Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial. dan sebagainya.
Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya.
Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara yang terlarang.
Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah SWT, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal.
Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130), maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, “apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/memanfaatkannya”.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya.
Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut.
Misalnya, hukum shalat atau haji yang dilaksanakan dengan menggunakan harta hasil korupsi.
Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan.
Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah.
Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis.
Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).