SEBUAH kenyataan yang sering kali kita jumpai ialah tidaklah dua orang yang pernah mengenal berjumpa melainkan mereka akan bertanya berapa jumlah anak mereka sekarang.
Jarang sekali kita dapati mereka mengawali pembicaraan dari tema berapa banyak kekayaan mereka, berapa pula istrinya, atau yang lainnya. Ini mengisyaratkan bahwa anak di mata para orangtua adalah ibarat satu-satunya barang yang paling berharga yang ia miliki.
Ada hal yang penting sekali untuk diketahui dan sangat perlu direnungkan oleh para orangtua, bahwa lahirnya seorang anak bukan semata-mata guna menambah jumlah anggota keluarga, juga bukan semata-mata guna menambah kebahagiaan bapak dan ibu serta membahagiakan mereka.
Juga bukan sekadar memberikan harapan buat orangtua bahwa di hari esok apabila anak telah dewasa dapat membantu orangtua untuk mencari nafkah.
Akan tetapi, hadirnya seorang anak merupakan cambuk bagi orangtua khususnya, untuk berlomba-lomba berbuat yang paling baik bagi diri sendiri dan anaknya. Tentunya “baik” di sini adalah dalam penilaian Zat yang menciptakan dan menghadirkan buah hati tersebut di tengah-tengah keluarga.
Dengan demikian, anak tidak semata-mata kenikmatan rezeki dari Allah untuk dinikmati, namun ia merupakan amanah dan tanggung jawab bagi orangtuanya. Bagaimana bisa begitu?
Tidak ada yang aneh dan samar dalam masalah ini bila kita kembali mentadabburi merenungi dan memahami firman Allah:
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS at-Taghabun: 15)
Bahkan dalam ayat tersebut Allah tidak sekadar membahasakan anak sebuah amanah, namun sebagai sebuah ujian. Yaitu, ujian apakah para orangtua berbuat baik pada anak tersebut, ataukah tidak. Hal ini mungkin perlu perenungan sejenak.
Sudahkah kita sebagai orangtua menyadarinya? Ini adalah pertanyaan pertama, sebelum kita bertanya apakah ia mendidik anak-anak dengan baik atau bahkan tidak memperhatikan mereka.