Momen Idul fitri dinilai tepat untuk merajut persaudaraan dan meredakan ketegangan di tengan masyarakat. Namun hal itu tergantung dari setiap orang memaknai Idul Fitri itu sendiri.
“Idul fitri kalau dimaknai secara tulus dan benar adalah bagian dari keberhasilan perang melawan hawa nafsu dan mensucikan diri maka ia dapat menetralisir dari segala belenggu kebencian, ujar Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, kepada Republika.co.id, Sabtu (16/6).
Namun sebaliknya apabila memaknai Idul Fitri dengan cara tidak benar, maka lebaran akan dimaknai sebagai rutinitas saja. Mereka hanya mengartikan lebaran sebagai aktivitas bersalam-salaman dan bersilaturahim.
Menurut Kiai Cholil memaknai idul fitri merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah puasa ramadhan. Manusia, mempunyai niatan melepaskan dosa yang berhubungan dengan sesama pada momen lebaran.
Karena, menurut Kiai Cholil, Allah akan memaafkan dosa-dosa hamba apabila urusan dengan sesama manusia pun diselesaikan. Maka Idul fitri akan dengan mudah memberantas perilaku kebencian dan ujaran-ujaran yang menghasut atau menyudutkan yang lain.
Ia menambahkan, fitrah merupakan asal kejadian manusia yang suci. Dengan begitu, semestinya manusia pun tidak menyukai terhadap sesuatu yang kotor dan dosa termasuk menanamkan kebencian. “Oleh karena itu memaknai idul fitri adalah kembali kepada fitrah yang menanamkan rasa damai, respek terhadap sesama dan menjunjung tinggi sopan santun yang beradab,” tuturnya.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Idul Fitri merupakan momen untuk saling bersatu yang mestinya direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Moeldoko mengatakan sangat disayangkan jika potensi besar yang dimiliki Indonesia hilang hanya karena negara tak bersatu.
“Idul Fitri adalah kondisi dimana semua kembali ke nol. Semua yang buruk kita tanggalkan, kembali bersih. Negara ini milik kita bersama, dan bersatu menjadi kunci Indonesia untuk maju. Kita harus saling membesarkan, jangan saling mengecilkan. Ini momen kita untuk saling bersatu, bukan cerai berai, apalagi berseteru yang bersifat paradoks dari makna Idul Fitri,” kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (15/6).
Moeldoko menilai potensi bangsa ini sangatlah besar dengan segala keberagaman suku bangsa, budaya, dan sumber daya alamnya. Karenanya, dari semua kelebihan itu, Indonesia harusnya jaya dengan semua potensinya. “Jadi amatlah disayangkan jika semua potensi ini tergerus karena warga negaranya tak berpikiran bersatu,” tambah mantan Panglima TNI yang juga bergelar doktor ini.