah kiblat dari Masjid Al-Aqsho ke Ka’bah, dan Al-Maaidah: 6 yang menjelaskan syari’at Wudhu dan Tayammum.
Terkait QS. 2: 150 Ibnu Katsir menulis, “Untuk akan Aku sempurnakan nikmat-Ku untuk kalian, dimana Aku telah mensyari’atkan kepada kalian untuk menghadap ke arah Ka’bah, agar sempurna syari’at bagi kalian dari segala seginya”
Berkaitan dengan kata ni’matiy pada ayat tersebut Al-Jazaairy menafsirkannya dengan mengatakan, nikmat Allah Ta’ala itu banyak dan yang paling besar adalah nikmat Islam beserta penyempurnaanya dengan kontinyuitas tasyri’ dan pengamalannya hingga akhir penyempurnaannya, yakni pada Haji Wada’ di Arofah ketika diturunkannya ayat:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلامَ دِيناً}
Al-Jazaairy ketika menafsirkan frasa liyutimma ni’matahu ‘alaikum pada QS. 5: 6 mengatakan maksudnya adalah dengan memberi hidayah kalian kepada Islam dan mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian.
Seusai menyebutkan menyempurnakan nikmat tersebut dalam QS. 2: 150 Allah Ta’ala dalam ayat ke-152 menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya dengan jalan menjalankan semua ibadah, serta melarang lupa dan kufur kepadanya-Nya. Demikian juga halnya dalam QS. 5: 6 Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia menyempurnakan nikmat tersebut agar hamba-hamba-Nya yang beriman bersyukur kepada-Nya. Adapun dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyuruh mereka untuk ingat akan nikmat-Nya, serta taat dan bertaqwa kepada-Nya.
Tadabbur
Allah Ta’ala telah menganugerahkan beragam nikmat yang jumlahnya tidak terhingga, khususnya nikmat sempurnanya ajaran Islam, nikmat Islam, nikmat hidayah, serta nikmat iman. Allah Ta’ala menganugerahkan segala nikmat tidak lain dan tidak bukan agar kita bersyukur. Bersyukur, selain dengan mengucapkan hamdalah juga mesti dengan mengamalkan ajaran Islam secara kaafah.
Allah Ta’ala telah berjanji akan menambah nikmat dan tidak mengazab jika kita bersyukur (lihat QS. 14: 7, 4: 147). Allah juga telah berjanji akan membukakan bagi kita keberkahan dari langit dan dari bumi jika kita beriman dan bertaqwa (lihat QS. 7: 96).
Bertambahnya segala jenis nikmat, jauh dari azab-Nya, serta dibukanya keberkahan dari langit dan bumi akan kita raih jika kita mengamalkan ajaran Islam secara komprehensif dalam ranah privat dan ranah publik. Untuk memudahkan pengamalan ajaran Islam secara komprehensif dalam kedua ranah tersebut diperlukan pemimpin-pemimpin yang tidak sekadar Muslim, tapi juga mesti sholeh dan berjiwa mushlih – yakni pribadi yang mau dan mampu menjadikan orang lain sholeh -.
Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat dengan mentauhidkan dan menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ a la! Janganlah kufur (mengingkari) nikmat dengan menjalankan kekufuran dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala! Jika kedua perkara tersebut dilakukan oleh bangsa ini – dalam ranah privat dan publik – maka insya Allah negeri ini akan menjadi baldatun thoyyibun wa robbun ghofur. Wallahu ‘alam.
Oleh: Abdullah al-Mustofa, Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur