PERSOALAN yang kian gampang ditemui dalam keseharian kita, manakala seorang istri ternyata tak lagi perawan manakala dinikahi suaminya. Apa yang harus dilakukan keduanya manakala pernikahan sudah terjadi? Haruskah si istri mengakui sebelum malam pertama?
Pertama, Islam memotivasi kepada siapapun yang pernah melakukan dosa terkait dengan hak Allah, agar merahasiakan dosa itu dan dia selesaikan antara dia dengan Allah. Dia bertobat menyesali perbuatannya, tanpa harus menceritakan dosanya kepada siapapun. Termasuk kepada manusia terdekatnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menasihati,
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha, 3048 dan al-Baihaqi dalam Sunan as-Sughra, 2719).
Karena yang lebih penting dalam pelanggaran ini, bagaimana dia segera bertobat dan memperbaiki diri, tanpa harus mempermalukan dirinya di hadapan orang lain. Karena ini justru menjadi masalah baru.
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang suami yang menikahi gadis. Di malam pertama, ternyata suami merasa istrinya tidak perawan. Salah satu bagian penjelasan beliau,
Jika istri mengaku bahwa keperawanannya hilang bukan karena hubungan badan, maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya. Atau karena hubungan badan, namun sang istri mengaku dia diperkosa atau dipaksa, maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya, jika istri sudah mengalami haid sekali setelah kejadian itu sebelum dia menikah.
Atau dia mengaku telah bertobat dan menyesali perbuatannya, dan dia pernah melakukan zina ini ketika dia masih bodoh, dan sekarang sudah bertobat, tidak masalah bagi suami untuk mempertahankannya. Dan tidak selayaknya hal itu disebarluaskan, sebaliknya, selayaknya dirahasiakan. Jika suami yakin sang istri telah jujur dan dia orang baik, bisa dia pertahankan. Jika tidak, suami bisa menceraikannya dengan tetap merahasiakan apa yang dialami istrinya. Tidak membeberkannya yang itu bisa menyebabkan terjadinya fitnah dan keburukan.
Kedua, apabila sebelum menikah suami mempersyaratkan istrinya harus perawan, ternyata setelah menikah sang istri tidak perawan, maka pihak suami berhak untuk membatalkan pernikahan.
Syaikhul Islam menjelaskan,
Apabila salah satu pasangan mengajukan syarat berupa kriteria tertentu kepada calonnya, seperti suami berharta, kecantikan, atau perawan atau semacamnya, maka syarat ini sah. Dan pihak yang mengajukan syarat berhak membatalkan pernikahan ketika syarat itu tidak terpenuhi, menurut riwayat yang lebih kuat dari Imam Ahmad dan pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafii, serta itulah yang kuat dari pendapat Imam Malik. (Majmu Fatawa, 29/175).
Bagaimana dengan Mahar?
Jika pembatalan nikah ini sebelum terjadi hubungan badan, maka mahar dikembalikan. Namun jika telah terjadi hubungan, ada rincian:
Jika yang menipu pihak wanita, dia mengaku perawan padahal tidak perawan, maka dia wajib mengembalikan maharnya.
Jika yang menipu pihak wali, atau orang lain yang menjadi perantara baginya, maka dia yang bertanggung jawab mengembalikan maharnya.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
Jika pihak suami mengajukan syarat, harus sehat tidak cacat, atau harus cantik, tapi ternyata jelek, atau harus masih muda, tapi ternyata sudah tua keriputan, atau harus putih, tapi ternyata hitam, atau harus perawan, tapi ternyata janda, maka pihak suami berhak membatalkan pernikahan. Jika pembatalan terjadi sebelum hubungan badan, istri tidak berhak mendapat mahar. Jika setelah hubungan, istri berhak mendapat mahar. Sementara tanggungan mengembalikan mahar menjadi tanggung jawab walinya, jika dia yang menipu suami. Namun jika istri yang menipu, gugur hak mahar untuknya (Zadul Maad, 5/163).
Ketiga, apabila sebelum menikah, suami tidak mempersyaratkan istrinya harus perawan, maka dia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad.
Ibnul Qoyim menjelaskan kapan seorang suami berhak membatalkan akad nikah, jika sebelumnya dia tidak mempersyaratkan apapun.
Satu riwayat dari Umar radhiyallahu anhu: Wanita tidak dikembalikan (ke ortunya) kecuali karena empat jenis cacat: gila, kusta, lepra, dan penyakit di kemaluan. Riwayat ini tidak saya ketahui sanadnya selain dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari Umar. aturan ini berlaku jika pihak suami tidak mengajukan syarat apapun. (Zadul Maad, 5/163).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
Yang makruf di kalangan ulama, bahwa ketika seorang lelaki menikahi wanita yang dia anggap masih gadis, sementara dia tidak mempersyaratkan harus gadis, maka pihak suami tidak memiliki hak untuk membatalkan pernikahan. Karena kegadisannya bisa saja hilang karena si wanita main-main dengan organ pribadinya, atau karena dia melompat sehingga merobek keperawanannya, atau diperkosa. Selama semua kemungkinan ini ada, pihak suami tidak berhak membatalkan pernikahan, ketika dia menjumpai istrinya tidak perawan.
Namun jika pihak suami mempersyaratkan harus perawan, kemudian ternyata istrinya tidak perawan, maka suami punya pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan nikah.
(Liqaat Bab al-Maftuh, volume 67, no. 13).
Demikian pembahasan rincian hukumnya. Hanya saja, kami menasihatkan, agar pihak suami tetap mempertahankan istrinya dan merahasiakan apa yang dialami istrinya, jika dia sudah benar-benar bertobat dengan serius dan istiqamah menjadi wanita yang saleh.
Dan jika anda telah menerimanya, lupakan masa silamnya, dan tidak diungkit lagi, terutama ketika terjadi pertengkaran rumah tangga. Dalam hadis dinyatakan,
“Orang yang telah bertobat dari perbuatan dosa, layaknya orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, al-Baihaqi dalam al-Kubro 20561, dan dihasankan al-Albani).
Karena dia sudah bertobat dengan serius, maka dia dianggap seperti orang yang tidak pernah melakukannya.
Sekalipun suami merasa sedih atau bahkan murka, namun ingat, semuanya tidak akan disia-siakan oleh Allah. Kesabarannya atas kesedihannya atau amarahnya akan menghapuskan dosanya. Allahu alam.