BANYAK di antara para penyeru zakat, infak dan sedekah namun sang penyeru sendiri tidak mampu melakukan apa yang mereka serukan karena mereka sendiri berada di dalam ekonomi kelas bawah, sehingga sekalipun mereka sanggup keluarkan, bukan dalam jumlah yang besar. Tentu yang sangat kita inginkan adalah mampu beramal secara maksimal.
Sahabat, sudah kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya amil (petugas baitul mal) memang memiliki hak atas kerja-kerjanya dalam mengurusi umat, dan agama pun membenarkannya. Tapi sungguh terkadang ada sebuah ganjalan dalam hati, di mana hati saya berkata “ishak, kamu mengajak orang-orang untuk berzakat, berinfak, bersedekah. Lalu kamu pun mengajak perusahaan-perusahaan untuk mengoptimalkan dana CSR untuk program pemberdayaan yang terintegrasi dengan nilai-nilai ketuhanan, tapi kamu sendiri hampir tidak mampu membelanjakan harta mu di jalan Allah Ta’ala, karena memang pemasukan mu sebagai amil sangatlah minim?”
Tentu saja ganjalan dalam hati ini, coba saya diskusikan kepada orang-orang yang saya anggap mempunyai ilmu agama yang lebih mapan, namun hampir semua jawabannya nyaris sama, yaitu: “kamu berjuang di jalan Allah Ta’ala dengan waktu, tenaga dan pikiran itu sudah menjadi bagian dari perjuangan mu dalam mencari rida Allah Ta’ala”. Tentu saja jawaban ini sangatlah benar, namun hati saya belum merasa puas terhadap jawaban ini, sehingga saya pun terus mencari jawaban yang dapat menjawab kegundahan saya.
Tak terasa, ternyata jawaban itu saya dapatkan dari orang terdekat yang saya lupakan bahwa ia mampu menjawabnya dengan kasih sayang. Dialah ayah saya. Orangtua yang telah bersusah payah mendidik dan membesarkan saya dengan jerih payahnya. Nasihat beliau kepada saya, “Jangan biarkan waktu waktu mu banyak terbuang, manfaatkan sebaik mungkin untuk usaha yang menghasilkan, agar kamu pun mampu bersedekah dan berinfak, tidak hanya mengajak orang untuk bersedekah dan berinfak, bukankah kamu masih punya banyak waktu luang dengan profesi mu sebagai amil saat ini?”
Nah, ini nasihat yang saya butuhkan, luar biasa, malah keluar tanpa ditanya, begitulah orangtua kita, seolah ia tahu apa yang ada dalam hati anaknya, seolah Allah Ta’ala telah menggerakkan ucapannya secara spontan namun membekas. Saya pun berpikir, benar juga. Sungguh masih sangat banyak waktu luang dengan profesi amil ini, di tengah-tengah waktu mengurusi umat, masih dapat kita manfaatkan untuk berbagai hal yang menghasilkan, seperti menulis dan berbisnis atau apa pun bergantung dengan potensi yang dimiliki tiap-tiap individu. Sehingga, bisa jadi dalam satu jasad, kita mampu memegang beberapa profesi sebagai amil, sebagai mujahid pena dan sebagai pengusaha atau lainnya.
Memang benar, bekerja dengan beberapa profesi akan menjadikan kita jauh lebih sibuk dan menyita banyak waktu luang kita, namun dengannya kita yang berprofesi sebagai amil juga dapat turut meramaikan perhelatan dakwah melalui nasihat-nasihat sederhana yang dituangkan dalam tulisan, selanjutnya kita pun mampu menambahkan pundi-pundi keuangan dalam pemberdayaan melalui berbagai bisnis pribadi yang diupayakan, atau lain sebagainya.
Bukankah semua hanya tinggal pengaturan dan pembiasaan saja? Lalu kita iringi upaya kita dengan doa, semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan atas segala urusan kita, dan Allah Ta’ala menjadikan kita Super Amil yang Kontributif. Wallahu ‘alam.
[Oleh Maulana Ishak, S.Pi Alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Management Rumah Zakat, EX Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]
INILAH MOZAIK