PEMBACA yang budiman, berapa lamakah anda sebagai anak dibesarkan, diasuh, dididik, dibiayai oleh orangtua anda? Apakah pernah terpikir betapa berat derita orangtua anda untuk membesarkan anda, berkorban perasaan, harta bahkan bersabung nyawa. Sebagai orang tua atau suami sudah berapa lamakah anda menanggung beban atas istri dan anak anak anda?
Menafkahi lahir bathin Saya mencoba mengambil hanya satu item menafkahi dari sekian banyak pengorbanan yang telah anda lakukan. Kepada para pembaca yang sudah mempunyai pengalaman sebagai suami atau orangtua (parents, not old man ; red), dari sekian lama menafkahi istri dan anak anak anda apakah terasa berat selama ini? Bagaimana kalau persepsi anda terhadap istri dan anak anak anda saya ganti sejenak, anda adalah budak istri dan budak anak anak anda yang harus banting tulang dan wajib setor gaji tiap bulan dan penghasilan apapun untuk mereka, bagaimana perasaan anda?
Padahal apa yang anda berikan untuk istri dan anak anak anda tidak ada bedanya apakah sebelum atau sesudah persepsi anda diganti, tapi mengapa perasaan anda begitu sangat bertolak belakang ketika persepsi itu dibedakan? Sesungguhnya apa yang anda perjuangkan demi istri dan anak anak anda adalah sangat berat sebagaimana anda membayangkan beban orangtua anda ketika membesarkan anda, bahkan sebagian dari anda tidak mampu melakukannya, seberapa berat? Andalah yang paling mengetahuinya karena andalah yang menjalankannya. Tapi sampai sejauh ini mengapa anda sanggup melakukannya?
Para pembaca yang budiman, saya berpikir tentang hal ini setelah Guru saya yang sangat bersahaja berkata tidak ada derita atas nama cinta. ya, selama ini anda sanggup melakukannya karena cinta, cinta yang anda berikan kepada istri dan anak anak anda. Contoh yang saya ambil tentang pengorbanan atas nama cinta kepada keluarga adalah analogi saya sendiri supaya saya yang bebal ini mudah memahami makna petuah Guru saya. Lalu apa sesungguhnya maksud Guru saya?
Pembaca budiman, saya membaca kisah kisah kesabaran Nabi Ayub Alaihissalam yang penuh penderitaan ketika saya kelas 3 SD, yang dimulai dari musnahnya seluruh harta benda, kehilangan seluruh anak dengan cara yang tragis, diterpa penyakit kronis yang tak berkesudahan, dicemooh dan dikucilkan dari masyarakatnya, hingga ditinggalkan oleh semua istrinya. Berdasarkan analogi yang telah saya jalani di atas, saya jadi ragu apakah Ayub benar benar menderita ketika itu.
Dalam persepsi saya tidak ada satu manusia pun yang sanggup menahan derita seperti itu termasuk Ayub sekalipun! Lalu kenapa Dia mampu menghadapinya? Ayub mampu melewatinya karena Ayub beserta (menurut anda?). Derita apa yang bisa dirasakan hamba bila telah beserta yang MAHA KASIH? Pembaca budiman, betapa dalam dan luas makna ucapan Guru saya sehingga anda bebas menafsirkan menurut anda sendiri berdasar kemampuan anda untuk diri anda sendiri. Lalu bagaimana pula beratnya bila tanpa yang MAHA KASIH? Saya kira inilah yang menjadi penyebab pada sebagian orang apabila putus cinta lalu minum racun, tidak sanggup bayar utang lalu tidur di rel kereta yang melintas, atau ditagih uang Rp20 ribu lalu membunuh sampai melakukan mutilasi segala.
Kedengarannya sepele memang tapi bagi sebagian orang hal tersebut sudah merupakan masalah yang maha berat sehingga bunuh diri atau membunuh orang adalah jalan keluar yang sangat membahagiakan. Bagi saya itulah arti beserta-Nya dengan tanpa beserta-Nya. yang terbungkus balut, yang terikat simpul kuat, yang menyatu bersetubuh menyeluruh dengan CINTA, CINTA kepada TUHAN. Anda tidak akan sampai pada maqam cinta bila anda belum kenal Tuhan anda. Perlu anda renungi, bagaimana anda mencintai seseorang atau sesuatu yang belum anda kenal?
Pembaca sekalian, baru baru ini seorang teman mengirim email ke saya. Rupanya masalah besertaNYA dan tanpa besertaNYA ini pernah di gugat di kampus, apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Berikut petikannya yang konon berupa kisah nyata..
“Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”. “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya profesor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip Kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi Bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu saja,” jawab si Profesor. Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”
Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga Tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”
Profesor itu terdiam. Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.”
[Abu Hafidzh Al Faruq/Sufimuda.net]