Sejak diucapkannya ijab kabul, tanggung jawab seorang istri beralih dari orang tua atau wali kepada suami. Segala sesuatu perintah suami sepanjang tidak bermaksiat kepada Allah SWT sebisa mungkin dipatuhi. Salah satunya jika suami menginginkan sang istri tinggal bersama mertuanya.
Jika terjadi penolakan, Syekh Ibnu Utsaimin menyarankan agar sang suami melunakkan baik sikap istri maupun keluarganya. Kemudian, menegur siapa saja yang zalim dan melanggar hak saudaranya.
Sang suami kala memutuskan untuk tinggal bersama orang tuanya setelah menikah juga mesti mempertimbangkan aspek kebutuhan istrinya. Sehingga permasalahan yang muncul jika istri menolak tinggal mesti diselesaikan dengan dasar cinta kasih.
Namun, jika upaya islah antara istri dan keluarga suami menemui jalan buntu, disarankan agar dipisah tempat tinggal antara istri dan mertua. Dengan catatan, ujar Syekh Ibnu Ustaimin, tidak memutus silaturahim antara istri dan keluarga mertua. Bahkan, disarankan tempat tinggalnya berdekatan dengan orang tuanya tersebut.
Di sisi lain, jika hak kepatuhan seorang istri beralih kepada suami begitu juga dengan hak untuk mencukupi kebutuhan istri, termasuk tempat tinggal. Secara eksplisit, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 mengharuskan suami menyediakan tempat tinggal untuk istrinya.
Kategori tempat tinggal yang diatur dalam KHI, yakni layak untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain. Diwajibkan pula suami untuk melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan dan disesuikan dengan lingkungan tempat tinggal.
Memberi tempat tinggal sesuai kemampuan didasarkan pada ayat Alquran surah al-Baqarah ayat 233. “Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu (istri) dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani, melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Selain itu, khusus tempat tinggal Allah SWT menegaskan, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka… Sedang bagi orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (QS at-Thalaq [65]: 6-7).
Ibnu Hazm mengatakan, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya sejak selesainya akad nikah, baik si istri itu berbuat nusyuz (durhaka) atau tidak, kaya atau miskin, gadis atau janda, yatim atau memiliki orang tua, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Ibnu Qudamah, Ibnu Mundzir, dan sebagian ulama berbeda pendapat soal nusyuz. Menurut mereka, seorang istri tak lagi wajib diberikan nafkah jika berbuat durhaka.
Para ulama memasukkan tempat tinggal sebagai nafkah. Dalam Mu’jamul Wasith batasan nafkah, yaitu apa-apa yang dikeluarkan suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya.
Nafkah juga mencakup pemenuhan kebutuhan batin atau biologis istri. Dari berbagai dalil di atas, hal yang juga patut diperhatikan sang istri, yakni pemberian nafkah sesuai dengan kadar kemampuan sang suami.