Riuh rendah pasar Kota Madinah. Manusia-manusia tenggelam dalam jual beli. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan aktivitas mereka. Saat itu, lewatlah Abu Hurairah. Sahabat Nabi itu menyaksikan para penduduk kota sibuk dengan perniagaan.
Abu Hurairah pun berseru, “Alangkah ruginya kalian, wahai penduduk Madinah!”
“Ada apa, wahai Abu Hurairah?”
“Warisan Rasulullah SAW sedang dibagi-bagi, mengapa kalian masih di sini? Mengapa kalian tidak pergi mengambil bagian kalian?” Para penduduk saling berpandangan. Mereka antusias mendengar kabar tersebut. “Di mana itu?” tanya mereka. Abu Hurairah menjawab, ” Di masjid”
Mereka bergegas pergi ke masjid. Tetapi, alangkah kecewanya para penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan apa pun di sana, kecuali orang yang tengah shalat, mengkaji Alquran, berzikir, dan duduk di majelis-majelis ilmu.
Orang-orang kembali ke pasar sambil melemparkan protes kepada Abu Hurairah. “Wahai Abu Hurairah, di mana harta warisan Rasul yang kamu katakan itu?”
Abu Hurairah bertanya, “Tidakkah kalian melihat ada orang di sana.” Mereka menjawab, “Kami hanya melihat sekelompok orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan sekelompok lain sedang menyebutkan perkara halal- haram. Itu saja.”
Abu Hurairah pun menjawab, “Sesungguhnya, itulah warisan Muhammad SAW.”
Hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi menyebutkan, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa yang telah mengambil ilmu yang banyak, ia telah mengambil bagian yang banyak.”
Kisah ini meneguhkan pentingnya ilmu dalam kehidupan seorang Muslim. Ulama, bukan umara, yang menjadi pewaris para Nabi. Allah SWT akan mengangkat kedudukan orang yang berilmu beberapa derajat di atas manusia lain. Walau, tak berarti Islam merendahkan kedudukan perniagaan atau harta dunia. Semua tetap mempunyai porsi masing-masing.
Sekarang, marilah kita menyimak kisah Abu Hurairah. Dia tumbuh sebagai seorang yatim, kemudian hijrah sebagai seorang yang miskin.
Dia menjadi seorang buruh dalam keluarga Busrah binti Ghazwan dengan imbalan makanan sekadar mengisi perut. Pada tahun ke-7 H, Abu Hurairah mendatangi Rasulullah untuk menyatakan keislamannya. Ilmu yang mengangkat derajat sahabat Nabi ini.
Abu Hurairah menemani Rasulullah hanya sekitar empat tahun. Akan tetapi, Abu Hurairah adalah periwayat hadis Nabi yang paling banyak dibanding sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Bagi Abu Hurairah, empat tahun bisa menjadi waktu yang panjang, penuh dengan ucapan, amal, dan pendengaran yang bermanfaat. Abu Hurairah sadar ia baru masuk Islam belakangan.
Karena itu, dia bertekad mencari kompensasi atas segala sesuatu yang telah terlewatkan. Tak ada kata terlambat untuk mengejar ilmu. Dia rajin mengikuti Rasulullah dan hadir dalam setiap majelis Beliau SAW. Tekad dan kesungguhan itu didukung oleh kecerdasan yang Allah karuniakan. Abu Hurairah bukan seorang penulis, melainkan penghafal. Ia mampu menghafalkan setiap ucapan Rasulullah dengan tepat.
Sebagai seorang fakir, Abu Hurairah juga memiliki waktu teramat lapang untuk menuntut ilmu. Ia tidak memiliki tanah yang bisa ditanami atau perniagaan yang menyibukkan. Karena itu, Abu Hurairah bisa mendedikasikan waktu untuk menghafal hadis-hadis Rasulullah.
“Ingatlah bahwa para sahabat Muhajirin itu sibuk untuk berdagang di pasar, sementara para sahabat Anshar sibuk mengurus tanah. Adapun aku adalah seorang laki-laki miskin yang paling banyak hadir di majelis Rasulullah. Aku hadir ketika mereka tidak hadir dan aku menghafal ketika mereka lupa,” jelasnya.
Kemampuan Abu Hurairah tak ayal mengusik rasa ingin tahu beberapa orang. Dikisahkan oleh Khalid Muhammad Khalid dalam Biografi 60 Sahabat Rasulullah, Khalifah Marwan bin al-Hakam pernah menguji kemampuan hafalan Abu Hurairah.
Dia mengundang Abu Hurairah dan mengajaknya duduk bersama.
Khalifah Marwan meminta sahabat Nabi itu meriwayatkan hadis dari Rasulullah, sementara dia telah menempatkan seorang sekretaris di balik tirai. Ia perintahkan sekretaris itu untuk mencatat segala yang diucapkan Abu Hurairah.
Selang beberapa tahun, Khalifah Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan memintanya membacakan hadis-hadis yang telah dicatat sekretarisnya. Ternyata, Abu Hurairah tidak lupa satu kata pun. Kisah serupa juga kita dapati dalam pribadi Imam al-Bukhari. Imam al-Bukhari mampu menghafal 100 ribu hadis shahih dan 200 ribu hadis yang tidak shahih.
Madrasah Abu Hurairah ditakdirkan menjadi madrasah umat yang kekal dan abadi. Sahabat yang satu ini pernah mengatakan tentang dirinya sendiri, “Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah yang lebih banyak hafal hadis daripada aku, kecuali (hadis) yang berasal dari Abdullah bin Amr bin Ash karena dia mencatat, sedangkan aku tidak.”
Imam Syafi’i meneguhkan, “Sekitar 800 atau lebih dari sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu telah meriwayatkan dari Abu Hurairah.”
Semangat menuntut ilmu banyak diteladani oleh para tabi’in dan ulama terdahulu. Seorang ilmuwan Muslim, al- Biruni, konon menjelang kematiannya masih mendiskusikan sebuah persoalan fikih yang belum dia ketahui jawabannya.
Seorang sahabat yang menjenguknya bertanya, mengapa dia masih mempersoalkan hal itu, padahal sedang sakit berat.
Apa jawabnya? “Aku tidak ingin meninggal dalam keadaan jahil mengenai hal ini.”
Setelah kaum Muslim mengakrabi aksara, kemampuan menulis para ulama tidak ada bandingan. Konon, ath-Thabari menulis sebanyak 40 halaman setiap hari selama 40 tahun.
Imam al-Ghazali menulis sekitar 500 buku, sedangkan Ibnu Hazm menulis sekitar 400 buku. Rekor itu tak tertan dingi, padahal sekarang kita tinggal menarikan jemari di atas tuts- tuts keyboard. Sejarah tentu tak banyak bermakna apabila sekadar dijadikan nostalgia.